By Sigit Kamseno
Prolog
Membaca thread demi thread di grup “Indonesia, Harapan itu Masih Ada”,
baik postingan dari kalangan ikhwah Tarbiyah maupun syabab Hizbut
Tahrir, saya tertarik untuk membuat sebuah catatan kecil dengan judul
ini. Setelah sebelumnya notes saya yg berjudul “Paradoks Pemikiran
Politik Hizbut Tahrir” mendapatkan cukup perhatian dari rekan2
pergerakan. (Saya katakan mendapatkan cukup perhatian karena gara-gara
notes itu kemudian akun FB saya kabanjiran notif request pertemanan,
bahkan beberapa orang baik dari tarbiyah maupun syabab menyampaikan
pesan khusus via PM berupa link, ataupun memberikan e-book via email)
oleh karena itu rasanya tidak ada salahnya jika notes kedua ini saya
posisikan sebagai kelanjutan dari kritik saya terhadap harakah Islam
internasional Hizbut tahrir tersebut.
Saya percaya rekan-rekan
hizbut tahrir tak akan cepat-cepat reaktif memberikan penilaian
terhadap notes ini hanya dari judulnya belaka sebelum membaca notes ini
secara keseluruhan. Toh kita meyakini bahwa harakah trans-nasional
apapun itu, baik hizbut tahrir, ikhwanul Muslimin, Jama’ah tabligh,
salafiyyun, dan sebagainya adalah harakah buatan manusia yang tentu tak
lepas dari perlunya kritik.
Tentu kritik yang dimaksud adalah
kritik yang disampaikan secara baik, bukan kritik yang disampaikan
dengan celaan-celaan tak pantas yg hanya bisa dinilai sebagai luapan
emosional semata. Dan saya berusaha untuk menyampaikan notes ini sebaik
yang saya bisa.
***
Membaca argumentasi yang
disampaikan oleh rekan-rekan HT, saya teringat sebuah buku yang ditulis
oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang saya baca sewaktu kuliah semester
V dulu pada mata kuliah Gerakan Politik Islam Modern. Kalau tidak salah
judul aslinya Nizhamil Hukmi fil Islam, di terjemahkan dalam bahasa
Indonesia menjadi “Sistem Pemerintahan dalam Islam.
Sekarang
saya baru ‘ngeh’ bahwa sebetulnya merupakan sebuah kehormatan jika
Hizbut Tahrir dimasukan sebagai salah satu tema pembahasan dalam mata
kuliah itu. Hal ini disebabkan karena Hizbut tahrir sesungguhnya
merupakan gerakan Islam yang secara kuantitas tidak terlalu besar,
sehingga tak perlu terlalu diperhitungkan secara akademis. Mungkin
karena itulah Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara yang
mengupas pemikiran tokoh politik Islam sejak masa "klasik" hingga
"kontemporer" sama sekali tak menyertakan pemikiran politik an-Nabhani
dan gerakan Hizbut Tahrir-nya.
Dalam buku itu, Munawir
Sjadzali membedah pemikiran Ibnu Abi Rabi', al Mawardi, Maududi, Ibn
Khaldun, hingga yg Al-Afghani, Aly Abd Raziq, Ikhwanul Muslimin, hingga
pemikiran politik Islam di Indonesia, namun sekali lagi, ia luput dalam
membedah pemikiran politik Hizbut Tahrir. Saya jadi teringat statusnya
Intan Menggugat—sebuah akun yang baru saya kenal setelah rame2 di grup
“Jika 2014 Internet Masih Porno, Dukung HTI ikut Pemilu”, [sudah
ditutup]— dalam statusnya itu Intan menuliskan bahwa dia berencana
menerbitkan buku yang berisi kritik terhadap HT dengan judul Hizbut
Tahrir antara Solusi dan Polusi namun ditolak oleh penerbit karena
dipandang tak marketable lantaran HT hanyalah gerakan kecil yg tak
diperhitungkan).
Saya kira, memang tak sepadan rasanya jika
kita membandingkan gerakan Hizbut Tahrir dengan gerakan Muhammad bin
Abdul Wahhab misalnya, yang berhasil memainkan perannya di sebuah negara
besar, yakni kerajaan Saudi Arabia. Atau membandingkan HT dengan
Nahdhatul 'Ulama yang memiliki peran besar sebagai gerakan Kultural
Islam di sebuah negara Islam terbesar di dunia: Indonesia, dengan basis
pesantren-pesantren ‘tradisional’nya yang memasyarakat itu.
Pun tak sejajar jika membandingkan Hizbut Tahrir dengan gerakan islam
internasional Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang setidaknya telah
berperan dalam perpolitikan di dunia Islam melalui sayap-sayap
gerakannya di berbagai Negara baik di Aljazair, Palestina, Sudan, dan
sebagainya. Hizbut Tahrir sejauh ini belum memiliki pengaruh yang
signifikan di dunia Islam kecuali konflik-konflik di beberapa negara
yang memang dirasakan pula oleh semua gerakan Islam.
Saya,
sejujurnya tak mengetahui berapa jumlah kader hizbut tahrir di
Indonesia, namun tampaknya gerakan ini memang termasuk gerakan islam
yang akselerasi pertumbuhannya lambat. Jika kader hizbut tahrir di
Indonesia sudah mencapai satu juta orang saja, itu belumlah setara
dengan satu persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah hampir
240 juta ini, bahkan setengah persen pun tidak sampai.
Itu
kalau sudah mencapai satu juta kader ya,--kader, bukan simpatisan--.
(saya amat berterimakasih seandainya ada syabab HT yg memberikan
informasi berapa jumlah kadernya di Indonesia berdasarkan sensus
internal di tubuh HT, dan kemudian memasukannya ke dalam format
persentase dari total keseluruhan penduduk Indonesia. Kira2 sudah cukup
signifikan belum ya untuk memainkan perannya di Negara Indonesia ini?
Demikian pula dengan akselerasi pertumbuhan kader HT setiap tahun,
apakah sepadan dengan persentase pertumbuhan penduduk di Indonesia atau
justru lebih kecil. Maksud saya, meskipun secara kuantitas jumlah kader
HT naik dari tahun ke tahun, tetapi jika secara persentase
pertumbuhannya lebih kecil dari pertumbuhan penduduk indonesia, maka
sesungguhnya ‘secara nilai’, jumlah HT semakin kecil karena kian
terjepit oleh pertumbuhan penduduk indonesia yang semakin besar itu.
(kalau ada yg berbaik hati memberikan info yg bermanfaat tentang jumlah
kader HT, saya tunggu ya! ini hanya sekadar evaluasi saja koq)
Kecilnya jumlah syabab HT ini sejauh yang saya ketahui dari interaksi
saya dengan mereka, disebabkan pola dakwah Hizbut Tahrir yang memang
cenderung ekslusif dan ‘terpisah’ dari masyarakat. Syabab HT terlalu
menonjolkan identitas ideologisnya sebagai seorang ‘pejuang’ khilafah
dan lupa untuk berakrab-akrab dengan kebutuhan real masyarakat kita.
Dalam jagad maya facebook misalnya, mari kita lihat beberapa wall dari
akun-akun milik Hizbut Tahrir. Mereka menggunakan nama-nama yang amat
revolusioner, seperti penggunaan nama ‘revolusi', 'ideologis,’ dan
sebagainya. Sebuah implementasi ideologis yang sepadan dengan karakter
aktivis-aktivis kiri yg juga ideologis, hanya berseberangan sisinya saja
saya kira. Plus dengan update status yang melulu ideologis (saya amat
mengapresiasi semangat rekan2 HT dalam mengkampanyekan khilafah ini,
sebatas apresiasi saja ya).
Sementara masyarakat kita pada
umumnya, tak terlalu akrab bahkan tak memperdulikan slogan-slogan
khilafah yang diusung Hizbut tahrir itu. Masyarakat kita di
kampung-kampung , lebih membutuhkan kepastian harga bahan pokok sebagai
kebutuhan sehari-hari, mereka lebih berharap pada kondisi keamanan dan
rasa nyaman dalam kehidupan ketimbang berfikir apa itu Khilafah
Islamiyah. Jika anda bertanya pada saya “masyarakat yang mana? Silahkan
melakukan survey seberapa mengerti mereka pada istilah ‘khilafah
islamiyyah?”
Sementara itu, hizbut tahrir juga cenderung
offensif dalam menyerang pihak-pihak yang mereka angap ‘berdosa’. Celaan
dengan menggunakan kata PEMERINTAHAN SETAN, ANJ*NG PENJILAT, ANTEK
THAGHUT, dan sebagainya ternyata cukup familiar digunakan oleh syabab.
(saya mohon rekan syabab berhenti dari celaan dan makian kasar yang tak
dicontohkan Rasulullah ini, apalagi ditujukan kepada saudara sesama
muslim).
Lebih ironis lagi, serangan offensive ini juga
mereka lakukan kepada harakah-harakah yang berbeda pandangan dengan HT.
Sebuah akun milik seorang syabab HT menuliskan dalam “pandangan
politiknya” dengan kalimat yg amat eksplisit “ANTI PKS”. Adapula sebuah
blog milik seorang syabab lain yang memiliki link khusus di sebelah
kanannya yang terkoneksi ke blog ‘PKS Watch’ dan situs resmi PKS.
Pertanyaannya untuk apa syabab tersebut menuliskan pandangan politiknya
sedemikian eksplisit sebagai “anti PKS” ? sebagai seorang aktivis
Muslim yang ideologis, mengapa tak menuliskan pandangan politik tersebut
secara lebih general, misalnya ANTI SEKULARISME yang karenanya akan
mengena pula kepada partai-partai lain yang beraroma sekular yg amat
dibenci HT itu. Mungkinkah syabab tersebut justru memandang PKS lebih
berbahaya dari partai pengusung sekularisme sehingga dirasa perlu
menuliskannya secara eksplisit sedemikian rupa? semoga saja tidak.
Belum lagi akun FB lain yang membuat notes berupa kritikan terhadap
etika kampanye PKS namun menggunakan foto rekayasa yang tak relevan
dengan notesnya, sehingga terkesan mengarahkan pembaca pada persepsi
amat negatif thd citra PKS itu. Saya kira postingan semacam ini
merupakan propaganda yang jauh dari hikmah daripada sebagai kritik. dan
yang membuat saya berfikir ulang tentang HT adalah, mengapa banyak
sekali akun-akun milik HTI yang isinya beraroma propaganda semacam ini?
sehingga agak sulit untuk mengatakan bahwa hal ini hanyalah merupakan
'oknum'.
Saya jadi teringat, mungin itulah mengapa di kalangan
ikhwah tarbiyah ada selentingan joke yang mengatakan, “PKS Sibuk
memikirkan ummat dan bangsa, HTI sibuk memikirkan PKS”, rupanya joke itu
ada benarnya juga..
Sikap 'keras' dan 'kasar' ini pula yang
tampaknya menjadikan akselerasi pertumbuhan Hizbut Tahrir berjalan
lambat jika dibandingkan dengan pergerakan Islam lain, karena sikap ini
menjadikan akseptabilitas masyarakat terhadap eksistensi Hizbut Tahrir
menjadi kecil. Jika banyak aktivis mengatakan bahwa beberapa kota
menjadi 'basis' Hizbut Tahrir misalnya, saya kira persepsi itu perlu
ditujukan dengan data yang valid. Dikalangan para aktivis misalnya
diketahui bahwa Kota Bogor adalah basis HT, penggunaan kata 'basis'
itu sejatinya hanyalah perbandingan angka kuantitatif Syabab HT di Kota
Bogor yang memang lebih banyak jika dibandingkan dengan kota-kota lain.
Meskipun pada faktanya jumlah syabab HT di Kota Bogor juga 'belum
seberapa' (kesaksian orang Bogor asli nih). Bahkan istilah 'Hizbut
Tahrir' bagi masyarakat Bogor pada umumnya pun merupakan istilah yang
hingga kini tidak familiar.
Jika Syabab Hizbut Tahrir masih
mempertahankan sikap "kasar" dan mudah mencela itu, saya kira cita-cita
mulia untuk mendirikan Khilafah Islamiyah hanya akan menjadi hal yang
utopis belaka.
Walahu A'lam
Jumat, 22 Maret 2013
UTOPIA KHILAFAH HIZBUT TAHRIR (part1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar