Catatan atas grup, "Indonesia, Harapan Itu Masih Ada!"
--------
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
saya sengaja mengawali diskusi ini tanpa menyingkat salam, karena saya
ingin menyampaikan ungkapan cinta ahli surga itu secara utuh kepada
rekan2 sekalian, baik syabab HT, ikhwah tarbiyah, maupun dari beberapa
harakah lain yg ikut terlibat dalam grup ini. tanpa tendensi dan
pretensi apapun.
hari ini kerjaan saya sudah selesai sebelum
waktu makan siang, di waktu makan siang ini, sambil menikmati gorengan
favorit di meja kantor, saya sempatkan membuka grup ini. grup dimana
saya diminta untuk menjadi admin (saya ingin bilang bahwa yg meminta
saya menjadi admin adalah ikhwah dari tarbiyah, dan juga syabab HT),
namun saya sendiri juga kurang mengikuti semua status rekan2 karena
akselerasi update yg begitu cepat tak mungkin saya baca seluruhnya
disela2 kerjaan kantor yang menumpuk.
sebelum menumpahkan
curhat saya disini, saya ingin mengatakan bahwa prinsip hidup saya
adalah menilai sesuatu secara objektif tanpa tendesi. prinsip ini saya
pegang sebagai impelementasi dari sebuah ayat dalam al-Quran, surah
al-Maidah:8 yang berbunyi:
... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ
قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
dari prinsip ini saya
belajar bahwa untuk mengenal sebuah konsep, haruslah mendalami konsep
tersebut langsung dari sumbernya. karena jika kita menilai sesuatu dari
sumber sekunder (sumber yg ditulis oleh orang lain), maka kemungkinan
terjadinya reduksi menjadi amat jelas sekali.
itulah mengapa
untuk menilai gerakan Jaringan Islam Liberal, misalnya, saya membaca
langsung dari website mereka, dan membaca buku yg ditulis oleh orang2
JIL. demikian pula jika ingin menilai HT ataupun tarbiyah, saya akan
bertanya, membaca buku, atau hal lain yg langsung berkaitan dengan
sumbernya. jika saya misalnya, membaca buku2 tentang jama'ah tabligh yg
ditulis oleh rekan2 salafy, maka hal itu hanya saya simpan dalam otak
untuk kemudian saya meminta klarifikasi kepada kalangan JT-nya langsung.
karena dikahwatirkan adanya tendensi dari salafy kepada JT misalnya.
sebaliknya saya juga tak akan menilai gerakan salafy, dari buku yg
ditulis oleh orang JIL. kita juga tak ingin kan, jika orang2 menilai
Islam dari buku yg ditulis oleh orang kristen? demikian pula utk menilai
harakah2 ini.
itulah pula mengapa ketika saya membaca buku yg
diterbitkan oleh WAMY (World Assembly of Muslim Youth, --kalo ga salah
singkatannya begitu--) dimana pembahasan ttg Hizbut Tahrir cenderung
negatif, saya langsung bertanya kepada rekan saya di HT, bagaimana
tanggapan antum atas buku tersebut, karena saya sekali lagi, tak ingin
memberikan judge terhadap suatu konsep, sebelum saya meminta klarifikasi
dari golongan yg sesuai dgn konsep tersebut. setelah mendapatkan
klarifikasi dari rekan HT itu, saya tak menggunakan buku WAmY utk
menilai Hizbut Tahrir.
alhamdulillah hingga hari ini saya
masih memiliki banyak rekan baik di kalangan tarbiyah, HT, Tabligh
maupun Salafy (include di dalamnya NU, MUhammadiyah, Persis, dsb)
*** ini baru pendahuluan ya, sebetulnya saya ingin menulis artikel
berikut ini, itu juga kalo pantes disebut sebagai artikel, hehe..
setelah tadi pagi di bus kota mayasari cibinong-tn.abang, sambil
menunggu macet di tol jagorawi, saya membaca tulisan Ust. Farid Wajdi,
seorang ustadz di HTI yg jebolan Austria itu, dan tulisan Shiddiq
al-Jawi, seorang pengurus DPP HTI ya kalo ga salah (tolong ingatkan saya
kalo salah ya...), setelah membaca kertas sebanyak 8 halaman dengan
ukuran font 8, itu saya terpikir utk membuat sebuah catatan kecil...
