Cerita diawali dari perjalanan pulang kantor yg salah naik bus. Setelah
nunggu hampir satu jam lamanya sampe tumbuh toge, di kejauhan
persimpangan lampu merah ane melihat bus langganan melintas berbarengan
dengan bus lain. Seketika hati ane sumringah berbunga-bunga… akhirnya
bus tersebut datang juga!!
Tanpa ba-bi-bu langsung lompat ke pintu bus dan duduk dengan nyaman..
hmmmbwahh…
sampe di pintu tol kondekturnya nagih ongkos..ow..ow.. syukur campur bingung..ongkosnya turun jadi 7ribu saja..!
Ternyata
saudara2, ane malah naik bus jurusan Jati Asih, Bekasi. Dah ga bisa
turun kecuali selepas tol. Jadi ane akan muter2 meraba jalan pulang ke
Cibinong.
Dalam perjalanan pulang itulah, malam2 diselimuti rasa
lelah, dengan ongkos yg tinggal pas-pasan di kantong, ane mengobrol dgn
beberapa penumpang.
Satu dari mereka yg ingin ane garis bawahi.
Ibu2 berjilbab. Tampaknya seorang aktivis dakwah.. semangat dakwahnya
luar biasa, terkesan over.
Ane ga nyaman mendengar “taushiyyah2”
dia tentang syukur, tentang sabar, dsb, kepada penumpang seorang
pedagang kakilima yg kesasar ke daerah Jati Asih yg disampaikan dengan
doktrinasi.
Si ibu bilang bahwa “bapak ini terlalu mengutamakan
nafsu daripada akal,” si bapak tampak membela diri dengan aksen
bandungnya yg ramah, tapi si Ibu bilang dengan nada dicanda-candakan,
“susah nih,, si bapak dari tadi menyangkal terus…” si bapak makin tampak
tersinggung.
Beberapa kali ane berusaha membelokkan pembicaraan
ke seputar nyasar2 ane dan si bapak itu. Tapi si ibu kembali
“berdakwah”. Tidak sadarkah dia bahwa si bapak ini sedang lelah kesasar
di Bekasi? Dia butuh motivasi, bukan judge bahwa dia lebih mengutamakan
nafsu daripada akal yg berkali2 disangkalnya.
Ane teringat dengan
sebuah pedoman dakwah para da’i, “ud’u ilaa sabiili Rabbika bil hikmah”
(serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yg baik (QS.
An-Nahl; 15:125 ), berdakwah tidak harus melalui ceramah2. Tidak perlu
lewat taushiyyah2 apalagi dlm kondisi yg tidak tepat. Tidak perlu
membacakan ayat, tetapi menampilkan akhlak yg baik sebagai implementasi
dari ayat, itu jauh lebih mudah diterima masyarakat.
Ane jadi
teringat dengan seorang akhwat da’iyah yg langsung menyalahkan ane dalam
suatu acara partai Islam, dimana ane baru mendapatkan segenggam stiker
yg baru ane terima dan akan ane sebarkan ke peserta, ketika dia melihat
ane secara tiba2 dia bilang, “itu stikernya dibagikan akh! jangan
dipegangin aja!” Subhanallah..ane tersenyum karena senyum adalah cara
terbaik melihat perilaku “lucu” sesorang (anggap aja hal itu lucu dan
menyenangkan…)
Tak tahukah ia bahwa stiker itu baru saja sampai ditangan ane satu menit sebelumnya?
Sampai
ahirnya ane mengambil kesimpulan bahwa “keakhwatan” seseorang memang
tidak berbanding lurus dengan akhlak mulia. Tak ada korelasi postif
antara keakhwatan dgn akhlak yg baik.
Ada banyak akhwat2 yg
gampang menjudge sesuatu sebagai hal yg tidak benar (tentu menurutnya;
sesuai batas pengetahuannya) dengan cara yg doktriner dan kurang luwes.
Sebaliknya ada juga perempuan2 yg tak berjilbab tapi berakhlak baik.
Jilbab
tentu kewajiban, dan berdosa jika perempuan tidak mengenakan hijab
sekalipun dia berakhlak baik. Namun selayaknyalah para akhwat berjilbab
juga menjilbabi hati dan akhlaknya dengan akhlak mulia sebagaimana yg
diajarkan Sang Nabi, “innama bu’itstu li utammima makaarima al-akhlaaq”
(HR. Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.45)
Tidak semua telinga orang mudah menerima ceramah, tapi semua orang kagum melihat akhlak yg baik…
--
Lihat sikon kalo dakwah ya… 15.310. 11.12
Kamis, 21 Maret 2013
akhwat vs cewek
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wahhhhh suka postingannya....
BalasHapusHijab dan akhlak harus berbanding lurus...
Sepakat..