Program rihlah bersama binaan waktu itu menjadi tidak biasa, di sela
acara taushiyyah bada ‘Isya di tepi pantai Palabuhan Ratu, dibelai
dingin angin dan snack yg ala kadarnya, seorang binaan “mendeklarasikan”
program pernikahannya di hadapan rekan2 sesama mutarabbi. Dia, seorang
adik kelas sejak masih SMK itu, adalah binaan pertama saya yang
menggenapkan separuh dari agamanya.
Selepas itu kemudian menyusullah binaan-binaan saya yg lain “memberanikan diri” untuk mengambil keputusan besar itu: menikah. Sementara saya sendiri, murabbinya, masih tetap setia berstatus sebagai ‘lajang’. Saya jadi teringat teman2 nongkrong saya di pos ronda bilang, "bentar lagi loe bakal masuk sinteron, judulnya 'Bujang Lapuk Penumpuk Harta!?", begitu mereka menyindir realitas banyaknya bujangan2 di tempat nongkrong itu.
Di luar mereka yg 'ammah itu, beberapa kali (sebetulnya berkali2) juga terdengar canda para ikhwah yang “menyindir” status lajang saya seraya membandingkannya dengan binaan2 saya itu.
Waktu itu, saya, bukan tak ingin menikah. Keinginan untuk menjadi nahkoda dalam kapal besar pernikahan sebetulnya justru begitu membumbung dalam dada. seperti asap pekat yang menyelubungi kamar tertutup. sesak! Kadang dalam beberapa suasana, sepanjang pulang kerja yang lelah, atau selepas dzikir ba'da shalat, butiran air mata menetes halus seolah ingin memberitahu mereka semua bahwa, “ana juga ingin menikah....”
Tak terhitung rasanya, entah nasihat, sindiran, candaan, dari begitu banyak ikhwah yang “mempertanyakan” status LAJANG itu. Menggambarkan betapa indahnya menikah, betapa tentramnya kehidupan setelahnya, betapa agama ini menjadi sempurna dengan kehadiran istri di samping kita, serta nasihat2 lain yang sebetulnya sudah amat sering saya dengar baik di seminar2 ataupun dari buku2 pernikahan yang jumlahnya segambreng itu.
Saking seringnya, bagi saya waktu itu, rangkaian kata dalam sindiran halus para ikhwah itu justru terkadang lebih terdengar sebagai “intimidasi” dari pada sebagai nasihat. Hati saya ingin bilang,
“iya, tapi gada duit, ente pinjemin ane duit dunk buat nikah--atau bagaimana jika kalimatnya kita buat lebih dalam:--kalau cuma ngomong doang mah gampang,” tapi tentu tak sampai hati saya mengatakannya.
Ini yg kadang khilaf dilakukan oleh mereka yang telah menikah, termasuk akhirnya saya sendiri. Kita, cenderung menggambarkan keindahan menikah atau candaan2 yg seperti –sekali lagi seperti-- sindiran halus bagi para lajang untuk segera menikah, namun seolah tanpa merasa perlu untuk mengetahui kondisi mereka. Entah itu dari sudut pandang psikologis, kondisi keluarga, atau bahkan ekonomi. Dalam hal ekonomi ini seorang teman kuliah sewaktu chatting pernah bilang, “ya! Ekonomi penting. Money isn’t everything. But married without money is nothing!”
Betul, kan?
Disegala cara dimana Islam memudahkan kita untuk menikah, kadangkala aspek lain juga harus dipertimbangkan agar tidak menjadi hal buruk di kemudian hari. Kita harus menghargai keluarga akhwat, bukan? Berapa uang yg akan kita berikan kepada keluarga akhwat untuk resepsi acara pernikahan itu, cukupkah untuk membuatnya sekadar "tak merasa tak dihargai?" Bagi saya waktu itu sulit. Dengan penghasilan yang tak seberapa saya merasa hal itu berat. karena saya tetap harus menjaga perasaan keluarganya sekalipun bisa jadi calon mertua tak mempermasalahkan hal itu.
Catatan ini, bukan untuk membenar2kan mereka yang menunda pernikahan, sama sekali tidak. Jauh dari hati saya yg paling dalam, saya juga ingin mengatakan kepada para lajang, bahwa pilihan ‘akhlak’ sebagaimana yang Nabi sampaikan betul2 pilihan terbaik, dan engkau akan mendapatkan ketentraman disini.
Tapi yg ingin saya sampaikan adalah, hendaklah kita yg sudah menikah, mengetahui kondisi mereka yg bisajadi berbeda dengan kita, sekali lagi baik dari aspek psikologis, sosial, financial, dll yang menyebabkan mereka masih belum menikah hingga hari ini.
Saya rasa pengetahuan kita tentang hal itu akan membuat kita lebih bijaksana dalam memberikan “sekadar” (meski sebetulnya bukan hanya ‘sekadar’) nasihat pernikahan bagi mereka, sehingga tak terdengar sebagai “intimidasi” daripada sebagai nasihat seperti yang secara “tidak enak” saya alami sewaktu masih bujangan dulu.
^_^
Jakarta, 150311: 14.19
Sigt Kamseno
*syukran kepada teman di grup IHIMA, yg telah mengingatkan ana ttg hal ini...
Selepas itu kemudian menyusullah binaan-binaan saya yg lain “memberanikan diri” untuk mengambil keputusan besar itu: menikah. Sementara saya sendiri, murabbinya, masih tetap setia berstatus sebagai ‘lajang’. Saya jadi teringat teman2 nongkrong saya di pos ronda bilang, "bentar lagi loe bakal masuk sinteron, judulnya 'Bujang Lapuk Penumpuk Harta!?", begitu mereka menyindir realitas banyaknya bujangan2 di tempat nongkrong itu.
Di luar mereka yg 'ammah itu, beberapa kali (sebetulnya berkali2) juga terdengar canda para ikhwah yang “menyindir” status lajang saya seraya membandingkannya dengan binaan2 saya itu.
Waktu itu, saya, bukan tak ingin menikah. Keinginan untuk menjadi nahkoda dalam kapal besar pernikahan sebetulnya justru begitu membumbung dalam dada. seperti asap pekat yang menyelubungi kamar tertutup. sesak! Kadang dalam beberapa suasana, sepanjang pulang kerja yang lelah, atau selepas dzikir ba'da shalat, butiran air mata menetes halus seolah ingin memberitahu mereka semua bahwa, “ana juga ingin menikah....”
Tak terhitung rasanya, entah nasihat, sindiran, candaan, dari begitu banyak ikhwah yang “mempertanyakan” status LAJANG itu. Menggambarkan betapa indahnya menikah, betapa tentramnya kehidupan setelahnya, betapa agama ini menjadi sempurna dengan kehadiran istri di samping kita, serta nasihat2 lain yang sebetulnya sudah amat sering saya dengar baik di seminar2 ataupun dari buku2 pernikahan yang jumlahnya segambreng itu.
Saking seringnya, bagi saya waktu itu, rangkaian kata dalam sindiran halus para ikhwah itu justru terkadang lebih terdengar sebagai “intimidasi” dari pada sebagai nasihat. Hati saya ingin bilang,
“iya, tapi gada duit, ente pinjemin ane duit dunk buat nikah--atau bagaimana jika kalimatnya kita buat lebih dalam:--kalau cuma ngomong doang mah gampang,” tapi tentu tak sampai hati saya mengatakannya.
Ini yg kadang khilaf dilakukan oleh mereka yang telah menikah, termasuk akhirnya saya sendiri. Kita, cenderung menggambarkan keindahan menikah atau candaan2 yg seperti –sekali lagi seperti-- sindiran halus bagi para lajang untuk segera menikah, namun seolah tanpa merasa perlu untuk mengetahui kondisi mereka. Entah itu dari sudut pandang psikologis, kondisi keluarga, atau bahkan ekonomi. Dalam hal ekonomi ini seorang teman kuliah sewaktu chatting pernah bilang, “ya! Ekonomi penting. Money isn’t everything. But married without money is nothing!”
Betul, kan?
Disegala cara dimana Islam memudahkan kita untuk menikah, kadangkala aspek lain juga harus dipertimbangkan agar tidak menjadi hal buruk di kemudian hari. Kita harus menghargai keluarga akhwat, bukan? Berapa uang yg akan kita berikan kepada keluarga akhwat untuk resepsi acara pernikahan itu, cukupkah untuk membuatnya sekadar "tak merasa tak dihargai?" Bagi saya waktu itu sulit. Dengan penghasilan yang tak seberapa saya merasa hal itu berat. karena saya tetap harus menjaga perasaan keluarganya sekalipun bisa jadi calon mertua tak mempermasalahkan hal itu.
Catatan ini, bukan untuk membenar2kan mereka yang menunda pernikahan, sama sekali tidak. Jauh dari hati saya yg paling dalam, saya juga ingin mengatakan kepada para lajang, bahwa pilihan ‘akhlak’ sebagaimana yang Nabi sampaikan betul2 pilihan terbaik, dan engkau akan mendapatkan ketentraman disini.
Tapi yg ingin saya sampaikan adalah, hendaklah kita yg sudah menikah, mengetahui kondisi mereka yg bisajadi berbeda dengan kita, sekali lagi baik dari aspek psikologis, sosial, financial, dll yang menyebabkan mereka masih belum menikah hingga hari ini.
Saya rasa pengetahuan kita tentang hal itu akan membuat kita lebih bijaksana dalam memberikan “sekadar” (meski sebetulnya bukan hanya ‘sekadar’) nasihat pernikahan bagi mereka, sehingga tak terdengar sebagai “intimidasi” daripada sebagai nasihat seperti yang secara “tidak enak” saya alami sewaktu masih bujangan dulu.
^_^
Jakarta, 150311: 14.19
Sigt Kamseno
*syukran kepada teman di grup IHIMA, yg telah mengingatkan ana ttg hal ini...
0 komentar:
Posting Komentar