Wanita tua itu sibuk mencari kaos terbaikku. Dibolak-baliknya tumpukan
pakaian hasil setrikaannya tadi siang. Diacak-acak pakaian basah dalam
ember di kamar mandiku yang kecil dan bau itu. Ah, sia-sia saja. Kaos
itu tetap tidak ada. Aku duduk lemas. Akupun telah mencarinya kesana
kemari, tapi kaos seharga dua puluh ribu itu tetap saja tidak kutemukan.
Aku membuang nafas, berat. Seandainya aku menjadi orang berada seperti
Rudi, anak Pak Lurah yang selalu mencibir keluarga kami itu, tentu aku
dan ibu tak perlu repot mencari baju untuk sekedar pergi ke Jakarta.
Baju yang sampai sekarang belum kutemukan itu. Mungkin dicuri Tukang
Sampah sewaktu dijemur di belakang rumah. Pasti Tukang Sampah itu
tergoda untuk memiliki kaos termahalku itu. Ya, meski hanya dua puluh
ribu, bagiku yang orang miskin ini, baju itu adalah kaos terbaik yang
masih utuh satu-satunya milikku. Itupun dibelikan oleh sepupuku yang
pulang dari Jakarta beberapa bulan lalu. Waktu itu, ia mengajakku ke
Pasar Murah di alun-alun untuk sekedar membeli kaos ini. Sungguh aku
senang sekali karena biasanya aku membeli baju hanya dua tahun sekali,
setiap dua kali lebaran. Aku susah payah menjaga kaos itu agar tidak
tampak kusam. Aku hanya akan memakai kaos itu jika hendak pergi ke kota.
Seperti besok pagi, aku akan pergi ke Jakarta bersama sepupuku yang
baik hati itu. Ia menjanjikan pekerjaan di Jakarta, aku diminta ikut
bantu-bantu dia. Katanya, penampilanku cocok dengan pekerjaan yang akan
aku tekuni nanti. Meski aku sendiri tidak tahu apa pekerjaannya di
Jakarta. Yang jelas, setiap dia pulang ke Kampung Leuwi Warna,
Tasikmalaya ini, ia selalu membawakan aku sesuatu. Kadang beras, kadang
minyak, atau seperti beberapa bulan lau, ia memberiku kaos mahal yang
kini hilang itu.
***
Cukup lama aku mematut diri
di depan cermin, serius. Kupandangi wajahku yang kata orang, cukup
tampan ini. Wajah oval tanpa jerawat. Lintangan alis mata yang tajam bak
sorot mata elang. Bibir merah muda yang mengesankan. Kulit sawomatang
nan macho. yup! Aku harus tampil rapi jika hendak pergi ke kota.
Jakarta!! Kata orang Kota Metropolitan. Di sana banyak orang-orang
kantoran. Dengan penampilan rapi kuharap tidak ada yang memandangku
sebagai anak kampung.
Aku pandangi wajahku sekali lagi
dengan seksama. Ah, cermin ini sudah terlalu tua, beberapa bagiannya
sudah menghitam sehingga merusak bayangan wajahku. Aku yakin, wajahku
yang sesungguhnya jauh lebih tampan dari bayangan dalam cermin tua ini.
Tapi tenanglah, sepulang dari Jakarta nanti aku akan membelikan cermin
untuk rumah kecilku ini. Aku ingin cermin yang cukup untuk seluruh tubuh
175 sentimeter ku. Siapa tahu selama di Jakarta nanti, ada yang
mengajakku kerja dengan gaji yang lumayan. Aku akan renovasi rumah bilik
ini. Lantai rumah ini akan aku ganti dengan lantai kramik seperti rumah
Pak Lurah. Rumah ini juga harus dipasangi listrik, agar jika malam
menjelang tiba, ibuku yang sudah tua itu tidak perlu repot-repot
menyalakan lampu minyak di sudut-sudut ruangan. Aku akan membeli
berhektar-hektar sawah, agar ayah dan kedua kakakku tersenyum di alam
sana. Agar ibuku yang keras hidupnya itu bangga padaku, anaknya yang
tinggal semata wayang. Aku sudah muak dengan segala cibiran Rudi, yang
selalu mencemooh kemiskinan kami. Sejak aku masih kecil, hanya dia
satu-satunya orang yang paling ku benci. Dasar anak manja! Sekarang
tepat di usiaku yang ke delapan belas ini, akan kubuktikan bahwa aku
mampu. Ya, aku mampu meski hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah! Tanganku
terkepal!
***
Semilir angin berhembus perlahan,
membelai hatiku dengan cinta. Tidak seperti biasanya, halaman rumah ini
terasa hambar bagiku. Rimbun dahan pohon mangga membawa jiwaku sendu.
Hari ini aku pamit pada ibu, satu-satunya sosok yang kucinta dalam hidup
ini. Kukecup tangannya dengan syahdu. Betapapun berat meninggalkan ibu
yang sudah berumur lanjut itu, aku telah bertekad untuk merubah nasib di
Jakarta. Hampir saja linangan airmatanya menyurutkan langkahku, namun
hatiku berbisik bahwa airmata itu mengalir dari restunya. Terbukti tadi
malam ibu panjang lebar menasihatiku tentang kehidupan Jakarta yang
keras. Kalau dalam biskota ada pengamen, pura-puralah tidur, mereka itu
hanyalah orang-orang malas dan berandalan. Jika ada yang menanyakan
alamat, jawab saja tidak tahu dan cepat-cepatlah kamu menjauhinya.
Simpanlah uang bekalmu dalam kaos kaki, terlalu riskan kalau harus
menyimpannya di dalam dompet atau tas, apalagi di saku. Di Jakarta itu
banyak copet yang cerdik, berpura-pura membantulah, pura-pura daganglah.
Kamu harus hati-hati. Nasihat ibu panjang lebar. Aku sangat cinta pada
ibu. Aku mendengarkannya dengan khidmat. O, Jakarta. Sebegitu
menyeramkankah dirimu?! Konon katanya, ibu tiri tak sekejam ibu kota.
***
Bis yang kutumpangi mulai melaju. Aku sangat mengantuk, saudara sepupu
yang duduk di sampingku sudah tertidur pulas. Bis Tasikmalaya-Kampung
Rambutan ini memang terlalu lama mengetem, membuat para penumpang yang
terlalu lama menunggu diserang hawa kantuk. Sebagian penumpang tampak
tertidur lelap, sebagian lain terbangun, melihat arloji, menutup jendela
rapat-rapat dan menarik resletting jaketnya tinggi-tinggi hingga
menutupi leher, lalu kembali pulas. Maklumlah masih pagi. Tapi aku tak
mau tidur, bukannya aku tak mengantuk, aku hanya ingat nasehat ibu, aku
harus tetap menjaga barang-barangku. Meski tidak banyak pakaian yang
kubawa, aku sangat khawatir. Tidak seperti sepupuku, sepertinya dia
nyenyak sekali. Padahal setahuku dia membawa barang-barang berharga
dalam tasnya, minyak wangi, lipstick, berpotong-potong pakaian yang
menurutnya modis, dan macam-macam kosmetik yang aku tak tahu namanya.
Terpaksalah aku berinisiatif menjaga barang-barangnya. Aku tak punya
siapa-siapa di Jakarta, kalau sampai sepupuku marah karena barangnya
hilang, habislah aku. Apalagi ongkosku hanya cukup untuk berangkat saja.
Kalau sampai diusir, mau tinggal dimana aku?
Tak ada
yang istimewa sepanjang perjalanan dari Tasikmalaya ke Terminal Kampung
Rambutan. Aku belum melihat gedung-gedung Jakarta yang menjulang
layaknya kulihat dalam sinetron di warung Bi Cicih. Sepanjang jalan yang
kulihat hanyalah barisan pegunungan yang lebam membiru di atas hamparan
hijau persawahan yang menjelma permadani. Burung-burung elang tampak
asyik bercanda di atasnya. Pemandangan sehari-hari yang tidak istimewa
bagiku. Namun entah mengapa, hijau sawah ini tiba-tiba membawa anganku
melayang. Mengajakku untuk membuka lembaran masa kecilku. Ketika aku
bermain kerbau bersama dua orang kakakku, berenang di sungai, menemani
ayah mencari rumput untuk makan kerbau-kerbau kami, atau ketika makan
bersama di ladang jagung…terbayang canda kakakku, tawa renyah ayah
ketika melihat tangisku karena makan singkong pahit. Oh, semuanya terasa
cepat berlalu, sampai segalanya habis untuk mengobati penyakit ayah.
Semuanya terasa cepat berlalu, hingga kedua kakakku pergi menyusul ayah
ke alam entah dimana. Semuanya terasa begitu cepat berlalu, hingga
senyum teduh ibu itu tak pernah kulihat lagi…tak sadar aku menitikkan
airmataku…ibu….
Aku ingin menyepi, sendiri
Biar tumpah derai tangis di sini,
Biar kuulang segalanya kembali,
dari sini....
