Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Kamis, 30 Januari 2014

Kalau Anak Rohis Jatuh Cinta

13794945491363196803

Bani Sabili mematut dirinya di depan cermin. Dipandanginya dengan bangga wajah oval bebas jerawat miliknya. Lintangan alis tebal yang memanjang, meluncur diatas sorot mata elangnya yang tajam. Bibir merah muda yg proporsional, dihiasi belahan dagu dibawahnya, membuat Bani semakin percaya diri. Dipandanginya lagi tubuh 175cm itu dari ujung rambut sampe ujung kaki. Badan yang tegap berotot hasil fitness rutin sepekan sekali. Kulit coklat sawo matang yang mengesankan. Macho, man!

Ia pandangi dirinya sekali lagi, sesekali tersenyum sendiri. Cermin ini tak mungkin berbohong. Apa yang kurang dariku? Aku tampan! Harta lebih dari cukup. Ayahku yang pejabat di BUMN itu bahkan memberi Honda Jazz untuk berangkat sekolahku. Prestasi? Dalam bidang akademik aku selalu lima besar di kelas. Setidaknya itu menunjukkan kalau aku cukup cerdas. Bahkan aku ikut dua kursus bahasa sekaligus: english at 0’3s English Course, dan al-lughah al’arabiyyah fii ma’had al-Salaam. Utk non akademik, aku mewakili sekolah sebagai Paskibra tingkat kabupaten. Apalagi? Religi? Aku aktivis rohis di sekolah. Intensitas kehadiranku pada mentoring pekanan cukup membanggakan. Aku jarang absen pada kakak mentorku. Dalam berpakaian pun aku selalu rapi, terkesan necis malah. Bajuku selalu yang paling putih di kelas. Harga tasku saja tak kurang dari Rp.400ribu. ck..ck..ck..apalagi ya? Betul2 perfect! Kalau pengen punya pacar, mana mungkin ada cewek yang berani menjauh dariku.. Allahumma kamaa ahsanTa khalqi fahassin khuluqi..


Bani melompat ke atas springbed spidermannya.. cihuiii..bahagia sekali! Perlahan ia membaca puisi singkat yang ditulis dalam tabletnya tadi siang:


Ketika Sketsa senyummu mengepak sayap anganku,
Tuk terbang melayang ke samudera biru,
Melepas,
Berjuta rindu…
Kasih, adakah kau rasa sebagaimana aku merasa?

(masjid Riyadhus Shalihin, 13 April 2013, setelah senyuman seorang ukhti dalam syuro setengah hati)


Bani yang lagi ke Ge-eRan dengan dirinya itu tersenyum sendiri. Didekapnya puisi cinta itu dalam dadanya. Dinding kamar yang bercat warna warni membawa angannya melayang. Membuka memori indah sewaktu melihat senyum Nisa dalam syuro seminar tadi Siang..
ahh..senyummu itu…

—-

Cerita Hisyam, waktu yang sama.


Sore ini lagi-lagi aku harus jaga warung. Sebel! Masa’ baru pulang sekolah langsung disuruh kerja. Emank aku ga punya kerjaan lain apa? Kapan mau ngerjain PR? Trus gimana mau dapet rangking? Kan malu, seluruh kru mentoring an-Naml adalah juara di kelasnya masing2. Aku? Fisika, Kimia, Bahasa Inggris, harus ikut remedial karena semuanya di bawah enam. Jangan tanya Matematika. Nasibnya tak lebih baik. Soal-soalTrigonometri dengan guru super killer itu betul-betul mengernyitkan keningku. Huh!


Jangan harap belaian angin nan lembut di kompleks ini membuat gusar hatiku sirna begitu saja. Bagiku, ia bahkan lebih terasa menampar kedua pipiku ini. Uh!!

“assalamu’alaikum…”
“eh..ukhti Nisa. ‘alaikumussalam. Mau beli apa?”
“cabe keritingnya masih ada, akh?”
“eh..ada.. berapa?”
“dua ribu aja.”


Duh, heran, kenapa ya setiap melihat Nisa dadaku berdegup tak beraturan? Dia memang cantik. Pintar. Mantan ketua keputrian Rohis. Dan, dia tetanggaku. Tempat tinggalnya hanya berselang beberapa rumah dari warungku yang super sumpek ini. Nisa putri imam masjid As-Salam. Masjid terbesar di kotaku. Melihat jalannya yang tenang, pandangannya yg tunduk, jilbabnya yg lebar. Subhanallah. Tampak anggun di kejauhan dan kain menarik apabila mendekat. Senyumnya? Ah, inikah yang namanya cinta…?

“udah belum, akh? Cabenya?”
“eh..iya. ini dua ribu, kan?”
“iya, syukron ya , akh. Assalamu’alaikum..”
“alaikumussalam..” astaghfirullah, aku beristighfar.


Badanku terasa lemas. Gimana nih. Bingung. Ya Allah, inikah rasanya menjadi remaja? Ku ambil secarik kertas dari buku tulis lusuh yang biasa dipakai ibu untuk mencatat utang-utang tetangga. Biar terlepas semua gelisah, biar terhempas segala resah..


Bulan,
senyumu setia,
Mengantar rerimbunan daun…
Ribuan tahun.

Cinta,
kasihmu juga setia
Mengantar kelana jiwa,
Seluas masa.
Nisa, adakah kau rembulan untukku,
Kala senyummu dalam isakku?


(Warungku yang sumpek, 13 April 2013)



Cerita Bani, menjelang liqo


Semenjak syuro untuk seminar rohis di Masjid Riyadhus Shalihin pekan lalu, rasanya kau makin betah berlama2 di masjid. Nyaman sekali. Apalagi seperti siang ini, kru anNaml sudah berkumpul. Sambil nunggu kak Izzat, seperti biasanya kru anNaml Society berdiskusi tentang banyak hal. Oops! Bukan diskusi dink! Tepatnya bercanda, seperti biasa. Alangkah indahnya ukhuwah ini. Gerimis rintik2 menemani penantian anNaml. Terkadang tiupan angin mengajak gemericik air untuk bermain di serambi masjid. Membasahi sebagiannya dengan siraman mesra.


Tiba2 dari balik ruang teori satu, Nisa melintas mengantar adik kelasnya. Tampaknya dia sedang membawa proposal untuk seminar bulan depan. Duh Nisa, sudah kelas tiga dan menjelang ujian gini masih sempet-sempetnya ngebimbing rohis untuk seminar. Subhanallah, sepertinya seluruh kru anNaml cuek aja nih Nisa lewat. Cuma Hisyam yang terlihat mencuri-curi pandang. Menyebalkan! Masa’ anak rohis nggak ghadhul bashar. Kutatap Hisyam dengan tajam. Tak kusangka ia membalas tatapanku.
Awas, kalau macam2 dengan Nisa! Batinku.


Eh, tuh kak Izzat sudah datang basah2 kena gerimis.

Cerita Hisyam, saat yang sama


Masjid Riyadhus Shalihin selalu nyaman bagiku. Seberapa menyengat pun panas membara, atau sedingin apa pun hujan yang menyandera di luar sana. Bagiku, serambi masjid ini selalu menjadi tempat terindah. Mungkin karena banyaknya nuansa iman disini. Apalagi banyak remaja-remaja sholeh kayak anNaml . Seperti siang ini, anNaml sedang menunggu kak Izzat pulang dari kampusnya utk mengisi halaqah rutin. Hembusan angin disertai gerimis rintik-rintik membawa canda kami semakin akrab. Tebak2an, diskusi kecil. Latihan nasyid.Ah, indahnya ukhuwah ini.

Tiba-tiba dibalik ruang teori satu, terlihat Nisa sedang mengantar adik kelasnya. Ia sedang membawa proposal. Kayaknya sih utk seminar libur panjang bulan depan. Seluruh kru anNaml cuek saja Nisa melintas. Kecuali Bani. Ia sesekali melihat Nisa. Heran deh anak itu! Masa’ anak rohis melihat2-lihat akhwat. Ghadhul bashar dong!! Anehnya lagi, Bani menatapku dengan sorot mata elangnya. Emank aku takut. Aku balas tatapan itu dengan sorot mata ku yg lebih angker dan menyeramkan! Awas loe kalo macem2 ke Nisa! Batinku.

Hari yang sama, saat halaqah
Cerita Tama.

Gerimis rintik2 yg membasahi sekolah kami perlahan mulai reda. Ia menyisakan udara dingin yang semakin dingin karena terkadang tertiup angin. Halaqah anNaml hari ini digelar di serambi masjid. Meski kalau boleh memilih, liqo di dalam masjid tentu lebih nyaman, Hangat. Makanya sebelum liqo, kak Izzat meminta anNaml bernasyid dulu utk menghangatkan suasana. Kak Izzat paling suka suasana begini, membuka liqo sambil mendengar binaannya membawakan Nanda-nya Gradasi yg dibawakan an-Naml, Kak Izzat suka gaya mereka membawakan nasyid dengan kelewat PeDe.

Tampaknya hari ini masjid masih ramai. Beberapa aktivis rohis akhwat kelas dua, sedang syuro di dalam masjid. mereka ditemani akhwat kelas tiga, Nisa dan Nida. Kadang terdengar canda mereka, ramai sekali. Sesekali anNaml terganggu juga dengan tawa mereka. Terlebih kak Izzat yang tidak menyukai kebisingan. Sampai2 merasa perlu untuk menegur meraka. Kak Izzat meminta mereka untuk mencari tempat lain utk syuro, meski sebelumnya Bani sempat ngasih usul,

“kak Izzat, biarin aja mereka tetep syuro disini. Nggak terlalu mengganggu, khan?”
“iya, lagipula masjid ini kan bukan punya kita, akh.”Hisyam menambahkan.


Tumben-tumbenan nih dua orang bocah ngasih usulan. Roman-romannya seperti sedang membela sesorang di dalam masjid. Jangan2 ada yg bikin betah di dalam masjid..astaghfirullah.. ane nggak boleh bersu’uzhan. Tapi, anehnya semenjak kak Izzat tiba, sepertinya Bani dan Hisyam saling diem-dieman layaknya sedang ”perang dingin”. Ada apa ya dengan mereka? Ahh.. sudahlah.

Hembusan angin kembali bertiup pelan, membawa udara sejuk yg membelai kami dengan cinta. Halaqah berjalan dengan nyaman. Kami tilawah bergantian, beberapa personil anNaml mengikuti tilawah sudaranya dengan membaca terjemahannya pelan-pelan, kadang tak terasa airmata menetes meresapi kandungan ayat-ayat-Nya yg begitu syahdu..malaikat rahmat selalu memeluk kami sepanjang dakwah yg kami jalani..

damai..

Lambaian daun pohon mangga yg berjatuhan karena tertiup angin sepoi-sepoi di halaman masjid menambah tenang dakwah ini. Aku, Refi, Bayu, Arvi, Darut, Arman, dan Patrick asik berdiskusi dengan kak Izzat. Hanya Bani dan Hisyam yg seolah tampak saling bermusuhan. Perang dingin kale. Aku tak mau ambil pusing. Paling-paling hanya karena masalah kecil yang wajar. Sebuah dinamika persahabatan.

Usai halaqah, kak Izzat membisikkan padaku tentang agendanya yang betul-betul di luar dugaan.
“ana jadi ketua pelaksana? Insya Allah akan ana usahakan sebaik mungkin, kak Izzat.”

Kamar Hisyam, malam hari dari hari yg sama. 21.04 BBWI
Aku tak mengerti ada apa dgn kondisi hatiku ini.
Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan sahabat karibku, Bani, hanya karena seorang akhwat yg belum tentu menjadi jodohku.


Aku merenung. namun bayangan wajah Nisa selalu saja melintas dalam pandangan imajinerku. Membawaku menerawang, andai ia bidadari untukku. Indahnya pacaran setelah pernikahan. Terbayang olehku, aku yg sedang berbaju koko, dengan jenggot tipisku ini, memegang tangan Nisa yg berjilbab rapi. Pasangan dakwah yg ideal. Pergi ke tatsqif rutin, atau ke toko buku, ke museum. Duh, indahya.. atau jika sepulang kerja, senyum manis Nisa menyambutku di pintu rumah mungil kami yg asri.

