Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Kamis, 16 April 2015

Ofensif di Sosial Media, Seberapa Perlu?

Pagi rekan2,

Saya punya sahabat2 luar biasa, mereka adalah para penulis dan admin di balik sejumlah situs Islam online yg cukup populer di kalangan "Aktivis Dakwah".

Dalam sebuah obrolan bersama beliau2, saya sempat urun rembug:

"Nampaknya perlu dilakukan survei, utk mencari korelasi antara sikap ofensif sebagian kader dakwah terhadap "rival politik" dengan raihan suara kafilah dakwah dalam Pemilu. Apakah benar sikap ofensif itu berpengaruh positif thd suara dakwah atau justru sebaliknya?

Perlu dilakukan evaluasi atau muhasabah, karena saya khawatir, sikap keras dan ofensif sebagaimana dipertontonkan sebagian "kader dakwah" di sosial media itu alih2 membuat orang simpatik terhadap dakwah, yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat malah menjadi antipati terhadap dakwah.

Maksud saya, mereka yang acap kali menyerang lawan politik di sosial media itu, merasa dirinya berjasa besar dalam pesta pemilu, padahal justru kalangan seperti ini memberi kontribusi negatif terhadap raihan suara partai. Banyak orang merasa berbuat baik, padahal bisajadi hal tsb justru melahirkan kebencian krn memang salah.

Saya mengamati sebuah fans page dan akun twitter milik seorang penulis yang cukup populer di kalangan aktivis Islam, Timelinenya penuh dengan provokasi, sebagian tanpa data, penuh dengan apriori dan pada beberapa hal kebencian, sebagian malah menjadi blunder.

Pada beberapa hal sikap ofensif tentu bermanfaat sebagai sebuah counter opinion, tetapi jika dilakukan berlebihan, sangat mungkin reaksi yang muncul justru sebaliknya.

Ada sebuah masukan menarik dari salahsatu sahabat di waktu berbeda, yaitu, "jangan sinis terhadap lawan. tunjukan saja prestasi yang kita punya."

Sebuah sikap yang bijak. Krn nanti juga orang akan menilai sendiri. Tidak perlu diarahkan seperti anak2 TK belajar berdoa. Memang, orang yang tidak punya prestasi pada dirinya, cenderung mempublish keburukan orang lain agar ia terlihat lebih tinggi, hal ini krn tak ada yang bisa ia banggakan dari dirinya sendiri.

Ah, mari amati dan belajar banyak pada fenomena. Hilangkan apriori yang membuat kita tak adil dalam menilai sesuatu.

Dukunglah apa yang baik, kritiklah dengan santun apa yg tak sesuai. Fitnah tak perlu dibalas fitnah. Jika fitnah dibalas serupa, apa bedanya kita dengan mereka?
...

Terakhir, di antara sahabat2 nan luar biasa itu, saya ibarat anak kecil yang menengadah ke atas, meminta dituntun oleh orang dewasa..

Mari, belajar lebih banyak..
we are never too old to learn
@mistersigit

Merenungi Ihtiram Kita terhadap Ulama ..

Khutbah Jumat di Istiqlal siang tadi membedah toleransi, ia adalah sikap saling hargai dan hormati atas pandangan berbeda.

Saya jadi termenung betapa kata itu sudah demikian jarang kita jumpai.

Pada aras dunia maya ini, tak jarang saya temui serapah pemuda2 penuntut ilmu kepada para ulama. Mereka kehilangan ihtiram pada pewaris para nabi itu hanya karena sang ulama berbeda pandangan dengan ustadz mereka.

Hanya karena seorang ulama ingin damaikan Sunni dan Syi'ah, jangan serta merta menuding ia sebagai orang Syiah tanpa bukti melainkan krn kecurigaan2 semata, atau hanya krn testimoni satu dua orang.

Hanya karena sedikit berbeda tentang tafsir, jangan serta merta menuding sang Ulama sebagai Tokoh JIL. Mengapa persamaannya yg lebih banyak tdk dilihat.

Kita boleh tak sepaham, tetapi berhati2lah menyebut ulama dengan gelar2 buruk.
Mari tunaikan hak para ulama, kita berkewajiban menaruh ihtiram kepada mereka sekalipun tak sepemandangan dengan pendapatnya.

Sebelum menuding ulama, berkacalah pada hati: "siapakah diri yang dhaif ini dibanding mereka? ilmu saya dan beliau ibarat tetes air dan danau nan luas"

Jauhi apriori yang membatasi kita menilai adil. Merendah hati dan bersopan santun kpd Ulama adalah kewajiban kita (atau tepatnya saya) selaku thullab yang faqir ilmu.

Jauhi sikap kita dari istilah, "air beriak tanda tak dalam, tong kosong nyaring bunyinya," seperti orang yang berlaku selayak sudah menyelam ke lautan dalam, padahal ia masihlah di tepian pantai. Merasa sudah cukup ilmu utk menghakimi ulama.

Belajarlah bahwa hanya orang besar yang bisa menghargai orang besar.
Sejauh ia tak terang2an ajak pada kemaksiatan, kita berkewajiban merendah hati di hadapan mereka

Mari merenungi Sabda Baginda Nabi yang begitu dalam:

“Keberkahan itu ada bersama para ulama.” (HR Ath-Thabrani)

"Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak-haknya para ulama.” (HR Al-Hakim)

Kekasih Allah di sekitar kita..



Dulu, sekitar tahun 2010, saya baru pulang dari Palabuhan Ratu, sebentar mampir ke Mushalla kecil di terminal Baranang Siang untuk sejenak Shalat Zhuhur

Saya bermakmum pada seorang pria yg jika kita taksir dari penampilannya, rasanya ia adalah pekerja kasar di Terminal tersebut.

Bajunya lusuh dan kusam… kulitnya keriput, kumal, dan bekas-bekas kerja keras tampak jelas..

Kami shalat berdua saja. Di tengah rasa lelah yang saya rasakan sepanjang perjalanan, saat-saat shalat adalah saat yang indah dan meneduhkan.

Dan yang menginsafkan diri adalah, pada waktu itu saya sungguh merasa malu pada Allah.

Sepertinya saat itu Allah mengajarkan pada saya tentang cara yang lebih hikmah dalam memandang kehidupan…

Betapa pria kotor itu, yang kulitnya kusam dan pakaiannya amat lusuh..
yang terlihat begitu lelah dan keras dalam mencari nafkah..
Ternyata menunaikan shalat dan berpasrah pada Allah dalam sujud-sujudnya yang begitu dalam dan panjang…

.. Shalatnya lama sekali,

Hingga saya merasa malu betapa selama ini barangkali shalat saya masih belum sebanding dengan kualitas dia…

Saya, yang barangkali secara ekonomi sedikit lebih baik daripadanya,

yang berpakaian dan menutup raga ini dengan pakaian yang lebih baik dari pakaiannya…

ternyata belum mampu berpasrah dalam shalat yang berlama–lama bersama Allah seperti dirinya..

ah, sungguh Allah tak akan menilai dari fisik kita...

***

Terlepas dari kelemahan saya untuk khusyu' dalam shalat..
dan terlepas dari pemaknaan kita atas definisi khusyu' itu..

Sewaktu saya mengikutinya ruku’, hati saya seperti berbisik:

“duhai Allah… betapa lama ruku’ orang ini..

sewaktu saya mengikutinya bersujud menghamba .. hati saya seperti berdesir:

“duhai Allah.. betapa ikhlash dan pasrah pria sederhana ini pada ke-Maha-an Engkau..

pasrah pada-Mu atas segala lelah dan keringat yang tumpah ketika bekerja menjemput rizki yang telah Engkau tetapkan atas dirinya..

Demikian pula dengan berdirinya, duduk tahiyat dan dzikirnya..
pria sederhana dan amat sahaja itu berlama-lama dalam ibadah pada Allah…

***

Sepulang dari pengalaman itu, seringkali saya sampaikan kepada binaan-binaan saya, begini:

“ikhwah, ketika kita berada di atas kendaraan misalnya.. kemudian kita menengok ke jendela dan tampaklah oleh kita manusia-manusia sederhana yang terbalut dalam pakaian-pakaiannya yang bersahaja.. sesunguhnya bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah dari pada kita…
Bisa jadi mereka tahajjud lebih sering dari pada kita dalam malam-malamnya yang panjang, bisa jadi ia berdzikir lebih tunduk dari pada kita..

Bisa jadi, Allah lebih mencintainya daripada kita…

Ketika kita berjalan di tepi-tepi pasar misalnya, kemudian kita melihat seorang tukang pemungut sampah yang mengais rizkinya di tempat-tempat yang dihindari banyak orang itu.. dengan karung robek berisi sampah yang ia bawa kemana-mana itu dibalik punggungnya..
Bisa jadi, ia lebih dekat kepada Allah daripada kita…

bisa jadi airmatanya lebih sering menetes dalam dzikir-dzikir panjang untuk tunduk pada Dia Yang Maha Kuasa..

Hanya saja ia tak menampakkan keshalihannya pada manusia..
meski tak ada yang memanggilnya dengan gelar aktivis dakwah..
meski tak ada yang menyebutnya dengan panggilan ustadz..

ikhwah fillah,

Bayangkan jika kita diuji oleh Allah dalam keadaan ekonomi seperti mereka,
akankah kita memiliki kesabaran dalam menjalani hidup, sebagaimana mereka memiliki kesabaran untuk menjalaninya?
Sementara selama ini fasilitas-fasilitas dakwah telah Allah berikan cukup untuk kita

Entah karena kesederhanaan, entah karena ketulusan,
Bisa jadi, kekasih-kekasih Allah itu dekat di sekitar kita..
dia ada di samping kita dalam majelis-majelis halaqah,
atau ada di depan kita ketika kita ada di jalan,
hanya saja mereka tak menampakkan keshalihannya…

bisa jadi..
...

Gebyah Uyah dan ‘Demam Panggung’, BNPT dan Kominfo bisa Dipidana

Tolak Terorisme (http://initeroris.blogspot.com)
Tolak Terorisme (http://initeroris.blogspot.com)


Saya lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam tradisi Nahdhatul Ulama (NU) yang kuat. Kakek, ayah, paman, sepupu, semua adalah alumni pondok NU. Saya sendiri, sekalipun tak sempat mondok ala santri-santri NU yang tradisional itu, sempat mencicipi ma’had yang diasuh alumni pondok NU di Bogor selama lebih dari satu tahun. Sisanya jadi “santri kalong” yang hanya pulang dan pergi ke pesantren.

Dari pihak istri, ayah mertua adalah orang yang ditokohkan di kampung sebagai tokoh agama, sementara ibu mertua aktif di Muslimat NU. Tiga kakak ipar saya aktif sebagai pengurus Fatayat NU di Brebes, Jawa Tengah. Saat ini keponakan pun masih mondok di Pesantren Benda, Bumiayu, Jawa Tengah. Istri saya sendiri adalah alumni madrasah NU. Oleh karena itu, tradisi NU seperti tahlilan, tawasul, ziarah, dan sebagainya kental di keluarga saya. Saya pernah berziarah ke makam Sunan Giri, Sunan Gresik, dan seterusnya, sekadar merenung dan menapaktilasi perjuangan mereka menyebarkan Islam di Nusantara yang tentu tak mudah sehingga kini Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Saya ingin mengikuti jejak tokoh besar NU, almarhum KH. Idham Khalid yang sangat luwes dan menghormati perbedaan. Syahdan saat memimpin shalat Shubuh di atas kapal dalam perjalanannya ke tanah suci, kyai yang memimpin NU selama 28 tahun itu tak bacakan Qunut karena menghormati tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka yang bermakmum di belakangnya. “Saya tak ingin” katanya arif saat ditanya, “memaksa mereka yang tak berqunut untuk berqunut”. Pun demikian keesokan harinya saat Buya Hamka mengimami shalat Shubuh, penulis Kitab Tafsir al-Azhar itu membacakan qunut dengan fashih dan panjang karena menghormati KH.Idham Khalid yang bermakmum di belakangnya. Ketika di tanya mengapa ia membaca qunut, beliau menjawab: “Saya tak ingin memaksa mereka yang berqunut, untuk tidak berqunut”. Jawaban dari kedua tokoh besar ini membuat jama’ah di atas kapal itu haru dan meneteskan airmata. Demikianlah sikap orang-orang besar hadapi perbedaan. Perbedaan semestinya menjadi rahmat, bukan menjadi masalah.

Dalam perkembangannya, meski sebagai warga NU, saya banyak berkenalan dengan teman-teman dari pergerakan Islam. Saya ikuti majelis Jamaah Tabligh dalam agenda khuruj-nya di masjid-masjid dan mushalla. Mendengarkan dengan seksama pembacaan kitab Fadhailul amal (Fadhilah Amal) Karya Maulana Zakariyya al-Kandahlawy, sambil pundak saya dipijit sebelum makan siang bersama mereka. Saya akrab dengan teman di Muhammadiyah, menginap di rumah teman yang berpaham Salafy, mengikuti pengajian Hizbut Tahrir, ikut gerakan Tarbiyah (Ikhwan), akrab dengan teman di Majelis Rasulullah, menjadi jamaah dalam dzikir bulanan ustadz Arifin Ilham, karib dengan teman di Front Pembela Islam (FPI), mengikuti pengajian habib Luthfie bin Yahya, diskusi dengan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), ngobrol-ngobrol dengan rekan keturunan Bahrain yang menganut Syiah, dan seterusnya. Dari pergaulan itu, di tengah kedhaifan dan kefaqiran ilmu ini, saya sedikit memahami bagaimana peta kelompok-kelompok Islam di Indonesia.

Akhir tahun lalu, saya merasa beruntung bisa hadir sebagai pendengar dalam forum cendekiawan yang membahas radikalisme agama dan pemetaannya di Indonesia. Dalam forum diskusi terbatas itu, hadir cendekiawan Azyumardi Azra, Buya Syafii Maarif, Alwi Shihab, Hassan Wirajudha, Emil Salim, Paul Marshall, Jacob Tobing, dan sejumlah cendekiawan lintas agama lainnya. Dari diskusi itu saya memahami bagaimana beliau-beliau memetakan kelompok-kelompok radikal di Indonesia, mencerahkan. Bahwasanya semua memiliki kecintaan terhadap NKRI, Negara yang –semestinya—gemah ripah loh djinawi, tata tengtrem kerto rahardjo ini. Kita semua, cinta Indonesia, kita ingin negara ini aman, damai, makmur, sejahtera, dan seribu keutamaan lain yang barangkali tak mesti sama dengan utopianisme al-Farabi dalam Madinatul Fadhilah-nya.

Hanya saja, para cendekiawan itu memetakan gerakan-gerakan Islam dari kejauhan. Akibatnya, karena melihat “dari satelit”, differensiasi antar gerakan Islam kemudian menjadi bias. Batas-batas antar gerakan jadi tak nampak karena mereka melihatnya dari kejauhan. Bagaimana misalnya, terma wahabi kerap digebyah uyah untuk semua gerakan Islam trans-nasional, sekalipun antar mereka sebetulnya acap saling tahzir.

Lakukan pemetaan secara benar

Kesalahan akademik yang kerap terjadi dalam memetakan gerakan-gerakan Islam di Indonesia adalah keliru memakai kacamata dalam lakukan pendekatan. Dari sejumlah buku yang membedah tentang gerakan-gerakan Islam trans-nasional di Indonesia, misalnya, saya melihat beberapa kekeliruan. Pertama, Gerakan Islam dijadikan sebagai objek penelitian tetapi si peneliti cenderung jatuh pada distoris kognitif dimana ia sudah memliki pandangan awal terlebih dahulu terhadap objek yang akan ditelitinya. Hal ini kemudian memengaruhi penilaian-penilalian dia berikutnya. Distorsi kognitif ini utamanya mengandung stereotype negative sejak mula, sehingga konklusi yang dihasilkan menjadi bias karena semangat penelitian diawali dengan nafas curiga.

Kedua¸ sebagaimana saya katakan di muka, tak jarang si peneliti menuliskan analisisnya dengan memandang gerakan Islam dari kejauhan. Hal ini menyebabkan batas antara gerakan-gerakan islam menjadi bias. Contoh paling naif adalah bagaimana pada 2012 silam, lembaga negara sempat memasukan gerakan HASMI (Harakah Sunniyah untuk Masyakat Islami) sebagai oranisasi teroris. Padahal, Hasmi, dikenal sebagai kelompok moderat di kalangan aktivis Muslim. Buku-buku yang dikaji HASMI juga direkomendasikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengarkanlah radio Fajri FM milik Hasmi, anda tak akan menemukan satu pun pemikiran radilkal dari kelompok itu. Yang paling keras dari kajian Fiqh Hasmi di Fajri FM hanyalah mengatakan wanita hendaknya mengenakan cadar, tentu saja bukan karena ini mereka dianggap radikal. Setelah dilakukan klarifikasi menyusul derasnya pertanyaan, Negara kemudian mengatakan itu adalah Hasmi yang berbeda. HASMI yang dimasukan dalam gerakan teroris adalah “Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Indonesia”. Serta merta beirta itu kemudian senyap dan hilang dari media massa.

Nampaknya BNPT dan Kepolisian perlu memahami gerakan-gerakan Islam dari dalam, agar paham bagaimana cara mereka berparadigma, jadikan mereka sebagai subjek agar dapat dipahami, bukan hanya sebagai objek peneilitian yang dilihat dari kejauhan. Ini yang nampaknya khilaf dilakukan oleh BNPT dan Densus 88.

Situs Dakwatuna, Korban Gebyah Uyah

Contoh berikutnya adalah dimasukannya dakwatuna sebagai situs yang menyebarkan faham radikalisme, sehingga dengan alasan itu BNPT meminta Kemenkominfo menutup situs tersebut (bukan sekadar memblokir). Ini jelas kelirunya. Tunjukkan pada saya satu link saja dari situs dakwatuna, mana yang mengindikasikan bahwa situs Islam paling popular itu menebarkan paham radikal, jika Anda tak temukan, segeralah minta maaf, rehabilitasi namanya, dan beri ganti rugi karena penayangan iklan di situs tersebut terganggu akibat pemblokiran.

Akhirnya pertanyaan kita jadi terfokus pada satu hal, “Apa sebetulnya makna radikal yang dipahami oleh BNPT?” Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh juru bicara BNPT Irfan Idris dalam konferensi Pers di Gedung Kemenkominfo, Selasa (31/03) kemarin. Dalam konferensi persnya, Professor di UIN Alauddin Makassar itu mengatakan bahwa kriteria radikal menurut BNPT adalah “Pertama, ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, Kedua, mengkafirkan orang lain (takfiri). Ketiga, mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara terbatas. (sumber: Republika.co.id),

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah dakwatuna memenuhi satu saja dari empat kriteria tersebut?

Apakah dakwatuna menginginkan perubahan secara cepat dengan menggunakan kekerasan? Atau apakah ia mengkafirkan kelompok yang berbeda dengannya? Atau mendukung ISIS? Atau memaknai jihad secara terbatas? 

Sejauh yang saya tahu, tidak ada satu pun dari empat kriteria itu yang sesuai dengan model pemberitaan di dakwatuna. Bukan sebab saya merupakan salah satu kontributor di media islam tersebut, jika dakwatuna benar-benar radikal dan ekstrem, saya setuju situs tersebut ditutup. Bagaimanapun terorisme harus kita perangi, tetapi serampangan menutup situs-situs berbau agama “hanya karena ketakutan berlebihan terhadap ideology kererasan”, adalah kesalahan.

Jangan sampai misalnya, penutupan dakwatuna disebabkan hanya karena situs tersebut sering mengkritik pemerintah sebagaimana disampaikan Irfan Idris dalam konferensi persnya. “Judulnya memang tolak ISIS, tapi belakangnya demokrasi buruk. Jokowi bla bla bla. Ini kan sama saja mendiskriminasi,” demikian Irfan sebagaimana dimuat di laman Republika.co.id kemarin. Jika hanya karena anti terhadap jokowi, apakah ia memenuhi kriteria radikalisme ? jika tidak, maka ini kekeliruan, BNPT telah melampaui kewenangannya dengan masuk ke ranah politik.

Lagi pula, kemerdekaan pers dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, jika pun dakwatuna misalnya, tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ‘pers’, kemerdekaan menyuarakan pendapat sesungguhnya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Mengutip pandangan Mantan Ketua MK, Prof.Jimly Ash-Shiiddiqie Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, memberikan jaminan konstitusional secara tegas untuk mengemukakan pendapat sebagaimana dimuat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia. (www.jimlyschool.com).

Jika penutupan situs dakwatuna hanya karena anti terhadap Jokowi, maka selamat, kita telah kembali ke zaman orde baru dimana masyarakat yang mengkritik pemerintah akan dibredel penguasa.

Sebagai lembaga Negara, permintaan penutupan situs sebagai media informasi yang dilindungi UU bahkan UUD mestilah mengacu kepada landasan legal formal. Pertanyaannya adalah, “landasan legal formal mana yang dilanggar oleh dakwatuna?”

Jika, permintaan BNPT kepada Kominfo untuk menutup situs-situs itu adalah berdasarkan kepada UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme”, atau Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang”, Pasal mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Bukankah dakwatuna patut tahu alasan pemblokirannya?

Atau, jika alasan penutupan itu mengacu kepada Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mari bertanya pasal mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Apakah pasal 28 ayat (1) dan (2)? Jika iya, kita patut bertanya berita mana di laman dakwatuna yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, atau merugikan konsumen (pasal 1)? Atau bagian mana dari laman dakwatuna yang menimbulkan kebencian dan permusuhan individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA (pasal 2)?

Jika tidak ada satu pun pemberitaan di laman dakwatuna yang memenuhi kriteria pada pasal tersebut, maka situs dakwatuna bisa memidanakan BNPT dan Kemenkominfo ke pengadilan jika benar permintaan penutupan itu mengacu pada pasal 28 UU ITE.

Pemetaan Kelompok Islam di Indonesia
Radikalisme dalam beragama, bisa kita bagi ke dalam dua aspek. Radikal dalam pemikiran, dan radikal dalam aksi. Tidak semua gerakan Islam yang radikal secara pemikiran otomatis radikal pula secara aksi. Hizbut Tahrir misalnya, ia radikal secara pemikiran, anti Pancasila dan NKRI. Pemerintah disebutnya sebagai thaghut dan sistem demokrasi kita dianggap sebagai sampah dan kubangan lumpur, tetapi secara aksi, doktrin Hizbut Tahrir sama sekali menghindari kekerasan. Adapula, gerakan yang mendukung Pancasila dan NKRI tapi mudah melakukan kekerasan ketika melawan kemaksiatan, ideologinya mendukung NKRI dan Pancasila, tetapi dalam aksi-aksinya kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Gabungan dari keduanya, ada gerakan yang menentang NKRI sekaligus melakukan kekerasan, kelompok JI di Indonesia adalah salah satunya. Sebaliknya, ada gerakan Islam yang mendukung NKRI plus anti kekerasan.

Fragmentasi gerakan-gerakan Islam ini perlu dipahami oleh Negara sehingga Negara tidak gebyah uyah dalam mengambil keputusan. Negara harus paham mengapa misalnya, Muhammad al-Khaththath, salah satu pendiri Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dikeluarkan dari Organisasi HTI ‘alamy kemudian mendirikan Hizbud Dakwah Indonesia. Negara harus memahami mengapa Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) berpisah dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengapa lahir Lembaga Dakwah Kemuliaan Islam (LDKI) yang basis massanya beririsan dengan aktivis Gerakan Tarbiyah, mengapa sesama gerakan Salafy (Middle East oriented) saling men-tahzir satu dengan yang lain, dan seterusnya.

