Tolak Terorisme (http://initeroris.blogspot.com)
Saya lahir,
tumbuh, dan dibesarkan dalam tradisi Nahdhatul Ulama (NU) yang kuat.
Kakek, ayah, paman, sepupu, semua adalah alumni pondok NU. Saya sendiri,
sekalipun tak sempat mondok ala santri-santri NU yang tradisional itu, sempat mencicipi ma’had yang diasuh alumni pondok NU di Bogor selama lebih dari satu tahun. Sisanya jadi “santri kalong” yang hanya pulang dan pergi ke pesantren.
Dari pihak istri,
ayah mertua adalah orang yang ditokohkan di kampung sebagai tokoh agama,
sementara ibu mertua aktif di Muslimat NU. Tiga kakak ipar saya aktif
sebagai pengurus Fatayat NU di Brebes, Jawa Tengah. Saat ini keponakan
pun masih mondok di Pesantren Benda, Bumiayu, Jawa Tengah. Istri saya
sendiri adalah alumni madrasah NU. Oleh
karena itu, tradisi NU seperti tahlilan, tawasul, ziarah, dan
sebagainya kental di keluarga saya. Saya pernah berziarah ke makam Sunan
Giri, Sunan Gresik, dan seterusnya, sekadar merenung dan menapaktilasi
perjuangan mereka menyebarkan Islam di Nusantara yang tentu tak mudah
sehingga kini Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Saya ingin mengikuti jejak tokoh besar NU, almarhum KH. Idham Khalid yang sangat luwes dan menghormati perbedaan. Syahdan saat memimpin shalat Shubuh di atas kapal dalam perjalanannya ke tanah suci, kyai yang memimpin NU selama 28 tahun itu tak
bacakan Qunut karena menghormati tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka yang
bermakmum di belakangnya. “Saya tak ingin” katanya arif saat ditanya,
“memaksa mereka yang tak berqunut untuk berqunut”. Pun demikian keesokan
harinya saat Buya Hamka mengimami shalat Shubuh, penulis Kitab Tafsir al-Azhar itu membacakan qunut dengan fashih
dan panjang karena menghormati KH.Idham Khalid yang bermakmum di
belakangnya. Ketika di tanya mengapa ia membaca qunut, beliau menjawab:
“Saya tak ingin memaksa mereka yang berqunut, untuk tidak berqunut”.
Jawaban dari kedua tokoh besar ini membuat jama’ah di atas kapal itu
haru dan meneteskan airmata. Demikianlah sikap orang-orang besar hadapi
perbedaan. Perbedaan semestinya menjadi rahmat, bukan menjadi masalah.
Dalam
perkembangannya, meski sebagai warga NU, saya banyak berkenalan dengan
teman-teman dari pergerakan Islam. Saya ikuti majelis Jamaah Tabligh
dalam agenda khuruj-nya di masjid-masjid dan mushalla. Mendengarkan dengan seksama pembacaan kitab Fadhailul amal (Fadhilah Amal)
Karya Maulana Zakariyya al-Kandahlawy, sambil pundak saya dipijit
sebelum makan siang bersama mereka. Saya akrab dengan teman di
Muhammadiyah, menginap di rumah teman yang berpaham Salafy, mengikuti
pengajian Hizbut Tahrir, ikut gerakan Tarbiyah (Ikhwan), akrab dengan
teman di Majelis Rasulullah, menjadi jamaah dalam dzikir bulanan ustadz
Arifin Ilham, karib dengan teman di Front Pembela Islam (FPI), mengikuti
pengajian habib Luthfie bin Yahya, diskusi
dengan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), ngobrol-ngobrol dengan
rekan keturunan Bahrain yang menganut Syiah, dan seterusnya. Dari
pergaulan itu, di tengah kedhaifan dan kefaqiran ilmu ini, saya sedikit
memahami bagaimana peta kelompok-kelompok Islam di Indonesia.
Akhir tahun lalu,
saya merasa beruntung bisa hadir sebagai pendengar dalam forum
cendekiawan yang membahas radikalisme agama dan pemetaannya di
Indonesia. Dalam forum diskusi terbatas itu, hadir cendekiawan Azyumardi
Azra, Buya Syafii Maarif, Alwi
Shihab, Hassan Wirajudha, Emil Salim, Paul Marshall, Jacob Tobing, dan
sejumlah cendekiawan lintas agama lainnya. Dari diskusi itu saya
memahami bagaimana beliau-beliau memetakan kelompok-kelompok radikal di
Indonesia, mencerahkan. Bahwasanya semua memiliki kecintaan terhadap
NKRI, Negara yang –semestinya—gemah ripah loh djinawi, tata tengtrem kerto rahardjo ini.
Kita semua, cinta Indonesia, kita ingin negara ini aman, damai, makmur,
sejahtera, dan seribu keutamaan lain yang barangkali tak mesti sama
dengan utopianisme al-Farabi dalam Madinatul Fadhilah-nya.
Hanya saja, para
cendekiawan itu memetakan gerakan-gerakan Islam dari kejauhan.
Akibatnya, karena melihat “dari satelit”, differensiasi antar gerakan
Islam kemudian menjadi bias. Batas-batas antar gerakan jadi tak nampak
karena mereka melihatnya dari kejauhan. Bagaimana
misalnya, terma wahabi kerap digebyah uyah untuk semua gerakan Islam
trans-nasional, sekalipun antar mereka sebetulnya acap saling tahzir.
Lakukan pemetaan secara benar
Kesalahan akademik
yang kerap terjadi dalam memetakan gerakan-gerakan Islam di Indonesia
adalah keliru memakai kacamata dalam lakukan pendekatan. Dari sejumlah
buku yang membedah tentang gerakan-gerakan Islam trans-nasional di
Indonesia, misalnya, saya melihat beberapa kekeliruan. Pertama, Gerakan
Islam dijadikan sebagai objek penelitian tetapi si peneliti cenderung
jatuh pada distoris kognitif dimana ia sudah memliki pandangan awal
terlebih dahulu terhadap objek yang akan ditelitinya. Hal ini kemudian
memengaruhi penilaian-penilalian dia berikutnya. Distorsi kognitif ini
utamanya mengandung stereotype negative sejak mula, sehingga konklusi yang dihasilkan menjadi bias karena semangat penelitian diawali dengan nafas curiga.
Kedua¸ sebagaimana
saya katakan di muka, tak jarang si peneliti menuliskan analisisnya
dengan memandang gerakan Islam dari kejauhan. Hal ini menyebabkan batas
antara gerakan-gerakan islam menjadi bias. Contoh paling naif adalah
bagaimana pada 2012 silam, lembaga negara sempat memasukan gerakan HASMI
(Harakah Sunniyah untuk Masyakat Islami) sebagai oranisasi teroris.
Padahal, Hasmi, dikenal sebagai kelompok moderat di kalangan aktivis
Muslim. Buku-buku yang dikaji HASMI juga direkomendasikan Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Dengarkanlah radio Fajri FM milik Hasmi, anda tak akan
menemukan satu pun pemikiran radilkal dari kelompok itu. Yang paling
keras dari kajian Fiqh Hasmi di Fajri FM hanyalah mengatakan wanita
hendaknya mengenakan cadar, tentu saja bukan karena ini mereka dianggap
radikal. Setelah dilakukan klarifikasi menyusul derasnya pertanyaan,
Negara kemudian mengatakan itu adalah Hasmi yang berbeda. HASMI yang
dimasukan dalam gerakan teroris adalah “Harakah Sunniyah untuk
Masyarakat Indonesia”. Serta merta beirta itu kemudian senyap dan hilang dari media massa.
Nampaknya BNPT dan
Kepolisian perlu memahami gerakan-gerakan Islam dari dalam, agar paham
bagaimana cara mereka berparadigma, jadikan mereka sebagai subjek agar
dapat dipahami, bukan hanya sebagai objek peneilitian yang dilihat dari
kejauhan. Ini yang nampaknya khilaf dilakukan oleh BNPT dan Densus 88.
Situs Dakwatuna, Korban Gebyah Uyah
Contoh berikutnya adalah dimasukannya dakwatuna sebagai
situs yang menyebarkan faham radikalisme, sehingga dengan alasan itu
BNPT meminta Kemenkominfo menutup situs tersebut (bukan sekadar
memblokir). Ini jelas kelirunya. Tunjukkan pada saya satu link saja dari
situs dakwatuna, mana
yang mengindikasikan bahwa situs Islam paling popular itu menebarkan
paham radikal, jika Anda tak temukan, segeralah minta maaf, rehabilitasi
namanya, dan beri ganti rugi karena penayangan iklan di situs tersebut terganggu akibat pemblokiran.
Akhirnya
pertanyaan kita jadi terfokus pada satu hal, “Apa sebetulnya makna
radikal yang dipahami oleh BNPT?” Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh
juru bicara BNPT Irfan Idris dalam konferensi Pers di Gedung
Kemenkominfo, Selasa (31/03) kemarin. Dalam konferensi persnya, Professor di UIN Alauddin Makassar itu mengatakan bahwa kriteria radikal menurut BNPT adalah “Pertama, ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, Kedua, mengkafirkan orang lain (takfiri). Ketiga, mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara terbatas. (sumber: Republika.co.id),
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah dakwatuna memenuhi satu saja dari empat kriteria tersebut?
Apakah
dakwatuna menginginkan perubahan secara cepat dengan menggunakan
kekerasan? Atau apakah ia mengkafirkan kelompok yang berbeda dengannya?
Atau mendukung ISIS? Atau memaknai jihad secara terbatas?
Sejauh yang saya tahu, tidak ada satu pun dari empat kriteria itu yang sesuai dengan model pemberitaan di dakwatuna.
Bukan sebab saya merupakan salah satu kontributor di media islam
tersebut, jika dakwatuna benar-benar radikal dan ekstrem, saya setuju
situs tersebut ditutup. Bagaimanapun terorisme harus kita perangi,
tetapi serampangan menutup situs-situs berbau agama “hanya karena
ketakutan berlebihan terhadap ideology kererasan”, adalah kesalahan.
Jangan
sampai misalnya, penutupan dakwatuna disebabkan hanya karena situs
tersebut sering mengkritik pemerintah sebagaimana disampaikan Irfan
Idris dalam konferensi persnya. “Judulnya memang tolak ISIS, tapi
belakangnya demokrasi buruk. Jokowi bla bla bla. Ini kan sama saja mendiskriminasi,” demikian Irfan sebagaimana dimuat di laman Republika.co.id kemarin. Jika hanya karena anti terhadap jokowi, apakah ia memenuhi kriteria radikalisme ? jika tidak, maka ini kekeliruan, BNPT telah melampaui kewenangannya dengan masuk ke ranah politik.
Lagi pula, kemerdekaan pers dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, jika pun dakwatuna misalnya, tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ‘pers’, kemerdekaan menyuarakan pendapat sesungguhnya dilindungi
oleh Undang-Undang Dasar. Mengutip pandangan Mantan Ketua MK,
Prof.Jimly Ash-Shiiddiqie Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000,
memberikan jaminan konstitusional secara tegas untuk mengemukakan
pendapat sebagaimana dimuat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression),
tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap
orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia. (www.jimlyschool.com).
Jika penutupan situs dakwatuna hanya
karena anti terhadap Jokowi, maka selamat, kita telah kembali ke zaman
orde baru dimana masyarakat yang mengkritik pemerintah akan dibredel
penguasa.
Sebagai
lembaga Negara, permintaan penutupan situs sebagai media informasi yang
dilindungi UU bahkan UUD mestilah mengacu kepada landasan legal formal.
Pertanyaannya adalah, “landasan legal formal mana yang dilanggar oleh
dakwatuna?”
Jika, permintaan BNPT kepada Kominfo untuk menutup situs-situs itu adalah berdasarkan kepada UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme”, atau Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 Tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi
Undang-Undang”, Pasal mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Bukankah dakwatuna patut tahu alasan pemblokirannya?
Atau,
jika alasan penutupan itu mengacu kepada Undang-Undang nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mari bertanya pasal
mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Apakah pasal 28 ayat (1) dan (2)?
Jika iya, kita patut bertanya berita mana di laman dakwatuna yang
menyebarkan berita bohong, menyesatkan, atau merugikan konsumen (pasal
1)? Atau bagian mana dari laman dakwatuna yang menimbulkan kebencian dan
permusuhan individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA (pasal 2)?
Jika tidak ada satu pun pemberitaan di laman dakwatuna yang memenuhi kriteria pada pasal tersebut, maka situs dakwatuna bisa memidanakan BNPT dan Kemenkominfo ke pengadilan jika benar permintaan penutupan itu mengacu pada pasal 28 UU ITE.
Pemetaan Kelompok Islam di Indonesia
Radikalisme
dalam beragama, bisa kita bagi ke dalam dua aspek. Radikal dalam
pemikiran, dan radikal dalam aksi. Tidak semua gerakan Islam yang
radikal secara pemikiran otomatis radikal pula secara aksi. Hizbut
Tahrir misalnya, ia radikal secara pemikiran, anti Pancasila dan NKRI.
Pemerintah disebutnya sebagai thaghut dan sistem demokrasi kita dianggap sebagai sampah dan kubangan lumpur, tetapi secara aksi, doktrin Hizbut
Tahrir sama sekali menghindari kekerasan. Adapula, gerakan yang
mendukung Pancasila dan NKRI tapi mudah melakukan kekerasan ketika
melawan kemaksiatan, ideologinya mendukung NKRI dan Pancasila, tetapi
dalam aksi-aksinya kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Gabungan
dari keduanya, ada gerakan yang menentang NKRI sekaligus melakukan
kekerasan, kelompok JI di Indonesia adalah salah satunya. Sebaliknya,
ada gerakan Islam yang mendukung NKRI plus anti kekerasan.
Fragmentasi
gerakan-gerakan Islam ini perlu dipahami oleh Negara sehingga Negara
tidak gebyah uyah dalam mengambil keputusan. Negara harus paham mengapa
misalnya, Muhammad al-Khaththath, salah satu pendiri Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dikeluarkan dari Organisasi HTI ‘alamy
kemudian mendirikan Hizbud Dakwah Indonesia. Negara harus memahami
mengapa Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) berpisah dari Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), mengapa lahir Lembaga Dakwah Kemuliaan Islam (LDKI)
yang basis massanya beririsan dengan aktivis Gerakan Tarbiyah, mengapa
sesama gerakan Salafy (Middle East oriented) saling men-tahzir satu dengan yang lain, dan seterusnya.
Epilog
Yang perlu dipahami
adalah, Negara tidak boleh memandang rakyatnya sendiri sebagai musuh.
Bagaimanapun “kelompok yang keras-keras itu adalah bagian tak
terpisahkan sebagai warga Negara , sebagai bagian dari civil society,
sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat kita. Bukankah kita sering
mengatakan alangkah indahnya menerima perbedaan secara bijak? Mengapa
kalangan yang acapkali mengampanyekan “mari rayakan perbedaan” kerap tak
bijak menerima kelompok yang berbeda dengan mereka?
Dua minggu silam,
saat menjadi salahsatu narasumber dalam dialog dengan pemimpin-pemimpin
mahasiswa di Malaysia, saya terharu ketika salahsatu penanya mengatakan,
“Kami cemburu dengan Indonesia. Anda di sana dapat berbicara jauh lebih
bebas daripada kami di Malaysia, di sini kami tak memiliki kebebasan
dalam menyuarakan pendapat”.
Benar. Kelebihan
Indonesia adalah demokrasi. Bersama Tukri, kita adalah Negara yang
secara sejuk berhasil menjadi representasi Negara Muslim yang menerapkan
demokrasi secara fair dan konstitusional. Lalu apakah kita akan mundur
ke belakang dengan melakukan penutupan media-media tanpa memilahnya
secara tepat?
Salam
Sigit Kamseno
Twitter: @mistersigit