Sementara dua anak kecil, yg satu berbaju koko baru pulang mengaji, dan adik gembrotnya yg berjilbab mungil berlari menuju pelukanku. Anakku, generasi Rabbani. penerus perjuangan suci.. Hilang sudah semua lelah setelah seharian bekerja…

Kok jadi serius begini? Aku kan belum kerja! Lulusan sekolah masih satu setengah bulan lagi. Andai selepas sekolah ini aku langsung diterima kerja menjadi karyawan tetap. Ingin rasanya cepat2 kulamar dia. Uuh..pusing, apakah aku harus…mencoba bertahan sekuat hati.. layaknya karang yg dihempas sang ombak. Jalani hidup dalam buai belaka, serahkan cinta tulus di dalam takdir.
Tak ayal tingkah lakumu, buatku putus asa. Kadang akal sehat ini, tak cukup membendungnya….



Kamar Bani, malam yg sama. 21.04
Duh gimana nih. Inikah rasanya jatuh cinta? Inilah akibat tak pandai ghadhul bashar. Senyum Nisa dalam curi pandangku selalu terbersit dalam angan ini. Aku ingin serius. Andai sewaktu kuliah nanti aku diizinkan menikah oleh ayah, ingin rasanya cepat2 kulamar dia. Supaya nggak keduluan Hisyam.


Ah..malam ini sunyi sekali. Malam kehadiran cinta, sambut jiwa baru. Telah lama kutunggu hadirmu disini…namun hanya ruang semu, yang nampak padaku…meski sulit harus kudapatkan…
Ah, Hisyam. Maafya peristiwa pas liqo tadi…

Malam itu, Bani dan Hisyam masih bingung dgn gejolak hatinya. Masing-masing merasa sulit memejamkan mata untuk lelap. Terkadang Hisyam membuka tirai jendela kamarnya, memandang purnama yg tersenyum meledeknya. Atau Bani, yg sibuk mengotak-atik tabletnya, membaca ulang semua puisi cinta miliknya. Tempat tumpahan gejolak rasa. Ekspresi gelisah hatinya.
Malam itu Bani dan Hisyam tahajjud. Pasrah pada Sang Pemberi Cinta. Bersimpuh mereka. Keduanya berdoa agar tak pudar iman di dada. Agar tak hambar ukhuwah terasa. Masing-masing mendoakan saudaranya agar tetap dalam iman. Agar istiqamah dalam dakwah. Sampai tutup usia. Jangan sampai fitnah wanita menghancurkan bangunan dakwahy g selama ini indah terasa… doa mereka, lirih..
namun tetap saja gundah..

Ketika kedua aktivis dakwah itu sedang larut dalam munajat malamnya, tiba-tiba keduanya mendapat pesan singkat dari Tama,

Aww. “senyummu bg swdrmu adlh sedekah” akhi, KBR GEMBIRA!! 2x.. jam 13.30 syuro prdana aNaml sbg panitia prnikahn kak Izzat dgn Anisa Ratna Salsabilla yg tinggal 2bulan lagi. Dtunggu di basecamp on time. Sykrn jzklh. www.

Membaca pesan itu keduanya tersenyum, tenang. Kemudian tertidur lagi, hingga menjelang Subuh.
tenang dan lelap sekali…
Pagi-paginya!!
“Apa?!! Nisa Nikah sama Kak Izzat??!”

Melacak Jejak Islam di Tanah Papua

139079063872440514


DALAM sebuah kesempatan, saya pernah berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai antropologi masyarakat Papua. Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.


Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua. Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut amat mungkin disebabkan karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.


Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di daerah lain di Nusantara.


Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di daerah Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi dan merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.


Sejarah Awal Islamisasi di Papua
masjid papua 490x326 Melacak Jejak Islam di Tanah Papua
Masjid Patimburak (rezailham.heck.in)
Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.


Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk agama Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke Papua.
Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah fakta bahwa karena pengaruh Islam yang tidak signifikan di Papua itulah, pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah bersentuhan dengan Islam.


Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail. Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.


Mengutip wawancara dengan keturunan Raja Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua dengan membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.


Jika penuturan ini benar, maka penyebaran Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV, hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.


Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hidayatullah, dan seterusnya.
1390790930221327924
Fadlan Garamatan, Keturunan Raja Patipi, Papua (negeritimur.com)
Peninggalan Islam di Papua
Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan Papua sepi dari peninggalan Islam.



Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak yang sudah berusia ratusan tahun.


Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos.


Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Iskandar Syah.


Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya. Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren. Tentu saja hal ini mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah papua itu akan terhambat.


Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal setempat. 