Epilog
Yang perlu dipahami adalah, Negara tidak boleh memandang rakyatnya sendiri sebagai musuh. Bagaimanapun “kelompok yang keras-keras itu adalah bagian tak terpisahkan sebagai warga Negara , sebagai bagian dari civil society, sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat kita. Bukankah kita sering mengatakan alangkah indahnya menerima perbedaan secara bijak? Mengapa kalangan yang acapkali mengampanyekan “mari rayakan perbedaan” kerap tak bijak menerima kelompok yang berbeda dengan mereka?

Dua minggu silam, saat menjadi salahsatu narasumber dalam dialog dengan pemimpin-pemimpin mahasiswa di Malaysia, saya terharu ketika salahsatu penanya mengatakan, “Kami cemburu dengan Indonesia. Anda di sana dapat berbicara jauh lebih bebas daripada kami di Malaysia, di sini kami tak memiliki kebebasan dalam menyuarakan pendapat”.

Benar. Kelebihan Indonesia adalah demokrasi. Bersama Tukri, kita adalah Negara yang secara sejuk berhasil menjadi representasi Negara Muslim yang menerapkan demokrasi secara fair dan konstitusional. Lalu apakah kita akan mundur ke belakang dengan melakukan penutupan media-media tanpa memilahnya secara tepat?
Salam
Sigit Kamseno
Twitter: @mistersigit

Lapor Komandan! Konsep Politik Syiah itu Berbahaya bagi NKRI!

14242268211693249550
Umat Syiah peringati Karbala (www.bersamadakwah.com)


Satu minggu ini, kita dibuat geger oleh penyerangan sekelompok preman ke perumahan Bukit Adz-Dzikra, Sentul, Bogor. Menurut pimpinan Majelis Dzikir Adz-Dzikra, al-Ustadz Muhammad Arifin Ilham, semoga Allah menjaga beliau selalu, penyerang tersebut berasal dari kelompok syiah yang merasa tersinggung akibat pemasangan spanduk anti syiah di kompleks perumahan Muslim itu. Tak cukup disitu, pidato seruan jihad ulama ahli dzikir itu menyebar di media sosial. Seruan itu demikian menggelegar, membuat pendengarnya merinding sebab beririsan langsung dengan semangat membela agama. Dukungan terhadap ustadz Arifin pun menjamur, mulai dari sokongan pimpinan ormas-ormas Islam, hingga kalangan masyarakat di akar rumput. Status yang menjadi awal berita di laman facebook ustadz kelahiran Kalimantan itu dikomentari ribuan orang, tak sedikit di antaranya mengatakan “Siap Menunggu Perintah!”

Selama ini, ustadz Arifin Ilham dikenal sangat lembut, bertutur santun, selalu menyebutkan nama pribadi sebagai kata ganti aku, dan tawadhu’. Pun, beliau menggunakan kata sapa ‘abang’ atau ‘ayahanda’ kepada sesiapa yang lebih tua sebagai sebentuk ihtiram atau penghormatan. Majelis dizkirnya di berbagai kota dihadiri ribuan umat yang larut dan khusyu’ dalam lautan dzikir. Tangisan jamaah ketika hanyut dalam alunan dzikir dengan berbagai macam penyesalan dosa dan harapan terdengar bersahutan, begitu selalu.

Namun memang, berhati-hatilah dengan marahnya mukmin yang sabar, sebab ia marah karena panggilan iman. Bahkan seorang yang sangat sufistik dan berbudi luhur semoncer al-Syaikh Baiduzzaman Said Nursi pun, marah ketika harga diri dan kehormatan agamanya dilanggar. Pun demikian Hadhratu al-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama,  yang tak tunduk pada siapapun yang menantang agamanya. Sekadar informasi, cucu KH.Hasyim Asy’ari, KH.Shalahuddin Wahid atau Gus Sholah—yang juga guru kami semua sebagai warga yang dibesarkan dalam tradisi NU—juga berkomentar saat ditanya bahwa pemasangan “spanduk menyesatkan dan rasis” anti syiah itulah yang menjadi penyebab penyerangan, serta merta kyai pimpinan pondok Pesantren Tebuireng itu menjawab,  “itu bukan Rasis, jika tak setuju bisa dilawan dengan spanduk.” Kicaunya di akun twitter.

Tahun 1997, sebetulnya PBNU dalam surat yang ditandatangani oleh Rais Am KH.M.Ilyas Ruhiyat dan Katib Am KH.Dawam Anwar telah menginisiasi penerbitan buku tentang syiah agar umat tidak terkecoh propaganda syiah yang menyamakan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan syiah. Jauh sebelumnya, Hadhratu al-Syaikh KH.Hasyim Asy’ari (1875-1947) mengatakan “semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran (syiah) ini.” Saat membahas syiah, kyai Hasyim menukil fatwa Imam Qadhi Iyadh dalam kitab al-Syifa yang menjelaskan sesat dan kafirnya kaum syiah.
Saya, justru tak habis pikir dengan kicauan aktivis berpemikiran Islam liberal seperti Zuhairi Misrawi yang menyindir ustadz Arifin Ilham pasca kasus itu dengan sebutan “ustadz penjaja dzikir yang menebarkan kebencian”.  “penjaja dzikir”, dapatkah engkau fahami kalimat sarkastik yang merendahkan itu? Melihat Zuhairi merendahkan tokoh agama, saya teringat Tan Malaka merendahkan Diponegoro. Tokoh agama, siapapun yang tak sejalan dengan pandangannya, dikritiknya penuh sarkasme.

Konsep Politik Syiah Berbahaya bagi NKRI
Segera saja, kumandang Jihad sang ustadz itu mengundang respon tokoh-tokoh yang selama ini dikenal kerap membela Syiah. Dina Sulaiman, ibu rumah  tangga yang tulisan-tulisannya acap membela syiah menulis surat terbuka kepada ustadz Arifin Ilham dengan bahasa mendayu dan sentimentil. Alumnus program S2 di Tehran University, Iran, ini meminta agar ustadz Arifin tak “kerahkan pasukan” karena akan berbahaya bagi negara Indonesia, jangan sampai Indonesia luluh lantak selayak Libya dan Suriah, pesannya. Dina nampak cinta Indonesia, sayangnya istri dari Otong Sulaeman –seorang yang juga mengecap studi di Qom, Iran– ini sama sekali “luput” untuk menyinggung atau menyalahkan penyerangan yang dilakukan preman syiah tersebut, ia justru berpesan agar Arifin Ilham bijak dan tak serukan kumandang jihad karena akan berakibat buruk bagi NKRI, semacam ancaman halus?

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Dina lupa bahwa konsep politik syiah sebetulnya justru tak kalah berbahaya bagi NKRI?

Kita tahu, syiah bukan sekadar sekte dalam aliran teologi, ia adalah persenyawaan paham teologi dan konsep politik. Kelahiran madzhab syiah, jika boleh disebut madzhab, tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik pada zaman awal Islam. Dalam berbagai literatur kita tahu bahwa syiah, yang kemudian berkembang dalam puluhan sub-sekte itu, tak bisa dilepaskan dari faktor politis, baik saat penentuan siapa pemimpin pengganti selepas wafatnya Nabi, atau saat perang Jamal dan Shiffin.  Dari sejarah yang politis itu, konsep politik syiah hingga kini terus mengalami perkembangan.
Di era modern, yang paling mencolok dari konsep “theo-politis” khas syiah terutama terletak pada kuasa Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin tertinggi yang dipilih oleh Majelis Khubregan pada konsep vilayatul faqih)  sebagai pemegang kendali yang “lebih berkuasa” dari kepala negara.
Tokoh kharismatik yang duduk sebagai Rahbar ini memegang otoritas kepatuhan yang lebih diimani penganut syiah ketimbang siapapun yang ada di dunia ini, termasuk kepala negara. Bagaimanapun, vilayatul faqih diyakini sebagai penerus imamah selama imam masih ghaib, dimana imamah itu sendiri bagi kaum syiah merupakan bagian dari inti agama, yakni aqidah. Dhiauddin Rais menggambarkan posisi imamah dalam doktrin syiah sebagai pokok Islam yang tumbuh dan cabang-cabangnya meninggi.

Berbeda dengan kaum sunni yang lebih dinamis dalam menafsir relasi agama- negara, syiah kukuh pada prinsip teokrasi, yakni negara syiah. Iran adalah contoh terbaik tentang konsep negara agama versi syiah di era kontemporer sebagai hasil dari revolusi khumaini pada 1979. Khumaini mengatakan, selama ghaibnya imam al-Mahdi, kepemimpinan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Oleh karena itu, sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya karena ia memiliki kekuasaan dan otoritas sebagaimana yang dimiliki Nabi dan para imam terdahulu.  Doktrin syiah, menempatkan imam mereka dalam posisi suci, Carl Brown (2000) menyebut doktrin imam mahdi syiah ini sejajar dengan peran messiah dalam agama Yahudi atau Kristus di dalam kepercayaan Kristen.

Saya teringat tulisan dari Khamami Zada, seorang intelektual muda NU dalam Jurnal Tashwirul Afkar medio 2007.  Ia menuangkan kekhawatirannya akan ancaman gerakan Islam trans-nasional seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir yang dianggap berbahaya karena dianggap membawa pandangan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia dengan watak yang secara politik dan doktrin agama memengaruhi pandangan keagamaan masyarakat lokal di Nusantara.

Sebangun dengan alam pikiran Khamami Zada, selayaknya gerakan syiah dimasukan sebagai ancaman yang lebih serius. Ancaman berbahaya syiah bagi NKRI adalah apabila mereka berhasrat menerapkan konsep politik beraroma imamahnya itu di Indonesia. Tidakkah, konsep teokrasi versi syiah yang diimani sebagai “negara yang dijaga oleh penerus para imam yang suci dari dosa” ini berbahaya bagi NKRI?

Ikhwanul Muslimin (IM), bahkan sebetulnya tidak berbahaya karena gerakan asal Mesir itu memandang politik hanya sebagai bagian dari ranah muamalah, bukan perkara aqidah. IM perlu ditempatkan sebagai gerakan yang cukup moderat untuk menerima demokrasi, belakangan kelompok ini malah semakin moderat dengan melakukan “indigenisasi” gagasan-gagasannya terhadap tradisi dan kearifan lokal Nusantara. Dibanding Hizbut Tahrir (HT), syiah juga jauh lebih mengancam. Sekalipun berhasrat untuk mendirikan khilafah atau pemerintahan Islam, doktrin Hizbut Tahrir melarang anggotanya menempuh jalan kekerasan dalam meraih tujuan, hal ini berbeda dengan syiah yang revolusioner dan radikal, saya harap kita tidak lupa dengan revolusi syiah 1979 yang menggulingkan pemerintahan Reza Shah Pahlevi.

Terkait revolusionerisme syiah itu, ketika membedah tentang fundamentalisme Agama, Ian Adams (1993) dalam bukunya Political Ideology Today, mengatakan bahwa sekalipun minoritas, fundamentalisme syiah mampu menghasilkan fundamentalisme yang paling besar dan agresif. Pada saat yang sama, bedah Adams, ulama syiah juga memiliki peran lebih penting daripada lembaga negara. Ian Adams juga mencatat doktrin Khumaini yang melancarkan fatwa bahwa para ulama wajib meruntuhkan pemerintahan yang represif, ulama tidak boleh hanya memberi saran tentang hukum dan tindakan pemerintah.