tanggapan ini saya beri judul:
PARADOKS PEMIKIRAN POLITIK HIZBUT TAHRIR ---
perdebatan seputar relasi antara demokrasi dan Islam merupakan
perdebatan panjang yang saya kira tak akan pernah berujung pangkal. hal
ini karena kalangan yag menolak demokrasi, seperti gerakan Hizbut
Tahrir, memandang demokrasi dalam perpesktif perlawanan. Demokrasi dalam
pandangan HT adalah satu anak panah dunia Barat, untuk menjajah dunia
Islam melalui isu2 ideal yang meninabobokan ummat. membaca banyak sekali
tulisan rekan2 HT mengenai demokrasi, saya teringat dengan tesis
terkenal yg ditulis oleh Samuel Huntington, The Clash of Civilizations,
dimana huntington menempatkan Islam sebagai musuh berikutnya bagi AS
pasca runtuhnya rezim komunisme di uni sovyet.
selain aksioma
"kedaulatan di tangan Rakyat" yg menjadi doktrin demokrasi, HT juga
memandang demokrasi dalam perpektif sejarah dimana demokrasi lahir dari
rahim dunia Barat yang tidak Islami, maka meniru, mengaplikasikan, atau
menerima demokrasi, hukumnya Haram dalam pandangan Hizbut Tahrir.
sengaja saya tulis "dalam pandangan Hizbut Tahrir" karena harus diakui,
sekali lagi harus diakui, ada banyak ulama masyhur yg tidak sependapat
dengan pandangan HT ini.
dari sudut pandang inilah, rekan2
Syabab Hizbut Tahrir melalui berbagai media, mengkampanyekan demokrasi
sbg sistem yg kufur, syirik, sekaligus tak jarang dalam beberapa status
FB yg saya temui, rekan2 HT mengkritik, atau tepatnya mencela pula para
da'i yang berjuang lewat jalur parlemen.
sebuah sikap yang
menurut Rolland Barthes, seorang teoritisi budaya asal prancis,
merupakan implementasi dari ideologi yg dianut. ideologi menurut
Barthes, memang meniscayakan penganutnya untuk "menaturalkan hal-hal yg
pada faktanya kultural, dan me-universalkan hal-hal yg pada faktanya
partikular (lihat pengantar pada buku Ian Adams, Ideologi Politik
Mutakhir, 2007), --maksudnya memaksa penganut ideologi lain utk mengakui
bahwa hanya ideologi dialah yg sesuai dengan natur, dan universal bagi
seluruh manusia.--
saya melihat pandangan Hizbut Tahrir
terhadap demokrasi adalah pandangan yang terlalu prematur dan cenderung
paradoks. hizbut tahrir memahami demokrasi hanya sebatas "satu wajah".
yaitu wajahnya yg buruk dalam tataran yg real dan praktis. dalam
pandangan ini, HT memposisikan demokrasi vis a vis (berhadapan) terhadap
Islam. Abdul Qadir Zallum, seorang ulama dari kalangan HT), mengatakan
dalam bukunya yg diterjemahkan dengan judul "Demokrasi Sistem Kufur"
(1994) :
"demokrasi 100% bertentangan dengan Islam, sistem ini tidak lain merupakan sistem kufur"
apakah memang 100% demokrasi bertentangan Islam, ataukah hanya beberapa
persennya saja? disinilah letak perbedaan pandangan antara HT dengan
gerakan Islam lain, dalam hal ini katakanlah gerakan tarbiyah yg
memiliki sayap politik bernama Partai Keadilan (Sejahtera). yang
aktivisnya banyak puladi forum ini.
gerakan semacam tarbiyah
ini memandang demokrasi dalam "wajahnya yg lain" bahwa demokrasi pada
beberapa hal, memang bertentangan dengan islam, dan pada lain hal bisa
pula bersesuaian dgn Islam.
kalangan tarbiyah misalnya
memahami bahwa prinsip persamaan, kebebasan mengemukakan pendapat,
konsep suara mayoritas, adalah bersesuaian dengan Islam. sehingga
demokrasi, apabila dijalankan oleh kalangan yang taat kepada Tuhan, tak
akan menghasilkan hukum yang bertentangan dengan Islam, bahkan demokrasi
bisa dan sangat bisa, "dimanfaatkan" untuk melahirkan regulasi yang
justru mencerminkan kedaulatan di tangan Allah. kalangan tarbiyah ini
berpandangan bahwa suara terbanyak dalam sistem demokrasi, justru
peluang utk menerjemahkan hukum Allah dalam ranah hukum positif. sebagai
gerakan Islam, aktivis tarbiyah tentu tak akan membuat regulasi yang
bertentangan dengan syariah, yg diperjuangkan justru sebaliknya.
***
akibat dari pemahamannya terhadap demokrasi inilah, dalam beberapa
diskusi bersama syabab HT, saya melihat sebuah "pemaksaan" (maaf kalau
terlalu 'kasar') pendapat kepada harakah Islam lain. bagaimana para
aktivis HT misalnya dalam beberapa status FBnya, seringkali memberikan
kritik yg tak relevan dengan demokrasi itu sendiri. contoh yang masih
amat hangat adalah kasus "jabat tangan" antara ust.Tifatul Sembiring (yg
oleh The Washington Post disebut sebagai golongan konservatif muslim)
dengan Michelle Obama, seorang aktivis HT menyebut hal ini sebagai
penyimpangan idealisme akibat dari demokrasi sistem kufur.
pertanyaannya adalah, apa relevansi antara berjabattangannya
Tifatul-Michelle dengan sistem demokrasi? (jabat tangan ini sebetulnya
telah dikalrifikasi oleh ust. Tifatul melalui akun Twitter dan FBnya,
bukankah lebih baik kita meminta klarifikasi kepada YBS, alaisa
kadzalik?),
kalaulah rekan2 syabab memandang "jabat tangan"
itu sebagai penyimpangan akibat mengikuti sistem demokrasi, maka
pandangan tersebut adalah pandangan yg sama sekali keliru. disebut
keliru karena sebetulnya "penyimpangan" bisa terjadi dalam sistem
politik manapun, baik demokrasi, sosialisme, teokrasi, bahkan khilafah
sekalipun. lihat bagaimana Yazid Ibn Muawiyah bertindak zalim dalam
sistem khilafahnya? hal ini sebetulnya menggambarkan pada kita bahwa
sistem politik apapun, selama personalnya tidak baik, maka sistem
tersebut tak akan berjalan baik. -- (temen saya bilang: sistem yg
baik+personal yg baik=negara yg baik) -- pandangan Hizbut Tahrir
terhadap demokrasi ini, pada akhirnya juga "terpaksa" harus berbenturan
dengan pendapat mayoritas Ulama yang membolehkan berdakwah dalam alam
demokrasi. pendapat para ulama terkenal seperti Syaikh bin Baz, Syaikh
al-Utsaimin, Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh Abdullah bin Qu'ud, dan
lain2 rahimahumullah)--sengaja saya tak memasukkan Syaikh Yusuf
al-Qardhawi karena syabab HT memang jelas berseberangan dengan 'alim
tersebut (lihat tulisan ust. Shiddiq al-Jawi yg membedah bukunya Abdul
QAdir Zallum di jagad maya) --terpakasa harus dimentahkan oleh Hizbut
tahrir yang mengikuti pendapat ulama kalangannya sendiri seperti Syaikh
Taqiyuddin An-Nabhani atau Syaikh Abdul Qadir Zallum (rahumahumallah) yg
mengkufurkan demokrasi. para aktivis HT terpaksa harus bertentangan
dengan pendapat para ulama yg mejadi rujukan itu untuk memenuhi
pandangan haramnya demokrasi yg sesuai dengan perspektif mereka itu.
bahkan yg terkesan ironis adalah, seorang syabab (saya katakan seorang
agar kita tak menjudge sebuah gerakan dari ucapan seorang aktivis-nya)
berkomentar bahwa pandangan Syaikh Utsaimin --yg membolehkan
demokrasi--harus direvisi karena pandangan tersebut mungkin sesuai
dengan zamannya dan tak sesuai dengan zaman ini. sebuah komentar yg
ironis, karena masa hidup Syaikh al-Utsaimin jutsru lebih dekat kepada
zaman kita ketimbang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. bukankah semestinya
logika ini justru dibalik?
***
pandangan HT terhadap
demokrasi ini juga pada akhirnya melahirkan paradoks-paradoks lain pada
tataran praktis. bagaimana gerakan internasional Hizbut Tahrir
misalnya, justru tumbuh subur di negara2 yg menerapkan sistem demokrasi
yg dicela oleh HT itu sendiri. di negara2 Muslim sekalipun, seperti
Saudi atau Pakistan, Hizbut Tahrir justru kesulitan melebarkan sayapnya
karena tak seperti demokrasi yang memberikan kebebasan berekspressi,
negara2 tidak demokratis semacam Saudi dan Pakistan, amat membatasi ide2
rakyat yg bertentangan dengan negara.
terlebih kemudian,
paham keharaman demokrasi ini mejadi kontardiktif dalam tataran praktis,
dimana HTI mendaftarakan ormasnya pada institusi pemerintah.
Di Indonesia, HTI terdaftar di Depdagri dengan nomor 44.D.III.2/6/2006.
dimana dalam Surat Keterangan Terdaftar tersebut tertulis, bahwa HT
"telah terdaftar sebagai ormas dan dalam melaksanakan kegiatannya agar
tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku"
kalimat "dalam melaksanakan kegiatannya agar tidak bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku" inilah yang melahirkan
inkonsistensi gerakan Hizbut Tahrir. disatu sisi mengharamkan demokrasi,
bahkan mengatakannya sbg sistem kufur, thaghut, syirik, dan semacamnya,
namun disisinya yang lain dalam tataran praktis justru melaksanakan
kegiatan yang Tidak Bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangahn
yang berlaku.
apa yang dimaksud dengan kegiatan perundang2an
yg tercantum diatas?, tentunya sebagai negara hukum, ketentuan
perundang-undangan di Indonesia seluruhnya berdasarkan kepada Pancasila
dan UUD'45. artinya, dalam hal ini HT sama sekali Tidak bertentangan dgn
Pancasila dan UUD'45. Tidak bertentangan artinya adalah ta'at pada
konstitusi, dimana konstitusi kita berjalan dalam sistem demokrasi. jika
HT melanggar ketentuan ini, konseksuensinya HTI akan dilarang di
Indonesia.
bagaimana melogikakan sebuah gerakan Islam yg
mengatakan "demokrasi sistem kufur" namun disisi lain "taat pada
ketentuan per-UU-an yg berlaku?
***
berikutnya yang
ingin saya garis bawahi adalah, konten dari Rancangan Undang2 (RUU)
Khilafah yg disusun oleh Hizbut Tahrir, dimana dalam Bab Sistem
Pemerintahan pasal 21 dikatakan:
"Kaum Muslim berhak
mendirikan partai politik untuk mengkritik penguasa; atau sebagai
jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat, dengan
syarat asasnya adalah akidah Islam dan hukum-hukum yang diadopsi adalah
hukum-hukum syara’. Pendirian partai tidak memerlukan izin negara. Dan
negara melarang setiap perkumpulan yang tidak berasaskan Islam."
pertanyaan yang kemudian muncul adalah, "darimana Hizbut Tahrir
mendapatkan ide dibolehkannya mendirikan partai politik dalam konsep
Khilafah Islamiyah? adakah sejarah Khilafah ala minhajin nubuwah
mencontohkan demikian? jika HT konsisten dengan prinsip "khilafah" nya,
semestinya tidak ada sistem kepartaian dalam negara Khilafah.
sistem kepartaian jelas2 mengadopsi sistem dari Barat. karena sistem
politik kepartaian tidak dikenal kecuali dari luar sistem khilafah.
dalam hal ini terjadi inkonsistensi dalam pandangan gerakan politik hizbut tahrir.
menurut saya, sebetulnya jika kita merujuk kepada sejarah politik Islam
masa khulafa al-Rasyidun hingga masa dinasti Umawi, kita --atau
tepatnya saya-- bisa memberikan kesimpulan bahwa sistem politik Islam
lebih bernilai substantif ketimbang formalis dalam bentuk kenegaraannya.
mari kita lihat sistem suksesi keempat khalifah pada masa khulafa
al-rasyidun, para khalifah tersebut diangkat melalui cara2 yang berbeda.
Abu Bakar (Ra) diangkat sebagai khalifah melalui kesepakatan kaum
Muslimin pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw.
sementara itu 'Umar
Ibn Khattab ditunjuk langsung oleh Abu Bakar utk menjadi khalifah
(bayangkan jika pada masa sekarang ini, pengangkatan seorang khalifah
ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya), 'Utsman ibn 'Affan diangkat
melalui tim formatur yang dibentuk oleh 'Umar Ibn Khattab, sementara
imam 'Ali diangkat setelah pemilihan diserahkan sepenuhnya kepada para
'ulama ahlul halli wal aqdi.
kemudian jika kita melihat sistem
khilafah pasca khulafa al-rasyidun, dimulai dari zaman umayyah,
abbasiyyah, hingga ustmani, maka sistem pemerintahan khilafah berubah
total menjadi sistem monarki yang mengadopsi sistem diluar Islam.
dalam hal ini, jika Hizbut Tahrir mengakui kekhalifahan masa umayyah
hingga utmaniyyah yg mengadopsi sistem monarki yg merupakan warisan
romawi dan persia ini, semestinya Hizbut Tahrir tidak berkeberatan jika
sistem politik sekarang mengadopsi sistem demokrasi.
sistem
kerajaan yg dianut oleh dinasti umayyah dan abbasiyah relevan dengan
konsep kekhilafahan Islam pada masa itu sesuai dengan kondisi zamannya.
sementara itu demokrasi bisa saja relevan dengan konsep kekhilafahan
islam, untuk masa ini, sesuai logika zaman ini. disinilah perlunya
memahami realitas zaman.
jadi menurut saya, sistem
pemerintahan Isalm sesungguhnya bisa relevan dengan sistem pemerintahan
apapun, jika regulasi yg berlaku di negara tersebut mencerminkan
penerapan hukum Allah.
jika permasalahannya ada pada prinsip
kedaulatan di tangan rakyat yg amat memungkinkan terjadinya penyimpangan
dalam legislasi UU, maka sesungguhnya sistem kerajaan yg dianut oleh
dinasti umayyah hingga utsmaniyyah juga amat sangat memungkinkan
terjadinya penyimpangan. bahkan sistem monarki itu sendiri jika
dipandang dari sudut keadilan adalah penyimpangan itu sendiri, karena ia
menghalangi rakyat yg berkompeten, utk menjadi khalifah krn terganjal
oleh Trah yg bukan Trah Raja.
noda hitam dalam sejarah
khilafah menunjukan bahwa sistem monarki, sebagaimana sistem politik yg
lain, amat memungkinkan terjadinya penyimpangan.
inkonsistensi
ini dapat dikecualikan, jika HT tidak mengakui dinasty Umayyah dan
Abbasiyah sbg sebuah khilafah Islamiyyah, sehingga mereka terlepas dari
pandangan bahwa sistem politik apapun, baik monarki maupun sistem lain,
sesungguhnya bisa bersesuaian dgn Islam.
tetapi faktanya, HT
mengakui dinasti umayyah dan abbasiyah yg mengadopsi sistem kerajaan ala
Romawi dan Persia itu sbg sebuah kekhilafahan Islam. berarti sistem
apapun, sekali lagi, baik monarki maupun demokrasi, bisa bersesuaian
dengan Islam, selama regulasi yg lahir dari sistem itu mencerminkan
kedaulatan di tangan Allah.
***
'ala kulli hal, saya
tetap menghormati prinsip pemikiran politik hizbut tahrir, sebagai
sebuah khazanah pemikiran politik Islam. namun demikian alangkah bijak,
jika para pemuda, syabab Hizbut Tahrir, tidak mudah mencela golongan
lain yg tak sepemikiran dengan kelompoknya. apatah lagi dengan
mengatakan bahwa mereka yg berdakwah dui parlemen itu sebagai orang2 yg
"berkubang dalam lumpur demokrasi" mengatakannya menikmati kekufuran,
sistem syirik, antek thaghut, dsb.
agar terjadi harmonisasi antar harakah, ibarat Gir pada Roda, biarkan harakah yg berbeda pandangan itu saling mengisi.
saya amat mempersilahkan koreksi dari rekan2 Hizbut tahrir atas catatan
ini, dan amat lebih senang seandainya tanggapan atas catatan ini berupa
artikel pula, sehingga terjadi dialektika pemikiran Islam, agar kita,
para aktivis yg bergabung dalam grup ini, memiliki wawasan yg kian
bertambah seiring dengan postingan ttg wacana2 politik Islam.
sehingga kultur intelektualisme lebih dominan di grup ini ketimbang umpatan atau cacian yg memperuncing ukhuwah di antara kita.
agar iklim intelektualisme seperti yang dicontohkan dalam perdebatan
antara Imam Ghazali dengan Ibnu Rusyd dapat kita lestarikan.
ingatkah rekan2 bagaimana Imam al-Ghazali mengkritik para filosof,
termasuk Ibnu Rusyd di dalamnya, lewat bukunya "tahafut
al-Falasifah?/kerancuan para filosof"
kemudian Ibnu Rusyd
membalasnya kritikan itu dengan sebuah kritikan pula dengan menulis buku
Tahafut at-Tahafut (kerancuan buku "kerancuan"nya al-Ghazali).
alangkah indah jika nalar intelektual lebih dominan daripada nalar emosional.
Hadanallah wa iyyakum ajma'in diiringi harapan, semoga Jaya, Islam dan Kaum Muslimin.
wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
21 Desember 2010
Jumat, 22 Maret 2013
Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar