By: @mistersigit
Di bus malam ini,
rasa kantuk menjalari seluruh penumpang. Nyaris seluruh penumpang bus
Jakarta-Cirebon tampak lelap. Hanya satu dua yang terlihat memandang keluar jendela, sebagian lain sebentar terbangun untuk menarik
resleting jaketnya tinggi-tinggi hingga menutupi leher, lalu kembali tidur.
Suara pengamen yang lumayan merdu dengan iringan biola tua justru membuat
penumpang semakin larut dalam kantuk, entah kurang perhitungan atau memang
pengamen ini ikhlas mengantarkan para penumpang untuk tidur, yang jelas aku
yakin lagu Camelia 3 itu membuat pendapatannya berkurang.
Pengamen itu
terlihat kumal. Bibirnya hitam akibat asap rokok. Di kupingnya terlihat tiga
buah tindikan besar berwarna warni. Ia mengenakan celana jeans robek dan sepatu
kets yang tak kalah buruk. Penampilannya persis diriku lima belas tahun lalu,
ketika baru lulus SMP. Tanpa bermaksud menghakimi pengamen itu, aku dulu adalah anak brandal. Pekerjaanku adalah mengamen dengan paksa,
meminta uang kepada penumpang sambil berteriak tanpa satu pun alat musik. Sebetulnya
bukan mengamen, tapi memalak. Aku tahu suaraku tak mungkin menghibur. Aku tak segan menunggu untuk memaksa penumpang mengeluarkan uang
sekedar seribu dua ribu dengan dalih solidaritas sosial dan kebersamaan. Aku bilang untuk makan, meski
aku yakin mereka tahu bahwa uang itu aku habiskan untuk
beli rokok dan minum-minum dengan
teman-tean sesama komplotan.
Mengingat hari-hari
itu dan membandingkannya dengan kini, adalah hal yang selalu membuat aku ingin menangis. Kini bahkan di bus malam ini aku berbaju
koko, di tasku ditempel logo One Day One juz, sebuah komunitas pembaca Qur’an yang sedang marak. Mushaf
al-Quran selalu ada di dalam
tas kemanapun aku melakukan perjalanan sebagai teman terbaik. Berbeda dengan
dulu, dimana rambutku kumal, kulit kusut karena jarang mandi. Kemana-mana
selalu membawa rokok. Hidupku sangat kacau dan tidak ada rasa tentram dalam
hati. Bahkan tak jarang pada masa-masa itu, aku berharap kematian segera
datang.
Sampai akhirnya
tiba hari itu. Ketika Tuhan menunjukan kasih sayang-Nya melalui seorang
ustadz muda yang membuat hatiku basah, dan membuka jalan hidupku hingga
tenteram seperti sekarang. Ia yang selama lima tahun berikutnya menjadi guru
ngajiku. Ia yang dengan sabar mengajariku membaca buku iqro meski aku terbata-bata.
Ia yang rela waktu demi waktunya aku sita untuk menjawab semua
pertanyaan-pertanyaanku tentang Tuhan, terutama mempertanyakan keadilan-Nya untuk aku dan keluargaku.
Aku sedang duduk di
halte bis pada
pertemuan pertamaku dengannya saat
itu. Waktu itu aku sudah kehabisan akal dan rasa lapar
menusuk ke ulu hati. Aku nyaris mencuri ketika dari balik tikungan ia
memberikan nasi kotak berisi rendang nasi padang. “Mas, maaf, nasi kotak ini
boleh untuk mas. Kebetulan tadi saya dapat dari seminar.” Tuturnya dengan senyum lembut
ketika itu. Bahasanya sopan. Air mukanya bersih dan penuh aura iman. Baju
kokonya sudah tidak putih, tapi tetap terlihat bersih. Janggut tipis di ujung
dagunya membuatnya terlihat kalem
dan alim. Setelah mengucapkan terimakasih, aku makan
dengan lahap dan ia duduk didekatku menunggu bis pulang. Disitulah untuk
pertama kalinya aku merasakann hatiku gerimis dan dadaku bergetar.
***
“Bang, partisipasinya bang...” suara pengamen
menyadarkanku dari lamunan. Cepat-cepat aku rogoh selembar uang duaribuan untuknya,
setelah mengucapkan terimakasih, pengamen itu menyusur ke kursI-kursi belakang. ia tidak
seburuk aku dulu.
Seorang perempuan yang sedang hamil naik di tengah perjalanan. Padahal
hari sudah malam. Lelaki di ujung sana yang melihatnya segera bergeser memberi
tempat. Perempuan itu duduk bahkan tanpa mengucapkan terimakasih. Mungkin sudah
seharusnya.
Di luar sana, gelap menyelimuti bumi. Seiko KW di lenganku sudah menunjuk
pukul sembilan
malam lewat lima. Jalanan di luar nampak lengang. Aku memandang jauh keluar
jendela, Papan reklame dengan cahaya yang terang memberontak malam yang kelam,
menyilaukan mataku.
***
Yang membuat hatiku
gerimis sewaktu pertemuan pertama dengan lelaki yang kemudian aku panggil Ustadz itu adalah ketika
ia menanyakan kabar keluargaku. Pertanyaannya
itu membuat aku serta merta teringat ibu di kampung. Sekalipun
hidupku hancur, Ibu bagiku tetaplah
ibarat nyawa. Ia adalah harta satu-satunya yang aku punya.
Ayahku sudah meninggal ketika aku kecil, dan aku satu-satunya pewaris keluarga.
Pewaris kesusahan dan kemiskinan. Setiap ingat ibu aku selalu bergetar. Rasa
sayang dan cintaku untuknya berderai-derai. Pakaian ibuku adalah kesusahan dan kemiskinan.
Miskin dan keras sudah menyatu dalam hidupnya, menjadi nafas dan nyawanya. Ia
yang berhutang kesana kemari untuk memberiku ongkos sekolah pagi hari. Ibu
bagiku adalah dasar lautan terdalam. Sekalipun di dunia ini ada lautan yang paling dalam,
cinta ibu kepadaku jauh lebih dalam. Jika gunung tinggi
menjulang, cinta ibu padaku lebih menjulang. Itulah kenapa sekalipun aku
brengsek, selalu ibu yang mengerik punggungku ketika aku sakit dengan uang logam dan
minyak tanah sampai aku tertidur. Tak sekali dua kali dalam momen seperti itu
aku mendengar untaian doa dan harapannya ketika aku hendak lelap. “Gusti,
berikan jalan pada anakku untuk mengenal agama...” doanya sederhana. Agar aku
mengenal agama. Tiba-tiba mataku berlinang air mata...
Ibuku memang tak kenal agama
terlalu baik.
Hanya saja ia sangat hormat pada
pak kyai dan selalu sholat lima waktu meski di kemudian hari aku tahu
bacaannya berantakan. Tak masalah bagiku, karena kesusahan dan kemiskinan sudah
cukup menjadi cara Tuhan untuk mencintainya. Dengan sabar yang dijalani ibu
dalam kesusahan itu, Tuhan akan mencintainya..
Pertanyaan Ustadz berwajah teduh itu menyentak hatiku, dan entah mengapa
aku tiba-tiba ingin memperbaiki diri...
***
Sejak obrolan
pertama itu lantas aku mulai tertarik untuk mengaji pada ustadz muda bernama Hisyam itu. Belajar mengeja
mulai dari IQRO satu. Aku membaca a-ba-ta-tsa dengan tertatih, tapi
kemajuanku cukup pesat. Sekalipun brandal, otakku memang cukup encer sejak
kecil.
Aku mengaji setiap
malam senin. Aku absen tidak ikut nongkrong di perempatan Cibinong hanya setiap
malam senin. Malam-malam lainnya aku masih malak
di dalam bis bis bersama teman-teman nongkrong. Masih merokok dan tak jarang minum-minuman
keras. Tertawa dan menggoda cewek-cewek
lewat. Ustadz Hisyam tak pernah memaksa aku untuk berhenti. Ia hanya mengajari aku ngaji yang
kemudian aku kenal dengan istilah halaqah. Pembinaan sepekan sekali itulah yang
membuat hatiku lambat laun terwarnai oleh nilai-nilai Islam. Ustadz Hisyam bercerita
bagaimana perjuangan Nabi ketika menyebarkan Islam, ketika memimpin perang, juga ketinggian akhlak
beliau.
Ustadz muda itu juga berkisah tentang para shahabat ketika mendapatkan ujian, tak sedikit di antara mereka
merupakan kaum miskin sepertiku. Amar bin Yassir dan bilal bin Rabah adalah dua nama yang
paling kukenal. Tapi tentu paling menarik adalah Umar bin Khattab. Aku paling
suka karena Shahabat Umar dikenal kuat dan tak punya rasa takut kepada musuh.
Untuk seorang anak jalanan seperti aku, sifat Umar tentu sangat heroik.
Aku tak pernah
bosan halaqah dengan ustadz hisyam. Ia mengajariku akhlak yang baik. Ngaji
dengannya tak hanya ceramah, tapi
sikap kesehariannya adalah Islam itu sendiri. Ia berasal
dari keluarga sederhana, mungkin cenderung miskin dibanding para ustadz lainnya.
Pernah suatu kali dalam sebuah demonstrasi di Monas, kaos ustadz hisyam adalah yang paling kumal
di tengah ribuan pendemo yang mengenakan pakaian putih. Ia sederhana. Satu pagi ia mengayuh
sepeda untuk sekedar memberitahu, “akhi, nanti jam setengah tujuh ada demo di
Bundaran HI. Antum jangan tidak datang, ya.” Selepas itu ia kembali mengayuh
sepeda ke
rumahnya di kecamatan sebelah. Ia tak
pernah mengeluhkan kemiskinan sepertiku, ia katakan bahwa kekayaaan sebenarnya
bukan pada harta tapi ada pada hati.
“akhi, lapangkanlah
hatimu. Lapang, selapang sabana.
Sekalipun di sana ada gajah, harimau, jerapah, sabana itu
akan tetap terlihat luas. Tetapi jika hatimu sempit,
sesempit kamar-kamar tidur, jangankan gajah, seekor ayam akan membuatnya
sempit. Luaskanlah hatimu. Luas, seluas samudera.
Sebanyak apapun
sampah masuk dari sungai-sungai di muara, ia akan tetap jernih. Tetapi jika hatimu sempit,
sesempit air di dalam gelas, jangankan sampah dari sungai, setetes tinta dari pulpen akan membuatnya kotor.
Masalah itu rupanya
bukan di luar, tapi ada pada hati kita, di sini” katanya suatu kali seraya
mendekapkan tangan ke dada.
Bagaimana mungkin
aku tak hormat pada sosok ustadz sederhana dan ikhlash seperti itu? Untuk
itulah malam ini, sebelum masuk
Bulan Ramadhan, aku bertolak ke Cirebon, mengobati rindu
tak tertahankan yang meluap-luap dalam dadaku. Sudah tak jumpa sepuluh tahun semenjak ia
pindah dari Bogor ke Cirebon, ingin rasanya bersilaturrahim dan mengucapkan
terimakasih karena membuka jalan bagi hidupku untuk lebh baik.
Kini aku sudah mengenal agama jauh
lebih baik, aku mempunyai dua kelompok binaan yang semuanya anak-anak jalanan.
Dalam beberapa acara tatsqif aku kerap menggantikan narasumber yang berhalangan,
juga mengisi acara-acara outbound dalam kapasitasku sebagai seorang kepanduan.
Malam semakin
larut, aku mulai mengantuk..
***
Pagi ini aku
terpaku...
Aku terpekur di samping sebuah pusara seorang ustadz yang sangat aku cintai.
Aku duduk menangis
dan tak henti mengirim doa. Lisanku
terus menerus mengirim doa untuknya..
Aku teringat ucapan lirih terakhir ustadz Hisyam pada halaqah perpisahan
itu. “Akhi, do’akanlah ana dalam sujud-sujud antum, sebagaimana ana pun
mendoakan antum dalam sujud-sujud ana..”
Aku paham bahwa rumus kehidupan hanya dua: meninggalkan atau
ditinggalkan. Tapi aku merasa begitu berat untuk menerima kenyataan bahwa
ustadz yang telah mengenalkan aku ke dalam dekapan hidayah telah kembali
kepada-Nya, terbaring di balik tanah ini... semoga
antum mendapatkan apa yang seharusnya antum dapatkan,ya ustadzunal kiram...
Almahbuub..
Beberapa waktu lalu aku sempat merasa semangatku turun sama sekali.
Bersamaan dengan semangat ikhwah lain yang juga turun. Aku sungguh khawatir
menjadi orang-orang yang runtuh ketika yang lain tetap teguh. Menjadi bagian
yang terkapar ketika yang lain berusaha tetap tegar.. Aku mengkhawatiri diriku
termasuk ke dalam mereka yang berguguran di jalan dakwah..
Militansi yang turun itu kemudian
berakibat pada rendahnya intensitas kehadiranku dalam halaqah. Lama-lama aku
mulai terlalu kritis bahkan curga pada setiap kebijakan qiyadah.. bahkan
mungkin terlalu sinis.. aku merasa berada pada jalan yang benar dan
satu-satunya yang objektif.. qiyadah sempat kupandang sebagai bagian dari
kelompok yang naif..
Tapi aku teringat nasehat ustadz Hisyam untuk menengok hati, dan aku
sadari sikap sinis dan lemahnya militansiku dalam dakwah adalah akibat dari
lemahnya imanku... dari rendahnya qiyamullail yang kian jarang .. dari tilawah
yang terus tergerus, dari dzikir yang tak lagi terukir.. dari sujud yang tak
lagi syahdu...
Justru lemahnya iman yang membuat semangatku lemah, lalu lama-lama aku
hanya menjadi pengamat dakwah.. tanpa kontribusi..
Pagi ini aku semakin sadari nasihat Murabbi yang terus menerus hidup di
dalam hatiku..
Aku masih terduduk, membayangkan senyumnya ketika bergurau dalam
halaqah..
Dan membayangkan airmatanya ketika memimpin doa rabithah..
Lalu aku menginsafi diri, atas kelemahan iman serta kontribusiku dalam
dakwah..
..
(Bandara Hang Nadim, 14/06/14)
*cerita ini hanya fiksi*
lihat juga di: http://www.dakwatuna.com/2014/07/26/55087/di-depan-pusara-murabbi/#axzz39P3coitl
*cerita ini hanya fiksi*
lihat juga di: http://www.dakwatuna.com/2014/07/26/55087/di-depan-pusara-murabbi/#axzz39P3coitl