Oleh: Sigit Kamseno
Menjelang pembukaan sebuah acara pelatihan di kawasan Puncak, Bogor, seorang teman yang bekerja di Kementerian Agama menceritakan pengalamannya menjadi moderator dalam sebuah acara temu konsultasi antara Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI dengan Ormas-Ormas Islam di Indonesia. Sebagai seorang jebolan pesantren dan sebuah Universitas Islam di Medan, wawasan keislaman teman saya ini cukup luas dan moderat.
Saya tertarik dengan ucapannya waktu itu, bahwa sebagai salah satu ‘ormas’ Hizbut Tahrir sesungguhnya memiliki dua wajah. (by the way saya sepakat dengan kata ‘ormas’ ini. Bahwa, Hizbut Tahrir secara de jure memang terdaftar sebagai ormas di Indonesia, sekalipun seluruh syabab/aktivis HT mengklaim diri sebagai partai politik non peserta pemilu).
Wajah baik
Kata “dua wajah” ini mengingatkan saya tentang fakta demokrasi, sebuah ideologi yang tak henti-henti dihinadina dan dicerca habis-habisan oleh syabab Hizbut tahrir. Selayaknya demokrasi yang memiliki dua wajah, yakni wajah baik dan buruk, Hizbut Tahrir juga memiliki dua wajah. Wajah baik Hizbut Tahrir, seperti sering saya apresiasi di setiap kuliah saya di hadapan rekan2 mahasiswa dan dosen, adalah bentuk perlawanan mereka terhadap dominasi ideologi yang dihembuskan oleh Negara adidaya Amerika Serikat ke seluruh penjuru bumi. Semangat ini, saya pandang sebagai wajah baik hizbut tahrir, karena sejujurnya saya termasuk dalam kalangan yang memandang bahwa hembusan demokrasi yang dikipas2 oleh amerika ke banyak Negara sebetulnya dipenuhi oleh banyak sekali kepentingan. Minyak, dan usaha mempertahankan superioritasnya pada negara2 lain di dunia adalah kepentingan terbesar AS yang berlindung dibalik gaun demokrasi. Amerika Serikat bahkan menyimbahkan genangan darah pada gaun demokrasi itu di Afghanistan, Iraq, dan kini Libya. Hingga gaun itu terlihat bersimbah darah dan terlihat amat buruk.
Dengan berlindung di balik gaun demokrasi itulah, pemerintah AS menumpahkan darah2 manusia sehingga tampak amat lengket di aspal-aspal jalan, di pagar-pagar perkampungan, hingga di mimbar-mimbar masjid, sementara tangannya sibuk membawa tangki2 minyak yang siap ia bawa pulang untuk berminum-minum di atas meja makan nan indah dipenuhi obrolan-obrolan ‘ringan’: “Negara mana lagi selanjutnya?”
Hizbut tahrir, menentang imperialisme ini. Dengan tak henti menyebarkan wacana perlawanan terhadap ideologi Amerika yg kini mendominasi dunia. Di kampus-kampus, di dunia maya, di masjid2, tak sulit bagi kita untuk mendapatkan leaflet, brosur, atau bulletin kampanye Hizbut Tahrir ini. Meski perannya memang hanya sebatas wacana (jujur sejauh ini saya belum melihat langkah riil HT dalam “melawan” Amerika kecuali lewat seminar, jaulah tokoh, konferensi, atau tulisan2 di media2 milik mereka, yang kesemuanya hanya berada pada level ‘wacana’ semata.), namun saya pikir cukup berperan sebagai sebuah counter wacana atas “keunggulan-keunggulan” demokrasi yang merajalela di hampir seluruh dunia.
Melalui media HT, meski bukan satu2nya faktor, tak sedikit diantara ummat Islam yang akhirnya paham bahwa demokrasi, tak melulu unggul sebagai sebuah ideologi.
Melihat hizbut tahrir dalam wajah“baik”nya ini, mengingatkan kita pada karya-karya Karl Marx, Engels, beserta ‘binaan’2anya semacam Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, DN Aidit, Tan Malaka, Fidel Castro, Hugo Chavez, atau mungkin Pramoedya Ananta Toer. Wajah HT mirip dengan nama-nama tersebut, hanya saja HT duduk di jajaran kursi sebelah “kanan”. Maksud saya, Di dalam pesawat yang hendak membombardir kapitalisme dan demokrasi ini, Marx satu jajaran dengan Engels di bangku sebelah kiri, sementara Taqiyuddin dengan Abdul Qadim Zallum berada pada pesawat yang sama di jajaran sebelah kanan.
Bedanya kaum komunis melakukan aksi berdarah-darah dalam perlawanan melawan kapitalisme-demokrasi (dan saya tidak setuju dengan hal ini), sementara HT tidak berdarah-darah tetapi berseminar2 dan berkonferensi-konferensi (saya juga tak setuju dengan hal ini karena tidak kongkrit, rasanya harus ada formula lain dalam membasmi racun kapitalisme ini yang cerdas dan membunuh).
Bagaimanapun, saya selalu memberikan apresiasi atas bentuk counter opinion terhadap sesuatu yang dianggap wajar padahal zalim. Seperti kapitalisme dan demokrasi a la amerika itu. Tanpa ada pihak2 yang berani melakukan counter, maka kezaliman akan dianggap sebagai kelaziman. Selain itu, adanya dialektika dari satu tesis dengan tesis lainnya. Meminjam istilah filosof Jerman George Wilhem Friendrich Hegel, akan melahirkan absolute idea atau the great spirit yang akan membawa manusia pada kesempurnaan konsep. Hizbut Tahrir berdiri sebagai antitesa, layaknya Daud melawan raksasa tesis Demokrasi Amerika.
Wajah Buruk
Eksplorasi di atas adalah pembedahan saya dari obrolan ringan dengan teman yang orang medan itu. Kemudian dia melanjutkan bahwa hizbut tahrir memiliki satu wajah lagi: wajahnya yang buruk. Bukan buruk secara aqidah seperti selama ini cukup ramai diperbicangkan, misalnya ketidakyakinan Hizbut tahrir terhadap adanya siksa kubur, (utk hal ini baiknya diantara rekan syabab ada yang memberikan klarifikasi karena point ini menjadi bola liar untuk menghantam hizbut tahrir dari segi aqidah. Atau justru memang kenyataannya demikian?), atau bagaimana seorang syabab HT menafikan Nabi Ismail sebagai Rasul Allah sebagaimana dicetuskan di dunia maya oleh seorang kakak kelas saya yang aktivis Hizbut Tahrir itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah, sebuah keyakinan yang nyata-nyata bertentangan dengan al-Qur’an, (saya berharap itu hanya pandangan pribadi kakak kelas saya yang—sekali lagi, aktivis hizbut tahrir itu—atas kejahilannya terhadap al-Quran semata karena berpijak pada definisi “Nabi” dan “Rasul” a la buku Materi Dasar Islam yg dikaji oleh pemula2 di Hizbut Tahrir).
Saya tak ingin membedah terlalu jauh masalah aqidah Hizbut Tahrir ini, di dunia maya ada cukup banyak rekan yang saya pikir lebih kompeten utk membedahnya. Wajah buruk HT yang lain, menurut teman saya itu, adalah penyerangannya yang membabibuta terhadap kelompok-kelompok lain.
Hal ini mudah dipahami bahwa, sebagai jamaah yang berfokus pada “counter opinion” terhadap ideologi asing, Hizbut Tahrir tak henti melakukan propaganda agar publik memahami betapa busuknya kapitalisme, sekularisme, dan demokrasi. Perjuangan meng-counter ideologi ini memang mengharuskan syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan propaganda ke dalam opini masyarakat seperti yang mudah kita temui di masjid2, kampus, atau di dunia maya seperti saya singgung di awal tulisan tadi.
Senyatanya, propaganda ini merupakan sebentuk “dakwah” Hizbut Tahrir. Hampir seluruh (atau memang seluruhnya?) aktivitas dakwah Hizbut Tahrir, mulai dari bulletin, tabloid, majalah, jaulah, seminar, diskusi publik, konferensi, demonstrasi, dan sebagainya ditujukan untuk mempropagandakan keagungan khilafah dan kebusukan ideologi dan sistem politik selainnya. Saya pikir tak ada masalah dengan hal ini, hanya saja tampaknya Hizbut Tahrir “kelewatan” dalam melakukan “aktivitas dakwah”nya.
Tak jarang dalam melakukan propaganda demi mengopinikan keagunan khilafah yang dicita-citakan seraya membusuk-busukan apa yang dipandang bertentangan dengannya, seperti demokrasi misalnya, syabab Hizbut tahrir melakukan serangan pada kelompok-kelompok Islam yang tak sepemandangan dengannya. Bagaimana syabab Hizbut Tahrir misalnya, kerap mengeksploitasi habis-habisan kelemahan kelompok lain agar tampak bahwa pemahaman HT-lah satu-satunya yang paling benar. Jika ada satu kelemahan atau kekhilafan {‘kekhilafan’ ya, bukan ‘kekhilafahan’ :-)} yang dilakukan kelompok dakwah lain, maka serta merta syabab HT menjadikannya sebuah amunisi untuk kemudian mengeksploitasi kekhilafan tersebut tanpa merasa perlu melakukan tabayun atau check and recheck yang merupakan sikap seorang muslim.
Dalam lain kesempatan, syabab Hizbut Tahrir juga memberikan predikat penuh propaganda sekaligus demarketisasi terhadap sebuah partai dakwah islam di Indonesia dengan sebutan telah melakukan “pelacuran politik”. Sebuah predikat terlampau kasar yang tak pantas digunakan oleh seorang aktivis dakwah, apalagi sengaja disebar sebagai sebuah demarketing terhadap partai dakwah tersebut dengan harapan agar para pembaca mengalihkan dukungannya pada Hizbut Tahrir. Sebuah megalomania ideologis yang mirip-mirip madzhab Machiavelli.
Dan, sebagaimana tak sulit untuk menemukan media-media propaganda Hizbut Tahrir setiap Sholat Jumat, ternyata pedasnya lisan aktivis Hizbut tahrir juga mudah ditemukan di banyak tempat. Dalam interaksi di dunia maya, kadang kelompok lain juga terpancing utk membalas, beberapa syabab mungkin sudah melakukan screen shoot atau menyimpan link di layar komputer utk menujukkan bahwa bukan hanya syabab yg berlaku kasar, tapi perlu diketahui bahwa semuanya diawali oleh syabab Hizbut Tahrir itu sendiri yg memang dituntut utk melakukan propaganda akan keagungan khilafah dan kebusukan sistem lain itu. (Sekadar mengingatkan, dakwah HT memang banyak berkutat pada propaganda politik sehingga segala macam “yang buruk2” tentang demokrasi akan di-blow up habis2an, dan “segala yang buruk2” tentang sejarah khilafah akan disimpan rapat2. )
Tak cukup menyerang aktivis dakwah lain, Syabab HT juga menyerang para ulama. Terus terang saya betul-betul terkejut ketika ada syabab HT menggelari al-Muhaddits Al-Syaikh Nashiruddin al-Albani serta Syamahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz sebagai Ulama-ulama Su’, atau seburuk-buruk ‘ulama. Laa hawla walaa quwwata illa billah.
Bahkan seorang ulama Indonesia yang merupakan Imam Masjid Istiqlal, seorang pakar hadits dan murid langsung dari ulama internasional al-Syaikh Musthafa al-A’zhami, seorang ‘alim yg berbaris dalam jajaran ulama MUI, sekaligus Rais Syuriah PBNU, dan anggota lajnah pentashih Mushaf al-Quran, yakni al-Ustadz Dr. ‘Aly Musthafa Ya’qub, MA pun disesat2kan dan digelari dengan sebutan ulama su’ (Ulama sesat) semata karena berbeda pandangan dengan Hizbut Tahrir. Masya Allah. sebuah musibah bagi dakwah Islam jika seorang pemuda da’i yang baru belajar mengaji begitu berani menyesat-nyesatkan ulama, apalagi tampak para syabab Hizbut Tahrir saling tolong menolong dalam hal mencela ulama tersebut.
Memang hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar. Meminjam istilah ust. Farid Nu’man, Mereka (para pemuda itu) merasa telah menyelam ke lautan dalam, padahal ilmu mereka masihlah di tepian pantai. Uang receh memang berisik bunyinya.
Aktivis Hizbut Tahrir juga tak jarang mencela HAMAS, sebuah gerakan perlawanan terhadap Israel yang didukung oleh “sangat Mayoritas” rakyat Palestina, syabab HT juga mencela Pemimpin Turki Recep Thayib Erdogan yang berupaya merubah konsitusi sekular di Negara reruntuhan Khilafah ‘Utsmaniyyah itu, HT juga mencela hasil usaha keras rakyat Mesir yang telah berlelah-lelah dalam menggulingkan rezim Husni Mubarak semata karena tak menelurkan hasil yang sesuai dengan keinginan HT. Ironisnya, di negara2 tersebut, peran Hizbut Tahrir dalam membela kepentingan rakyat tak terdengar sama sekali gemanya.
Propaganda kesekian kalinya adalah “pembajakan” terhadap nama organisasi2 Islam. Dalam dunia maya, kita bisa melihat betapa syabab HT melakukan propaganda yang melampaui batas dengan mencatut nama Nahdhatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, serta Kammi. Nama-nama organisasi tersebut dibajak untuk dicantumkan dalam grup facebook “mendukung khilafah”, sebuah grup yang ditujukan sebagai media propaganda dan kampanye HT. Anda, rekan-rekan sekalian bisa bertanya kepada para pengurus PBNU, Muhammadiyah, atau Kammi, apakah mereka mengetahui pembuatan grup tersebut? Hizbut Tahrir seolah ingin—maaf—“numpang tenar” dengan menggunakan nama besar organisasi tersebut, seolah organisasi-organisasi besar itu mendukung ide2 mereka. Hal ini mungkin dibutuhkan karena sejatinya Hizbut Tahrir memang hanya organisasi kecil dengan pengikut yang relative sedikit. Dalam hal ini, HT tampak memang telah kelewatan dalam melakukan “dakwah”nya.
Demikianlah, wajah baik maupun wajah buruk Hizbut Tahrir, keduanya merupakan “perlawanan” terhadap “musuh2” ideologisnya. Dalam dunia marketing, cara2 mereka ini justru akan menjadi boomerang yang menghantam “nama besar” Hizbut Tahrir itu sendiri. Bagaimana cara marketisasi ideologi yg mereka lakukan, seperti tagging gambar-gambar ke account aktivis dakwah lain secara berlebihan, atau melakukan spamming link-link milik HT di grup-grup yang high rate yang diharapkan akan menumbuhkan dukungan bagi Hizbut Tahrir , justru akan melahirkan ‘kebencian’ terhadap Hizbut Tahrir itu sendiri. Kekecewaan terhadap HIzbut thari ini tampaknya sulit dielakkan, bahkan seorang teman mengatakan, “saya setuju khilafah, tapi bukan oleh Hizbut Tahrir. Karena jika HT berkuasa, akan meletus perang dunia karena HT meyakini perluasan wilayah yg tak henti2 utk menancapkan kekuasaannya di seluruh penjuru bumi secara radikal.”
Sebuah imperialisme baru, bukan?
Wallahu a’lam
Jakarta, 30 Juni 2011
—
Menjelang pembukaan sebuah acara pelatihan di kawasan Puncak, Bogor, seorang teman yang bekerja di Kementerian Agama menceritakan pengalamannya menjadi moderator dalam sebuah acara temu konsultasi antara Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI dengan Ormas-Ormas Islam di Indonesia. Sebagai seorang jebolan pesantren dan sebuah Universitas Islam di Medan, wawasan keislaman teman saya ini cukup luas dan moderat.
Saya tertarik dengan ucapannya waktu itu, bahwa sebagai salah satu ‘ormas’ Hizbut Tahrir sesungguhnya memiliki dua wajah. (by the way saya sepakat dengan kata ‘ormas’ ini. Bahwa, Hizbut Tahrir secara de jure memang terdaftar sebagai ormas di Indonesia, sekalipun seluruh syabab/aktivis HT mengklaim diri sebagai partai politik non peserta pemilu).
Wajah baik
Kata “dua wajah” ini mengingatkan saya tentang fakta demokrasi, sebuah ideologi yang tak henti-henti dihinadina dan dicerca habis-habisan oleh syabab Hizbut tahrir. Selayaknya demokrasi yang memiliki dua wajah, yakni wajah baik dan buruk, Hizbut Tahrir juga memiliki dua wajah. Wajah baik Hizbut Tahrir, seperti sering saya apresiasi di setiap kuliah saya di hadapan rekan2 mahasiswa dan dosen, adalah bentuk perlawanan mereka terhadap dominasi ideologi yang dihembuskan oleh Negara adidaya Amerika Serikat ke seluruh penjuru bumi. Semangat ini, saya pandang sebagai wajah baik hizbut tahrir, karena sejujurnya saya termasuk dalam kalangan yang memandang bahwa hembusan demokrasi yang dikipas2 oleh amerika ke banyak Negara sebetulnya dipenuhi oleh banyak sekali kepentingan. Minyak, dan usaha mempertahankan superioritasnya pada negara2 lain di dunia adalah kepentingan terbesar AS yang berlindung dibalik gaun demokrasi. Amerika Serikat bahkan menyimbahkan genangan darah pada gaun demokrasi itu di Afghanistan, Iraq, dan kini Libya. Hingga gaun itu terlihat bersimbah darah dan terlihat amat buruk.
Dengan berlindung di balik gaun demokrasi itulah, pemerintah AS menumpahkan darah2 manusia sehingga tampak amat lengket di aspal-aspal jalan, di pagar-pagar perkampungan, hingga di mimbar-mimbar masjid, sementara tangannya sibuk membawa tangki2 minyak yang siap ia bawa pulang untuk berminum-minum di atas meja makan nan indah dipenuhi obrolan-obrolan ‘ringan’: “Negara mana lagi selanjutnya?”
Hizbut tahrir, menentang imperialisme ini. Dengan tak henti menyebarkan wacana perlawanan terhadap ideologi Amerika yg kini mendominasi dunia. Di kampus-kampus, di dunia maya, di masjid2, tak sulit bagi kita untuk mendapatkan leaflet, brosur, atau bulletin kampanye Hizbut Tahrir ini. Meski perannya memang hanya sebatas wacana (jujur sejauh ini saya belum melihat langkah riil HT dalam “melawan” Amerika kecuali lewat seminar, jaulah tokoh, konferensi, atau tulisan2 di media2 milik mereka, yang kesemuanya hanya berada pada level ‘wacana’ semata.), namun saya pikir cukup berperan sebagai sebuah counter wacana atas “keunggulan-keunggulan” demokrasi yang merajalela di hampir seluruh dunia.
Melalui media HT, meski bukan satu2nya faktor, tak sedikit diantara ummat Islam yang akhirnya paham bahwa demokrasi, tak melulu unggul sebagai sebuah ideologi.
Melihat hizbut tahrir dalam wajah“baik”nya ini, mengingatkan kita pada karya-karya Karl Marx, Engels, beserta ‘binaan’2anya semacam Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, DN Aidit, Tan Malaka, Fidel Castro, Hugo Chavez, atau mungkin Pramoedya Ananta Toer. Wajah HT mirip dengan nama-nama tersebut, hanya saja HT duduk di jajaran kursi sebelah “kanan”. Maksud saya, Di dalam pesawat yang hendak membombardir kapitalisme dan demokrasi ini, Marx satu jajaran dengan Engels di bangku sebelah kiri, sementara Taqiyuddin dengan Abdul Qadim Zallum berada pada pesawat yang sama di jajaran sebelah kanan.
Bedanya kaum komunis melakukan aksi berdarah-darah dalam perlawanan melawan kapitalisme-demokrasi (dan saya tidak setuju dengan hal ini), sementara HT tidak berdarah-darah tetapi berseminar2 dan berkonferensi-konferensi (saya juga tak setuju dengan hal ini karena tidak kongkrit, rasanya harus ada formula lain dalam membasmi racun kapitalisme ini yang cerdas dan membunuh).
Bagaimanapun, saya selalu memberikan apresiasi atas bentuk counter opinion terhadap sesuatu yang dianggap wajar padahal zalim. Seperti kapitalisme dan demokrasi a la amerika itu. Tanpa ada pihak2 yang berani melakukan counter, maka kezaliman akan dianggap sebagai kelaziman. Selain itu, adanya dialektika dari satu tesis dengan tesis lainnya. Meminjam istilah filosof Jerman George Wilhem Friendrich Hegel, akan melahirkan absolute idea atau the great spirit yang akan membawa manusia pada kesempurnaan konsep. Hizbut Tahrir berdiri sebagai antitesa, layaknya Daud melawan raksasa tesis Demokrasi Amerika.
Wajah Buruk
Eksplorasi di atas adalah pembedahan saya dari obrolan ringan dengan teman yang orang medan itu. Kemudian dia melanjutkan bahwa hizbut tahrir memiliki satu wajah lagi: wajahnya yang buruk. Bukan buruk secara aqidah seperti selama ini cukup ramai diperbicangkan, misalnya ketidakyakinan Hizbut tahrir terhadap adanya siksa kubur, (utk hal ini baiknya diantara rekan syabab ada yang memberikan klarifikasi karena point ini menjadi bola liar untuk menghantam hizbut tahrir dari segi aqidah. Atau justru memang kenyataannya demikian?), atau bagaimana seorang syabab HT menafikan Nabi Ismail sebagai Rasul Allah sebagaimana dicetuskan di dunia maya oleh seorang kakak kelas saya yang aktivis Hizbut Tahrir itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah, sebuah keyakinan yang nyata-nyata bertentangan dengan al-Qur’an, (saya berharap itu hanya pandangan pribadi kakak kelas saya yang—sekali lagi, aktivis hizbut tahrir itu—atas kejahilannya terhadap al-Quran semata karena berpijak pada definisi “Nabi” dan “Rasul” a la buku Materi Dasar Islam yg dikaji oleh pemula2 di Hizbut Tahrir).
Saya tak ingin membedah terlalu jauh masalah aqidah Hizbut Tahrir ini, di dunia maya ada cukup banyak rekan yang saya pikir lebih kompeten utk membedahnya. Wajah buruk HT yang lain, menurut teman saya itu, adalah penyerangannya yang membabibuta terhadap kelompok-kelompok lain.
Hal ini mudah dipahami bahwa, sebagai jamaah yang berfokus pada “counter opinion” terhadap ideologi asing, Hizbut Tahrir tak henti melakukan propaganda agar publik memahami betapa busuknya kapitalisme, sekularisme, dan demokrasi. Perjuangan meng-counter ideologi ini memang mengharuskan syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan propaganda ke dalam opini masyarakat seperti yang mudah kita temui di masjid2, kampus, atau di dunia maya seperti saya singgung di awal tulisan tadi.
Senyatanya, propaganda ini merupakan sebentuk “dakwah” Hizbut Tahrir. Hampir seluruh (atau memang seluruhnya?) aktivitas dakwah Hizbut Tahrir, mulai dari bulletin, tabloid, majalah, jaulah, seminar, diskusi publik, konferensi, demonstrasi, dan sebagainya ditujukan untuk mempropagandakan keagungan khilafah dan kebusukan ideologi dan sistem politik selainnya. Saya pikir tak ada masalah dengan hal ini, hanya saja tampaknya Hizbut Tahrir “kelewatan” dalam melakukan “aktivitas dakwah”nya.
Tak jarang dalam melakukan propaganda demi mengopinikan keagunan khilafah yang dicita-citakan seraya membusuk-busukan apa yang dipandang bertentangan dengannya, seperti demokrasi misalnya, syabab Hizbut tahrir melakukan serangan pada kelompok-kelompok Islam yang tak sepemandangan dengannya. Bagaimana syabab Hizbut Tahrir misalnya, kerap mengeksploitasi habis-habisan kelemahan kelompok lain agar tampak bahwa pemahaman HT-lah satu-satunya yang paling benar. Jika ada satu kelemahan atau kekhilafan {‘kekhilafan’ ya, bukan ‘kekhilafahan’ :-)} yang dilakukan kelompok dakwah lain, maka serta merta syabab HT menjadikannya sebuah amunisi untuk kemudian mengeksploitasi kekhilafan tersebut tanpa merasa perlu melakukan tabayun atau check and recheck yang merupakan sikap seorang muslim.
Dalam lain kesempatan, syabab Hizbut Tahrir juga memberikan predikat penuh propaganda sekaligus demarketisasi terhadap sebuah partai dakwah islam di Indonesia dengan sebutan telah melakukan “pelacuran politik”. Sebuah predikat terlampau kasar yang tak pantas digunakan oleh seorang aktivis dakwah, apalagi sengaja disebar sebagai sebuah demarketing terhadap partai dakwah tersebut dengan harapan agar para pembaca mengalihkan dukungannya pada Hizbut Tahrir. Sebuah megalomania ideologis yang mirip-mirip madzhab Machiavelli.
Dan, sebagaimana tak sulit untuk menemukan media-media propaganda Hizbut Tahrir setiap Sholat Jumat, ternyata pedasnya lisan aktivis Hizbut tahrir juga mudah ditemukan di banyak tempat. Dalam interaksi di dunia maya, kadang kelompok lain juga terpancing utk membalas, beberapa syabab mungkin sudah melakukan screen shoot atau menyimpan link di layar komputer utk menujukkan bahwa bukan hanya syabab yg berlaku kasar, tapi perlu diketahui bahwa semuanya diawali oleh syabab Hizbut Tahrir itu sendiri yg memang dituntut utk melakukan propaganda akan keagungan khilafah dan kebusukan sistem lain itu. (Sekadar mengingatkan, dakwah HT memang banyak berkutat pada propaganda politik sehingga segala macam “yang buruk2” tentang demokrasi akan di-blow up habis2an, dan “segala yang buruk2” tentang sejarah khilafah akan disimpan rapat2. )
Tak cukup menyerang aktivis dakwah lain, Syabab HT juga menyerang para ulama. Terus terang saya betul-betul terkejut ketika ada syabab HT menggelari al-Muhaddits Al-Syaikh Nashiruddin al-Albani serta Syamahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz sebagai Ulama-ulama Su’, atau seburuk-buruk ‘ulama. Laa hawla walaa quwwata illa billah.
Bahkan seorang ulama Indonesia yang merupakan Imam Masjid Istiqlal, seorang pakar hadits dan murid langsung dari ulama internasional al-Syaikh Musthafa al-A’zhami, seorang ‘alim yg berbaris dalam jajaran ulama MUI, sekaligus Rais Syuriah PBNU, dan anggota lajnah pentashih Mushaf al-Quran, yakni al-Ustadz Dr. ‘Aly Musthafa Ya’qub, MA pun disesat2kan dan digelari dengan sebutan ulama su’ (Ulama sesat) semata karena berbeda pandangan dengan Hizbut Tahrir. Masya Allah. sebuah musibah bagi dakwah Islam jika seorang pemuda da’i yang baru belajar mengaji begitu berani menyesat-nyesatkan ulama, apalagi tampak para syabab Hizbut Tahrir saling tolong menolong dalam hal mencela ulama tersebut.
Memang hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar. Meminjam istilah ust. Farid Nu’man, Mereka (para pemuda itu) merasa telah menyelam ke lautan dalam, padahal ilmu mereka masihlah di tepian pantai. Uang receh memang berisik bunyinya.
Aktivis Hizbut Tahrir juga tak jarang mencela HAMAS, sebuah gerakan perlawanan terhadap Israel yang didukung oleh “sangat Mayoritas” rakyat Palestina, syabab HT juga mencela Pemimpin Turki Recep Thayib Erdogan yang berupaya merubah konsitusi sekular di Negara reruntuhan Khilafah ‘Utsmaniyyah itu, HT juga mencela hasil usaha keras rakyat Mesir yang telah berlelah-lelah dalam menggulingkan rezim Husni Mubarak semata karena tak menelurkan hasil yang sesuai dengan keinginan HT. Ironisnya, di negara2 tersebut, peran Hizbut Tahrir dalam membela kepentingan rakyat tak terdengar sama sekali gemanya.
Propaganda kesekian kalinya adalah “pembajakan” terhadap nama organisasi2 Islam. Dalam dunia maya, kita bisa melihat betapa syabab HT melakukan propaganda yang melampaui batas dengan mencatut nama Nahdhatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, serta Kammi. Nama-nama organisasi tersebut dibajak untuk dicantumkan dalam grup facebook “mendukung khilafah”, sebuah grup yang ditujukan sebagai media propaganda dan kampanye HT. Anda, rekan-rekan sekalian bisa bertanya kepada para pengurus PBNU, Muhammadiyah, atau Kammi, apakah mereka mengetahui pembuatan grup tersebut? Hizbut Tahrir seolah ingin—maaf—“numpang tenar” dengan menggunakan nama besar organisasi tersebut, seolah organisasi-organisasi besar itu mendukung ide2 mereka. Hal ini mungkin dibutuhkan karena sejatinya Hizbut Tahrir memang hanya organisasi kecil dengan pengikut yang relative sedikit. Dalam hal ini, HT tampak memang telah kelewatan dalam melakukan “dakwah”nya.
Demikianlah, wajah baik maupun wajah buruk Hizbut Tahrir, keduanya merupakan “perlawanan” terhadap “musuh2” ideologisnya. Dalam dunia marketing, cara2 mereka ini justru akan menjadi boomerang yang menghantam “nama besar” Hizbut Tahrir itu sendiri. Bagaimana cara marketisasi ideologi yg mereka lakukan, seperti tagging gambar-gambar ke account aktivis dakwah lain secara berlebihan, atau melakukan spamming link-link milik HT di grup-grup yang high rate yang diharapkan akan menumbuhkan dukungan bagi Hizbut Tahrir , justru akan melahirkan ‘kebencian’ terhadap Hizbut Tahrir itu sendiri. Kekecewaan terhadap HIzbut thari ini tampaknya sulit dielakkan, bahkan seorang teman mengatakan, “saya setuju khilafah, tapi bukan oleh Hizbut Tahrir. Karena jika HT berkuasa, akan meletus perang dunia karena HT meyakini perluasan wilayah yg tak henti2 utk menancapkan kekuasaannya di seluruh penjuru bumi secara radikal.”
Sebuah imperialisme baru, bukan?
Wallahu a’lam
Jakarta, 30 Juni 2011
Trimakasih infonya....
BalasHapusulasan nya bagus bang izin saya copas ya
BalasHapusbukan sya tidak percaya dengan pandangan atau pendapat mas, tpi agar lebih lengkap tulisan mas di lengkapi dengan data (bukti), makasi mas...
BalasHapus