Wallahu a’lam. []

source: http://www.islampos.com/melacak-jejak-islam-di-tanah-papua-95203/

“Nabi Baru” Bernama Jokowi




Seumpama lembaga hukum, Joko Widodo adalah personifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengkritiknya adalah cela, memberitakan sisi negatifnya adalah hina. Jika rekan-rekan mencoba untuk mengkritik Jokowi di sosial media, rekan-rekan harus menyiapkan mental terlebih dahulu untuk menerima serangan dari para Jokowi Lovers. Bahkan, sekadar memberikan saran kepada Jokowi pun, anda akan mendapatkan jawaban: “saran seperti itu pasti sudah dipikirkan oleh Pak Jokowi”.


Demikianlah kecintaan masyarakat kita terhadap Jokowi, begitu lubernya. Entah benar-benar masyarakat entah akun-akun buatan tim media milik Jokowi sendiri, saya tidak tahu dan tidak berkepentingan untuk memverifikasinya. Namun saya punya pengalaman menarik, sewaktu acara “Buka Puasa Bersama Presiden” di Gedung SME Tower dalam rangka Hari Anak Nasional Bulan Ramadhan lalu. Waktu itu anak-anak SMA mengelu-elukan Jokowi melebihi para menteri anggota Kabinet IndonesiaBersatu. Setidaknya pengalaman itu membuktikan bahwa kecintaan massa terhadap Jokowi adalah realitas yang harus kita pahami, dan hal itu benar-benar eksis di masyarakat. Tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Lazim dan sah

.
Ramalan Leluhur Nusantara tentang Jokowi
Entah kapan awalnya, sosok Jokowi kemudian diasosiasikan sebagai personal yang mewakili ramalan para leluhur Nusantara berabad-abad silam. Jika kita menelisik kearifan lokal raja-raja Jawa dalam ramalan mereka menjelang masa-masa keruntuhannya, kita akan melihat sebuah kesamaan mengenai akan munculnya seorang Satria yang menjadi Ratu Adil, meski disebutkan dengan nama berbeda.

Ratu Adil tersebut disebut oleh Jayabaya dengan nama “Puta Batara Indra”, sementara Prabu Siliwangi menamainya sebagai “Budak Angon” , Ronggowarsito menyebutnya dengan gelaran “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu”. Semua nama tersebut senafas dengan ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong ketika berselisih dengan Prabu Brawijaya.

Dalam Serat Darmagandhul dikisahkan ucapan-ucapan penting Sabdo Palon dalam sebuah pertemuan antara dirinya dengan Sunan Kalijaga dan Prabu Brawijaya di Blambangan yang kini bernama Banyuwangi. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina guna memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada waktu itulah, Punakawan Sabdo Palon kecewa dan menyatakan perpisahannya dengan sang Raja yang telah diasuhnya selama ini karena perbedaan agama. Dalam kesempatan itu Sabdo Palon sempat menyampaikan pandangan batinnya mengenai tanah jawa di masa depan, terutama Mengenai munculnya seorang satria yang kemudian menjadi  mitos di Nusantara dengan nama “Satrio Piningit”.

Saya tidak ingin membedah ramalan tersebut terlalu jauh. Saya hanya menghargai sebuah naskah kuna Nusantara yang mengisahkan sebuah nasihat berisi kekecewaan seorang guru spiritual raja yang akhirnya memutuskan berpisah karena sang raja memeluk agama baru yang menurutnya “kearab-araban”. Dalam naskah tersebut  Sabdo Palon membuka rahasia kepada sang Raja bahwa  dirinya telah berusia 2000 tahun. Selain sebagai orang yang tidak suka dengan ramal-ramalan, sebagai seorang yang cukup rasional, terus terang saya sulit menerima usia “2000 tahun” itu.

Ramalan mengenai Ratu Adil yang “njawani” itu kemudian diasosiasikan sebagai Joko Widodo. Raja dari kampung yang akan memerintah Nusantara menuju kejayaannya kembali. Saya tidak tahu persis apa indikator-indikator sehingga asosiasi tersebut muncul. Namun saya lebih menangkap hal tersebut sebagai sebuah “hysteria massa”. Masyarakat kita sudah terlalu jenuh dengan pemimpin-pemimpin yang formalis, normatif, teroritis, penuh dengan tata aturan protokoler, yang memerintah di balik meja kantor namun jarang turun ke lapangan. Jokowi mengisi dahaga massa itu, dan media massa menggorengnya.


