Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Kamis, 21 Agustus 2014

Musik Islami, Masihkah Relevan?




DESEMBER  2013 silam, Kementerin Agama menggelar Festival Qasidah di Balikpapan, Festival musik islami itu diharapkan dapat menumbuhkan kembali semangat kesenian Islam, khususnya musik Islami sebagai bagian tak terpisahkan dari dakwah Islam di Nusantara.

Menjadi sebuah pertanyaan menarik, seberapa relevankah genre musik beraliran islami ini di tengah cengkeraman budaya pop? Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pegiat musik Islami, pada sebagian masyarakat kita, musik beraliran qasidah tidak jarang dianggap sebagai aliran musik yang ketinggalan zaman. Itu sebabnya event musik yang dilakukan oleh generasi muda, sangat jarang—untuk tidak mengatakan tidak ada— kita dapati penampilan musik qasidah. Aliran musik ini tenggelam di tengah ingar bingar musik pop Indonesia. Bahkan, di kalangan ‘anak-anak muda santri’ pun, qasidah sudah tertinggal oleh model musik semacam marawis yang lebih rancak dan dinamis.


Seni Islam, antara Originalitas dan Modernitas

Dalam sejarah Islam, diskursus mengenai musik telah menjadi perdebatan panjang, khususnya di kalangan fuqaha. Sementara di kalangan filosof dan sufi, musik justru menjadi salah satu media penting untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Para filosof yang mengembangkan musik sebagai bagian dari sains adalah Al-Farabi, yang sangat dikenal sebagai musikus muslim dengan karya monumentalnya berjudul Al-Musiq al-Kubra. Demikian juga Al-Kindi, Suhwawardi, dan masih banyak lagi. Bagi mereka di dalam musik terdapat penafsiran tentang dua aspek inheren dalam Wujud Tertinggi, yaitu Tuhan. Pertama adalah aspek keagungan (al-jalal) yang diterjemahkan ke dalam irama (rhythm), dan yang kedua adalah aspek keindahan (al-jamal) yang diterjemahkan ke dalam melodi (melody).

Jika Musik dimasukan dalam kategori urusan dunia, Islam sendiri sejatinya adalah agama yang bersikap positif terhadap dunia. Islam bukan agama eskepisme yang menolak segala hal yang berbau duniawi demi mementingkan kehidupan akhirat semata. Agama Islam memandang dunia sebagai anugerah Allah kepada manusia (QS Al-Baqarah:29), dunia bukan suatu yang buruk yang terbuang dari rahmat Allah. Dalam menghadapi dunia, ahli fiqih merumuskan kaidah populer “Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai terdapat dalil yang melarangnya”.

Nyanyian dalam perspektif Islam termasuk dalam kategori urusan dunia dan terhadapnya berlaku kaidah diatas. Itulah mengapa Yusuf al-Qaradhawy dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer-nya membolehkankan nyanyian. Menurutnya: “saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash shahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak shahih, atau shahih tetapi tidak sharih.”

Yusuf al-Qaradhawy tidak menolak bahwa secara natural manusia merupakan makhluk estetis yang menyukai seni. Pemenuhan terhadap rasa keindahan itu merupakan kebutuhan yang tidak dapat diingkari jika kita mengakui eksistensi manusia sebagai makhluk estetis.

Sejalan dengan semangat itu pula, seni islami kemudian membatasi dirinya sebagai sebuah identitas. Musik islami adalah sebuah jati diri yang khas dan berbeda dengan aliran musik yang lain. Identitas itu terutama terletak pada perspektifnya yang membimbing manusia ke arah konsep tauhid dan pengabadian diri kepada Allah. Seni dibentuk untuk melahirkan manusia yang beradab. Selain itu, seni juga dipandang sebagai satu proses pendidikan yang bersifat positif dan tidak lari daripada batas-batas syariat.

Itulah sebabnya dengan alasan serupa, sekalipun membolehkan nyanyian, Yusuf al-Qaradhawy memberikan tiga syarat yang ketat mengenai musik, yaitu: (1) Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam; Kemudian (2) mempertimbangkan Penampilan penyanyi; dan (3), tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas.

Kesenian semacam itu pula yang menjadi pattern dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara, terutama oleh Walisongo pada abad ke-15 Masehi, sebagaimana digambarkan oleh Amin Fattah (1994) dan Hariwijaya (2003) serta para penulis lain yang mengeksplorasi metode dakwah Walisongo melalui jalur kesenian islami. Sebuah metode dakwah yang mengakomodasi kebutuhan estetika manusia, namun tetap dalam koridor yang sesuai dengan etika dan logika Islam.

Dari situlah mengapa kemudian, sebagaimana ditunjukkan para peneliti, hampir semua wilayah geografis di sekitar pelabuhan besar pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Madura, memperlihatkan ekspresi religius maupun karakter sosial-politik yang searah dengan budaya dan estetika Islam.

Namun demikian, seiring dengan transformasi sosio-kultural masyarakat Indonesia yang kian modern, kemapanan seni budaya Islam yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sumber nilai dan normatika sosial masyarakat muslim Nusantara itu, masih kurang kekuatannya untuk bisa sekadar memikat ketertarikan para peminat musik.

Tentu saja harus ada sebuah penelitian lebih lanjut apakah benar dan mengapa aliran musik islami kalah peminat dibandingkan dengan musik-musik konvensional. Apakah disebabkan karena pegiat Musik Islami masih terkekang oleh paradigma bahwa genre musik tersebut hanya boleh tampil dalam acara-acara keagamaan, atau karena minimnya produser yang berminat untuk secara khusus memproduksi musik beraliran Islami.

 Perkembangan

Dilihat dari segi historis maupun ragam aliran, musik islami di Indonesia sebetulnya lebih maju dibanding negara lain. Sejak tahun 1970, grup legendaris Bimbo sudah memenuhi radio-radio di Nusantara. Ragam Musik islami dari ‘jalur’ berbeda kemudian menjamur dengan lahirnya grup-grup nasyid pada awal tahun 2000. Saat itu kita mengenal grup Nasyid Snada, The Fikr, atau Grup nasyid dari negeri jiran Raihan, sebagai alternatif musik yang cukup disukai di tengah derasnya aliran musik konvensional, bahkan dua stasiun televisi waktu itu sempat menggelar ajang pencarian bakat khusus untuk genre nasyid ini.

Namun rupanya booming ini hanya berjalan sementara saja, lima tahun kemudian gaung itu meredup, digantikan oleh genre pop Islami, dimana grup band konvensional ramai-ramai merilis lagu religi terutama menjelang Ramadhan sebagai alternatif hiburan. Lagi-lagi, gaung band religi pun hanya berjalan sementara. Opick adalah satu nama yang masih eksis hingga sekarang, bahkan bisa disebut satu-satunya.

Di tengah fluktuasi aliran musik islami itu, qasidah memang tetap bertahan. Aliran musik ini tidak fluktuatif, namun ironisnya, qasidah tetap bertahan di tangga terbawah. Kita tidak pernah mendengar ada lagu qasidah yang berhasil meraih album platinum, misalnya. Sementara itu aliran marawis akrab di tengah generasi muda, namun sangat segmented: kalangan santri.

Kita berharap, eksistensi musik Islami di blantika musik tanah air tidak redup. Sebagaimana ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyebaran dakwah Islam di Nusantara, musik Islami harus tetap lestari sebagai alternatif hiburan yang meneduhkan di tengah ingar bingar genre musik tanah air yang sangat dinamis. []

Dimuat juga di :

http://www.islampos.com/musik-islami-masihkah-relevan-129734/

Berkenalan dengan Komunitas #IndonesiaTanpaJIL

Ramadhan kemarin, saya bersama teman-teman dari Komunitas One Day One Juz (ODOJ) berkesempatan silaturahim dalam agenda Buka Puasa Bersama dengan Komunitas #IndonesiaTanpaJIL (ITJ), sebuah komunitas yang concern pada penyelamatan umat dari kerusakan pemikiran yang dibawa oleh Jaringan Islam Liberal (JIL), demikian mereka mengidentitaskan dirinya.


Awalnya saya iseng-iseng mention akun @malakmalakmal, boss ITJ, agar kedua organisasi ini sesekali ngadain bukber. Maksud saya, supaya dua komunitas yang sedang digandrungi anak-anak muda ini bersinergi untuk membangun sebuah gerakan ‘bersama membangun bangsa’ (lho koq jadi iklan semen?). Tentu akan menjadi sebuah kekuatan dahsyat jika ODOJ yang concern pada kampanye ‘dekatan diri pada al-Quran’, bersinergi dengan ITJ yang concern pada penyelamatan akidah.
Rupanya gayung bersambut. Dan, Buka Bersama yang dikonsep dalam format diskusi pemikiran Islam itu berlangsung lancar jaya dan aman terkendali. Dihadiri sekitar 100 orang anak-anak ODOJ dan ITJ nan tampan rupawan dan berkarisma. Tema yang diambil pun sengaja dibuat relevan untuk kedua komunitas, “al-Quran, Solusi atas Problematika Pemikiran Islam”, tema yang tepat untuk ODOJ maupun ITJ. Dalam kesempatan itu oleh panitia, saya ‘dikerjain’ menjadi pembicara bersama kang Akmal Syafril, pemililik akun @malakmalakmal.