Nampaknya, semangat yang samalah yang mendorong  empat orang pemuda Iran mengunjungi Buya Hamka di kamar hotelnya untuk mengajarkan revolusi syiah di Nusantara. Saat itu dengan tegas Hamka menjawab, “Kami adalah bangsa merdeka dan tidak menganut syiah!”
Radikalisme syiah juga digambarkan oleh Olivier Roy , yang mengatakan bahwa kendati syiah merupakan agama kontemplatif, mistis, dan politis seperti dilakukan Ali Syariati, namun ada beberapa tema dalam “imajinasi syiah” yang bersebangun dengan semangat-semangat revolusioner, yakni kesadaran sejarah, milenarisme –keyakinan munculnya masyarakat ideal lewat tindakan revolusioner, gagasan keadilan sosial—devaluasi kekuasaan temporal, dan sebagainya. Tema-tema ini dilukiskan sebagai teladan oleh para tokoh syiah sehingga melahirkan semangat revolusi yang menggebu-gebu.

Sedemikian radikalnya, di kalangan internalnya sendiri sebetulnya kelompok syiah tidak akur satu sama lain. Misalnya pada kasus pendirian Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) oleh para habaib syiah sebagai protes atas diangkatnya Jalaludin Rahmat sebagai ketua IJABI. Pembentukan LKAB yang kemudian berkembang menjadi Ahlul Bait Indonesia (ABI) ini didasari oleh ketidakpuasan kelompok keturunan Arab Alawiyin karena Jalaludin Rahmat adalah orang sunda dan bukan keturunan bangsa Arab Alawiyin sehingga tidak layak menjadi pimpinan lembaga syiah di Indonesia .

Epilog

Kita perlu memahami dan mendudukan syiah tak hanya sebagai faham teologi an sich, tetapi sebagai doktrin politik yang akan berimplikasi pada stabilitas politik nasional. Ketika doktrin imamah syiah menemukan ruangnya dalam konstelasi politik kita, perjuangan berdarah-darah para pahlawan dalam membangun Indonesia yang humanis, nasionalistik, demokratis, dan menjaga ketinggian tradisi nampaknya perlu dimulai kembali dari angka nol.

Salam
Twitter: @mistersigi
Referensi:
Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UIPRess, 2002
John L.Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Khamami Zada, “Agama dan Tradisi Kultural: Pertarungan Islam Lokal dan Islam Kaffah” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No.23/2007, “Agama Tradisi dan Tradisi Agama: Pertarungan, Negosiasi, dan Akomodasi”
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993
Mahfudz Shiddiq,  Pemikiran dan Manhaj Politik Ikhwanul Muslimin, Jakarta, Tarbiatuna: 2003
Majelis Ulama Indonesia, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, ttt, Formas, tt
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, tt
Reslawati, “Menelusuri Jaringan Syiah di Jabodetabek”, dalam Jurnal Harmoni, Vol IX No.36/2010, “Hubungan Antarumat dan Kebebasan Beragama”
Tan Malaka, Aksi Massa, Jakarta: Narasi, 2013


Bimuat di bersamadakwah.com

Soal KPK vs Polri, Saya ingin Jadi Penonton Saja

Soal konflik KPK dan Polri, saya ingin jadi penonton saja. Menonton sambil muak menahan muntah. Ada banyak puzzle yang nampak berkaitan satu sama lain sekalipun tidak mudah dicari sambungannya. Anda masih ingat pertemuan politisi PDIP Trimedya Panjaitan dengan komisioner KPU, Haidar Nafis Gumay, menjelang pilpres lalu? Rupanya waktu itu Trimedya sedang duduk makan dengan Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan. Menurut sang Jenderal, pertemuan itu murni urusan makan. Anda percaya ada seorang jenderal bintang tiga melakukan pertemuan dengan politisi dari partai  besar penyokong capres kemudian bersapa dengan komisioner KPU adalah murni urusan makan? Its ok untuk Hadar Nafis Gumay yang  katanya hanya bersapa beberapa detik karena kebetulan berpapasan, dan Dewan Etik KPU pun membebaskan ia dari tuduhan konspirasi, baiklah saya terima itu, tapi pertanyaan dalam kerangka apa seorang Komisaris Jenderal Polisi yang setara dengan Letjen pada militer itu, bertemu dengan politisi PDIP yang waktu itu sedang menyokong calon presiden? Sulit rasanya menerima bahwa itu “sekadar urusan makan”.

Selepas Jokowi terpilih sebagai presiden, Komjen Budi Gunawan inilah yang belakangan diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo. Calon tunggal, pemirsa! Padahal ia sudah mendapat kartu merah dari KPK. Kompolnas pun, sebagai sebuah lembaga yang memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian kapolri, baru menyampaikan draft calon-calon Kapolri pengganti Jenderal Sutarman kepada Jokowi, dan belum finish karena belum sampai pada tahap wawancara. Tapi “cerdas”nya, Jokowi bersegera mengajukan nama Budi Gunawan ke DPR, ada kepentingan apa demikian tergesa?

“Padahal yang kami serahkan baru draft, kami belum lakukan wawancara semua kandidat. Eh tapi Jokowi sudah kirim surat ke DPR. ‘Cerdas’ Jokowi itu,” sindir komisioner Kompolnas Adrianus Meliala sebagaimana dikutip Kompas.com (25/01).

Pertanyaannya kemudian kenapa Jokowi hanya ajukan calon tunggal? Kenapa harus Budi Gunawan yang merupakan mantan Ajudan Megawati itu? rakyat akhirnya menaruh curiga bahwa Budi Gunawan hanyalah perpanjangan tangan Megawati untuk kepentingan dirinya. Dalam hal ini nampak Jokowi telah gagal menjalankan fatsun politik Manuel Luis Quezon yang paling terkenal di dunia: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”

Dalam akun twitter-nya, Denny JA, penyokong Jokowi pra pilpres lalu  bahkan mengunggah sejumlah foto meme yang menyindir Megawati dan Jokowi.  Denny menggambarkan bahwa mantan Gubernur DKI itu hanyalah boneka ketua umum PDIP.

Pun, ekonom Rizal Ramli juga lakukan hal serupa. Dua jam sebelum Jokowi memberhentikan  Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, ia mengirim pesan di akun twitternya, @RizalRamli. Ia mengingatkan  Jokowi untuk tetap di jalur konstitusi.

“Mas Jokowi, you are the President, act like one! Tugas presiden adalah menegakkan undang-undang, tegakkan hukum, termasuk anti korupsi,” pesannya.

Ia juga menulis begini: “Saya dekat dengan Bang TK dan Mbak Mega. Saya sayang Mbak Mega. Perlu saya ingatkan, wis lah, jangan dipaksakan, jangan kebablasan,”  pesan Menko Perekonomian era Gus Dur itu.

Semua menaruh curiga yang sama, dan punya kegemasan yang sama. Ingin rasanya berkata “Jokowi, You are the real President! Presidennya itu Anda! Kewenangan ada di tangan Anda! act like one!”
Dus, pertanyaan selanjutnya muncul mengikuti, ada apa dibalik pemberhentian Jenderal Sutarman dari jabatannya sebaga Kapolri? Bahkan pemberhentian tersebut dipaksakan hingga melanggar undang-undang kepolisian? Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra  yang merupakan penyusun UU tersebut, Jokowi melanggar pasal 11 UU No.2/2012 tentang Kepolisian yang mengamanatkan bahwa  “Pemberhentian dan Pengangkatan Kapolri harus satu paket dan melalui persetujuan Dewan”, Jokowi melanggar UU itu.

Yusril menambahkan bahwa pemberhentian Kapolri memang bisa dilakukan oleh presiden dalam keadaan mendesak hanya dan hanya jika kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keselamatan negara. Bagian mana dari dua faktor  ini yang dilakukan oleh Jenderal Sutarman? Jika Pak Sutarman tak lakukan pelanggaran tersebut, patut kita bertanya ada kepentingan sangat besar apa dibalik “pemaksaan” pengangkatan  Budi  Gunawan oleh Jokowi itu?

Saya Ingin Menonton Saja
Pasca kasus KPK vs Polri ini, ramai-ramai publik mengganti foto profil dengan gambar #saveKPK, tagar itu jadi trending topic di twitter berhari hari lamanya. Broadcast untuk mengganti foto pofil akun medsos kita menyebar cepat. Pada prinsipnya kita semua mendukung pemberantasan korupsi, itu harga mati. Tapi dibalik euphoria dukung mendukung KPK versus Polri itu saya ingin masalah Budi Gunawan (BG) dan Bambang Widjojanto (BW),  yang keduanya sama-sama tersangka itu, kiranya dipersonifikasi saja, jangan dibawa ke ranah institusi masing-masing.

Kita dukung KPK untuk berantas korupsi, tetapi kita juga perlu mendukung kepolisian untuk menegakkan hukum. Kedua institusi itu tetap penting bagi negara kita sebagai negara hukum. Jangan terjebak pada dukung mendukung salah satunya. Jika Anda berfikir bahwa penetapan tersangka kepada Bambang Widjojanto adalah cara Polri untuk memandulkan KPK, mengapa Anda tidak berfikir bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK juga merupakan cara lembaga anti rasuah itu untuk tampil superior dengan memandulkan Polri?

Jika Anda menaruh curiga mengapa penetapan tersangka atas Komisioner KPK Bambang Widjojanto baru dilakukan pasca Komjen Budi Gunawan ditersangkakan oleh KPK –padahal kasus BW terjadi pada 2010 sehingga sangat terlihat seperti balas dendam— lantas kenapa Anda tak berikan pertanyaan serupa kepada KPK: “mengapa KPK baru menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, saat Jenderal Bintang Tiga itu diajukan sebagai Kapolri, kenapa tidak dari dulu, sehingga terkesan KPK ingin menjegal karir, atau mencari  momentum agar dapat liputan media lebih luas?
Saya ingin katakan bahwa, jika apa yang dituduhkan kepada BW itu terbukti  benar, maka BW pun wajib dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai UU.

Tidak boleh ada warga negara di republik ini yang kebal hukum sekalipun ia adalah pimpinan lembaga negara semacam KPK. Adalah Fahri HAmzah, mantan aktivis Mahasiswa eksponen 98 yang kini menjabat sebagai wakil ketua DPR sudah mengingatkan itu jauh-jauh hari. Tak boleh ada lembaga di negara ini yang menjadi superbody, kebal hukum, Katanya.

Kasus BW ini harus diusut secara adil. Akan berbahaya jika di negara ini ada orang  per-orang atau lembaga yang superbody, kebal hukum, karena hal itu sangat rawan pada penyelewangan kekuasaan. Sejatinya, Fahri Hamzah hanya menerjemahkan doktrin terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”  Kekuasaan absolute, superbody, kuasa penuh, itu rawan penyelewengan!

sebagaimana Budi Gunawan, Bambang Widjojanto pun jika ia bersalah maka patut dijatuhi hukuman. Jangan hanya karena ia dipuja sebagai pemberantas korupsi lantas ia dibebaskan dari kesalahan yang fatal: “sebagai pengacara ia disangkakan mengarahkan saksi untuk memberikan kesaksian palsu di persidangan dalam kasus Pilkada”, kita tentu tak ingin ada jutaan rakyat di satu kabupaten dipimpin oleh kepala daerah yang sebetulnya kalah tapi dimenangkan lantaran kecurangan pengacara, jutaan rakyat dipimpin oleh pemimpin yang tak mereka pilih!

