madzhab alternatif dari dikotomi Islam struktural-Islam kultural
”Opsinya
bukan hanya seperti gincu yang formalis, atau garam yang
substansialis. Tetapi ia lebih seperti villa, yang bukan hanya indah
secara fisik (formatif), tetapi juga nyaman secara psikis (substantif).
Keduanya adalah sebuah sinergi.”
Wacana Umum seputar Artikulasi Politik Islam
Artikulasi
politik Islam adalah aktualisasi pada tataran praksis dari pemikiran
politik Islam. Pemikiran politik Islam itu sendiri merupakan
gagasan-gagasan intelektual yang menjadikan dua sumber utama Islam,
yakni al-Qur’ân dan al-Hadîts sebagai rujukan. Interpretasi terhadap
dua rujukan ini kemudian terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok
struktural, dan kultural.
Pendekatan kultural adalah sebuah
strategi islamisasi dengan cara mempengaruhi perilaku sosial dan
pandangan masyarakat tanpa perlu menerapkannya secara formal pada level
negara. Sementara pendekatan struktural diartikan sebagai strategi yang
memandang bahwa islamisasi harus dilakukan melalui struktur negara
secara legal formal. Artikulasi politik dari kedua konsep ini, kemudian
dibedakan antara gerakan yang bertujuan pada perubahan masyarakat (the society aimed movement) dan perubahan negara (the state aimed movement).
Dalam
konteks implementasi politik, aktualisasi dari dua varian ini, diwakili
oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN)
sebagai representasi dari kaum kultural, dan di pihak lain Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai
representasi dari kaum struktural.
PKB dan PAN dipandang mewakili
kelompok kultural karena kedua partai ini, meskipun berasal dari rahim
komunitas Islam yakni Nahdât al‘-Ulamâ’ dan Muhammadiyyah, namun
keduanya tidak memperjuangkan syariat Islam secara formal dalam
konstitusi. Keduanya bahkan bukan merupakan partai yang menjadikan Islam
sebagai asas. Sementara PPP dan PBB dipandang sebagai partai yang
merepresentasikan Islam struktural karena kedua partai ini memiliki
cita-cita untuk memformalisasikan syariat Islam dalam level
konstitusional, hal ini tampak pada praksis politik kedua partai
tersebut dalam memperjuangkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta
Perdebatan
antara dua varian politik Islam ini tidak pernah mencapai titik temu
karena kaum struktural cenderung memahami yurisprudensi hukum Islam
(al-Qur’ân dan al-hadîts) melalui pendekatan yang tekstual, sehingga
selalu terjebak dalam idealisme-idealisme yang normatif. Sementara kaum
kultural memiliki kecenderungan untuk memahami yurisprudensi hukum Islam
itu dengan pendekatan kontekstual yang mengakibatkannya terjebak dalam
artikulasi politik yang kultural-substantif semata.
Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah, apakah artikulasi politik Islam memang harus
mengacu pada dikotomi tersebut, ataukah diperlukan adanya alternatif
lain? Jawaban dari pertanyaan ini akan dipaparkan pada pembahasan
berikut.
Konsep Integralisme Islam sebagai Alternatif dalam Artikulasi Politik Islam
Dari
perbedaan approach dalam memahami yurisprudensi hukum Islam sebagaimana
dipaparkan diatas, perdebatan antara kaum struktural dan kultural ini
pada akhirnya tidak pernah berkesudahan. Dari sini, menarik untuk
dikembangkan, bahwa diperlukan alternatif lain diluar kedua mainstream
artikulasi politik Islam ini.
Kebutuhan adanya alternatif ini,
juga didukung oleh realitas politik. Selain fakta bahwa partai kultural
dan struktural Islam mengalami penurunan suara pada Pemilu 2004
dibandingkan Pemilu 1999, survey yang dilakukan oleh Lembaga Riset
Informasi pada bulan Februari 2008 menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa partai-partai Islam, baik yang berbasis kultural maupun yang
berbasis struktural, mengalami stagnasi bahkan penurunan jumlah suara
apabila dibandingkan dengan Pemilu 2004.
Perolehan Suara Partai Islam
pada Pemilu 1999, 2004, dan survey Pemilu 2009
Partai Hasil Perolehan Suara Pemilu Legislatif (%)
1999 2004 2009*
PKB 12,6 10,57 2,33
PAN 7,1 6,44 5,13
PPP 10,7 8,15 2,86
PBB 1,94 2,62 0,9
PK(S)** 1,3 7,34 11,5
*
Survei dilakukan oleh Lembaga Riset Informasi pada 8-16 Februari 2009
di 33 propinsi (99 kota/kabupaten atau 3 kabupaten di 33 propinsi).
Jumlah responden sebanyak 1.890 orang yang berusia di atas 17 tahun.
Metode yang digunakan wawancara tatap muka dengan kuesioner terstruktur.
Margin of error 2,23%, pada tingkat kepercayaan 95%.
** PKS sebagai pembanding yang tampak lebih prospektif.
Berangkat
dari tren penurunan suara partai Islam kultural dan struktural ini,
dibutuhkan alternatif lain dalam artikulasi politik Islam di Indonesia.
Sebuah alternatif yang sesuai dengan konteks keindonesiaan saat ini,
namun dengan tetap merujuk pada landasan fundamental Islam mengingat
realitas Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas
Muslim—sekaligus dengan populasi Muslim terbesar di dunia—yang membawa
pada kesimpulan bahwa menegasikan Islam dalam artikulasi politik
nasional menjadi hal yang mustahil. Dibutuhkan alternatif politik Islam
yang tidak terjebak dalam dikotomi substantif-kultural dan
formalis-struktural yang sudah tidak lagi diminati publik. Sebuah
alternatif yang penulis sebut dengan istilah “integralisme Islam” atau
“Islam integral.” Karakteristik dari Islam integral ini akan dipaparkan
pada pembahasan berikut.
Karakteristik Konsep Integralisme Islam
Konsep
integralisme Islam yang penulis maksud, memiliki
karakteristik-karakteristik yang membedakannya dengan nalar kultural
maupun struktural dalam politik Islam. Karakteristik-karakteristik
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Integrasi antara nalar tekstual dan kontekstual.
Karakteristik
pertama dari konsep Islam integral ini adalah ketidakterjebakan dalam
memahami dua landasan fundamental islami (al-Qur’ân dan al-hadits), yang
selama ini dipahami hanya melalui pendekatan tekstual, atau kontekstual
semata, terkait relevansi kedua pedoman hidup Muslim tersebut dengan
konteks keindonesiaan saaat ini.
Karakteristik ini dibutuhkan, karena
pendekatan yang hanya didasarkan pada pemahaman tekstual tanpa
menyertakan konteks ruang dan waktu, akan menyebabkan rigiditas dalam
berinteraksi dengan perkembangan zaman yang selalu berubah. Pemahaman
terhadap realitas, yaitu kenyataan bahwa peradaban dan daya nalar
manusia senantiasa berkembang, semestinya menjadi perhatian daripada
sekadar memahami landasan fundamental islami tanpa menyertakan
kontekstualisasinya.
Sebaliknya, dalam konsep integralisme Islam,
pemaknaan terhadap konteks “kini” dan “disini” juga tidak mengabaikan
Qur’ân dan hadîts yang merupakan fondasi kehidupan setiap Muslim. Dalam
hal ini, Islam integral memberikan akomodasi antara teks dan konteks,
sehingga tetap tekstual tanpa mengabaikan konteks, dan tetap kontekstual
tanpa meninggalkan teks
2. Integrasi antara nalar substantif-kultural dengan nalar formalis-struktural
Karakteristik
kedua dari konsep integralisme Islam ini merupakan sintesis dari paham
kultural dan struktural. Dalam hal ini, konsep Islam integral kemudian
menjadi kritik bagi Islam kultural dan Islam struktural itu sendiri.
Contoh kritik bagi kedua pendekatan tersebut adalah sebagai berikut,
bahwa nalar kulturalisme mengandaikan perbaikan dari problematika
kebangsan dapat dicapai hanya melalui semangat atau ”karakter sufi” yang
seyogyanya dianut oleh seluruh komponen bangsa, sehingga diharapkan
dengan hati para sufi, betapapun sesungguhnya bobrok suatu sistem,
kejernihan hatinya mampu menundukkan kepentingan pribadinya. Jika
masyarakat sudah memahami spirit sufistik ini dengan baik maka
institusionalisasi menjadi tidak penting. Nalar ini kemudian sepenuhnya
menghindari institusionalisasi.
Permasalahannya adalah, amat kecil
kemungkinan (atau justru tidak mungkin) menyadarkan seluruh komponen
bangsa ini dengan pendekatan tersebut, karena tidak semua masyarakat
dapat menerima spirit sufistik yang ditawarkan. Sulit membayangkan
manusia yang secara natural merupakan makhluk yang sulit diatur, secara
keseluruhan menerima gagasan ini tanpa koersifitas negara. Koersifitas
negara diperlukan karena tidak semua orang mau secara sadar diajak untuk
berbuat baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan hukum. Doktrin
ini berlaku pada semua format negara, apakah ia negara sekular maupun
negara agama.
Berbanding terbalik dengan pendekatan kultural
diatas, kaum struktural berasumsi bahwa perbaikan dapat segera dilakukan
melalui institusionalisasi hukum Islam tanpa memandang urgensi
kesadaran masyarakat tentang hakikat Islam itu sendiri. Nalar ini
mengasumsikan bahwa kesadaran umat dapat dicapai setelah formalisasi
syariat ini diterapkan. Bahwa keadilan, kesetaraan, persamaan hak,
kesejahteraan, dapat dicapai secara utuh melalui formalisasi syariat.
Karena definisi dari keadilan, persamaan, kesejahteraan, dan sebagainya
yang menjadi maqâshid dari Islam sepenuhnya mengacu pada definisi dari
literatur Islam.
Kritik bagi pendekatan ini adalah, bahwa ada
terlalu banyak hal yang perlu dibenahi sebelum formalisasi ini
diterapkan di level negara. Pengetahuan tentang syariat itu sendiri dan
kondisi ekonomi ummat, adalah hal yang perlu dibenahi terlebih dahulu.
Sehingga berbicara tentang syariat Islam tidak terjebak pada formalisasi
yang dalam stereotype masyarakat masih dipandang rigid. Usaha
mengakrabkan masyarakat dengan syariah dapat dimulai dari munculnya bank
syariah sebagai implementasi dari semangat ekonomi Islam, islamisasi
politik, islamisasi pendidikan, hingga islamisasi ilmu pengetahuan,
sehingga blueprint dari nilai positif syariat telah tergambar dalam
benak masyarakat sebelum konsep ini diformalisasikan. Dari sini,
Islamisasi tidak diartikan, seperti yang selama ini dimaknai secara
pejoratif sebagai “arabisasi” tempat-tempat umum, penggunaan
simbol-simbol Arab, dsb., tetapi lebih pada kesadaran mengaplikasikan
Islam dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Hal ini untuk menghindari
bumerang yang dikhawatirkan terjadi ketika syariat diterapkan pada saat
yang belum tepat. Apabila keadilan dan kesejahteraan telah mewujud dalam
masyarakat, sehingga tindak kriminalitas dapat ditekan, maka sebetulnya
eksekusi potong tangan pun—yang selama ini ditakuti—dapat dihindari.
Dari
contoh ini, konsep Islam integral merupakan integrasi sekaligus
dekonfessionalisasi dari nalar kultural dan struktural. Hal ini menjadi
kebutuhan disebabkan karena, mengutip Anis Matta, perbaikan yang
diawali dari perpektif yang parsial, hanya akan melahirkan produk
kebaikan yang parsial pula. Bahkan tidak menutup kemungkinan, produk
parsial tadi akan “dikalahkan” oleh keburukan dari dimensi lain yang
belum tersentuh perbaikan.
3. Integralisme antara idealisme dan realita
Karakteristik
ini diperlukan agar artikulasi politik Islam dapat teraplikasikan
secara konkrit alih-alih terjebak dalam romantika idealisme atau
cita-cita Islam yang tidak realistis dalam konteks “kekinian” dan
“kedisinian.” Sebaliknya, karakteristik ini juga berperan penting agar
artikulasi politik Islam tidak terjebak dalam pragmatisme dengan
mengabaikan idealisme-idealisme Islam yang merupakan landasan
fundamental yang divine sebagai penjaga perilaku moral politik yang
efektif.
4. Integrasi antara dimensi yang sakral dan yang profan
Karakteristik
terakhir ini, bukan didefinisikan dengan menyakralkan sesuatu yang
profan atau melakukan profanasi terhadap sesuatu yang sakral.
Karakterisktik ini lebih bermakna sebagai “worldview” atau sebuah
pandangan yang misalnya, mengutip Yudi Latif, dalam komunitas-komunitas
Muslim dari madzhab dan tradisi apapun menyetujui bahwa tauhid merupakan
inti keyakinan, tradisi dan amalan Islam, konsepsi tauhid ini kemudian
membawa pada satu keyakinan, bahwa Tuhan serba hadir dalam setiap aspek
dan praktek kehidupan Muslim, sehingga dimensi-dimensi yang profan
seperti politik, ekonomi, budaya, militer, dan semacamnya tetap berjalan
dalam kesadaran akan “kehadiran” Tuhan ini.
Demikianlah empat karaktersitik khas yang dimiliki oleh konsep integralisme Islam.
Kamis, 21 Maret 2013
Islam Integral
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar