Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Senin, 16 Juni 2014

Di Depan Pusara Murabbi




By: @mistersigit

Di bus malam ini, rasa kantuk menjalari seluruh penumpang. Nyaris seluruh penumpang bus Jakarta-Cirebon tampak lelap. Hanya satu dua yang terlihat memandang keluar jendela, sebagian lain sebentar terbangun untuk menarik resleting jaketnya tinggi-tinggi hingga menutupi leher, lalu kembali tidur. Suara pengamen yang lumayan merdu dengan iringan biola tua justru membuat penumpang semakin larut dalam kantuk, entah kurang perhitungan atau memang pengamen ini ikhlas mengantarkan para penumpang untuk tidur, yang jelas aku yakin lagu Camelia 3 itu membuat pendapatannya berkurang.


Pengamen itu terlihat kumal. Bibirnya hitam akibat asap rokok. Di kupingnya terlihat tiga buah tindikan besar berwarna warni. Ia mengenakan celana jeans robek dan sepatu kets yang tak kalah buruk. Penampilannya persis diriku lima belas tahun lalu, ketika baru lulus  SMP. Tanpa bermaksud menghakimi pengamen itu, aku dulu adalah anak brandal. Pekerjaanku adalah mengamen dengan paksa, meminta uang kepada penumpang sambil berteriak tanpa satu pun alat musik. Sebetulnya bukan mengamen, tapi memalak. Aku tahu suaraku tak mungkin menghibur. Aku tak segan menunggu untuk memaksa penumpang mengeluarkan uang sekedar seribu dua ribu dengan dalih solidaritas sosial dan kebersamaan. Aku bilang untuk makan, meski aku yakin mereka tahu bahwa uang itu aku habiskan untuk beli rokok dan  minum-minum dengan teman-tean sesama komplotan.


Mengingat hari-hari itu dan membandingkannya dengan kini, adalah hal yang selalu membuat aku ingin menangis. Kini bahkan di bus malam ini aku berbaju koko, di tasku ditempel logo One Day One juz, sebuah komunitas pembaca Qur’an yang sedang marak. Mushaf al-Quran selalu ada di dalam tas kemanapun aku melakukan perjalanan sebagai teman terbaik. Berbeda dengan dulu, dimana rambutku kumal, kulit kusut karena jarang mandi. Kemana-mana selalu membawa rokok. Hidupku sangat kacau dan tidak ada rasa tentram dalam hati. Bahkan tak jarang pada masa-masa itu, aku berharap kematian segera datang.


Sampai akhirnya tiba hari itu. Ketika Tuhan menunjukan kasih sayang-Nya melalui seorang ustadz muda yang membuat hatiku basah, dan membuka jalan hidupku hingga tenteram seperti sekarang. Ia yang selama lima tahun berikutnya menjadi guru ngajiku. Ia yang dengan sabar mengajariku membaca buku iqro meski aku terbata-bata.  Ia yang rela waktu demi waktunya aku sita untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku tentang Tuhan, terutama mempertanyakan keadilan-Nya untuk aku dan keluargaku.


Aku sedang duduk di halte bis pada pertemuan pertamaku dengannya saat itu. Waktu itu aku sudah kehabisan akal dan rasa lapar menusuk ke ulu hati. Aku nyaris mencuri ketika dari balik tikungan ia memberikan nasi kotak berisi rendang nasi padang. “Mas, maaf, nasi kotak ini boleh untuk mas. Kebetulan tadi saya dapat dari seminar.” Tuturnya dengan senyum lembut ketika itu. Bahasanya sopan. Air mukanya bersih dan penuh aura iman. Baju kokonya sudah tidak putih, tapi tetap terlihat bersih. Janggut tipis di ujung dagunya membuatnya terlihat kalem dan alim. Setelah mengucapkan terimakasih, aku makan dengan lahap dan ia duduk didekatku menunggu bis pulang. Disitulah untuk pertama kalinya aku merasakann hatiku gerimis dan dadaku bergetar.
***
Bang, partisipasinya bang...” suara pengamen menyadarkanku dari lamunan. Cepat-cepat aku rogoh selembar uang duaribuan untuknya, setelah mengucapkan terimakasih, pengamen itu menyusur ke kursI-kursi belakang. ia tidak seburuk aku dulu. 


Seorang perempuan yang sedang hamil naik di tengah perjalanan. Padahal hari sudah malam. Lelaki di ujung sana yang melihatnya segera bergeser memberi tempat. Perempuan itu duduk bahkan tanpa mengucapkan terimakasih. Mungkin sudah seharusnya.


Di luar sana, gelap menyelimuti bumi. Seiko KW di lenganku sudah menunjuk pukul sembilan malam lewat lima. Jalanan di luar nampak lengang. Aku memandang jauh keluar jendela, Papan reklame dengan cahaya yang terang memberontak malam yang kelam, menyilaukan mataku. 
***


Yang membuat hatiku gerimis sewaktu pertemuan pertama dengan lelaki yang kemudian aku panggil Ustadz itu adalah ketika ia menanyakan kabar keluargaku. Pertanyaannya itu membuat aku serta merta teringat ibu di kampung. Sekalipun hidupku hancur, Ibu bagiku tetaplah ibarat nyawa. Ia adalah harta satu-satunya yang aku punya. Ayahku sudah meninggal ketika aku kecil, dan aku satu-satunya pewaris keluarga. Pewaris kesusahan dan kemiskinan. Setiap ingat ibu aku selalu bergetar. Rasa sayang dan cintaku untuknya berderai-derai. Pakaian ibuku adalah kesusahan dan kemiskinan. Miskin dan keras sudah menyatu dalam hidupnya, menjadi nafas dan nyawanya. Ia yang berhutang kesana kemari untuk memberiku ongkos sekolah pagi hari. Ibu bagiku adalah dasar lautan terdalam. Sekalipun di dunia ini ada lautan yang paling dalam, cinta ibu kepadaku jauh lebih dalam.  Jika gunung tinggi menjulang, cinta ibu padaku lebih menjulang. Itulah kenapa sekalipun aku brengsek, selalu ibu yang mengerik punggungku ketika aku sakit dengan uang logam dan minyak tanah sampai aku tertidur. Tak sekali dua kali dalam momen seperti itu aku mendengar untaian doa dan harapannya ketika aku hendak lelap. “Gusti, berikan jalan pada anakku untuk mengenal agama...” doanya sederhana. Agar aku mengenal agama. Tiba-tiba mataku berlinang air mata...


Ibuku memang tak kenal agama terlalu baik. Hanya saja ia sangat hormat pada pak kyai dan selalu sholat lima waktu meski di kemudian hari aku tahu bacaannya berantakan. Tak masalah bagiku, karena kesusahan dan kemiskinan sudah cukup menjadi cara Tuhan untuk mencintainya. Dengan sabar yang dijalani ibu dalam kesusahan itu, Tuhan akan mencintainya..  
 
Pertanyaan Ustadz berwajah teduh itu menyentak hatiku, dan entah mengapa aku tiba-tiba ingin memperbaiki diri...


***
Sejak obrolan pertama itu lantas aku mulai tertarik untuk mengaji pada ustadz muda bernama Hisyam itu. Belajar mengeja mulai dari IQRO satu. Aku membaca a-ba-ta-tsa dengan tertatih, tapi kemajuanku cukup pesat. Sekalipun brandal, otakku memang cukup encer sejak kecil.

Aku mengaji setiap malam senin. Aku absen tidak ikut nongkrong di perempatan Cibinong hanya setiap malam senin. Malam-malam lainnya aku masih malak di dalam bis bis bersama teman-teman nongkrong. Masih merokok dan tak jarang minum-minuman keras.  Tertawa dan menggoda cewek-cewek lewat. Ustadz Hisyam tak pernah memaksa aku untuk berhenti. Ia hanya mengajari aku ngaji yang kemudian aku kenal dengan istilah halaqah. Pembinaan sepekan sekali itulah yang membuat hatiku lambat laun terwarnai oleh nilai-nilai Islam. Ustadz Hisyam bercerita bagaimana perjuangan Nabi ketika menyebarkan Islam, ketika memimpin perang, juga ketinggian akhlak beliau.


Ustadz muda itu juga berkisah tentang para shahabat ketika mendapatkan ujian, tak sedikit di antara mereka merupakan kaum miskin sepertiku. Amar bin Yassir dan bilal bin Rabah adalah dua nama yang paling kukenal. Tapi tentu paling menarik adalah Umar bin Khattab. Aku paling suka karena Shahabat Umar dikenal kuat dan tak punya rasa takut kepada musuh. Untuk seorang anak jalanan seperti aku, sifat Umar tentu sangat heroik.

Aku tak pernah bosan halaqah dengan ustadz hisyam. Ia mengajariku akhlak yang baik. Ngaji dengannya tak hanya ceramah, tapi sikap kesehariannya adalah Islam itu sendiri. Ia berasal dari keluarga sederhana, mungkin cenderung miskin dibanding para ustadz lainnya. Pernah suatu kali dalam sebuah demonstrasi di Monas, kaos ustadz hisyam adalah yang paling kumal di tengah ribuan pendemo yang mengenakan pakaian putih. Ia sederhana. Satu pagi ia mengayuh sepeda untuk sekedar memberitahu, “akhi, nanti jam setengah tujuh ada demo di Bundaran HI. Antum jangan tidak datang, ya.” Selepas itu ia kembali mengayuh sepeda ke rumahnya di kecamatan sebelah.  Ia tak pernah mengeluhkan kemiskinan sepertiku, ia katakan bahwa kekayaaan sebenarnya bukan  pada harta tapi ada pada hati.


“akhi, lapangkanlah hatimu. Lapang, selapang sabana. Sekalipun di sana ada gajah, harimau, jerapah, sabana itu akan tetap terlihat luas. Tetapi jika hatimu sempit, sesempit kamar-kamar tidur, jangankan gajah, seekor ayam akan membuatnya sempit. Luaskanlah hatimu. Luas, seluas samudera. Sebanyak apapun sampah masuk dari sungai-sungai di muara, ia akan tetap jernih. Tetapi jika hatimu sempit, sesempit air di dalam gelas, jangankan sampah dari sungai, setetes tinta dari pulpen akan membuatnya kotor. 


Masalah itu rupanya bukan di luar, tapi ada pada hati kita, di sini” katanya suatu kali seraya mendekapkan tangan ke dada.


Bagaimana mungkin aku tak hormat pada sosok ustadz sederhana dan ikhlash seperti itu? Untuk itulah malam ini, sebelum masuk Bulan Ramadhan, aku bertolak ke Cirebon, mengobati rindu tak tertahankan yang meluap-luap dalam dadaku. Sudah tak jumpa sepuluh tahun semenjak ia pindah dari Bogor ke Cirebon, ingin rasanya bersilaturrahim dan mengucapkan terimakasih karena membuka jalan bagi hidupku untuk lebh baik. 


Kini aku sudah mengenal agama jauh lebih baik, aku mempunyai dua kelompok binaan yang semuanya anak-anak jalanan. Dalam beberapa acara tatsqif aku kerap menggantikan narasumber yang berhalangan, juga mengisi acara-acara outbound dalam kapasitasku sebagai seorang kepanduan.
Malam semakin larut, aku mulai mengantuk..
***

Pagi ini aku terpaku...
Aku terpekur di samping sebuah pusara seorang ustadz yang sangat aku cintai.
Aku duduk menangis dan tak henti mengirim doa. Lisanku terus menerus mengirim doa untuknya..


Aku teringat ucapan lirih terakhir ustadz Hisyam pada halaqah perpisahan itu. “Akhi, do’akanlah ana dalam sujud-sujud antum, sebagaimana ana pun mendoakan antum dalam sujud-sujud ana..”


Aku paham bahwa rumus kehidupan hanya dua: meninggalkan atau ditinggalkan. Tapi aku merasa begitu berat untuk menerima kenyataan bahwa ustadz yang telah mengenalkan aku ke dalam dekapan hidayah telah kembali kepada-Nya, terbaring di balik tanah ini... semoga antum mendapatkan apa yang seharusnya antum dapatkan,ya ustadzunal kiram... Almahbuub..


Beberapa waktu lalu aku sempat merasa semangatku turun sama sekali. Bersamaan dengan semangat ikhwah lain yang juga turun. Aku sungguh khawatir menjadi orang-orang yang runtuh ketika yang lain tetap teguh. Menjadi bagian yang terkapar ketika yang lain berusaha tetap tegar.. Aku mengkhawatiri diriku termasuk ke dalam mereka yang berguguran di jalan dakwah..


Militansi  yang turun itu kemudian berakibat pada rendahnya intensitas kehadiranku dalam halaqah. Lama-lama aku mulai terlalu kritis bahkan curga pada setiap kebijakan qiyadah.. bahkan mungkin terlalu sinis.. aku merasa berada pada jalan yang benar dan satu-satunya yang objektif.. qiyadah sempat kupandang sebagai  bagian dari  kelompok yang naif.. 


Tapi aku teringat nasehat ustadz Hisyam untuk menengok hati, dan aku sadari sikap sinis dan lemahnya militansiku dalam dakwah adalah akibat dari lemahnya imanku... dari rendahnya qiyamullail yang kian jarang .. dari tilawah yang terus tergerus, dari dzikir yang tak lagi terukir.. dari sujud yang tak lagi syahdu...


Justru lemahnya iman yang membuat semangatku lemah, lalu lama-lama aku hanya menjadi pengamat dakwah.. tanpa kontribusi..


Pagi ini aku semakin sadari nasihat Murabbi yang terus menerus hidup di dalam hatiku..
Aku masih terduduk, membayangkan senyumnya ketika bergurau dalam halaqah..
Dan membayangkan airmatanya ketika memimpin doa rabithah..
Lalu aku menginsafi diri, atas kelemahan iman serta kontribusiku dalam dakwah..
..
(Bandara Hang Nadim, 14/06/14)
*cerita ini hanya fiksi* 

lihat juga di: http://www.dakwatuna.com/2014/07/26/55087/di-depan-pusara-murabbi/#axzz39P3coitl


Kamis, 05 Juni 2014

Hypercorrect Penulisan “In Sha Allah”




Mungkin agak ketinggalan ya, tapi saya gatal untuk menulis catatan ini karena belakangan ramai sebagian teman mengganti penulisan frasa "insya Allah" dengan "in sha Allah". Alasannya, 'insya Allah' dianggap berarti 'menciptakan Allah'. Mereka mengganti frasa tersebut karena membaca pesan viral di sosial media, baik facebook, whatsapp, blackberry messenger, twitter, dan lain-lain. Konon, pesan berantai itu berasal dari dr.Abdul Karim Naik,
da'i terkenal asal India yg digadang-gadang merupakan pengganti kristolog moncer sedunia, almarhum Syaikh Ahmad Deedat.

Padahal, validitas bahwa pesan tersebut berasal dari dr.Zakir Naik pun perlu kita ragukan (sila lihat gambar). Dan perlu kita ketahui bahwa Penulisan lafadz  Ø¥ِÙ†ْ Ø´َاءَ اللّÙ‡ُ menjadi "in sha Allah" dalam bahasa Indonesia justru merupakan sebuah  Hypercorrect /hiperkorek. Bagaimana alurnya? mari kita urun rembug bersama.


What is hypercorrect?

Hiperkorek dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia didefinisikan sbb:

hi·per·ko·rek /hiperkorék/ a bersifat menghendaki kerapian dan kesempurnaan yg sangat berlebihan sehingga hasilnya malah menjadi sebaliknya; (hiper sendiri artinya ‘berlebihan’). Hiperkorek bisa diartikan pula sebagai kesalahan berbahasa karena “membetulkan” bentuk yang sudah benar sehingga menjadi salah.

Sederhananya, hiperkorek adalah koreksi berlebihan alias membetulkan secara lebay.

Contoh, penulisan ‘surga’ yang lazim dan sudah benar, dianggap salah, kemudian diganti menjadi 'syurga' karena dikira berasal dari bahasa Arab. Padahal kata ‘surga’ berasal dari bahasa Sanskerta (svarga, स्वर्ग, ‘kayangan’) yakni suatu tempat di alam akhirat yang dipercaya oleh para penganut beberapa agama sebagai tempat berkumpulnya manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya (wikipedia).

Karena dikira berasal dari bahasa Arab, kata ‘Surga’ diganti menjadi ‘Syurga’ dengan asumsi berawalan huruf ‘syin’ (ﺵ) yang justru menjadi keliru karena 'Surga' dalam bahasa Arab disebut “jannah” (جنّØ©), jauh sekali dari kata ‘surga’

Demikian pula, kesalahan serupa terjadi pada penulisan frasa ‘insya Allah’ yang belakangan  “dibetulkan” menjadi ‘in sha Allah’.

Dalam  bahasa Arab, lafadz  Ø¥ِÙ†ْ Ø´َاءَ اللّÙ‡ُ  tersusun dari tiga kata:

“in, Syaa-a, Allah” terdiri dari (Ø¥ِÙ†ْ) yang artinya “Jika”, ( Ø´َاءَ ) yang artinya “Dia berkehendak”,  dan  Allah. Secara bebas tiga kata ini dapat kita terjemahkan menjadi “Jika Allah berkehendak”. Dimaksudkan bahwa segala rencana kita hanya akan terlaksana jika Allah menghendakinya, sebuah keyakinan totalitas bahwa Tuhan Maha Berkuasa di atas segala rencana manusia. Hal ini didasarkan pada sebuah ayat dalam al-Qur'an Surah al-Kahfi ayat 23:


“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ tanpa (dengan menyebut), ‘Insya Allah.’” [Al-Kahfi: 23].”


Namun Jika kata tersebut disambung menjadi ( Ø¥ِÙ†ْØ´َاءَ ) dengan nun dan syin menempel, maka  insyaa-a ia akan berarti “menciptakan, menjadikan,  atau menumbuhkan” (Lihat QS. al-an-'am: 141 "Dan Dialah yang MENCIPTAKAN surga..dst..", atau QS. al-Waqiah: 35, "Kami MENCIPTAKAN mereka [bidadari-bidadari]  dengan langsung..dst.") . Penggunaan model seperti ini bisa juga menimbulkan tone atau bunyi berbeda seperti Insya-Ullah atau InsyaUllah. Jika seperti ini, dikhawatirkan ada sebagian kalangan memaknai kata ‘Allah’ sebagai objek (maf’ul) yang diciptakan, padahal tentu saja tidak demikian, karena itu merupakan sebuah makna yang sangat keliru, dan kita berlindung kepada Allah atas makna demikian.


Dimana Hiperkoreknya?

Penulisan ‘insya Allah’ menjadi ‘in sha Allah’ justru menjadi keliru, karena dalam bahasa Indonesia, huruf ‘syin’ (ﺵ ) ditransliterasi ke dalam fonem 'sy' sedangkan fonem ‘sh’ adalah  transliterasi untuk huruf ‘shad’ (ص).  Sehingga jika kita menulis “in sha Allah” maka padanannya dalam bahasa Arab adalah ( إن صاء الله ) atau ( Ø¥Ù† ص الله ) yang justru tidak ada maknanya.

Hal ini berbeda dengan di Malaysia yang mengadopsi transliterasi dari bahasa Inggris dimana ‘syin’ (ﺵ ) di tulis dengan fonem ‘sh’. Orang-orang di London sana, yang suka makan kentang  itu, mereka mentransliterasi semua huruf ‘syin’ (ﺵ )  menjadi ‘Sh’, itu sebabnya kita melihat kata-kata yang tidak lazim kita baca di Indonesia seperti: Shukoor, Shuuraa, Shukran, dll., yang kita pahami dengan syukur, syura, syukran, dst. Apakah orang Indonesia yang menulis ‘in shaa Allah” akan secara konsisten menuliskan lafadz-lafadz yg tak familiar itu? Bagiamana dengan Shahadat, shamil? Maashaa Allah. :-)



Masalah Transliterasi
Yang perlu kita pahami adalah standar transliterasinya. Dalam banyak jurnal ilmiah keagamaan yang saya baca, penulisan Ø¥ِÙ†ْ Ø´َاءَ اللّÙ‡ُ  ke dalam bahasa Indonesia lazim ditulis dengan frasa “insya Allah” dan tidak ada masalah dengan itu sampai muncul broadcast  hiperkorek yang ‘mempersoalkan’ penulisan “insya Allah” tersebut.

Sekalipun tidak ada standar baku mengenai transliterasi huruf Arab ke huruf  latin berbahasa Indonesia (setidaknya sejauh ini saya belum menemukan bentuk bakunya), bisa dipastikan hampir tidak pernah ada penggunaan fonem ‘sh’ untuk mewakili ‘syin’ (ﺵ )  dari bahasa Arab.

Karena tidak ada bentuk baku inilah, dalam penulisan karya-karya ilmiah, baik skripsi, tesis, disertasi atau pun jurnal-jurnal ilmiah keislaman, mudah kita dapati pedoman transliterasi di halaman muka. Tapi hampir pasti tidak ada satu pun jurnal ilmiah berbahasa Indonesia yang mengalihtuliskan huruf syin (ﺵ) dengan fonem ‘sh’,  kecuali Jurnal Islamia yang memang awal diisi oleh penulis-penulis binaan Syed M.Naquib al-Attas asal Malaysia. Penulisan huruf syin (ﺵ )  menjadi ‘sh’ dalam frasa “in sha Allah” justru menimbulkan confused seolah-olah tulisan arabnya adalah إن صاء الله  yang tidak ada maknanya itu. Belakangan UIN Jakarta memang menggunakan fonem 'sh' untuk huruf (ﺵ ) tetapi itu pun dengan alasan tak sama dengan broadcast yang banyak beredar itu.

Penulisan frasa ‘insya Allah’ sudah lazim di Indonesia dan tulisan tersebut lazim kita dapati pada buku-buku terbitan Kementerian Agama, maupun buku keislaman lain, seperti Tarjamah Tafsiriyah versi Ust.Muhammad Thalib, dan tulisan karya asatidz lain di Indonesia. Tentu saja beliau-beliau para penulis dan penerjemah itu bukan orang yang awam mengenai hal ini.

Demikian pula jika rekan-rekan menulis kata “insya Allah”  pada situs www.kbbi.web.id, maka penjelasan yang muncul adalah expression that is used to express the hope or promise that is not necessarily fulfilled (meaning 'God willing',) atau ungkapan yg digunakan untuk menyatakan harapan atau janji yg belum tentu dipenuhi (maknanya “jika Allah mengizinkan”). Tapi jika kita mengetik “Insha Allah/in Shaa Allah/ atau in syaa Allah” dengan memisahkan ‘in’ dan ‘syaa’ maka tidak akan ada penjelasan yang didapatkan, alias not found.

Untuk penulisan “in syaa Allah”, Jika ingin mengoreksi agar benar-benar tepat, maka penulisan “in syaa Allah” sendiri sebetulnya masih kurang tepat. Harusnya jika memang “benar-benar ingin benar” maka transliterasinya adalah “in syaa-a Allaah”, atau "in syaa' Allaah" dan ketika menulis “Masya Allah”  maka yang lebih tepat adalah “maasyaa-a Allaah” atau "maasyaa' Allaah", dst.

Menurut analisis saya (pake gaya Sentilun), tidak ada masalah untuk menulis "insya Allah/insya Allaah/in sya Allah" maupun “in syaa Allaah” karena semuanya tetap merujuk kepada kalimah  Ø¥ِÙ†ْ Ø´َاءَ اللّÙ‡ُ  dalam bahasa Arab. Ini hanya berada pada zona transliterasi atau penyesuaian fonem saja. Akan menjadi keliru kemudian jika kita menuliskannya dalam bahasa Arab dengan merubah tulisannya,  atau  bicara dalam bahasa Arab dengan merubah tone-nya.

Bagi mereka yang tinggal di Indonesia, frasa “insya Allah” sudah lazim dan sama sekali tidak dimaksudkan sekaligus tidak  pula diartikan dengan “menciptakan Allah”, karena tulisan tersebut hanya transliterasi yang memiliki keterbatasan dengan fonem bahasa Asal. Tidak merubah huruf asli dan tidak pula merubah bunyinya, hanya mengalihtuliskan kata dari  bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia dimana fonemnya tidak seluruhnya sama. Persis sebagaimana penulisan Aisyah yang tidak perlu ditulis menjadi “‘Aa-isyah”, atau “ibnu Khattab” menjadi “ibn Khaththaab”, atau Abdurrahman Wahid menjadi ‘Abd al-Raḫmȃn Wȃhid.  Itu hanya pilihan transliterasi.

Transliterasi sendiri di banyak jurnal ilmiah seringkali menggunakan bantuan simbol yang dianggap lebih membantu, al-ḫamd li Allȃhi Rabb al- ‘alamÈ‹n..

Dan tentu saja daqlam konteks yang sama, teman-teman di Malaysia atau di negara-negara barat tetap bisa menuliskannya dengan “in sha Allah”.

Wa Allȃhu a’lam
@mistersigit

GL ODOJ Behind the Scene

Siang ini, kali pertama saya shalat Jumat lagi di Masjid Istiqlal, pasca Grand launching One Day One Juz 4 Mei 2014  silam. Tak seperti biasanya,entah mengapa pada kesempatan Jumat itu saya tertarik utk melihat ke sekitar istiqlal. Padahal jika tak libur kantor, saya rutinJumatan di masjid terbesar se Asia Tenggara itu. Siang itu saya ingin sekali menikmati Istiqlal: melihat ke lorong2nya yang jauh,  melihat hamparan bata merah di luar ruang utama, melihat pilar-pilarnya, menatap tribun2nya, melihat orang2 yg bergegas menuju ruang shalat, dan seterusnya. Saya tak tahu disebut apa namanya: ada sensasi yang tdk bisa saya gambarkan dengan melihat objek2 tsb.

Yang saya ingat, lewat tengah malam dua pekan lalu, di hamparan bata merah yang luas itu puluhan teman dari tim konsumsi sedang menyambung2kan tali pembatas. Dini hari itu saya masih melihat mereka berjibaku bekerjasama membentangkan kain, mengikatnya dengan tali yang ditopang dengan kursi2 yang masih centang perenang, kadang kain itu layu, lalu di bentangkan lagi. Tanpa keluh. Di tengah gelap.

Juga yang saya tahu menjelang Shubuh pagi itu, tim dokumentasi masih sibuk menempelkan foto-foto ukuran besar utk dipasang sebagai Gallery Photo di tiang-tiang Istiqlal. Cantik nian. Acara kita jadi terlihat indah dan betul-betul berkonsep. Padahal, jam 23.00 sebelumnya, mereka masih keliling mencari studio2 print di Jakarta yang bisa mencetak massal dan bagus. Saya yakin mereka tidak tidur malam itu. Saya lihat betul menjelang tengah malam, wajah katim perkap nampak lelah melaporkan bahwa foto mungkin terpaksa tak bisa dicetak karena studio2 print sdh tutup.

Saya tahu, karena ia melaporkan itu ketika saya dan teman2 Tim Acara sedang prepare utkmeng-galidresik-i para Pembaca Deklarasi yang baru sempat dilakukan tengah malam. malam itu semua nampak sibuk. Sangat sibuk.

Tim kemanan jam tiga dini hari menangkap seorang pencuri yang tampangnya "sangat ustadz", yang kalau kita berpapasan pasti kita ucapkan salam ihtiram dan mahabbah, atau mungkin akan memintanya mengisi kajian tatsqif karena lebat janggut dan hitam jidatnya selayak orang2yg akrab berpakaian gamis dengan beberapa kitab turats di tangannya. Nyatanya ia pencuri. Dont judge the book by its cover. Begitu kata orang2 seberang yang suka  makan kentang nun di sana.

Rekan2, menjelang Shalat Jumat itu, saya lihat koridor2 Istiqlal itu sekali lagi, lalu tiba-tiba ingin membuang nafas berat. Ada terlalu banyak hal yang ingin saya kenang. Seperti apa yang saya sampaikan pada techinal meeting sabtu sore,  H-1:  “kita ingin, 10 atau 20 tahun lagi.. kita membayangkan bahwa kita pernah terlibat dalam sebuah kepanitiaan untuk sebuah agenda yang sangat besar. Dihadiri puluhan ribu orang, disiarkan langung oleh stasiun televisi nasional, mendatangkan pejabat dan para artis, memecahkan rekor MURI, dan kita yang terlibat di dalamnya sebagai panitia adalah orang2 yg  tidak saling mengenal.” Rekan-rekan, 10  atau 20 tahun lagi. Bayangkan betapa indahnya masa-masa itu.


Yang terkadang membuat dada saya sesak adalah: bisa jadi pertemuan dengan panitia2 dari luar kota itu adalah pertemuan pertama, dan terakhir. Pertemuan yang disengaja karena  terlibat dalam sebuah project besar dimana meeting-nya  selama ini hanya dilakukan secara virtual di dunia Whatsapp.

Saya, yang dalam event2 selalu dikutuk sebagai seksi acara, punya rekan satu tim yang berasal Samarinda. Seorang guru tahsin tilawah, beliau yang menyeleksi semua qari’ pada acara Grand Launching tsb. Rekan2 di tim lain pasti punya relasi serupa. Panita dari daerah yang jauh dan baru pertama kali “bertemu darat” pada saat itu. Bertemu! Itu kuncinya. Bisakah kita bayangkan kapan akan ada lagi pertemuan dengan shahabat2 nun jauh itu di dunia ini? Kemarin kita bertemu karena adaevent yg menyengajakan kita utk hadir, dimana mereka menabung berminggu bahkan berbulan2 utk membeli tiket pesawat. Lalu karenanya kita bertemu. Lalu pertanyannya, akankah kita bertemu dengannya lagi?

Hati saya berdesir ketika mengingat perjalanan mereka yang begitu jauh, ada yang naik pesawat, kereta, kapal, bus antar provinsi, dan lain2.. lalu serta merta hati saya berdoa: jikalau ini adalah pertemuan pertama dan satu-satunya kesempatan kita bertemu..jikalau kita tak bertemu lagi di dunia ini, semoga kita dipertemukan-Nya disurga kelak. Di taman2 surga yang mengalir di bawahnya sungai2, dimana kita bercengkerama akrab karena ni’mat dari Allah yang tak putus2nya tersebab  kecintaan kita kepada al-Quran..


Sedangkan utk sementara di dunia, kita akan habiskan dengan kenangan, sampai kita bercucu dan menua entah hingga kapan.


Cerita Panjang

Pertemuan panitia secara formal pertama kali adalah di Masjid al-Ghiffari Bogor, saya  tidak ingat betul, tapi mungkin sekira enam bulan lalu. Saya tidak kenal siapa rekan2 tsb ketika kami dari tim acara memberikan 4 opsi konsep acara kepada teman2. Awalnya direncanakan agenda GL selama 2 hari dan diisi dengan Long March dari  Istiqlal ke Monas. Deklarasi di  taman Monas dengan melepaskan ribuan balon ke udara, dst, sebelum akhirnya dengan alasan keamanan disepakati acara hanya berlangsung 1 hari.

Karena satu hari itulah kemudian flow acara juga menyesuaikan.Alhamdulillah semua berjalan lancar dengan perubahan flow yang tdk terlalu berarti, plus overtiming yang masih bisa ditoleransi. Seperti EO Profesional saja. Mungkin kurang banyak yang tahu bahwa sesi “Talkshow Artis” yang bikin tim keamanan terpaksa mendorong peserta yg "bandel" itu, sebetulnya adalah acara dadakan yang tidak ada didalam flow :D, hanya memang seagai tim acara kami harus berfikir bahwa susunan acara harus berjalan selancar mungkin dan tak ada kekosongan pengisi acara. Alhamdulillah, Wakil Menteri Agama RI, Prof.Dr.H.Nasaruddin Umar Hadir, Ustadz Yusuf Mansur juga hadir setelah beberapa hari sebelumnya membuat dada deg2an. Para artis hadir, press conference lancar, deklarasi sesuai ekspektasi, liputan media banyak bahkan sampai ke harian Sabah di Turki, dan AFP. Terakhir rekan di Australia juga mengirim email ke saya utk keperluan membuat profil acara GL ODOJ. Semua berkat seluruh kerjasama panitia, peserta, dan tentu saja Takdir Allah.


Kekhawatiran itu Ada

Ada banyak kekhawatiran dalam event ini. Pertama, panitia diperintahkan utk tidak meminta sponsorship dengan pihak manapun. Bisa rekan2 bayangkan bagaimana sebuah event sebesar ini tidak dibiyai oleh sponsor, padahal tawaran utk sponsorship membanjiri inbox SMS dan email bahkan sampai hari H.  750juta tanpa sponsor! Crazy, kan? “Absurd”-nya, odojer menaruh trust ke panitia sampai merelakan utk mentransfer uang hingga terkumpul nyaris 1 Milyar! Apa namanya jika bukan karena keimanan? alhamdulillah Allah berikan kemudahan, sumbangan dari odojer melebihi kebutuhan anggaran.


Kekhawatiran berikutnya adalah jumlah peserta yang hadir. Bisakah rekor MURI pecah? Krn sebelumnya rekor serupa pernah diraih di Sumatera Selatan dengan peserta 22ribu orang.Alhamdulilah peserta lampaui target. Sampai malam menjelang hari H pendaftar sudah capai 28ribu, dan pagi harinya, peserta menyemut hingga tribun paling atas Masjid Istiqlal. Jembatan Juanda bahkan sempat stuck  karena antrian jamaah menuju istiqlal. Sopir taksi yg antar saya pulang sampai bilang: “tadi acara apa, mas? Belum pernahsaya lihat di Istiqlal ada acara seramai itu, sampe luber keluar2”. Semua karena Allah.


Saya kira kekhawatiran itu yang membuat saya tak kuasa menahan tangis dalam doa bersama seluruh panitia bada Shubuh pagi itu. Saya juga mendengar isak tangis Ketua Pelaksana Grand Launching ODOJ, akhuna Haidir. Kekhawatiran serupa tentang kelancaran acara, kekhawatiran tentang ketertiban, dan seterusnya. Tentu kita tak ingin acara ini diliput media karena ada kerusuhan, misalnya. sedangkan cita2 kita begitu mulia. membuat event yang menyadarkan umat utk kembali kpd Allah melalui al-Quran. kekhawatiran yang wajar ketika doa dan usaha sudah sedemikian maksimal.


Sejujurnya  saya merasa cukup beruntung pernah ikut training yang diisi langsung oleh seorang Motivator Nasional Tung Desem Waringin, dan—dalam kesempatan berbeda—oleh  Master ESQ Ary Gianjar Agustian, sehingga setiap kali berfikir tentang sulitnya mengonsep acara yang terus berubah, doktrin begawan motivator2 nasional itu selalu terngiang: “ya memang sulit. Lalu bagaimana caranya supaya bisa? Bagaimana caranya supaya bisa?”, doktrin ‘bagaimana caranya’ ini yang membuat saya beruntung karena setiap kali terdesak, saya selalu bertanya pada teman2 di tim acara, dan rekan2 saya yg hebat2 itu selalu berikan alternatif2 yg brilliant utk saya timbang2 dan putuskan. Gracias utk semua kru tim acara. Dan tentu Lebih dari itu, kepada semua tim yang isinya adalah orang2 hebat. Mercious!


Kekaguman

Satu malam saya pernah cerita ke istri tercinta, betapa saya mengagumi kehebatan rekan2 di Tim Konsumsi, Keamanan, Dokumentasi, Perlengkapan dan Trans-akomodasi, Danus, P3K, IT, Acara dst. Betapa semua profesional dan all out bekerja tanpa pamrih, menghabiskan waktu dan tenaga, fikiran dan uang, padahal sekali lagi – ini yang absurd—tidak saling kenal-mengenal. Apakah ini yg disebut dengan ta’liful quluub? Sungguh ingin aku katakan padamu: “Alangkah indahnya jika engkau pun merasakannya.”


Ketertiban pada pembagian konsumsi adalah satu hal  yang paling saya khawatirkan. Bahkan sedemikian concern kami pada pembagian konsumsi, mekanisme pembagiannya berubah terus menerus dari syuro ke syuro. Alokasi waktu pembagian makanan pun mendapat perhatian serius yang merubah flow acara bahkan sampai H-3.


Wakil ketua Tim Konsumsi merasakan hal serupa. Mungkin tidak sekhawatir saya. Ia bercerita bagaimana ketika sesi pembagian makanan barusaja dimulai, para wartawan sudah menyiapkan tripod dan mengarahkan kamera2 ke posko2 konsumsi. Menunggu ‘badnews’ nampaknya. Meliput Kerusuhan pembagian konsumsi dengan peserta 50ribu orang di dalam masjid is a ‘goodnews’, right? Alhamdulillah, sekalipun saya tidak melihat langsung karena harus membuka press conference di lantai bawah, pembagian konsumsi aman terkendali dengan pasukan pembagi konsumsi yang katanya galak2 :D


Saya pahami galak itu sebagai sebuah ketaatan atas perintah si boss team. Semua demi kelancaran acara yang penuh resiko dan punya potensi rusuh yang tinggi. Utk ketidakgaduhan atas pembagian konsumsi bagi lebih dari 30ribu nasi box itu, rasanya kita perlu angkat topi pada tim konsumsi, dan tentu saja, tim keamanan. Yang tidak punya topi boleh angkat ketek. :-)


Thanks utk semua panitia. xie xie anak2 film Kembali Pada-Mu yang sampe nginep2 di kontrakan utk ngejar syuting kedua. Arigatou Gozaimatsu utk Katim Danus yang siapkan pempek spesial utk saya selama dua hari karena tahu saya tidak suka makan nasi. Saya tak bisa bayangkan jika saya tak berenergi sama sekali hari itu sementara saya bertanggungjawab utk keseluruhan flow acara. Syukran utk semua panitia atas semua kerjasama kita. Spesial utk teman2 Tim Acara, antum semua adalah orang2hebat. Mohon maaf utk siapapun yang pernah kena semprot. Kita berharap semoga keseriusan yang dibalut dengan canda akrab ini mengantar kita utk kopdar di alam keabadian kelak. Di surga nanti. Dimana kita bercengkerama di taman2nya yang penuh kenikmatan. Saling sapa dalam kebahagiaan di atas kebahagiaan. Aamiin ya Rabb..


@mistersigit




Menanti Koalisi Partai-Partai Islam

Sampai tadi pagi di bus jemputan kantor, saya masih melihat hasil quick count sejumlah lembaga survei terhadap raihan suara partai-partai peserta Pemilu. Hasilnya memang mengejutkan. Saya jadi teringat ucapan politisi PAN, Drajat Wibowo, ketika diwawancarai presenter TVOne, kemarin sore. Ekonom yang sempat digadang-gadang menggantikan Gita Wirjawan sebagai Menteri Perdagangan itu mengatakan bahwa hasil quick count ini meluruskan dan membantah prediksi lembaga-lembaga survei yang menghambakan dirinya kepada uang. Memang jika kita melihat hasil survei yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei mendekati Pemilu, nampak survei tersebut sekadar dagelan dibungkus metode ilmiah. Lembaga survei kemudian berlindung dibalik data “sejumlah pemilih yang belum menentukan sikap” dan menjadikan kalimat tersebut sebagai justifikasi hasil quick countyang rupanya berbeda dengan survei elektabilitas partai yang sudah mepet menjelang masa tenang itu.

Fakta Menarik di Balik Pileg 2014

Golkar memang sulit dibendung. Akar politik Golkar sudah menjamah ke pelosok-pelosok desa. Pun  fanatisme masyarakat terhadap Golkar –dan pada beberapa hal terhadap Soeharto— Nampak sulit direduksi dan disalip partai lain. Sehingga bukan kejutan melihat Golkar bertengger di posisi dua. Banyak pihak sudah memprediksi itu. Sementara Hanura harus mengubur mimpinya memajukan Win-HT sebagai capres cawapres sekalipun sudah kampanye besar-besaran di media-media milik pengusaha Harry Tanoesoedibyo. Berbeda dengan Gerindra yang melejit ke posisi ketiga sebagai buah dari “kemenakjuban” PrabowoEffect.


Yang tak kalah mengejutkan adalah suara PDIP. Sebelum pemilu, sejumlah survei sempat menyebut elektabilitas partai moncong putih itu menembus 30 bahkan 35%. Jokowi effectyang dibesarkan oleh media rupanya tak terlalu signifikan. Artinya, seluruh partai harus mencari teman koalisi untuk memenuhi ambang presidential treshold 25% atauparliamentary threshold 20% sebagai syarat calonkan presiden.  Disinilah posisi partai-partai Islam yang memenuhi deretan partai papan tengah menemukan signifikansinya.

Peta Partai Islam

Raihan suara partai papan tengah yang relatif merata menjadi penentu peta koalisi pada pilpres mendatang. Versi quick count, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meraih suara mengagumkan dengan perolehan suara di atas 9%. Selain berhasil mengonsolidasikan basis suara tradisional Nahdhatul Ulama, strategi Muhaimin Iskandar, ketua Umum PKB mem-publish calon presiden dari kalangan public figure seperti Rhoma Irama, Jusuf Kalla, dan Mahfudh MD sebagai vote getter cukup jitu untuk mendongkrak suara PKB yang pada Pemilu lalu hanya memperoleh suara 4.9%. Ketiga tokoh itu memiliki basis massanya sendiri. Sebagian pengagum musisi Ahmad Dhani juga nampaknya terpengaruh untuk memberikan suaranya ke PKB setelah melihat pemillik Republic Cinta Manajemen itu beriklan untuk PKB. Hanya saja PKB harus berhati-hati, karena suara besar tak mesti berbanding lurus dengan perolehan kursi di parlemen. Suara PKB besar di Pulau Jawa yang Bilangan Pembagi Pemilih-nya lebih tinggi. Bisajadi, sekalipun bersuara besar, tapi raihan kursi PKB di parlemen lebih sedikit daripada PAN atau bahkan PKS. Hal ini tentu akan berfek pula pada bargaining position dalam peta koalisi. Harga kursi di pulau jawa memang “lebih mahal” daripada kursi dari Daerah Pemilihan (Dapil) lain.

Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga meraih kenaikan suara sekalipun tidak signifikan. Over all suara partai-partai Islam cukup baik pada Pemilu kali ini.  Yang cukup mencuri perhatian adalah suara Partai Keadilan Sejahtera. Versi quick count, PKS bertengger pada posisi 6.5% menurut data Lingkaran Survei Indonesia, atau 7% versi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), jika margin of error dari survei dengan metode multistage random sampling itu sebesar 1%, maka suara PKS akan berkisar antara 5,5 hingga 8 %. Sebuah pertahanan yang mengagumkan disaat pemberitaan mengenai PKS begitu negatif di media massa. (lihat rilis survei Pol-Tracking Institute berjudul “Prediksi Elektabilitas Partai pada Pemilu 2014: Mengukur Pengaruh Pencapresan Jokowi dan Tone Pemberitaan 15 Media Mainstream pada Masa Kampanye”.

Raihan suara PKS ini mematahkan pandangan (atau keinginan?) sejumlah pengamat yang menyebut riwayat PKS akan berakhir di bawah 3%, sekaligus membuktikan  bahwa mesin partai dakwah tersebut bekerja dengan sangat efektif. Di tengah terpaan badai sedemikian rupa, bisa bertengger pada posisi 6-7%  untuk PKS saya kira termasuk prestasi yang luar biasa. Artinya, suara PKS hanya turun sedikit dari Pemilu 2009 yang meraih suara sebesar 7.8%. PKS sebetulnya “merugi” (dalam tanda kutip) karena Mahkamah Konstitusi meloloskan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai partai politik peserta pemilu 2014 pasca pakar hukum Yusril Ihza Mahendra mengajukan gugatan. Jika saja PBB tidak ikut Pemilu, maka basis massa PBB sebesar 1.39% kemungkinan besar akan melimpah ke PKS, mengingat irisan konstituen antara PBB dan PKS yang relatif dekat sebagai pewaris Masyumi. Massa PBB bagi PKS cukup berharga untuk menambah raihan suara mencapai 8% melampaui PAN.

Deretan partai-partai Islam, atau berbasis massa Islam sebagai papan tengah di atas, merupakan penentu bagi peta perpolitikan Indonesia, terutama menjelang koalisi menuju pilpres. Kekuatan partai Islam terletak pada bargaining  position-nya untuk menjadi pilihan bagi, setidaknya, tiga partai besar sebagai pasangan calon wakil presiden. Secara kasar kita tinggal mengira pasangan misalnya Jokowi-Hatta, Prabowo-HNW, ARB-Mahfudh, dan sejumlah skenario lain dimana tiga partai besar akan meminang partai-partai papan tengah untuk raup dukungan.


Koalisi Partai Islam ?

Tetapi peta politik akan menjadi sangat menarik, jika pada Pemilihan Presiden nanti partai-partai Islam ‘jual mahal’ dengan tidak berkoalisi dengan tiga partai pemenang. Partai-partai Islam bisa berkoalisi membentuk poros tengah jilid baru sebagai mana dulu dilakukan secara ciamik oleh Amien Rais, yang berhasil mengantarkan ketua PP Muhammadiyah itu sebagai ketua MPR, dan ketua PBNU, Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Partai-partai Islam dapat bergabung dalam sebuah ‘politik aliran’ yang  berbasis massa Islam. Politik aliran tidak dapat dibungkam sekalipun banyak pihak mengatakan doktrin Clifford Geertz era 50-an itu sudah tenggelam.

Fakta munculnya Kajian Politik Islam yang cukup ramai di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru, atau Deklarasi Capres Ummat Islam di Masjid Islamic Center, Sentul beberapa waktu lalu, atau menyebarnya pesan broadcast anti agama tertentu dan kampanye-kampanye yang menggunakan semangat dan simbol agama  adalah fakta bahwa politik aliran di Indonesia tak akan pernah mati. Tentu bukan bermaksud untuk menghidupkan kembali nuansa lama itu, tetapi untuk menunjukkan bahwa memang politik aliran itu masih eksis dan akan tetap ada.

Tentu akan menjadi sebuah tantangan dan dinamika politik yang sangat menarik, jika pimpinan partai-partai Islam rela meninggalkan egoismenya, untuk kemudian bersatu. Akumulasi dari raihan suara partai-partai Islam mencapai 29-32%, sebuah suara  yang lebih dari cukup untuk mengajukan capres alternatif, sekaligus menyulitkan hasrat capres dari tiga partai pemenang Pemilu lainnya yang galau mencari cawapres.

Masalah konsolidasi bersama di parlemen yang membutuhkan setidaknya 50% tambah satu suara tentu bisa dinegosiasikan menyusul.  ***