Abi-Ummi, Janggut dan peci
Menyusuli kasus ini, belakangan kemudian muncul broadcast tentang keindahan keluarga Bambang Widjojanto. Ketegaran keluarganya, juga sapaan di keluarganya yang menggunakan frasa-frasa “Abi, Ummi,” dan seterusnya. Islami sekali, indah dan merupakan prototype keluarga sakinah. Kita kenal Bambang Widjojanto adalah aktivis, pun demikian dengan Abraham Samad, keduanya rajin shalat, memelihara sunnah dengan memanjangkan janggut, kerap tampil berkopiah, dan seterusnya. Tapi hal tersebut tentu saja tak boleh menjadikan kita berlaku tidak adil. Tak ada urusan dengan kata sapaan Abi –Ummi, janggut dan peci, jika ia terbukti bersalah ia  patut dijatuhi sanksi dan tak boleh dimenangkan. Dalam sejarah Islam, jangankan yang berjanggut dan berpeci, Khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib bahkan pernah dikalahkan dalam sidang, dalam kapasitasnya sebagai pendakwa baju zirah waktu itu.

Sebagian pihak menduga perkara broadcast frasa “Abi-Ummi” dan keluarga nan Islami Bambang Widjojanto yang beredar belakangan adalah upaya untuk menyeret aktivis sosmed PKS agar ikut turun meramaikan lapangan pertandingan cicak vs buaya jilid II itu. Sebagaimana kita tahu kader PKS termasuk segmen masyarakat paling aktif di sosmed. Bahkan, demikian ramainya aktivis partai dakwah itu di media sosial, mereka memiliki kekuataan merubah paradigma para netizen dalam isu-isu aktual via broadcast. Dengan memunculkan pesan berantai “Abi-Ummi” itu diharapkan aktivis PKS terjun membantu #saveKPK lantaran frasa itu relatif akrab di kalangan kader PKS.
Tapi rupanya tidak. Kader PKS bergeming. Mereka tidak terlibat dalam dukung mendukung KPK atau Polri. Hal ini mungkin karena kader PKS punya pengalaman tak menyenangkan dengan KPK sejak penggeledehan kantor mereka oleh lembaga anti rasuah itu lantaran kasus impor sapi. Pun dengan vonis maksimal kepada Luthfie Hassan Ishaq (LHI), Presiden PKS, yang bahkan tidak merugikan negara meski hanya 100 rupiah, uang dari Fathanah tidak sampai ke tangannya, pun Fathanah mengakui uang yang diterimanya saat penangkapan itu bukan untuk LHI. Tapi apa lacur, dengan segala kejanggalan kasus itu, LHI sudah dihukum maksimal untuk kesalahan yang tak ia lakukan. KPK melakukan festivalisasi kasus ini dengan menggiring opini publik pada hal-hal yang tidak relevan dengan kasus, sehingga PKS disidang oleh persepsi publik sementara fakta persidangan sangat lemah. Jika penuntut melakukan festivalisasi dan mengangkat sisi-sisi personal terdakwa yag tak berkaitan dengan kasus, itu artinya kasus tersebut memang lemah!

Aku ingin menonton saja
KPK memang penting, sebagaimana Polri juga merupakan lembaga yang penting. Tetapi penting pula  untuk meletakan orang-orang bersih di sana. Orang yang independen, fokus pada penegakan hukum, pemberantasan korupsi, bukan atas pesanan sebagian pihak. Ingat kasus Anas, ia ditersangkakan oleh KPK hanya beberapa hari setelah presiden menanyakan bagaimana status mantan ketua HMI itu, sebelumnya Anas tak berstatus apa pun dalam kasus Nazaruddin. Harap kita ingat pula apa yang diungkapkan oleh plt.Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bahwa ketua KPK Abraham Samad pernah bertemu dengannya dengan mengenakan masker dan topi untuk menghindari publik. Tak ada yang salah jika ia ingin jadi wakil presdien waktu itu, tetapi kepentingan politik ini rawan dengan “politik balas dendam” jika ia gagal melaju sebagai cawapres, persis seperti yang ditudingkan oleh Hasto.
Bukankah Abraham Samad yang terburu-buru pulang lebih awal sebagai narasumber sebuah kuliah Umum di Universitas Gajah Mada, kemudian bertemu Jokowi secara “tak sengaja” di ruang VIP Bandara Adi Soetjipto, Yogyakarta?

Sebagai rakyat kecil, saya tak ingin mendukung Polri atau pun KPK, siapapun yang bersalah harus dijatuhi sanksi sesuai undang-undang. Saya tak ingin dukung Polri atau KPK, saya hanya ingin mendukung kebenaran!
Salam

Surat Terbuka untuk Ustadz Yusuf Mansur

www.wisatahatiyusufmansur.com

Assalamu’alaikum Wr Wb

Ustadz Yusuf Mansur, selaras dengan ucapan salam nan mulia ini, saya berdoa kiranya Allah memberikan padamu keberkahan, rahmat dalam setiap langkah, perlindungan, penjagaan, dan menerangi setiap langkahmu dengan cahaya-Nya yang tidak pernah redup.

Saya adik kelas antum, ustadz. Kita sama-sama alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, hanya saja berbeda fakultas. Antum Fakultas Syariah dan Hukum, saya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Beberapa tahun lalu istri saya membeli satu paket masterpiece karya tulis ustadz, Wisata Hati, yang jika tak keliru terdiri dari empat buah buku. Mohon maaf sebelumnya, karena terus terang saya tidak habis membaca buku itu. Saya pikir, pilihan bahasanya terlalu sederhana bagi saya yang gandrung buku-buku pemikiran, namun sejurus kemudian segera saya insafi, saya paham bahwa antum bersengaja menulis buku itu dengan kalimat sederhana agar masyarakat kita mudah menangkap pesan yang ingin antum sampaikan.

Sebab demikian banyak buku keagamaan yang sarat bahasa langit, bahasa kaum intelektual yang tak mudah dimengerti, yang membuat pembaca mengernyitkan dahi sebab buku tersebut memang hanya untuk kalangan tertentu, bukan untuk masyarakat secara umum. Masyarakat kita perlu buku yang praktis, sehari-hari, sederhana dan aplikatif. Tahniah untuk antum ustadz, karena telah mengisi kekosongan itu. Agar sederet buku agama tidak menjelma menara gading: indah, membuat orang berdecak, namun mereka tak kuasa menggapainya.

Ustadz Yusuf Mansur, beberapa waktu lalu antum ramai diperbincangkan di dunia maya, karena sikap antum yang dipandang berani membela kepentingan ummat. Tak sedikit yang mencibir, menjadikan antum bahan olok-olokan atau di-bully di media sosial. Jangan takut ustadz, selama antum membela kebenaran, jutaan umat ini insya Allah akan tetap berdiri bersamamu, saling menggenggam dan membahu untuk bersama menjaga agama.

Antum yang bereaksi keras atas rencana penghapusan tata cara berdoa Islam di sekolah. Reaksi terhadap wacana pengaturan ulang tata cara berdoa di sekolah sebetulnya bukan hanya dari antum, ustadz. MUI, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lain, juga mengeluarkan reaksi serupa, tapi ummat ini terlanjur menaruh beban di pundak antum. Sehingga pendapat antumlah yang sangat cepat menyebar dimana-mana.

Sekalipun kemudian Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan kemudian menyampaikan klarifikasi, sungguh sulit untuk menerima sebuah statementnya yang mengatakan : “Sekolah negeri harus mempromosikan sikap Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan satu agama,” di sejumlah portal nasional, termasuk keinginannya untuk membuat regulasi yang mengatur mengenai penggunaan doa sebelum dan sesudah sekolah agar tidak didominasi oleh satu agama tertentu. Pertanyaan besar muncul dalam benak kita, “memang ada masalah apa selama ini dengan tata cara berdoa di sekolah?”

Tentu sebagai bagian terbesar dari komposisi penduduk negeri ini, lebih dari 84% dari 230juta jiwa, dominasi masyarakat beragama Islam tidak bisa dinafikan. Kecuali hanya pada sedikit kota, umat Islam di Indonesia pasti mendominasi, lalu apakah salah jika doa dipimpin dengan “tata acara agama tertentu”? apakah kata ‘Allah’ akan diganti ‘Tuhan’ saja, dan doa-doanya dibuat se-universal mungkin? Sementara pada saat yang sama jumlah jam pengajaran agama juga tidak bertambah. Di saat negara-negara sekular mulai mendekat ke agama, Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini, yang penduduk Muslimnya lebih banyak dari seluruh penduduk negara-negara timur tengah apabila disatukan, justru nampak ingin menjauhkan diri dari agama.

Kementerian Agama, melalui Sekretaris Jenderal Kemenag Prof.Dr.H.Nur Syam, maupun Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Prof.Dr.H.Kamaruddin Amin menyatakan bahwa pengaturan tata cara berdoa sebetulnya bukan hal yang aktual untuk dipermasalahkan. Kata Prof.Kamaruddin, Guru agama Islam, misalnya, mengajak berdoa sebelum dan sesudah pelajaran yang tentunya secara Islami. Begitu juga dengan pelajaran agama lain akan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran sesuai agama yang diajarkan tersebut. Karena itu, tidak ada format doa apa pun. Kita tahu, Kementerian Agama membawahi lembaga pendidikan untk semua agama, baik agama Islam maupun agama lainnya. Membuat riak sehingga menimbulkan kegaduhan seperti disampaikan Menteri Anies di masyarakat, bukanlah hal yang elok.

Ustadz Yusuf Mansur, sekiranya pada waktu itu antum tidak bereaksi keras yang menyebabkan pesan antum menyebar cepat melalui media sosial, sungguh saya ragu Anies Baswedan akan berikan klarifikasi.

Pun dukungan yang sama ingin saya sampaikan saat antum jelaskan larangan umat Islam mengucapan selamat Natal. Tidak ada masalah dengan itu. Sama sekali itu bukan merupakan sikap intoleransi. Toleransi adalah kita menjamin keamanan mereka merayakan hari besarnya, menjaga mereka berbahagia saat berhari raya, namun jika agama Islam sememangnya melarang untuk  ucapkan selamat hari raya bagi umat lain, maka umat beragama lain pun selayaknya menghormati keyakinan itu sebagai bagian dari keimanan yang berbeda. Mari buat semuanya mudah dan sederhana.

Ketika antum berkicau, ustadz, tentang rencana penghapusan kolom agama, atau pun pengosongannya, saya tetap mendukung. Tetaplah terdepan membela umat. Negeri kita hari ini dipenuhi pola pola tes the water, melihat riak gelombang untuk tahu reaksi masyarakat. Tes the water itu memang perlu ditanggapi, jika masyarakat hanya diam maka kebijakan itu akan ditelurkan. Wacana penghapusan kolom agama, pelarangan takbir keliling, merubah pakaian muslim ke pakaian adat di sekolah, pengaturan tata cara berdoa, dan seterusnya. Umat tidak boleh diam di saat seperti ini.

Ustadz, jika memang pundak antum telah dibebani amanah dan kepercayaan dari umat sebesar ini, tetaplah istiqamah. Jika di waktu-waktu ke depan muncul lagi tes the water terhadap umat Islam, tetaplah di depan.  Umat akan bersama antum, insya Allah!

Intelektual Muslim, Mengajarlah di IAIN!

Pekan ini, kita dibuat geger oleh sekelompok kecil Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya. Geger karena demikian sensasional tema besar mereka dalam menyambut mahasiswa baru, “Tuhan Membusuk, Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan” demikian tema yang mereka pandang dapat mencerahkan mahasiswa baru itu.

Frasa ‘Tuhan Membusuk’ itu sebetulnya nyanyian lama dengan aransemen baru. Sepuluh tahun silam, mahasiswa fakultas serupa di UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, berteriak “Anjinghu Akbar!” melengkapi ‘sabda’: “Selamat Datang, di Kampus Bebas Tuhan”.

Frasa-frasa bombastis dan ‘menyerang Tuhan’ ini memang “makanannya anak-anak Fakultas Ushuluddin dan Filsafat” di sejumlah kampus UIN/IAIN di Indonesia. Mahasiswa Ushuluddin diberikan kebebasan untuk menafsir tuhan, mengkritik hingga meragukan otentisitas al-Quran, atau menafsirkan shalat sesuai paham hermeneutik yang ada di balik kepala mereka. Sebagian (kecil) di antara mereka menolak shalat ritual dan menggantinya dengan ‘shalat sosial’, sebab ‘shalat sosial’ dianggap lebih substantif daripada shalat ritual.

Shalat ritual adalah shalat sebagaimana kita pahami, dengan bilangan rakaat, dan didirikan pada waktu yang telah ditentukan, sementara Shalat Sosial dipahami sebagai ibadah kepada Tuhan dengan melakukan kebajikan, memberdayakan kaum miskin, menolong kaum dhuafa, membebaskan rakyat dari belenggu kezaliman sebagaimana diyakininya, dst., Menurut “sebagian sangat sedikit’ mahasiswa itu, shalat sosial lebih bermanfaat daripada shalat ritual, dan oleh karenanya shalat ritual adalah hal yang tak terlalu diperlukan. Nampaknya mereka merasa lebih paham Islam ketimbang Rasulullah yang masih melakukan shalat ritual. Entah apa yang ada dibalik kepalanya ketika memahami ayat “inna shalata kaanat ‘alal mukminiina kitaaban mawquutaa” yang jelas merupakan perintah shalat  ritual itu.

Demikianlah, sekalipun sebagian kecil “tersesat pada akhirnya”, bagi mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat, kritisisme terhadap doktrin-doktrin agama diperlukan agar agama tak menjelma dogma yang sulit dipahami nalar. “Kami paham maka kami beriman, dan bukan sebaliknya”. Akal harus bisa menerjemahkan doktrin-doktrin agama supaya ia mengakar di dalam dada, karena akal adalah anugerah Tuhan yang membedakan manusia dengan binatang. Namun karena tidak seimbang, doktrin yang sebetulnya baik ini pada akhirnya menjadikan sebagian mereka menjadi sangat liberal, judul seminar ‘anak-anak Ushuluddin’ memang bombastis dan menggelitik nalar, seperti “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, “Ketika Keadilan Tuhan dalam Gender Dipertanyakan”, dst.
Sewaktu masih berkuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, kami pernah melakukan survei di bawah pengampu Dr. Saiful Mujani, begawan survei paling populer waktu itu yang juga mengajar Metodologi Penelitian di Fakultas.

Survei kecil-kecilan itu mencari korelasi antara liberalisme pemikiran Islam dengan sebaran jurusan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Hasilnya, Jurusan Aqidah Filsafat adalah jurusan dengan mahasiswa paling liberal dalam memahami Islam, disusul berturut-turut Jurusan Perbandingan Agama, Sosiologi Agama, lalu Tafsir Hadits, dan Pemikiran Politik Islam (PPI)  pada sudut paling konservatif. Waktu itu Saiful Mujani berseloroh, mungkin di PPI ini banyak anak LDK-nya, (Lembaga Dakwah Kampus).

Pada kesempatan lain, Saiful Mujani juga pernah mempublikasi hasil survey yang cukup menarik, bahwa kalangan Islam liberal lebih tidak taat agama daripada kalangan fundamentalis. Dalam pengertian, indikator taat agama dimaksud adalah shalat tepat waktu, melakukan shalat-shalat sunnah, membaca al-Quran, dll.

Sebagai alumni Fakultas Ushuluddin (dan atas kehendak Allah saya lulus dengan predikat cum laude),  saya tidak terkejut dengan tema “Tuhan Membusuk” yang digemborkan oleh mahasiswa di UIN Sunan Ampel itu. Saya ingin mencoba meraba apa yang dimaksud dengan “Tuhan” oleh calon-calon intelektual yang kontoversinya sudah pasti tapi jadi orang besarnya belum tentu itu,  saya coba menebak apakah Tuhan dimaksud adalah nafsu angkara yang meraja dalam dada manusia yang kian dipertuhankan hingga kita inginkan ia membusuk? Ataukah Tuhan Membusuk yang dimaksud adalah sebuah terma dimana manusia kian lupa kepada Tuhan, Tuhan didiamkan, tak disapa, tak dikunjungi sampai dikiaskan Ia “membusuk”?

Ataukah ‘tuhan membusuk’ adalah kesalahpahaman kalangan ‘fundamentalis’ sebagaimana diyakini oleh mahasiswa itu, tentang Tuhan yang kaku dan rigid, sehingga Tuhan menjadi demikian busuk yang atas nama-Nya membunuh orang lain menjadi halal dan dibenarkan? Ataukah tema “Tuhan Membusuk” ini hanya sebentuk kebebasan akademik sastrawi akibat gegar budaya, dimana mahasiswa-mahasiswa UIN itu mencoba bernalar liberal, anti mainstream, asal beda dan “sok sensasional?”

Rupanya rabaan ketiga yang benar. Tuhan membusuk yang dimaksud adalah “Tuhannya kaum fundamentalis” dalam pandangan mereka. Saya ingin kutip pernyataan Gubernur Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel sebagaimana diberitakan indonesia.faithfreedom.org:

Gubernur Senat Mahasiswa dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Rahmad Sholehuddin menjelaskan bahwa tema tersebut diangkat dikarenakan atau berangkat dari sebuah realitas yang ada.

“Sekarang tidak sedikit orang atau kelompok yang mengatasnamakan Tuhan membunuh orang lain,” kata Rahmad, Sabtu 30 Agustus 2014.

Demi (membela) Tuhan, rata-rata mereka rela mempertaruhkan nyawanya sendiri. Perilaku ini dianggap sudah lazim dan dilakoni oleh sebagian kelompok yang mengklaim paling shaleh. Kelompok yang mengklaim paling islami. Dari pemikiran tersebut, kelompok yang berbeda dengan mereka dapat dengan mudahnya dianggap atau dituduh kafir (darahnya halal).

Selain itu, fenomena yang terjadi dalam keberagamaan yang mulai menempatkan spiritualitas sebagai alternatif pemecahan berbagai problem kehidupan. Ironisnya, ada juga yang beragama dengan bertitik tolak pada pertimbangan matematis-pragmatis.

“Agama (Tuhan) tidak lebih hanya dijadikan sebagai pemuas atas kegelisahan yang menimpanya. Tidak salah kalau sekarang agama dikatakan berada di tengah bencana,” tegas mahasiswa dari jurusan Perbandingan Agama ini.

Salah satu mahasiswa lainnya, Rahmad juga memberi contoh, ketika ditimpa musibah maka dengan reflek masyarakat ingat Tuhan. Keadilan Tuhan pun digugat. Di sisi lain, peran Tuhan kerap berada dalam simbol ketidakberdayaan.

“Lagi-lagi Tuhan berada di pojok kesalahan. Itulah salah satu alasan dari kami mengangkat tema tersebut,” tandas alumnus Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong Probolonggo ini.
Dia juga menambahkan bahwa yang hendak dikritik itu bukan eksistensi dari Tuhan, melainkan nilai-nilai ketuhanan yang sudah mulai mengalami ‘pembusukan’ dalam diri masyarakat beragama.
“Dengan tema ini, kami berharap bagi mahasiswa baru bisa menerapkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.

Demikianlah, Tuhan yang mereka maksud. Mungkin tidak seperti yang sepintas dipahami oleh masyarakat luas. Sayang mahasiswa tersebut nampak kurang bijaksana memilah kata. Statemen yang ia sampaikan terlihat seperti apologi dari “sensasionalisme dan bombastisisme” yang berapi-api, padahal mereka sedang menyambut mahasiswa baru yang baru saja lulus SMA, aliyah, atau baru meninggalkan pondok pesantren guna menuntut ilmu di kampus Islam itu.

Tema tersebut awalnya tentu hanya konsumsi internal, bukan untuk masyarakat luas secara umum, akan tetapi di era sosial media “dimana isu menyeberang jauh lebih cepat dari penjelasan kita”, masyarakat berhak pula untuk menafsir frasa Tuhan Membusuk itu dari perspektifnya masing-masing, dan mereka berhak menggugat, bahkan memberikan penilaian buruk atas pilihan kata yang diambil.

Selain berbobot akademik, berlaku bijak dalam memilah tema saya kira merupakan hal yang patut dipertimbangkan sebagai mahasiswa ilmu agama. Bukankah sejak dulu, agamawan dan filosof dipandang sebagai kaum cendekiawan nan bijaksana?

Masyarakat kita adalah masyarakat religius. Masyarakat Nusantara menempatkan Tuhan sebagai Dzat yang dihormati. Ia dipuja dan disembah. Ia diingat pada setiap desahan nafas. Bahkan diibadahi pada malam-malam yang sunyi. Oleh karena itu ketika sebagian kecil mahasiswa mengatakan “Tuhan membusuk” dengan penjelasan apapun, masyarakat tak dapat menerima dan terlanjur mengatakan: “otak mahasiswa Ushuluddin itulah yang sudah busuk”,  lalu kampus UIN Sunan Ampel pun tercitrakan busuk pula, bahkan akhirnya melebar ke kampus-kampus UIN/IAIN lainnya di Nusantara sebagaimana saya lihat ramai di sosial media.

Intelektual Muslim, Mengajarlah di IAIN
Fenomena yang terus berulang ini sebetulnya menjadi pelajaran berharga bagi para intelektual Muslim yang concern pada pemikiran Islam, atau memosisikan diri sebagai penyeimbang di tengah derasnya arus liberalisme pemikiran Islam dewasa ini. Hal ini disebabkan karena keberanian mahasiswa Ushuluddin tersebut sebetulnya merupakan produk dari corak pemikiran yang mereka terima. Teko hanya mengeluarkan isi teko, jika teko tersebut diisi air yang jernih ia akan mengeluarkan air yang jernih, sebaliknya, jika teko tersebut diisi air yang keruh ia akan mengeluarkan air yang keruh pula. Penghormatan terhadap Tuhan atau Nabi adalah produk dari tidak dicontohkannya adab kepada Tuhan atau kepada Nabi. Misalnya, pernah dalam suatu perkuliahan dulu, kami para mahasiswa terkejut ketika seorang dosen menggunakan kata “mati” untuk Nabi Muhammad pada waktu Diskusi Politik Islam. “ketika Muhammad mati,” kata dosen tersebut yang dengan segera diluruskan oleh Mahasiswa, “Wafat, bu”. Saya sendiri sangat tersinggung waktu itu.

Pengalaman menjadi mahasiswa Fakultas Ushuluddin di IAIN/UIN memang menarik. Bayangkan, secara pribadi, ketika OSPEK dulu saya nyaris tak bisa Shalat Ashar karena rangkaian acara yang terus berjalan hingga menjelang Maghrib. Sampai akhirnya saya complain kepada kakak kelas karena waktu sudah pukul lima sore tapi tak ada tanda-tanda break untuk sekadar shalat. Mahasiswa baru tak berani protes karena secara psikologis dalam posisi tak berdaya. Akhirnya saya sampaikan pada panitia, saya mau shalat, dan mohon sesi diskusi ditunda dulu. Raut kakak kelas di Fakultas Ushuluddin itu nampak terkejut dengan permintaan tersebut. Teman-teman peserta OSPEK lain di kelompok ikut menguatkan, kami belum Shalat Ashar. Bayangkan, akhirnya kami Shalat Ashar diujung waktu. Lewat pukul lima sore di sebuah kampus Islam terbesar di Indonesia, pada fakultas yang concern pada studi Pokok-pokok Agama, Fakultas Ushuluddin, Fakultas lain tidak demikian. Dalam OSPEK itu pula kami, mahasiswa baru, diberi majalah gratis bernama Syir’ah, sebuah majalah yang kental nuansa liberalnya.

