Kamis, 16 April 2015

Kekasih Allah di sekitar kita..



Dulu, sekitar tahun 2010, saya baru pulang dari Palabuhan Ratu, sebentar mampir ke Mushalla kecil di terminal Baranang Siang untuk sejenak Shalat Zhuhur

Saya bermakmum pada seorang pria yg jika kita taksir dari penampilannya, rasanya ia adalah pekerja kasar di Terminal tersebut.

Bajunya lusuh dan kusam… kulitnya keriput, kumal, dan bekas-bekas kerja keras tampak jelas..

Kami shalat berdua saja. Di tengah rasa lelah yang saya rasakan sepanjang perjalanan, saat-saat shalat adalah saat yang indah dan meneduhkan.

Dan yang menginsafkan diri adalah, pada waktu itu saya sungguh merasa malu pada Allah.

Sepertinya saat itu Allah mengajarkan pada saya tentang cara yang lebih hikmah dalam memandang kehidupan…

Betapa pria kotor itu, yang kulitnya kusam dan pakaiannya amat lusuh..
yang terlihat begitu lelah dan keras dalam mencari nafkah..
Ternyata menunaikan shalat dan berpasrah pada Allah dalam sujud-sujudnya yang begitu dalam dan panjang…

.. Shalatnya lama sekali,

Hingga saya merasa malu betapa selama ini barangkali shalat saya masih belum sebanding dengan kualitas dia…

Saya, yang barangkali secara ekonomi sedikit lebih baik daripadanya,

yang berpakaian dan menutup raga ini dengan pakaian yang lebih baik dari pakaiannya…

ternyata belum mampu berpasrah dalam shalat yang berlama–lama bersama Allah seperti dirinya..

ah, sungguh Allah tak akan menilai dari fisik kita...

***

Terlepas dari kelemahan saya untuk khusyu' dalam shalat..
dan terlepas dari pemaknaan kita atas definisi khusyu' itu..

Sewaktu saya mengikutinya ruku’, hati saya seperti berbisik:

“duhai Allah… betapa lama ruku’ orang ini..

sewaktu saya mengikutinya bersujud menghamba .. hati saya seperti berdesir:

“duhai Allah.. betapa ikhlash dan pasrah pria sederhana ini pada ke-Maha-an Engkau..

pasrah pada-Mu atas segala lelah dan keringat yang tumpah ketika bekerja menjemput rizki yang telah Engkau tetapkan atas dirinya..

Demikian pula dengan berdirinya, duduk tahiyat dan dzikirnya..
pria sederhana dan amat sahaja itu berlama-lama dalam ibadah pada Allah…

***

Sepulang dari pengalaman itu, seringkali saya sampaikan kepada binaan-binaan saya, begini:

“ikhwah, ketika kita berada di atas kendaraan misalnya.. kemudian kita menengok ke jendela dan tampaklah oleh kita manusia-manusia sederhana yang terbalut dalam pakaian-pakaiannya yang bersahaja.. sesunguhnya bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah dari pada kita…
Bisa jadi mereka tahajjud lebih sering dari pada kita dalam malam-malamnya yang panjang, bisa jadi ia berdzikir lebih tunduk dari pada kita..

Bisa jadi, Allah lebih mencintainya daripada kita…

Ketika kita berjalan di tepi-tepi pasar misalnya, kemudian kita melihat seorang tukang pemungut sampah yang mengais rizkinya di tempat-tempat yang dihindari banyak orang itu.. dengan karung robek berisi sampah yang ia bawa kemana-mana itu dibalik punggungnya..
Bisa jadi, ia lebih dekat kepada Allah daripada kita…

bisa jadi airmatanya lebih sering menetes dalam dzikir-dzikir panjang untuk tunduk pada Dia Yang Maha Kuasa..

Hanya saja ia tak menampakkan keshalihannya pada manusia..
meski tak ada yang memanggilnya dengan gelar aktivis dakwah..
meski tak ada yang menyebutnya dengan panggilan ustadz..

ikhwah fillah,

Bayangkan jika kita diuji oleh Allah dalam keadaan ekonomi seperti mereka,
akankah kita memiliki kesabaran dalam menjalani hidup, sebagaimana mereka memiliki kesabaran untuk menjalaninya?
Sementara selama ini fasilitas-fasilitas dakwah telah Allah berikan cukup untuk kita

Entah karena kesederhanaan, entah karena ketulusan,
Bisa jadi, kekasih-kekasih Allah itu dekat di sekitar kita..
dia ada di samping kita dalam majelis-majelis halaqah,
atau ada di depan kita ketika kita ada di jalan,
hanya saja mereka tak menampakkan keshalihannya…

bisa jadi..
...

0 komentar:

Posting Komentar