Sebagai alumni Jurusan Filsafat di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta, kajian pemikiran Islam bagi saya merupakan tema yang menarik. Gelombang apa yang di kalangan aktivis dakwah disebut sebagai Ghazwul Fikri (perang pemikiran) telah saya rasakan sejak menghirup udara OPSPEK di Kampus Islam terbesar di Indonesia itu. Konon UIN terkenal karena kenyelenehan pemikiran yang –terutama—dicetuskan oleh mahasiswa-mahasiswa Ushuluddin (sederhananya, Ushuluddin = theology). Dan saya merasa “beruntung” pernah diasuh oleh dosen-dosen yang terkenal liberalitas-pemikirannya itu, semisal Prof.Kautsar Azhari Noor (satu dari sedikit tokoh pemercaya wahdatul wujud di Indonesia, bisa digali dari disertasinya yg membedah konsep wahdatul wujud ibn ‘Araby), atau Dr.Zainun Kamal, seorang pemikir bebas, dll.


Karena itu pula, sejak kuliah saya sedikit akrab dengan buku-buku pemikiran Islam yang di rak buku rumah berjejer segambreng. Mulai dari filsafat Yunani hingga filsafat Islam. Mulai dari Socrates hingga  Ar-Razy. Mulai filsafat murni hingga filsafat politik. Mulai dari  ilmu kalam hingga tasawuf. Dan sekadar info, –ini bagian penting dari keseluruhan tulisan ini– buku-buku itu dirawat dengan apik oleh tangan lembut nan halus oleh bidadari cantik bermata indah yang selalu bikin jombeloh-jombeloh resah gelisah entah sampai kapan B-)


Berkesempatan membedah problematika pemikiran Islam dengan seorang founder IndonesiaTanpaJIL tentu akan menjadi pengalaman menarik, karena ITJ bagi saya: keren. Disebut ‘Keren’ karena selama ini counter opinion terhadap pemikiran-pemikiran JIL  umumnya hanya berkutat pada tataran akademis, tidak menyentuh ranah gerakan. Counter terhadap jurnal dan diskusi anak-anak JIL biasanya dibalas juga dengan jurnal dan diskusi-diskusi ilmiah dari kalangan aktivis-aktivis dakwah, fair. Hal ini cukup untuk menjadi bahan pustaka bagi kalangan yang selama ini memang concern pada pemikiran Islam. Tulisan berbalas tulisan, jurnal atau majalah berbalas jurnal dan majalah, misalnya Syir’ah vis a vis Islamia, diskusi berbalas diskusi. Itu cukup menjadi tesa dan antitesa untuk lahirkan paradigma yang konklusinya dikembalikan kepada sidang Jumat, eh sidang pembaca.

1407941244672725790
ITJ berupaya membendung arus kebebasan berfikir ala JIL


Tetapi untuk mereka yang awam terhadap dialektika pemikiran Islam, perlawanan terhadap ide-ide JIL tidak cukup berhenti di ranah itu. Perlu ada gerakan yang secara massif menyadarkan umat tentang bahaya pemikiran JIL. Ruang ini yang masih kosong, dan “Akmal Syafril and associates” (<-- halah kayak kantor lawyer) mengisi kekosongan tersebut. Ini yang membedakan antara mereka yang berkutat pada ranah intelektual an sich, dengan mereka yang bergerak pada ranah gerakan.

Dalam obrolan itu saya menjadi faham, mengapa misalnya, bahasa yang kerap digunakan oleh teman-teman ITJ dalam meng-counter liberalisme pemikiran Islam adalah bahasa sederhana  yang mudah dipahami masyarakat awam. Padahal biasanya, kajian-kajian pemikiran Islam selalu sarat dengan ‘bahasa-bahasa langit’ yang tak familiar di telinga masyarakat luas. Bahasa langit yang dimaksud adalah istilah-istilah yang menjadi sarapan pagi anak-anak pemikiran, seperti epistemology, ontology, transcendent, post modernisme, post tradisionalisme, oksidentalisme, bibliolatri, diabolisme, esoterisme, dan bergambreng-gambreng istilah langit yang mirip nama-nama ilmiah tetumbuhan a la Carolus Linnaeus yang kita pelajari waktu SD itu. :D


Gerakan seperti ITJ diperlukan untuk menyederhanakan istilah langit tadi  ke dalam bahasa bumi. Sehingga masyarakat bisa memahami kekeliruan JIL tanpa perlu mengerutkan kening seperti ketika membaca tulisan intelektual muda INSIST di jurnal Islamia, yang selama ini juga aktif meng-counter gagasan sesat JIL dengan tulisan-tulisan akademis yang –mengutip Prof.Nasaruddin Umar– advanced.


Untuk diketahui, predikat sesat atas gagasan-gagasan JIL di atas berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai paham pluralisme Agama, sekularisme, dan liberalisme. Saya percaya pada Ulama, jika anda tidak,  mari saling hormati.


Vis a Vis Jaringan Islam Liberal

Dalam obrolan ringan sebelum presentasi, Akmal Syafril mengatakan bahwa kritik terhadap JIL tak hanya dari segi pemikiran, tapi dari juga dari kurangnya kepedulian JIL pada aspek sosial. Sangat jarang kita mendengar JIL misalnya,–untuk tidak mengatakan tidak pernah– mengadakan kegiatan sosial bagi masyarakat seperti sering dilakukan oleh kelompok-kelompok dakwah. Padahal, lanjut Akmal, rata-rata aktivis JIL adalah orang berada. Mari sama bertanya: kenapa?


Bisa saja sebetulnya, sebab JIL sejak awal memang hanya concern pada dimensi pemikiran Islam, sehingga tidak berfokus untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial seperti kelompok yg kerap mereka sebut sebagai ‘Islam literalis’ itu. Dan menariknya, justru dari sudut inilah ITJ membendung pemikiran JIL di tengah umat.


Selama ini, perkumpulan aktivis-aktivis dakwah semacam ITJ, seumpama Lembaga Dakwah Kampus, One Day One Juz, Peduli Jilbab, Forum Lingkar Pena, dll., akrab dengan kegiatan-kegiatan sosial sehingga lebih dekat kepada masyarakat, berbeda dengan JIL yang di mata masyarakat seperti menara gading. Indah, menarik, tapi tak terlalu berdayaguna. Mereka asyik masyuk mendiskusikan terma-terma asing yang sarat bahasa langit, dengan referensi buku filsafat nan tebal, siang dan malam, sementara umat duduk di pinggir jalan menunggu sumbangan makan berbuka. Mereka asyik dengan dunia intelektualnya, seperti filosof Rosseau yang asik berkontemplasi namun membunuh bayi-bayi di belakang rumah. Ibarat padang rumput dan bulan purnama: takkan pernah bertemu. Tidak membumi.


Tapi bagi saya itu semua tak masalah. JIL memang bukan komunitas yang ngebet pengen punya banyak anggota. JIL hanyalah ‘sekumpulan sangat sedikit orang’ yang memberikan ruang untuk berbeda pendapat bahkan pada hal-hal yang dianggap tabu dalam agama menjadi layak diperbincangkan. Semuanya bisa dibahas tajam, setajam silet.


Itulah mengapa kita paham, JIL tak membuka kantor cabang di daerah-daerah. Dan, JIL  bukan merupakan kumpulan dari orang-orang yang sepakat dalam semua hal. Ide Luthfie Asy-Syaukani misalnya, bisa saja berbeda dengan Ulil atau Abdul Moqseth Gazali. JIL bukan kelompok pemikir yang punya satu madzhab. Mereka hanya sepakat pada satu hal: bahwa perbedaan itu dibolehkan, dan manusia diberikan kebebasan untuk berpikir sejauh yang mereka mau, liberal.  “sejauh yang mereka mau” itu yang membedakannya dengan ITJ.


14079414141469462220
Hinaan tokoh JIL terhadap keyakinan keberagamaan orang lain

Sayangnya, aktivis-aktivis Islam liberal tak sepenuhnya liberal, dalam arti menghargai ragam keyakinan oang lain. Ulil Abshar buktinya, yang  dikenal sebagai tokoh Islam liberal paling moncer saat ini, pernah menghina wanita bercadar di twitter-nya dengan menyamakan wanita berhijab itu seumpama bungkusan kantung sampah (lihat gambar). Dari gambar itu, kita akan paham bahwa Ulil justru harus diajari bagaimana cara menghargai keragaman dalam berkeyakinan.


Atau catatan harian seorang Sandrina Malakiano, mantan presenter populer di Metro TV, yang menaruh kekecewaan kepada “para penganut Islam liberal” lantaran menyinggung keputusan istri pengamat politik Eep Saefullah Fatah itu untuk kenakan hijab. Waktu itu, menurut Sandrina, seorang yang dikenal liberalismenya dalam pemikiran Islam justru menyindir dengan sarkastik, “Semoga Sandrina kembali ke jalan yang benar”. Sampai kemudian presenter cerdas itu berkesimpulan, bahwa radikalisme tak hanya berada di balik kepala kalangan yang selama ini dicap sebagai kaum fundamentalis, tapi juga bisa hinggap di balik kepala mereka yang mengaku liberal.


Jaringan Islam Liberal juga senyap dari pembelaan terhadap isu-isu Islam. Ketika penggunaan jilbab di larang di sejumlah instansi di Bali misalnya, kita tidak dengar suara lantang para intelektual itu sebagaimana mereka membela Gereja, atau membela  aliran-aliran yang dikategori sesat oleh MUI.
Sehingga, wajar jika kemudian muncul pandangan di tengah masyarakat Muslim bahwa JIL, sebetulnya bukan pembela Hak Asasi Manusia dalam beragama dan berkeyakinan seperti yang acap mereka klaim, tapi tak lebih dari sekelompok kaum Islamophobia. Phobia terhadap hal-hal yang berbau Islam: Ekonomi Syariah, jilbab, nasyid-nasyid modern, atau isu-isu dunia Islam, dll.
Bahkan Jaringan Islam Liberal, dari namanya sudah mengandung sebuah ‘contradictio interminis’ atau kontradiksi di dalam dirinya. Seorang Muslim yang belajar agama secara sahih tidak mungkin liberal, karena ia dipagari oleh norma-norma agama yang membatasi kehidupannya  dalam banyak hal.

Haruskah saling Menegasi?


Jangan salah kira, sekalipun dari namanya ITJ terkesan anti perbedaan—setidaknya dengan keinginan untuk membubarkan JIL—sebetulnya ITJ adalah kelompok  yang  mudah menerima ragam pemahaman. Mereka bisa berbeda dan menerima keragaman, juga kebebasan berfikir. Bahkan member ITJ sendiri punya latar belakang beragam-ragam, ITJ bukan komunitas dengan member yang homogen.


Hanya saja perlu dipahami, kebebasan yang dipahami ITJ adalah kebebasan berpikir yang dibatasi oleh, atau berada dalam pagar  norma agama: Tidak lagi membincangkan hal-hal yang sudah diatur keabsolutan kebenarannya oleh nash atau teks al-Quran maupun hadits Nabi. Misalnya mempertanyakan otentisitas al-Quran, memperdebatkan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi Terakhir, meragukan kehendak dan keadilan Tuhan, meragukan kredibilitas shahabat Nabi, dst., yang tabu bahkan cenderung merusak akidah kalangan yang awam terhadap agama.


Dan ITJ, atau Akmal khususnya, merasa terpanggil untuk menjaga umat dari hal tersebut. Bagian ini saya kira merupakan jawaban untuk catatan Pandji, presenter kondang Messake Bangsaku, atas program diskusi JIL versus ITJ di HardRock FM tahun lalu, tentang mengapa harus ada perbedaan yang saling menegasikan: Bahwa ITJ merasa terpanggil untuk menjaga akidah umat dari apa  yang dipahammi ITJ sebagai  kerusakan pemikiran Islam, semata karena kecintaannya kepada saudara-saudaranya sesama Muslim.


14079415421846906686
Indonesia tanpa JIL

Dalam beragama, memang terdapat kecenderungan bagi penganut agama untuk mengajak orang lain menuju jalan kesalehan sebagaimana yang ia imani. Sebab itulah muncul da’i-da’i dalam Islam, dan missionaris dalam iman kristiani. Dan lahirnya ITJ semata merupakan ekspressi dari hal itu, sekalipun tak lepas dari momentum isu “Indonesia tanpa FPI” yang digerakan oleh anak-anak JIL beberapa tahun lalu.


Lahirnya ITJ adalah ekspressi dari kecintaan kepada  ummat, agar tak terpengaruh oleh virus Islam liberal. Sama persis, sebagaimana di seberang mereka JIL juga mengajak manusia untuk menerima gagasan-gagasannya dan menolak paham yang bertentangan dengan prinsip JIL. Dalam alam demokrasi, dan saya sepakat dengan Pandji, semua boleh ada. Kita boleh  berbeda pendapat, dan  itu sah dalam perspektif demokrasi.


Tapi tentu saja, sebagai penganut agama Islam yang besar dalam tradisi Nahdhatul Ulama, saya menaruh keprihatinan yang serupa dengan rekan-rekan ITJ, bahwa Umat ini berada dalam bahaya jika terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang digagas rekan-rekan JIL.


Bisakah anda bayangkan jika umat Islam ini pelan-pelan menjadi seorang atheis, atau agnostic yang meragukan eksistensi Tuhannya? Atau meragukan bahwa Nabi Muhamad sebagai Nabi terakhir? Jika anda seorang liberalis tentu hal ini tak masalah. Agama adalah urusan personal-individual dimana tidak ada pihak luar yang berhak menghukumi keyakinan orang lain di luar dirinya. Iman adalah urusan masing-masing pribadi dengan Tuhan. Tapi agama tidak membiarkan itu. Agama mengajak orang lain untuk menempuh jalan menuju Tuhan sebagaimana diyakininya. Sebagai seorang ‘democrat religious’, penerimaan terhadap keragaman dalam berkeyakinan di batasi oleh doktrin-doktrin agama itu sendiri. Penghormatan terhadap nilai-nilai agama yang dipandang mapan merupakan hal yang final. Bahkan, seorang paling liberal sekalipun, tetap  menginginkan sesuatu negasi dari dunia ini: yaitu hal-hal yang mengganggu atau merusak liberalisme.


Sebagaimana kaum liberalis merasa nyaman andai tiap orang di dunia ini bisa seliberal dirinya (dalam arti menerima perbedaan dengan selapang-lapangnya sebagaimana ia yakini), maka demikian pula penganut agama yang mendasarkan hidupnya pada keyakinan agama, akan merasa nyaman jika orang lain selamat dan memahami agama secara shahih. Dalam arti, sekalipun terdapat keragaman dalam mengaktualisasikan agama, perbedaan hanya terjadi pada hal-hal yang dianggap cabang , atau dalam istilah agama disebut furu’iyyah, bukan pada doktrin inti agama.


Dan, tentu saja perlu difahami, kalangan seperti ITJ ini juga menaruh hormat pada keyakinan umat beragama lain, kepada Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, dst. Mereka hanya terganggu, dengan apa yang mereka nilai merupakan sebuah pembusukan Islam dari dalam, itulah mengapa mereka berkeinginan: Indonesia, tanpa JIL!



Rekan2 mari urun rembug, komentar spam atau sumpah serapah tak perlu dilayani,
karena sebetulnya, teko hanya mengeluarkan isi teko.

Twitter: @mistersigit
Wahai Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari liberalisme, sekularisme, dan pluralisme dalam beragama
Dan aku berlindung kepada-Mu dari ekstremisme dan sifat Jumud dalam memahami agama.
Aamiin..


diposting juga di :

http://www.bersamadakwah.com/2014/08/mengenal-komunitas-indonesiatanpajil.html

Selasa, 05 Agustus 2014

Kader PKS, Mari Belajar Bersama

1406853071903683822
Beranda Rumah (www.interiorminimalis.net)

Teman-teman kader PKS,  selepas  Ashar ini di beranda rumah, mari kita minum teh hangat sembari sharing dari hati ke hati. Semoga angin sepoi-sepoi nan lembut dan hamparan rumput di depan beranda mungil ini bisa menemani obrolan ringan kita. Saya ingin sedikit curhat, terutama tentang aktivitas kader-kader PKS belakangan di dunia maya, yang tentu saja baik, namun pada beberapa hal nampak berlebihan.


Perjuangan kader PKS di Indonesia tentu baik. Dulu, melihat muslimah mengenakan jilbab sangatlah sulit. Di sekolah-sekolah, apalagi instansi pemerintah, jilbab menjadi hal yang tabu. Waktu itu di media massa bahkan wanita berhijab acap diilustrasi secara buruk. Saya masih ingat betul ketika masih SMP, bagaimana sebuah surat kabar nasional memuat ilustrasi pencurian di swalayan dengan gambar wanita berjilbab dengan tudingan kain penutup aurat itu adalah sarana utk sembunyikan hasil kutilan jajanan supermarket. Atau, ilustrasi nonsense lainnya dimana tampak seorang ibu yang mengenakan jilbab sedang menyusui anaknya, namun dengan dada terbuka. Belum lagi tudingan aliran sesat dan seterusnya. Saya, ‘diusiaku yang 29th my age’ ini (huft!) masih merasakan ujung dari perjuangan perempuan-perempuan itu utk diberi kebebasan mengenakan hijab di ijazah SMP dan SMA: kakak angkatan saya masih membukanya lantaran represifitas pemerintah terhadap selembar kain penutup aurat itu.  Bayangkan, demikian sulitnya sekadar untuk tunaikan perintah agama.


Dan adalah kader PKS, antara lain almarhumah Yoyoh Yusroh (semoga Allah menempatkan beliau pada tempat terindah di sisi-Nya) bersama rekan-rekannya seperti Wirianingsih, dan kader-kader gerakan tarbiyah (cikal bakal PKS) lainnya yang berdarah-darah memperjuangkan kebebasan agar wanita muslimah dibebaskan untuk menutup aurat, sebab ia panggilan agama. Utk keyakinan ini, mari kita abaikan celotehan anak-anak Islam liberal yang selalu nyinyir anggap jilbab sebagai tradisi Arab. Kita katakan, “Tradisi Arab itu tari perut, bung! Aurat terbuka bebas kemana-mana.” Justru ketika turun kewajiban berjilbab sebagai perintah Tuhan, wanita-wanita Arab yang bertaqwa bergegas menutup kepalanya meski harus kenakan tirai yang masih menggantung.