Pun ketika berkuliah, seorang dosen meyakinkan, carilah Tuhan olehmu. Bahkan jika kamu tak menemukan-Nya Tuhan akan memaafkan karena kamu sudah berusaha mencari-Nya. Tuhan justru tak akan memaafkan jika kamu merasa mengenal-Nya padahal kamu belum pernah mencari Dia. Konklusi sang dosen ini, sekalipun pada akhirnya kita menjadi atheis (atau murtad) akibat pengembaraan kita mencari Tuhan sebab ragu akan eksistensi-Nya, lalu tak berhasil menemukan Dia sehingga memilih menjadi atheis, lalu meninggalkan shalat dan tak imani keberadaan Allah, kita akan termasuk golongan yang selamat.

Atau misalnya, bagaimana dada saya berguncang ketika menyelami alam pikiran filosof kontroversial Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-Razi tentang Yang Kekal selain Tuhan, penjelasan dosen saat itu begitu rasional sekaligus menggelisahkan, kemudian saya dibiarkan dalam keadaan gelisah berhari-hari lamanya. Saya bersyukur berkat bertanya kesana kemari, saya menemukan jawaban menenangkan dan semakin menguatkan keyakinan saya tentang Tuhan.
UIN memang terkenal karena liberalisme pemikiran Islamnya, namun perlu diketahui kelompok seperti ini sebetulnya hanya terkonsentrasi di fakultas agama utamanya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dan Fakultas Syariah dan Hukum, sedangkan di fakultas-fakultas umum seumpama Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ekonomi, atau Fakultas Sains dan Teknologi, corak pemikiran Islam liberal ini senyap.

Demikian pula sebetulnya, mahasiswa yang mengimani liberalisme pemikiran Islam di Fakultas Ushuluddin pun tidak banyak. Mereka hanya sedikit di antara sekian banyak mahasiswa Ushuluddin yang rata-rata jebolan pesantren itu. Sedikit tetapi sensasional sehingga mendapat liputan media, seumpama ungkapan kencingilah air Zamzam jika ingin terkenal. Mereka rajin mengadakan seminar-seminar ilmiah dan diskusi dengan bahasan yang menggelitik nalar, mengkritisi agama, dengan tema-tema bombastis sehingga menarik minat mahasiswa untuk hadir.

Pun, dosen yang memiliki corak pemikiran serupa, sangatlah rajin mengajar. Sebutlah Zainun Kamal, Kautsar Azhari Noor, atau dulu semisal Prof. Harun Nasution, dan dosen yang terkenal dengan pemikiran liberalisme Islam lainnya, adalah tokoh-tokoh yang sangat dedikatif mengajar. Dalam tiap semester, mungkin hanya satu kali absen, selebihnya full mengajar.

Berbeda dengan dosen lain yang, katakanlah, berpaham Islam mainstream. Dosen-dosen aktivis dakwah itu justru jarang mengajar karena mungkin sibuk dengan agenda dakwah di pergerakan-pergerakan Islam. Saya sendiri, dalam sebuah perbincangan dengan senior aktivis dakwah kampus yang alumni jurusan Aqidah Filsafat, sempat bertanya: “abang kenapa ga coba mengajar di Ushuluddin. Kasihan teman-teman mahasiswa karena dosen yang liberal rajin-rajin mengajar sementara yang antiliberal justru seringkali absen.”

Kembali pada judul tulisan kecil ini, saya kira fenomena semacam ini menjadi sebuah pelajaran menarik. Para intelektual Muslim yang saat ini giat meng-counter ide-ide Islam liberal perlu untuk menjadi dosen di kampus-kampus UIN/IAIN. Memang benar, tidak perlu menjadi dosen UIN untuk menghadang ide liberalisasi pemikiran Islam, tetapi kampus-kampus UIN sebagai basis awal liberalisasi pemikiran Islam perlu diimbangi oleh dosen dengan ragam pemikiran berbeda agar melahirkan referensi yang seimbang bagi khazanah pengetahuan mahasiswa. Hal ini karena kajian  keislaman di luar kampus, atau hanya sekadar membaca buku dengan ragam pemikiran berbeda, tak akan se-intensif ketika berdiskusi langsung dengan dosen-dosen tersebut berikut perdebatan dengan rekan mahasiswa di kelas yang memperkaya wawasan. Mengajarlah, agar mereka punya adab terhadap Tuhan dan Nabi-Nya.

Saya terkejut, ketika akun facebook dari seorang yang dipandang intelektual Muslim, atau setidaknya menjadi rujukan para aktivis anti Jaringan Islam Liberal (Anti-JIL) menulis di status-nya: “lebih baik  bubarkan saja UIN Sunan Ampel!” Bagi saya itu terlalu reaktif. Apakah para intelektual itu sudah mencoba untuk mengajar di sana guna menyelamatkan akidah para mahasiswa? atau memikirkan bahwa jauh lebih banyak mahasiswa yang masih “menghargai Tuhan” ketimbang sedikit mahasiswa yang mencari sensasi itu? bagaimanapun jangan sampai sedikit noda ini kemudian menutup mata kita atas jasa lahirnya ulama-ulama dari kampus UIN yang menjadi rujukan umat di Indonesia. Selayaknya universitas, corak pemikiran di UIN memang sangat terbuka. Pemikiran boleh beragam-ragam selama itu bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.

Pertanyaannya adalah, jika orang-orang liberal itu bisa mengajar di UIN/IAIN, lalu apa yang menghalangi pemikir-pemikir muda Muslim untuk melamar menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin di UIN/IAIN?

Menanti Koalisi Partai - Partai Islam

Sampai tadi pagi di bus jemputan kantor, saya masih melihat hasil quick count sejumlah lembaga survei terhadap raihan suara partai-partai peserta Pemilu. Hasilnya memang mengejutkan. Saya jadi teringat ucapan politisi PAN, Drajat Wibowo, ketika diwawancarai presenter TVOne, kemarin sore. Ekonom yang sempat digadang-gadang menggantikan Gita Wirjawan sebagai Menteri Perdagangan itu mengatakan bahwa hasil quick count ini meluruskan dan membantah prediksi lembaga-lembaga survei yang menghambakan dirinya kepada uang. Memang jika kita melihat hasil survei yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei mendekati Pemilu, nampak survei tersebut sekadar dagelan dibungkus metode ilmiah. Lembaga survei kemudian berlindung dibalik data “sejumlah pemilih yang belum menentukan sikap” dan menjadikan kalimat tersebut sebagai justifikasi hasil quick count yang rupanya berbeda dengan survei elektabilitas partai yang sudah mepet menjelang masa tenang itu.

Fakta Menarik di Balik Pileg 2014
Golkar memang sulit dibendung. Akar politik Golkar sudah menjamah ke pelosok-pelosok desa. Pun  fanatisme masyarakat terhadap Golkar –dan pada beberapa hal terhadap Soeharto— Nampak sulit direduksi dan disalip partai lain. Sehingga bukan kejutan melihat Golkar bertengger di posisi dua. Banyak pihak sudah memprediksi itu. Sementara Hanura harus mengubur mimpinya memajukan Win-HT sebagai capres cawapres sekalipun sudah kampanye besar-besaran di media-media milik pengusaha Harry Tanoesoedibyo. Berbeda dengan Gerindra yang melejit ke posisi ketiga sebagai buah dari “kemenakjuban” Prabowo Effect.

Yang tak kalah mengejutkan adalah suara PDIP. Sebelum pemilu, sejumlah survei sempat menyebut elektabilitas partai moncong putih itu menembus 30 bahkan 35%. Jokowi effect yang dibesarkan oleh media rupanya tak terlalu signifikan. Artinya, seluruh partai harus mencari teman koalisi untuk memenuhi ambang presidential treshold 25% atau parliamentary threshold 20% sebagai syarat calonkan presiden.  Di sinilah posisi partai-partai Islam yang memenuhi deretan partai papan tengah menemukan signifikansinya.

Peta Partai Islam
Raihan suara partai papan tengah yang relatif merata menjadi penentu peta koalisi pada pilpres mendatang. Versi quick count, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meraih suara mengagumkan dengan perolehan suara di atas 9%. Selain berhasil mengonsolidasikan basis suara tradisional Nahdlatul Ulama, strategi Muhaimin Iskandar, ketua Umum PKB mem-publish calon presiden dari kalangan public figure seperti Rhoma Irama, Jusuf Kalla, dan Mahfudh MD sebagai vote getter cukup jitu untuk mendongkrak suara PKB yang pada Pemilu lalu hanya memperoleh suara 4.9%. Ketiga tokoh itu memiliki basis massanya sendiri. Sebagian pengagum musisi Ahmad Dhani juga nampaknya terpengaruh untuk memberikan suaranya ke PKB setelah melihat pemillik Republic Cinta Manajemen itu beriklan untuk PKB. Hanya saja PKB harus berhati-hati, karena suara besar tak mesti berbanding lurus dengan perolehan kursi di parlemen. Suara PKB besar di Pulau Jawa yang Bilangan Pembagi Pemilih-nya lebih tinggi. Bisa jadi, sekalipun bersuara besar, tapi raihan kursi PKB di parlemen lebih sedikit daripada PAN atau bahkan PKS. Hal ini tentu akan berefek pula pada bargaining position dalam peta koalisi. Harga kursi di pulau Jawa memang “lebih mahal” daripada kursi dari Daerah Pemilihan (Dapil) lain.

Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga meraih kenaikan suara sekalipun tidak signifikan. Over all suara partai-partai Islam cukup baik pada Pemilu kali ini.  Yang cukup mencuri perhatian adalah suara Partai Keadilan Sejahtera. Versi quick count, PKS bertengger pada posisi 6.5% menurut data Lingkaran Survei Indonesia, atau 7% versi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), jika margin of error dari survei dengan metode multistage random sampling itu sebesar 1%, maka suara PKS akan berkisar antara 5,5 hingga 8 %. Sebuah pertahanan yang mengagumkan di saat pemberitaan mengenai PKS begitu negatif di media massa. (lihat rilis survei Pol-Tracking Institute berjudul “Prediksi Elektabilitas Partai pada Pemilu 2014: Mengukur Pengaruh Pencapresan Jokowi dan Tone Pemberitaan 15 Media Mainstream pada Masa Kampanye”.

Raihan suara PKS ini mematahkan pandangan (atau keinginan?) sejumlah pengamat yang menyebut riwayat PKS akan berakhir di bawah 3%, sekaligus membuktikan  bahwa mesin partai dakwah tersebut bekerja dengan sangat efektif. Di tengah terpaan badai sedemikian rupa, bisa bertengger pada posisi 6-7%  untuk PKS saya kira termasuk prestasi yang luar biasa. Artinya, suara PKS hanya turun sedikit dari Pemilu 2009 yang meraih suara sebesar 7.8%. PKS sebetulnya “merugi” (dalam tanda kutip) karena Mahkamah Konstitusi meloloskan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai partai politik peserta pemilu 2014 pasca pakar hukum Yusril Ihza Mahendra mengajukan gugatan. Jika saja PBB tidak ikut Pemilu, maka basis massa PBB sebesar 1.39% kemungkinan besar akan melimpah ke PKS, mengingat irisan konstituen antara PBB dan PKS yang relatif dekat sebagai pewaris Masyumi. Massa PBB bagi PKS cukup berharga untuk menambah raihan suara mencapai 8% melampaui PAN.

Deretan partai-partai Islam, atau berbasis massa Islam sebagai papan tengah di atas, merupakan penentu bagi peta perpolitikan Indonesia, terutama menjelang koalisi menuju pilpres. Kekuatan partai Islam terletak pada bargaining  position-nya untuk menjadi pilihan bagi, setidaknya, tiga partai besar sebagai pasangan calon wakil presiden. Secara kasar kita tinggal mengira pasangan misalnya Jokowi-Hatta, Prabowo-HNW, ARB-Mahfudh, dan sejumlah skenario lain di mana tiga partai besar akan meminang partai-partai papan tengah untuk raup dukungan.