Teori Kultivasi
Masyarakat kita adalah masyarakat media. Apa yang diberitakan media dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Saya harap rekan-rekan masih ingat bagaimana masyarakat ramai-ramai mendatangi Ponari, dukun cilik dari jawa itu untuk berobat. Bagi saya fenomena itu adalah akibat dari pemberitaan media yang massivemengenai kesaktian batu ajaib produk dari sambaran petir itu. Kasus “kolor ijo” yang suka memperkosa gadis-gadis  untuk memperoleh kesaktian, adalah fenomena lain lagi. Waktu itu, ibu-ibu tetangga rumah minta izin untuk mengambil bambu kuning di halaman rumah saya, ketika saya tanya untuk apa, untuk menhindari kolor ijo, katanya. Saya terkejut dan menyadari betapa pengaruh media begitu memengaruhi mindsetmasyarakat kita.

Dalam teori media massa, fenomena ini masuk ke dalam Teori Kulvitasi (Cultivation Theory), sebuah teori yang pertama kali dikenalkan oleh George Gerbner ketika ia menjadi dekan di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat. Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violence profile”, Journal of Communication, tahun 60-an. Gerbner mempelajari pengaruh menonton televisi dalam kehidupan masyarakat. Teori ini mendeksripsikan bahwa media menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupan sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah “realita”. Persis sekali dengan cara sebagian masyarakat Indonesia berinteraksi dengan berita-berita di televisi.

Pun demikian dengan Jokowi, pemberitaan di media secara massive tentang Jokowi yang nyaris tanpa cacat, menghasilkan sebuah ‘histeria massa’ dimana masyarakat mengelu-elukan Jokowi secara berlebihan. Jokowi dianggap sebagai Satrio Piningit tanpa cacat, sosok sempurna, Hercules setangah dewa, bahkan pengulutusanya nyaris seperti “menabikan” Jokowi.

Pakar Psikologi Politik UI Hamdi Muluk mengkhawatirkan nama Gubernur DKI Joko Widodo yang merajai hasil survei karena tidak ada pesaing yang dapat menandingi mantan wali Kota Solo itu.

“Saya khawatir dengan fenomena ratu adil. Sepertinya Jokowi jadi manusia setengah dewa. Ini capres setengah dewa tidak sehat jangan terjebak dengan mitos ratu adil,”katanya.

Jangan terkejut Jika kita mengetik kata: “Nabi Jokowi”, pada search engine paling popular, Google, akan muncul 3,250,000 hasil dalam 0, 34 detik! Padahal prestasi Jokowi sejauh ini (mohon maaf jika kurang berkenan bagi beberapa pihak) juga belum terlalu signifikan. Macet dan banjir belum ada perubahan dibanding masa-masa ketika DKI dipimpin oleh Gubernur sebelumnya, bahkan sejujurnya: Cenderung meningkat.

Pengultusan Jokowi seumpama nabi bahkan cenderung menjadi tidak sehat ketika ada artikel-artikel di media online yang mengekritik Jokowi. Dalam banyak forum, komentar dari para Jokowi Lovers nampak sudah masuk dalam zona yang tidak lagi rasional. Kita mungkin dapat memahami fenomena ini sebagai sebentuk harapan masyarakat terhadap Jokowi, namun kita perlu juga fahami bahwa Jokowi adalah manusia biasa yang juga membutuhkan kritik dan saran, mengutip Dorce Gamalama, “tidak ada manusia yang sempurna, yang sempurna hanya Tuhan”

Menjadikan Jokowi seperti Nabi adalah hal yang berbahaya, selain bagi agama yang melarang kultus individu, juga berbahaya bagi iklim demokrasi kita. Karena demokrasi adalah sistem politik dimana kita diharuskan menerima ragam pendapat, menerima atau legawa jika pilihan kita tidak sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat lain. Saya khawatir, secara psikologis, kecintaan yang compulsiveterhadap Jokowi melahirkan “frustasi massa” seandainya manusia setengah dewa itu tak kunjung menjadi pemimpin di negeri ini, entah karena kendaraan politik yang tak kunjung merestuinya, atau ada momentum lain yang melahirkan tokoh alternatif selainnya

Salam hangat.
@mistersigit