Kini, perjuangan untuk mengenakan hijab telah menemukan buahnya. Mata kita haru dan basah ketika pemerintah akhirnya membolehkan jilbab digunakan di instansi-instansi plat merah, juga dibolehkannya foto berjilbab pada ijazah sekolah-sekolah menengah. Sekarang sangatlah mudah menemukan wanita berjilbab di mana-mana, mulai instansi pemerintah hingga perbankan, dari buruh-buruh pabrik garmen hingga anak-anak pra sekolah, mulai tukang jamu gendong hingga eksekutif muda di perusahaan multinasional, semua kenakan jilbab. Malah kini kondisinya berbalik, jika rekan-rekan berkunjung ke kementerian atau lembaga-lembaga milik Negara, lalu menemukan wanita tak berjilbab, hati tergelitik bertanya: “apakah Anda Muslimah?”


14068532071830683899
Jilbab (republika.co.id)


Walhamdulillah, dakwah dengan cara mulia telah menikmati hasilnya. Kisah kolosal wanita-wanita itu dalam memperjuangkan penggunaan jilbab di masa orde baru bisa kita baca dalam buku Revolusi Jilbab, Karya Alwi Alatas, atau dalam buku Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan 


Pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Kita akan dapati perjuangan para senior tersebut memerlukan waktu yang tak singkat. Tidak seumpama mie instan yang bisa dinikmati segera setelah dimasak. Semoga menjadi amal shalih dalam hamparan keikhlasan bagi mereka-mereka yang berjuang berpeluh keringat untuk generasi baru yang kini sangat mudah kenakan jilbab dengan aneka modelnya yang penuh warna.


Selain itu…
Selain Jilbab misalnya, teman-temanku kader PKS, isu Palestina kini hangat dibicarakan dimana-mana. Pak SBY di website dan Fan Page-nya (gaul ya presiden kita) juga menulis surat terbuka berlembar-lembar untuk isu Palestina ini. Bahkan kemarin, sebuah acara infotainment turut pula menayangkan profil syuhada Palestina, termasuk tokoh legendaris al-Syaikh Ahmad Yassin. Luar biasa! Kini Televisi dan media cetak ramai-ramai menulisan kata “Pejuang” untuk Mujahidin Palestina, sebuah konotasi positif karena senyatanya mereka memang berjuang membebaskan negaranya, seumpama leluhur kita kala melawan penjajahan bule-bule Belanda itu.


Padahal dulu, media massa nampak berat menggunakan kata “Pejuang”, umumnya mereka hanya menulis ‘militan’ Palestina, dll. Bahkan, untuk tanah Islam lain di sudut-sudut bumi ini, media massa kerap menulisnya: “Pemberontak Chechnya,” “Pemberontak Moro”, “Pemberontak Kashmir”, dll. Kata pemberontak dalam konteks tadi tentu saja, mengutip Adian Husaini dalam bukunya Penyesatan Opini, hanya tepat jika media massa tersebut satu perspektif dengan Penjajah. Seumpama Belanda menyebut pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Indonesia dengan sebutan “Pemberontak”.


Di Indonesia, terutama era Orde Baru, yang concern pada isu Palestina ini hanya kelompok Islam, hanya saja kampanyenya tak terlalu massif. Dulu ada KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) yang dimotori alm.Ahmad Sumargono, yang kemudian menjadi politisi Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam perkembangannya, yang lebih massif mengampanyekan isu Palestina ini adalah kader-kader PKS. Kampanye kader-kader PKS di berbagai media online termasuk sosial media, juga Aksi Demonstrasi sekaligus penggalangan dana yang dilakukan PKS secara kontinyu berhasil menyedot perhatian media massa. Beberapa kali masuk sebagai editorial media Indonesia yang dibedah di Metro Pagi.


Bagaimana tidak, Anda bisa bayangkan sebuah long march ratusan ribu massa dari Monas-Bundaran HI-Monas, memenuhi dua jalur utama jalan MH.Thamrin, dimana kepala long march itu sudah balik lagi ke Monas namun ekornya masih ada di titik start.


14068533301493651784
Massa PKS dalam solidaritas Palestina


Untuk rekan-rekan yang berberat hati menerima fakta tentang peran PKS terhadap isu Palestina ini, saya bertanya: “apakah di Indonesia ini Anda menemukan ada organisasi yang peduli terhadap Palestina sebesar PKS?” jika Anda tak temukan, Anda serupa dengan seorang penceramah di Masjid kementerian Agama RI tahun lalu yang mengatakan, “tidak ada unjuk rasa yang bisa memenuhi jalan MH.Thamrin, kecuali jika PKS sedang demo solidaritas Palestina.” Anda juga sama dengan teman kuliah saya yang kini jadi pengamat politik di Charta Politika, dalam kolomnya di Harian Tempo, medio 2006 silam, bahwa ada kaitan antara PKS dan Masa Depan Palestina.


Sekarang Jokowi juga peduli terhadap Palestina, dan tentu secara otomatis media-media pendukungnya lakukan hal serupa. Selepas Pilpres kemarin, anak-anak Islam liberal yang kerap nyinyir terhadap aksi-aksi peduli Palestina kini lebih soft. Siapapun yang nyinyir terhadap tragedi kemanusiaan di Palestina kini tak akan punya teman, baik di Jokowi, apalagi di kubu Prabowo.
Walhamdulillah, dakwah telah menemukan jalannya. Padahal dulu aksi-aksi Solidaritas PKS untuk Palestina dicibir sebagian orang, untuk apa urusi negara orang? katanya. Tapi PKS bergeming. Tak hirau apapun yg dikatakan mereka yang usil. Dan kini ia telah menemukan buahnya, semua peduli Palestina. Dakwah memang perlu dilakukan dengan baik dan sabar. Sememangnya, sekali lagi, jalan dakwah bukan mie instan yang segera bisa dinikmati selepas diseduh. Sebagaimana antum, rekan-rekan PKS ketahui, ia adalah jalan yang thawil (panjang) wa lakin ashil (tetapi terjaga keasliannya).


Hal lain, belum lagi jika bicara tentang alternatif musik Islami serupa nasyid yang banyak diboomingkan oleh ‘anak-anak tarbiyah’, tren fashion dan aplikasi Islami, konsep-konsep ekonomi syariah, tren ruqyah syar’iyah, hingga lembaga-lembaga filantropi/kemanusiaan yang banyak dimotori oleh aktivis-aktivis gerakan Tarbiyah. Semoga tak ada yang berberat hati untuk menerima fakta tersebut.


Point saya adalah, betapa rekan-rekan dari Gerakan Dakwah Tarbiyah yang merupakan basis inti dari PKS, memiliki peran yang positif dalam lanskap sosial kemasyarakatan di Indonesia. Tentu saja, tanpa menafikan peran ormas-ormas Islam lain di Indonesia, terutama Nahdhatul Ulama (dimana saya merupakan bagian di dalamnya), dan Muhammadiyyah yang merupakan assabiquunal awwaluun di Nusantara, yang berperan  besar dalam kancah kemerdekaan negara kita. Tentu berlembar-lembar halaman tak cukup wakili kebaikan dua ormas tersebut.


Namun Kini Kader-Kader PKS…
Tadi itu yang baik-baiknya. Semoga rekan kader PKS tak berberat hati jika saya sampaikan pula sisi yang lain. Bulan nan elok, tentu tak cuma punya satu wajah. Ada sisi gelap dari bulan yang tak pernah kita lihat. Tak ada gading yang tak retak, semoga obrolan kita sore ini bisa menambal retak itu, memolesnya dengan baik hingga gading tetap indah dan kokoh. Sila diminum dulu teh manisnya sebelum dingin. Itu sudah dicampur gula zero kalori yang harganya agak mahal. Biar perut kita, terutama sebagai suami, ga gendut, kata istri saya :D


Belakangan ini, terutama di media massa, acapkali saya jumpai dua hal yang kerap membuat kening saya berkerut. Pertama adalah broadcast hoax, kedua adalah sumpah serapah.


Dan yang membuat kening saya tambah keriput sehingga kegantengan saya memudar adalah, sumpah serapah itu tak jarang dilakukan oleh kader-kader PKS, terutama untuk menyerang lawan politik. Hal ini diakui bukan saja oleh masyarakat umum, tapi juga oleh kader PKS itu sendiri. Pernah dalam satu kesempatan, saya bicara di grup whatsapp, “saya ingin buat tulisan yang mengkritik kader PKS”, dan rekan-rekan tahu komentar di bawah saya: “akhi Sigit, siap-siap antum di-bully >.<””, begitu katanya. (nampaknya untuk hal ini kita perlu 'wow' dulu, ya).


Jadi jika Anda berani mengkritik PKS, anda harus siap dengan konsekuensi di-bully oleh kader-kader PKS. Bahkan dalam Pilpres lalu, saya hanya bikin status facebook bahwa “Jokowi adalah orang baik” pun, saya dicacimaki. Seolah lawan PKS tak boleh dipuji. Jokowi haruslah orang jahat. Fenomena ini sama persis seumpama kita mengkritik Jokowi, kita harus siapkan mental untuk di-bully oleh anak-anak Jasmev. Jika untuk Jasmev saya pernah menulis “Nabi Baru Bernama Jokowi”, apakah untuk sebagian kader PKS itu layak kita menulis “Agama Baru Bernama PKS” ?


Tentu  tak sampai hati kita menuliskannya. Mengingat tak terhitung jumlah kader PKS nan ikhlas dan penuh sopan santun di pelosok-pelosok sana, yang mengajarkan al-Quran di Markaz-markaz, di pelosok-pelosok daerah, mengurus masjid dan mushalla, berletih-letih membina adik-adik di sekolah, mengajari  tahsin tilawah dengan tulus ikhlas, juga menjadi guru-guru Tahfidz Qur’an di seantero negeri kita bahkan tanpa digaji.


Akan tetapi sekalipun demikian (<--ini contoh kalimat tidak efektif :p ), fenomena pembelaan  kader dakwah terhadap partai bulan sabit kembar itu memang mulai nampak berlebihan, bahkan tak jarang nampak seperti membela agama. Mungkinkah ini hasil dari doktrin “al-hizb hual jamaah wal jamaah hiyal hizb?” yang secara keliru ditafsirkan dalam halaqah-halaqah pekanan kader PKS?


Tak sedikit, di antara kader PKS yang kemudian menjadikan sesuatu yang sebetulnya profan (tidak sakral) seolah  sakral. Seperti pembelaan terhadap qiyadah/pimpinan yang terlalu berlebihan, seakan qiyadah tak pernah salah, hatta pada hal-hal yang sebetulnya profan. Misalnya cara berpakaian pimpinan PKS, masalah cara bicara, hingga masalah jam tangan. Hal-hal semacam itu sebetulnya masalah profan, bukan hal yang sakral hingga tak boleh dikritik. Mbok ya dikritik sedikit jangan marah. Lakukan pembelaan boleh tapi jangan mengesankan seperti partai yang anti kritik. Sebagai partai yg dicitrakan bersih, adalah wajar jika masyarakat punya ekspektasi lebih kepada PKS ketimbang partai lainnya.

1406853942411821864
Massa PKS memenuhi Gelora Bung Karno

Ekspektasi masyarakat terhadap PKS memang sedemikian tinggi, sampai-sampai cara berpakaian pimpinan PKS pun menjadi sorotan. Misalnya, jam tangan presiden PKS yang konon berharga puluhan juta (sekarang sudah tak dipakai katanya), atau beberapa qiyadah yang ramai-ramai cukur janggut demi citra sebagai partai terbuka dan tidak ekslusif, juga cara berpakaian pimpinan PKS yang kini acap pakai setelan Jeans dengan paduan kemeja agak ketat. Persis karyawan perusahaan-perusahaan broker saham, forex-index dan komoditi nan eksekutif itu.


Bagi saya pribadi sebetulnya tak masalah. Bagi saya itu sekadar urusan selera. Jika ia mampu beli dan itu halal, why not? Saya melihat, Anis Matta ingin menampilkan Islam yang maju, berperadaban tinggi dan modern dengan mengenakan setelan pakaian yang  modis namun tetap sesuai syariat (menutup aurat). Persis jika kita membayangkan Singapura sebagai negara Muslim. Penduduknya modern, maju, berperadaban tinggi, namun Islami. Sehingga aktivis dakwah tak lagi dikesankan miskin, kumuh, atau kampungan. Nampaknya hal demikian ingin ditunjukan oleh Anis Matta. Sangat masuk akal.


Secara tak sengaja saya pernah bertemu Anis Matta di Garuda Executive lounge, Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Anis dengan Sekjen Taufik Ridha kala itu bersama rombongan yang merupakan keluarganya. Semuanya modis-modis. Yang akhwat mengenakan jilbab modern, simple, cerah, dan sangat menarik. (oopss). Intinya Islami tapi berkemajuan.


Namun tentu saja tak salah pula, jika sebagai partai dakwah, masyarakat punya ekspektasi agar PKS mencontohkan berpakaian yang sederhana. Dengan kemeja biasa dan bercelana bahan. Seperti pada masa Partai Keadilan, mungkin. Atau model-model seperti Hidayat Nurwahid yang kerap bercukur di pangkas rambut pinggir jalan, dengan kemeja biasa dan celana sederhana, atau Gubernur Ahmad Heryawan yang tak protokoler, atau mungkin seperti alm.Ustadz Rahmat Abdullah yang hadir ke Pelantikan Anggota DPR dengan Jas seharga 60ribuan. Toh dengan segala kesederhanaan beliau-beliau, penghormatan masyarakat kepada mereka tak terdegradasi, bahkan semakin naik. Hal yang berbeda  kepada Anis Matta, misalnya.


Intinya ada pada style. Bukan menuntut agar berpenampilan kumuh, tapi berpakaian sederhana nampaknya indah dilihat.


Fitnah itu Bernama Media Online dan Broadcast Messages
Wah, kepanjangan ya curhatnya. Semoga rekan-rekan kader PKS masih setia mendengar cerita saya. Sudah pukul 16.35, teh manis dengan gula zero kalori yang AGAK MAHAL itu sudah dingin, tinggal sedikit kue BBL (Bubuk Bubuk Lebaran). Tepatnya sekaleng besar biskuit Oreo tapi isinya lima potong rengginang, dan sekaleng Khong Guan dengan isi biji ketapang. Isi kaleng ini memang sebentuk penipuan terstruktur, massif dan sistematis. :p


Maklum, semua isinya sudah dihabisi oleh si kecil, apa daya tak mampu beli lagi. Aku mah apa atuh, hanya bubuk rengginang ditiup buyar. Dengan gaji lima koma, tiap tanggal lima nasibnya sudah koma. ?


Saat ini kita hidup di dunia online, di dunia post modern kata anak-anak filsafat. Hamparan dunia seperti dilipat-lipat. Kita bisa berinteraksi dengan orang nun di sana secara cepat, karena dunia sudah dalam genggaman. Kemajuan teknologi ini juga rupanya menjadi fitnah di lahan dakwah, terutama dalam mengampanyekan apa yang diyakini oleh kader-kader PKS sebagai sebuah kebaikan.


Sungguh tidak sedikit, kader PKS terlibat dalam penyebaran berita-berita hoax terutama berkaitan dengan isu politik dengan maksud menyerang lawan. Kader PKS nampak sangat offensif. Dalam konteks Pilpres kemarin, kader PKS menyerang Jokowi seolah Jokowi serupa Firaun yang harus dibinasakan. Isu konspirasi yahudi zionis di belakang Jokowi, antek mafia china, keturunan non Muslim, hingga isu jalaludin rahmat, gembong syiah Indonesia, akan diangkat menjadi Menteri Agama menyebar cepat tanpa kuasa dibendung. Isu konspirasi yang tak pernah bisa dibuktikan itu kemudian dijawab dengan apologi, “konspirasi memang tak mudah dibuktikan, ia akan terbukti, mungkin puluhan tahun ke depan. Waktu yang akan menjawabnya.”


Padahal dengan alasan serupa, tentu saja isu konspirasi tanpa bukti ini bisa menjadi liar dan dapat ditudingkan pada siapa saja, bahkan pada keberadaan PKS itu sendiri sebagai bagian dari konspirasi. Lalu jika kader PKS bertanya, jawabannya telah tersedia: “Konspirasi tak bisa dibuktikan, ia akan terbukti puluhan tahun lagi” bayangkan betapa mengerikannya alur berfikir seperti ini, dimana setiap elemen warga negara bisa saling tuding dengan alasan konspirasi, tanpa bukti!


Terkait isu jalaludin rahmat jadi Menteri Agama misalnya, apakah kader PKS tak mengetahui bahwa penetapan Menteri Agama itu sangat sensitif. Pemerintah, siapapun dia, tidak akan gegabah menempatkan tokoh yang tingkat resistensinya tinggi di masyarakat sebagai Menteri Agama. Hal ini demi menjaga kestabilan nasional. Jika ummat bergolak andaikata tokoh Syiah itu menjadi Menteri Agama, maka yang rugi  adalah pemerintah karena iklim investasi menjadi tak kondusif.


Dalam hati saya sempat terbersit hal seperti ini: “seandainya dalam pemilu kemarin PKS punya calon sendiri yang berkompetisi melawan Prabowo, mungkin mantan Boss Kopassus itu  juga akan menjadi bulan-bulanan kader PKS di dunia maya. Isu-isu HAM, perceraian, kudeta ‘98, dan lain sebagainya akan menjadi amunisi di jagad maya untuk merontokan suara mantan jenderal itu.


Broadcast terbaru yang diedarkan sebagian kader PKS adalah adalah, Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi yang saya yakini sangat berintegritas seperti Jimly Ash-Shiddiqie (<-- betul ga nulisnya?) itu, adalah iparnya timses Jokowi, Siti Musdah Mulia. Judul broadcast-nya: “Astaga! Ternyata Hamdan Zoelva adalah Ipar Musdah Mulia, Timses Jokowi!”

Memang, sebagaimana kita tahu, Hamdan Zoelva adalah adik dari Prof.Ahmad Thib Raya, Guru Besar UIN Jakarta yang merupakan suami dari Siti Musdah Mulia, timses Jokowi. Lalu apakah karena ia ipar Musdah Mulia lantas Ketua MK itu akan lakukan kecurangan dengan berpihak pada Jokowi? Sungguh alur berfikir yang terlalu sederhana. Atau jangan-jangan, pengedar Broadcast itu adalah orang yang terbiasa melakukan nepotisme, yang selalu mengutamakan keluarganya dalam banyak hal, sehingga ia punya kekhawatiran Hamdan Zoelva lakukan hal serupa? Bukankah banyak orang selalu mengukur orang lain dengan kebiasaan dirinya? :-)


Padahal, broadcast itu bisa saja kita ubah: “Astaga, ternyata Hamdan Zoelva adalah mantan pengurus Partai Bulan Bintang (PBB), anggota Koalisi Prabowo-Hatta”. Perlu diketahui, Hamdan Zoelva adalah aktivis Islam, bersama Yusril Ihza Mahendra (salam hormat, pak) ia besar bersama PBB, dan PBB adalah parpol pengusung Prabowo. Bukankah dengan  logika yang sama, cukup alasan bagi kita untuk curiga ia akan mendukung Prabowo?


Yang ingin saya sampaikan adalah: sudahlah, jangan membuat gaduh dengan menebar broadcast yang mendelegitimasi MK. MK adalah pintu terakhir dari sengketa Pemilu. MK  yang punya otoritas tunggal sebagai penafsir konsitusi kita. Jangan menyebarkan berita gaduh yang membuat rakyat tak percaya pada MK. Jangan sampai kemudian, setelah MK menetapkan keputusan, masih saja bicara ini konspirasi, hanya karena pemenang Pilpres bukan dipihaknya. Mau sampai kapan?


Apakah, seperti saya sering lihat di beranda Facebook, bahkan jika Jokowi menang pun sebagian rekan tetap tak akan akui ia sebagai  presiden?  Come on, dudes.  kontestasi pemilu sudah usai. Siapapun presiden yang dilantik nanti, tugas kita adalah mendoakan, semoga beliau-beliau yang dipilih oleh lebih banyak rakyat SECARA JURDIL dan Konstitusional bisa membawa Indonesia lebih baik. Kita kawal dan kritisi, seraya mendoakan.


Bahkan Musa saja diperintah Tuhan untuk berkata yang sopan kepada Firaun, lha layakkah kita yang tidak lebih mulia daripada Musa menyumpah serapah Jokowi yang juga tak lebih dajjal dari pada Raja Mesir itu.


Amat banyak broadcast tak bertanggungjawab yang menyebar begitu saja. Misalnya ketua KPU ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan orang sebaik Anis Baswedan pun dicari-cari kesalahannya, dilekatkan padanya fitnah bahwa ia adalah orang JIL hanya karena ia Rektor Universitas Paramadina, juga hoax dari situs-situs palsu dengan address –news.com. Di dunia yang kian maya ini, tetiba (<-- ini bahasa gaul terbaru, saudaranya ‘gegara’) muncul manusia-manusia broadcaster. Baik di BBM, Whatsapp, Facebook, Friendster, dll. (eh, Friendster emank masih ada yak? :D) yang pekerjaannya menyebarkan Broadcast tanpa tedheng aling-aling. 


Padahal Allah memenangkan dakwah adalah karena kebatilan yang dilakukan oleh musuh-musuh dakwah, jika aktivis dakwah melakukan hal serupa, maka ia jadi punya dua musuh: Allah, musuh-musuhnya.
14068537131763481875
dakwah (www.maalimfitharieq.wordpress.com)

Sebetulnya saya menaruh kekhawatiran, berita-berita semacam itu justru dibuat oleh mereka yang phobia terhadap dakwah, yang sengaja memproduksi  sejumlah kabar hoax dengan harapan agar di-broadcast oleh kader-kader PKS- yang semangat itu- agar menjadi blunder, untuk kemudian diserang balik oleh mereka.


Oleh karena itu, seyogyanya kader-kader dakwah PKS tidak “gagap broadcast” terhadap berita-berita yang seakan-akan membela kafilah dakwah padahal sejatinya ia bumerang yang akan menghancurkan bangunan dakwah.


Bukankah sekarang kita melihat, ada begitu banyak orang yang awalnya menaruh apresiasi kepada PKS, kini malah berbalik benci karena melihat prilaku kader-kader PKS di dunia maya yang selalu ingin benar sendiri?


Sebuah situs yang cukup moncer di dunia maya, “PKS Pyongyang” misalnya, pada satu sisi terkadang menguntungkan PKS dengan berita-berita ekslusif, tapi tak jarang juga menjadi blunder karena teralu offensif dan tak kredible. Yang saya tahu, berdasarkan obrolan dengan seorang pejabat di DPP PKS, akun yang bukan merupakan akun offisial PKS ini juga tak selalu sejalan dengan DPP karena konten beritanya yang “kayak begitu” :D, pernah pula muat isi berita yang sumbernya justru dari akun anonim triomacan yang di kalangan kader PKS sendiri sebetulnya hanya diposisikan semacam cerita ‘israiliyat’: tidak dibenarkan seluruhnya, dan tidak dianggap salah seluruhnya.


Robohnya Dakwah di Tangan Da’i
Dulu, ada sebuah buku terkenal di kalangan ativis berjudul Robohnya Dakwah di Tangan Da’i karya Fathi Yakan,  di antaranya adalah karena fanatisme berlebihan dalam kelompok dakwah. Mungkin dalam konteks kekinian, jangan-jangan dakwah runtuh karena broadcast liar yang ditebar oleh para du’at itu sendiri.  Atau karena perilaku mereka yang mudah memberikan judgement kepada siapapun yang mereka anggap lawan sebagai ahli-ahli kebatilan. Padahal  terkadang, peperangan tak mesti terjadi antara orang baik dan orang jahat. Tak jarang, perang terjadi antara orang baik dengan orang baik. Hanya karena mereka berdiri disisi berbeda denganmu, tak mesti mereka adalah orang jahat.

14068540452125036155
www.sh1ndry.wordpress.com)

Jika terus “latah broadcast” seperti ini, akankah dakwah menemukan kemenangannya? Saya khawatir justru jika propaganda dilakukan terlalu berlebihan, citra buruk tidak hanya melekat pada Partai dakwah saja, tapi justru pada seluruh asaatidz pejuang dakwah di manapun berada.


Mari lihat betapa  tak jarang sebagian rekan PKS melakukan standar ganda di sosial media: ketika tokoh PKS melakukan kebaikan, maka hal itu dianggap sebagai ketulusan. Tetapi jika tokoh lain lakukan kebaikan serupa, itu disebut pencitraan. Hati kecil kita tergelitik bertanya: “apakah ketulusan hanya milik orang  PKS? sedang di luar sana tak boleh ada tokoh yg punya hati bening?” dalam hal ini nampak, sekali lagi maaf, kader PKS berupaya menilai niat seseorang, padahal Islam tak ajarkan itu. Islam tak mengajarkan kita untuk menilai isi hati orang lain ketika berbuat kebaikan, itu hanyalah urusan dia dengan Allah.. teringatkah kita dengan kisah bagaimana Baginda Nabi nan pemurah marah saat ada shahabat berupaya membunuh musuh yang masuk Islam lantaran curiga ia jadi  mualaf hanya karena takut mati? Nabi nan mulia bersabda, kita tak diminta untuk menilai isi dada orang lain..


Demikian pula standar ganda pada sisinya yang lain, ketika ada qiyadah PKS berbuat salah, kader dakwah mudah memahami, memaafkan, dan tak menyebarkannya. Akan tetapi jika ada tokoh lain berbuat kesalahan, tak jarang sebagian rekan memblow up-nya, menjadikan amunisi sebagai bahan bully-an.. Apakah, rekan-rekan, orang lain tak boleh berbuat salah?  bukankah kekhilafan bisa terjadi pada siapapun, pada orang lain dan juga pimpinan PKS?  pada kamu dan juga aku..


Mari berlaku adil,  karena kita diperintah oleh Allah untuk menegakkan keadilan itu atas semua manusia tanpa memandang ia berasal dari kelompok mana, suku bangsa mana, atau pun agama mana. keadilan harus tegak untuk memanusiakan manusia. Menegakkan keadilan itu adalah jalan yang dekat dengan sifat kaum bertaqwa..  (Qur’an Surah al-Maaidah:8)


Rekan-rekan, sungguh tak jarang saya temui sebuah kalimat retorik, “kelihatannya pada tahu agama, tapi koq isinya menyebar fitnah dan kebencian”


Mari memuhasabah diri, jangan-jangan ada di antara kita, yang turut berkontribusi bagi turunnya presentase suara PKS pada Pileg lalu. Bukan karena tidak  berkampanye atau dirrect selling, tapi karena berkontribusi  bagi lahirnya apriori dan kebencian sebagian masyarakat kepada PKS lantaran sikap kader-kader PKS di dunia maya yang sedemikian.. bukankah selain Mujahadah, Muhasabah adalah satu dari lima cara menggapai derajat taqwa?

 
Epilog: Kader PKS, Mari Belajar Bersama
Kebaikan itu adalah milik kaum Mukminin yang terserak di mana-mana. Ia bisa berada dimana saja, pada istana nan megah atau gubuk reot di tengah hutan. Kebaikan bukan ekslusif milik satu kelompok tertentu. Ia bisa kita temui pada orang lain, dan dimanapun kita menemukannya, kita boleh mengambilnya sebagai seranai hikmah dan keteladanan.


Kesalahan juga tak mesti milik orang lain, ia bisa pula berada pada diri kita, atau pimpinan kita. Karena setiap kita, bukanlah malaikat tanpa cela.


Kata ustadz saya, sekalipun berasal dari pantat ayam, jika ia telur, ambillah. Tapi sekalipun ia keluar dari wanita cantik, jika kuning dan bau, tolaklah. Begitulah kebaikan. Ia bisa berasal dari mana saja. Ambil isinya, bukan dari siapa ia keluar. Kata Baginda imam Ali, “Unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala” , lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.


Menutup monolog ini, mari minum teh sekali lagi. Sekalipun tak lagi hangat tapi aku tulus menyediakannya buat kamu. Semuanya tulus untuk kebaikan hubungan kita (lho?).


Semoga dakwah menemukan kemenangannya bagi negeri ini, menuju negeri yang aman dan sejahtera, dilimpahi rahmat dan barakah Allah, dicahayai oleh sinar-Nya yang tak pernah redup, karena kontribusi kita semua. Meski hanya serupa butir pasir di antara bangunan yang kokoh itu. Karena kamu, karena aku, dan karena mereka.


Kita tak bisa membangun negeri ini sendiri. Negeri yang begini luas dimana terhampar sawahnya yang hijau, lautnya yang membiru, gunung dan ngarainya yang indah. Kita impikan negeri ini subur, makmur, dan dihampari ketaqwaan. Amien.


Rekan-rekan sila berkomentar.  Komentar yg isinya sumpah serapah dan spam tak perlu ditanggapi,Karena sebetulnya Teko, hanya mengeluarkan isi teko :-)

31/7/2014. 17:49
Twitter: @mistersigit
Dakwah, bukan mie instan.

source: http://sosbud.kompasiana.com/2014/08/01/kader-pks-mari-belajar-bersama-670957.html
referensi:
1. Alwi Alatas, Revolusi Jilbab, Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991, Jakarta: I’tisham.
2. Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju.
3. Adian Husaini, Penyesatan Opini; rekayasa Merubah Citra, Jakarta: Gema Insani Press.
4. Arya Fernandes, “PKS dan Masa Depan Palestina” dalam Mereka Bicara PKS, Bandung: DPP PKS dan Fitrah Rabbani.
5. Fathi Yakan, Robohnya Dakwah di Tangan Da’i, Jakarta: Era Intermedia.

Berpikir Ulang tentang Jokowi

1403587700327027883

Prolog
Tadi malam, akun twitter saya di-mention oleh adik dari sahabat (sangat) karib. Mention itu terhubung ke sebuah cerita fiksi tentang santri yang mendapatkan pencerahan dari seorang kyai. Bahwa untuk hadapi pilpres 9 Juli nanti, tak perlu bawa-bawa agama. “Tuhan tak perlu dibela. Agama terlalu besar untuk sekadar urusan politik”, kurang lebih demikian kata kyai itu sambil memegang cerutu.


Saya tahu kemana arah narasi fiktif itu. Sebuah cerpen ideologis yg, tentu saja, tidak bebas nilai. Cerpennya sekular, penulis tersebut berhasrat untuk menceraikan sentimen agama dari konstelasi politik. Sebuah cara pandang yg, dalam konteks Indonesia, ahistoris. Dan tentu saja, cerpen ini banyak di-share oleh pemilih Jokowi-JK, karena semangat memilih berdasarkan alasan-alasan agama nampaknya memang lebih kental di kubu nomor satu, pendukung pasangan Prabowo-Hatta.


Nilai dari cerita fiktif tersebut berbeda dengan apa yang secara nyata saya alami. Beberapa waktu lalu, bersama sejumlah alumni pondok, saya sowan ke seorang kyai besar. Pimpinan pondok pesantren sekaligus pengurus di PBNU (saya selalu merasa senang menjadi bagian dari warga NU). Tanpa diduga, kyai tersebut justru memulai “percakapan ringan” dengan ngobrol-ngobrol seputar ingar bingar pilpres. Dalam obrolan tersebut, raut wajah beliau nampak kecewa kepada Jokowi yang meninggalkan orang-orang non Muslim sebagai penggantinya. Katakanlah Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, seorang Katholik yang kini memimpin Kota Solo selepas ditinggal Jokowi. Atau Ahok, yang akan menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta jika Jokowi menang pilpres.


Saya sejujurnya tidak mau membawa isu agama di tulisan ini. Lagipula ini hanya tulisan ringan untuk menemani iseng macet Jakarta pagi hari. (Mas Joko, macet tambah parah saja nih. Selese-in dulu dunk :p). Saya khawatir tulisan ini dianggap berbau sara sekalipun tak ada motif untuk itu sama sekali. Saya hanya ingin sampaikan bahwa Sang Kyai yang saya temui, nampak kecewa dengan pasangan Jokowi-JK dengan alasan tadi.

Lagipula, seperti yang saya katakan di muka, dalam konteks historis-politik di Indonesia, menceraikan Islam dari politik adalah hal yang ahistoris, dan  bertentangan dengan dua hal: pertama, bertentangan dengan sejarah dan konsep Islam itu sendiri. Kedua, bertentangan dengan cita-cita para founding fathers negara kita.


Relasi Islam-Politik
Islam dan politik adalah pasangan yang sah. Tidak seperti yang secara pejoratif acap didengungkan oleh anak-anak Islam liberal bahwa kita harus menghentikan “perselingkuhan Islam dan politik”. Mereka lupa, bahwa Islam dan politik tak pernah selingkuh. Islam dan politik adalah pasangan yang sah. Sememangnya, setiap orang punya kosa kata yang akrab dengan keseharian mereka. :-)


Saya selalu tertarik dengan apa yang ditulis oleh Ian Adams dalam bukunya ‘Political Ideology Today’, (btw saya cuma baca terjemahannya yang diterbitkan oleh Penerbit Qalam :D). Ketika membahas hubungan Islam dengan politik, pemikir dari Durham Unversity, Inggris itu mengakui bahwa sejak kelahirannya, Islam adalah agama paling politis di dunia. Sejak masa awal, Muhammad adalah seorang Nabi sekaligus pemimpin negara. Sejak masa awal itu, bahkan hingga kini, Islam ditegakkan oleh kebijakan-kebijakan yang tak lepas dari faktor politik.


Dari situlah kemudian kita paham mengapa seorang “professor” besar penulis Ihya Ulumuddin, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Islam dan Negara seumpama fondasi dan penjaganya. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh, dan fondasi tanpa penjaga kan hilang. Dari situ pula kita pahami mengapa terdapat segambreng ulama dari masa klasik hingga modern yang menulis tentang politik Islam. Mulai dari Ibn Abi Rabi’ dengan Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik-nya, al-Farabi dengan konsep Madinatul Fadhilah-nya, imam al-Mawardi dengan ‘masterpiece’-nya al-Ahkam al-Sulthaniyyah, al-Ghazali seperti saya sebutkan di awal, ibn Taimiyah yang menulis al-Siyasah al-Syar’iyyah, hingga Abul A’la al-Maududi dengan al-Khilafah wa al Mulk,  Sayyid Quthb dengan sejumlah tulisannya, terutama al-‘adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam, dan paling modern Syaikh Yusuf al-Qaradhawy dengan Fiqh Daulah-nya, dan seterusnya.. dan seterusnya. Tentu saja, pemikiran-pemikiran mereka tidak lahir dari ruang hampa. Tapi lahir dari sebuah fakta menarik bahwa Islam sejatinya tidak bisa dilepaskan dari politik. (dalam hal ini menarik untuk dikomparasi dengan dengan gagasan filosof Romawi abad IV, St.Agustinus mengenai doktrin Civitas Dei versus Civitas Terrena.


Itulah mengapa saya katakan, menceraikan Islam dari politik bertentangan dengan konsep Islam itu sendiri, selain tentu saja sebuah hal yang ahistoris.


Dosen ilmu politik saya, Prof. Bachtiar Effendy, dalam tulisannya berjudul “Disartikulasi Pemikiran Politik Islam?” mengatakan, “(karena) Pemikiran politik Islam menjadikan Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan,…juga sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat dijadikan sebagai parameter dan inspirasi rumusan pemikiran politik Islam.. maka disitu ada klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap berdimensi ilahiah, bahkan kadang-kadang berimplikasi teologis”


Islam, Politik, Indonesia
Kedua, selain ahistoris dari perspektif sejarah Islam tadi, memisahkan sudut pandang agama dari konstelasi politik Indonesia juga bertentangan dengan cita-cita para pendiri republik ini. Adalah Firdaus AN, dalam bukunya yang terkenal “Dosa-dosa Orde Baru yang Tidak Boleh Terulang”, menggambarkan konflik yang terjadi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Panitia Sembilan yang mewakili Islam, Nasionalis, dan Kristen yang merumuskan dasar negara sebetulnya sudah bersepakat untuk memasukan Piagam Jakarta sebagai bagian tak terpisahkan dari konstitusi. Kalimat ‘Ketuhanan YME dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’ lahir sebagai sebuah kesepakatan yang menurut Dr.Soekiman merupakan a Gentlement Agreement, atau menurut Prof.Soepomo sebagai sebuah ‘Kesepakatan yang Luhur’. Sayangnya, hasil perundingan berbulan-bulan itu di-delete dalam waktu sekejap hanya untuk mengakomodir ancaman seseorang yang mengklaim sbg wakil dari Indonesia Timur, yang setelah dilakukan penelitian oleh University belakangan diketahui bernama Saul Samuel Jacob Samratulangi.


Meski demikian, sekalipun “tujuh kata sakral” itu di-delete, semangat untuk tetap mengagregasikan agama dengan politik tidak pudar. Kalimat Ketuhanan YME pada sila pertama Pancasila, atau rasa Syukur atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa pada Muqaddimah UUD ‘45  menjadi bukti dari sebentuk keyakinan, bahwa iman pada Tuhan tak bisa lepas dari semangat politik kenegaraan kita. Sebuah rasa syukur bahwa negara ini sejatinya berdiri di atas pundak para ulama. Nusantara terhampar di atas banjir darah para syuhada. Semoga rekan-rekan tidak lupa bahwa Takbir Bung Tomo yang menggelorakan semangat jihad melawan Belanda kemudian membuat arek-arek Surabaya tak kenal takut untuk membebaskan Nusantara. Takbir tersebut juga lahir dari fatwa Resolusi Jihad para ulama yang berkumpul di Surabaya pada 22 Oktober 1945 di bawah pimpinan Hadhratusyaikh Hasyim Asy’ari.. (Tiba2 saya ingin menangis…).


Artinya adalah, gagasan untuk menjauhkan agama dari politik keindonesiaan adalah hal yang ahistoris dalam sejarah negara kita. Indonesia tak mungkin menjadi negara sekular yang memisahkan sentimen agama dari ranah politik. Itulah mengapa saya tetap meyakini bahwa doktrin politik aliran yang ditetaskan Indonesianis “Abad Pertengahan Indonesia”, Clifford Geeetz akan tetap ada, ibarat cintanya Sammy Simorangkir, tak lekang oleh waktu.


Sekadar salah satu contoh paling riil, kita memahami mengapa kalangan umat Islam, khususnya kader-kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, sangat intens berkampanye di dunia nyata dan maya dengan semangat agama. Dan tanpa kita sadari, dengan modal pendidikan yang relatif tinggi dan melek teknologi, hembusan “perang ideologi” yang ditebar “anak-anak muda hasil tarbiyahan” itu efektif merubah mindset publik lewat perang akbar di dunia maya. Sejauh pengamatan saya yang faqir ilmu namun ganteng ini B-) , “pasukan PKS” lah yang paling besar berperang sbg counter opinion bagi ideologi yang mereka sebut ‘Sepilis’ (Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme). Hal ini karena mereka memahami bahwa kampanye politik yang mereka lakukan adalah bagian dari dakwah. Bagi ‘anak-anak tarbiyahan’, politik adalah satu dari sayap-sayap Islam sebagaimana sayap lainnya semisal ekonomi, budaya, pertahanan, pendidikan, dll., sesuai dengan konsep ‘kesempurnaan Islam’ (syumuliyatul Islam) yang mereka imani.
***


Menimbang Jokowi Lewat PDIP 

(Nah, bicara kita sudah ngalor-ngidul. Saya intip jendela baru nyampe Jatinegara. Lanjut..)
Berkaitan dengan itulah, menjadikan pertimbangan agama sebagai parameter dalam menentukan pilihan politik, dalam hal ini Pilpres, adalah hal yang sangat relevan. Dan Jokowi terganjal oleh sentimen ini. Bagaimanapun kita mesti memahami bahwa mantan walikota solo itu merupakan bagian tak terpisahkan dari PDIP. Jokowi mau maju sebagai Capres hanya setelah direstui oleh Ketum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Bahkan, yang tak boleh kita lupa adalah, Megawati berpesan sekalipun Jokowi terpilih kelak, pria kotak-kotak itu tetap merupakan kader PDIP.


Mudah untuk menafsirkan kalimat tersebut, bahwa yang dimaksud adalah sekalipun Jokowi terpilih sebagai Presiden, ia tetap kader yang mesti patuh kepada asas, visi misi, dan garis besar partai. Menjalankan visi misi dan rule partai. Padahal, PDIP sendiri merupakan  sebuah partai yang punya track record kurang harmonis terutama terhadap regulasi yang beririsan dengan kepentingan umat Islam. Ini yang perlu dikhawatirkan.


PDIP adalah partai yang menolak UU Pendidikan Nasional yang berisi agar Setiap murid di sekolah mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Artinya, anak-anak Muslim yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen berhak untuk mendapatkan guru agama Islam yang beragama Islam. Tidak diajarkan kebaktian. Mengapa PDIP menolaknya? PDIP juga Juga menolak UU Perbankan Syariah, UU Jaminan Produk Halal, UU anti Pornografi, dan tentu saja yang terbaru, PDIP merupakan satu-satunya fraksi di DPRD yang menolak penutupan lokasi maksiat Dolly di Surabaya. PDIP pula yang memerintahkan kadernya untuk menginteli para khatib di masjid-masjid.


Sejumlah track record tersebut kemudian melahirkan persepsi bahwa PDIP sebetulnya merupakan partai yang memang anti Islam, dan sama sekali tak akan mendukung aspirasi umat Islam. Dalam kacamata sosiologis, pandangan masyarakat terhadap PDIP ini tentu merupakan hal yang sah dan tak bisa disalahkan. Masyarakat menilai dari apa yang mereka ketahui. Persepsi tersebut juga melahirkan kekhawatiran di tubuh umat Islam, –dan sentimen ini kemudian berkembang—terutama dalam proses pembuatan UU di DPR bersama pemerintah seandainya Jokowi terpilih sebagai presiden.


Bagaimana mungkin aspirasi umat Islam, misalnya, sebagai bagian terbesar dari komposisi rakyat Indonesia, akan terakomodasi jika pemerintah yang mengusulkan RUU dan DPR yang kemudian menggodoknya sebelum menjadi UU, adalah kalangan yang anti Islam, atau tidak beragama Islam?
Jangan lupa, Caleg non-Muslim dari PDIP pada Pemilu lalu berjumlah 183 orang atau setara dengan 52%! Sangat tidak proposional dengan komposisi umat beragama di Indonesia. Mau seobjektif apapun, secara naluriah sejumlah caleg ini sekiranya terpilih tentu punya sudut pandang subjektif sesuai agama mereka.


Apakah mereka akan membela aspirasi atau regulasi yang memayungi umat Islam? Sulit untuk mengatakan iya. Jika kemudian pemerintahan di bawah Jokowi, yang di-back up oleh PDIP di parlemen itu, berkawin dengan anggota dewan yang demikian, kita akan memahami bahwa kekhawatiran umat Islam tersebut sebetulnya adalah hal yang wajar. Track record adalah parameter yang ilmiah untuk menilai sesuau, kan? Belum lagi melihat fakta bagaimana Jokowi menjadikan seorang non Muslim sbg walikota di Solo,  juga gubernur di DKI seperti disinggung di muka…


Sebetulnya jika kita melihat fakta sejarah tentang PDIP, kita akan melihat bahwa PDI (sebelum pecah antara PDI Soerjadi dengan PDI Megawati) sejak mula memang merupakan fusi atau gabungan dari “partai-partai non Islam” pada 1973. PDI adalah produk penyederhanaan partai pada masa Soeharto yang merupakan fusi dari tiga partai secular (PNI, Murba, dan IPKI) dan dua partai Kristiani (Partai Kristen Indonesia/Parkindo, dan Partai Katolik.


Dari situ kita paham mengapa sejumlah tokoh  yang dianggap tidak sejalan dengan Islam bergabung di PDI, karena PDI adalah kendaraan paling dekat secara ideologi dengan mereka. Kita bisa menyebut beberapa nama seperti Ribka Tjipating Proletariati (anak seorang Tapol PKI), atau Budiman Sudjatmiko yang disebut-sebut berhaluan kiri. Atau sejumlah tokoh Kristen seperti Panda Nababan, Sabam Sirat, dll. Pasca koalisi Pilpres ini, beberapa tokoh yang memiliki track record tidak baik di mata umat Islam juga bergabung dengan kubu Jokowi yang dimotori PDIP, katakanlah AM.Hendropriyono yang disebut-sebut bertanggungjawab atas pembantaian umat Islam di Talangsari pada 1989.


Point saya, persepsi-persepsi seperti yang saya tulis di atas adalah pandangan yang eksis di tengah-tengah masyarakat kita.


Epilog
Sebagai sebuah epilog, tentu saja sebagai Muslim kita berkewajiban untuk saling mengingatkan. Mengingatkan bahwa semua pilihan kita di dunia ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sekecil apapun. Termasuk pilihan-pilihan politik, apalagi yang berimplikasi pada nasib 207 juta lebih umat Islam (survei BPS tahun 2010 menyebut jumlah umat Islam di Indonesia adalah 207 juta dari 237juta penduduk),


Bayangkan berapa banyak orang yang akan menanggung akibat dari regulasi yang salah, seandainya kita menjatuhkan pilihan yang keliru dalam pilpres nanti. Padahal kita memahami -bahkan- seberat dzarrah (ukuran terkecil dari sesuatu) pun amal-amal kita akan dipertanggungjawabkan di Mahkamah Akhirat kelak.


Apa yang akan kita katakan, di Mahkamah Yang Maha Adil itu?
Twitter: @mistersigit
*dah nyampe nih..
Macet Pagi Jakarta,
Bis Kosub Cibinong-Priok, nyambung Metromini Senen.