Partai Islam Berkoalisilah!
Tetapi peta politik akan menjadi sangat menarik, jika pada Pemilihan Presiden nanti partai-partai Islam ‘jual mahal’ dengan tidak berkoalisi dengan tiga partai pemenang. Partai-partai Islam bisa berkoalisi membentuk poros tengah jilid baru sebagai mana dulu dilakukan secara ciamik oleh Amien Rais, yang berhasil mengantarkan ketua PP Muhammadiyah itu sebagai ketua MPR, dan ketua PBNU, Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Partai-partai Islam dapat bergabung dalam sebuah ‘politik aliran’ yang  berbasis massa Islam. Politik aliran tidak dapat dibungkam sekalipun banyak pihak mengatakan doktrin Clifford Geertz era 50-an itu sudah tenggelam.

Fakta munculnya Kajian Politik Islam yang cukup ramai di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru, atau Deklarasi Capres Ummat Islam di Masjid Islamic Center, Sentul beberapa waktu lalu, atau menyebarnya pesan broadcast anti agama tertentu dan kampanye-kampanye yang menggunakan semangat dan simbol agama  adalah fakta bahwa politik aliran di Indonesia tak akan pernah mati. Tentu bukan bermaksud untuk menghidupkan kembali nuansa lama itu, tetapi untuk menunjukkan bahwa memang politik aliran itu masih eksis dan akan tetap ada.

Tentu akan menjadi sebuah tantangan dan dinamika politik yang sangat menarik, jika pimpinan partai-partai Islam rela meninggalkan egoismenya, untuk kemudian bersatu. Akumulasi dari raihan suara partai-partai Islam mencapai 29-32%, sebuah suara  yang lebih dari cukup untuk mengajukan capres alternatif, sekaligus menyulitkan hasrat capres dari tiga partai pemenang Pemilu lainnya yang galau mencari cawapres.

Masalah konsolidasi bersama di parlemen yang membutuhkan setidaknya 50% tambah satu suara tentu bisa dinegosiasikan menyusul.  Partai Islam, bersatulah!

Ketika Dakwah Bermuhasabah: Saat Binaan Ingin Menikah, Murabbi Bijaklah

Saya punya dua kelompok binaan, satu kelompok usia 26, kini semua anggotanya sudah menikah, dan kelompok lain berusia 23 tahun, satu di antaranya baru saja genapkan separuh agama.
Ada hal menarik ketika mendengar curhat mereka, terutama tentang menikah. Biasanya anggota lain hanya senyum-senyum, mungkin curhat itu dianggap mewakili dirinya juga.

Tipikal orang itu memang beragam macam, tidak bisa satu karakter binaan, kita paksakan untuk sama dengan yang lain. Kisah shahabat Nabi mengajarkan kita bahwa karakter para sahabat juga beragam-ragam, tapi semuanya tetap bisa berselaras dengan Islam. Demikian pula semestinya kita memahami karakter binaan. Misalnya, satu binaan menyerahkan sepenuhnya keinginan untuk menikah kepada murabbi (guru pengajian), tapi yang lain “minta diupayakan dengan ‘akhwat yang itu”, sementara binaan lainnya ingin “mandiri” alias cari sendiri.

Bagi saya tidak masalah, ta’aruf melalui murabbi hanyalah satu cara, dan aneka cara lain selama halal adalah boleh. Dalam konteks ta’aruf, murabbi hanya berperan untuk membantu, dengan harapan kiranya sang binaan berserius untuk membentuk sebuah keluarga dakwah. Saya tidak pernah berfikir bahwa otoritas menikahkan ada di tangan murabbi. Murid terbina saya punya otoritas untuk menentukan pilihannya sendiri. Sedangkan untuk akhwat, otoritas untuk bersetuju atau tidak tentu berada di tangan walinya, bukan murabbi. Guru, pembina hanya fasilitator, mentor, motivator, atau mediator.

Menikah adalah keputusan besar. Dan itu adalah pilihanmu. Dan itu adalah hidupmu. Bisa jadi binaan punya pandangan tersendiri yang berbeda dengan murabbinya. Dan saya hormati itu. Jangan samakan generasi dakwah era 2000-an ke sini dengan kader dakwah era 80-90-an. Tidak sebanding karena konteksnya berbeda. Saat ini tantangan dakwah bukan lagi pada represivitas pemerintah melainkan pada tantangan media yang semakin terbuka, itu tak kalah beratnya.

Mari lihat seranai interaksi mereka di media sosial, berapa banyak kemudian kita mengetahui apa yang ada dalam hati mereka meluap-luap tumpah di sana. Merasa generasi 90-an lebih baik ketimbang yang sekarang adalah perbandingan yang tidak aple to aple. Mereka yang menjaga dirinya di era ini memang lebih baik, tapi tak elok membanding-bandingkan.

Alhamdulillah sejauh ini tidak ada binaan saya yang memposting hal-hal berbau galau tentang akhwat di akun sosial media mereka, memang lebih indah dibicarakan dalam halaqah, atau berdua ketika ia bertamu sendiri, “mau konsultasi” katanya.

Tapi saya ingin memahami, meski tidak membenarkan, keinginan sebagian binaan untuk menikah namun merasa terganjal oleh murabbi yang “over protected.Murabbi memang lebih banyak pengalaman, tapi ia bukan manusia super yang bisa memahami kedalaman isi hati setiap binaannya. Murabbi dituntut bijak untuk memahami, bahwa rasa cinta kepada seseorang bukan hal yang bisa dipaksakan, bukan pula hal yang mudah dinafikan. Jika ia ingin menikah dengan seorang akhwat yang diincarnya, selama akhwat itu memang baik, bantulah semoga ia mendapatkan kebahagiaannya. Bersyukur ia tidak pacaran. Jangan biarkan ia berlama-lama memendam rasa dalam kesunyian. Kasihan. Karena rasa semacam itu adalah fitrah yang telah Allah benamkan pada hati-hati manusia. Bukankah Fatimah juga memendam rasa kepada Ali sebelum ia dinikahinya? Demikian pula Ali. Ah, cinta sememangnya merupakan fitrah, bersyukur kita bisa merasakan gelisahnya.

Murabbi, bijaklah! Berhati-hati dalam memilihkan karena cinta kepada binaan tentu perlu, tapi terlalu menyulitkan tentu tidak bijak juga. Jika ada yang ingin menikah, mari bermudah-mudah!

Ketika Dakwah Bermuhasabah Bag.3 : Kala Murabbi Tak Sesuai Keinginan

September silam, sebuah pesan whatsapp dari nomor asing masuk ke handphone saya. Isi pesan itu berisi curahan hati seorang murabbi tentang binaan yang “lebih berkualitas” dari dirinya. Binaan itu baru menyelesaikan studi di kota besar, berpendidikan tinggi, lebih paham syariah pula. Sebagai murabbi tentu ia bangga punya binaan berkualitas luar biasa, ia berharap sang binaan dapat membantunya membenarkan apa yang keliru, meluruskan apa yang bengkok, membersihkan yang masih bernoda.

Namun harapan tinggal harapan. Yang kemudian terjadi adalah tiap kali majelis halaqah digelar, binaan tersebut tampil lebih dominan daripada Murabbi, sehingga acap memunculkan ketidakharmonisan dengan binaan lain.

Mendapat pesan itu, saya jadi teringat cerita murabbi saya dulu dengan kisah yang nyaris serupa. Beliau adalah sarjana ilmu agama Islam, jurusan Aqidah di Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tak berbeda dengan mahasiswa fakultas Ushuluddin lainnya, murabbi saya ini adalah alumni pondok pesantren, dengan penguasaan bahasa Arab dan kemampuan membaca kitab kuning atau turats yang tak diragukan. Dengan kemampuan seperti itu, beliau diterima bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah Islam.

Karena harus pindah rumah, suatu hari beliau punya murabbi baru. Dibanding dirinya yang sarjana ilmu agama dan seorang wartawan, murabbi barunya ini hanya tamatan SMA, bekerja sebagai buruh pabrik, dan tidak pula menguasai ilmu-ilmu syariah. Namun tak ada yang berbeda sama sekali dengan jalannya halaqah, karena beliau paham beginilah jalan dakwah mengajarkan kita: siapapun yang ditunjuk untuk menjadi murabbinya, ia akan taruh ihtiram, mahabbah, dan ketaatan sebagaimana seharusnya. Ia pahami siapa jundi siapa qa’id. Sesekali ia membetulkan tulisan Arab sang murabbi yang keliru, kurang alif dan lam, misalnya, dan seterusnya. Pun, sang murabbi tak merasa tersinggung ketika dibetulkan, dengan kerendahatian ia syukuri punya binaan yang memang lebih paham bahasa Arab.

Dari kasus ini, ada mutiara yang dapat kita petik. Kita perlu garisbawahi bahwa Murabbi adalah pemimpin dalam halaqah, kebanggaan terhadap binaan tidak boleh menjadikan murabbi merasa minder dengan kualitas yang tak sebaik binaan. Halaqah adalah majelis tarbawi, setiap anggota dapat berbagi ilmu dan pandangan-pandangan pribadi, tetapi otoritas mengendalikan halaqah tetap ada pada murabbi. Kondisi tersebut selayaknya menjadikan murabbi terpacu untuk berupaya lebih keras dalam meningkatkan kualitas ilmu dan amal. Setiap kita tak pernah terlalu tua untuk terus belajar.
Sebaliknya bagi binaan, hendaknya tumbuh kesadaran di dalam dirinya bahwa pemahaman terhadap gerakan tak hanya ditentukan oleh ketinggian ilmu syariah semata-mata, tapi juga oleh pengalaman yang lebih panjang. Pun, kebijaksanaan atau hikmah dalam menjalani kehidupan berharakah sejatinya selain erat dengan ilmu pengetahuan, juga oleh usia dalam berjamaah, meski dalam beberapa kasus tentu tak selalu sama.

Tentu tidak semua murabbi memiliki kualitas ilmu syariah yang tinggi, hendaklah kita memahami itu, seraya meyakini bahwa ia terus berbenah tingkatkan kualitas keilmuan dan kedalaman ibadahnya. Jangan sampai, karena memahami kompetensi syariah murabbi yang dirasa kurang, lalu menjadikan kita malas hadir dalam halaqah. Kehadiran kita dalam majelis halaqah adalah karena kita yakin bahwa kita merupakan bagian dari sebuah gerakan yang teratur, dan halaqah adalah basis terkecil dari gerakan besar itu. Jika kita ingin terlibat di dalamnya maka semestinya kita kuatkan komitmen untuk hadir sehingga tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya.

Sekalipun seseorang lebih memiliki wawasan keislaman, lebih memiliki keutamaan di hadapan kaum Muslimin, hendaklah ia pahami bahwa jika keputusan telah diambil dan ia ditempatkan menjadi mutarabbi, hendaklah ia memiliki kerendahatian untuk taat, bahwa murabbi adalah panglima. Kita semua sadari bahwa majelis halaqah bukan semata-mata majelis ilmu, kita bisa peroleh itu dalam majelis lain, seperti kajian tatsqif, mabit, atau jalasah ruhiyah. Bukankah Usamah bin Zaid, yang demikian masih hijau, pernah diperintah Nabi untuk menjadi panglima sementara di antara pasukannya terdapat sahabat-sahabat senior dan pemuka kaum Muhajirin dan Anshar? Tak ada yang menolak dan membangkang dengan perintah Usamah sebagai panglima perang, bahkan pasukan itu, sebagaimana digambarkan oleh Khalid Muhammad Khalid, sukses dan kembali tanpa meninggalkan seorangpun korban.

Demikianlah, kerendahatian para sahabat, yang sekalipun memiliki ilmu lebih tinggi, tapi pemahaman terhadap al-qiyadah wal jundiyah demikian meresap erat, bahwa pada satu masa kita menjadi jundi, dan akan ada masanya menjasi qa’id. Wallahu a’lam.