Selepas Terminal Kampung Rambutan aku masih harus menumpang bis jurusan
Grogol. Manusia berlalu lalang di sana-sini. Sangat resah dan
terburu-buru, semuanya sibuk. Terbuai dalam urusan masing-masing.
Sepupuku mengajakku berlari mengejar bis, repot sekali. Penumpang bis
berjejal penuh sesak. Aku terpaksa berdiri berhimpitan dengan
penumpang-penumpang lain. Aku berpikir, dalam kondisi seperti ini
bagaimana kalau ada copet? Duh, repotnya. Keringat para penumpang
bercampur dengan bau ketiak disana-sini. Belum lagi aroma minyak wangi
yang justru amat mengganggu hidung, membuatku ingin muntah. Beberapa
penumpang terdengar mendamprat sang kondektur yang dianggap serakah dan
tak tahu diri. Mungkin mereka berpikir, bis yang sudah sesak begini
masih saja dijejali penumpang baru. Sang kondektur cuek saja meski
terlihat kesal denan sumpah serapah mereka.
Di
sebelah kananku berdiri seorang ibu yang tampak tua. Dengan susah payah
ia harus bertahan dalam himpitan seperti ini, padahal aku lihat cukup
banyak anak-anak muda yang duduk nyaman di bangku bis sambil membaca
buku-buku tebal, entah komik atau buku apa. Sepertinya mahasiswa. Andai
aku di posisi mereka, pasti aku persilakan ibu tua ini untuk duduk
menggantikanku seperti diajarkan Pak Herman, guru madrasahku dulu. Tidak
seperti para mahasiswa yang tak tahu diri ini. Dasar mahasiswa, di teve
saja mereka berteriak-teriak membela rakyat yang lemah. Lha, ini di
depan mata ada nenek tua yang sedang kesusahan mereka tidak peduli.
Melihat wanita tua ini aku jadi teringat ibuku. Aku ingin memberikan
ruang yang cukup nyaman baginya dalam bis ini. Meski aku harus menahan
desakan penumpang dari sebelah kiriku. Aku ingin melindunginya! Rupanya
wanita itu menyadari perlindunganku. Ia tersenyum, manis sekali, semanis
senyuman ibu yang tak pernah kulihat lagi semenjak kematian ayah dulu.
Tetapi tiba-tiba kondektur mendampratku dari balik jendela agar aku
lebih merapat. Dasar kondektur tidak berperikemanusiaan! Rutuk hatiku.
Sepanjang jalan, kulihat gedung-gedung mencakar langit. Sungguh menawan
pandanganku. Aku tidak tahu siapa yang tinggal di sana, bahkan aku
tidak tahu apakah gedung itu memang tempat tinggal, atau tempat kerja?
Wah, andai aku dapat bekerja di gedung super besar itu. Gajiku pasti
cukup untuk membuatkan rumah bagi ibu di kampung. Membelikannya pakaian
dan makanan enak. Ah, ibu. Tunggulah saatnya nanti….
Di
perempatan, jalanan macet. Lampu merah. Dari balik jendela kulihat
mobil-mobil mewah berjajar. Pengendaranya rapi sekali. Mereka mengenakan
kemeja dan dasi. Bahkan banyak pula perempuan-perempuan muda dengan
penampilan necis. Mereka kerjanya apa, ya? Pikirku. Jangan-jangan mereka
bekerja secara kotor dengan menjual diri. Buktinya mereka meski masih
muda tetapi kaya raya. Kata sepupuku, di Jakarta ini banyak para pelacur
bertarif mahal, makanya mereka mudah untuk membeli mobil mewah. Aku
jadi berpikir, sepupuku itu kerjanya apa, ya? Ah, sudahlah aku tak mau
memikirkannya.
Jika aku memiliki harta seperti mereka,
tetapi dengan cara yang halal, tentu aku tak perlu bersusah-payah
berjejalan dalam bis yang gerah dan bau aneka rupa ini. Aku bisa
mengajak ibu jalan-jalan. Membelikannya makanan enak, membelikannya baju
bagus. Sekadar untuk membahagiakannya setelah lama ditinggalkkan ayah
yang meninggal akibat kolera itu. Sekadar untuk membuktikan bahwa anak
bungsu yang dtinggal mati kedua kakaknya ini, mampu membahagiakan sisa
umurnya. Sekadar untuk menunjukkan pada Rudi, anak Pak Lurah yang selalu
menghina kami itu, bahwa aku mampu. Sekadar untuk melihat ibu
tersenyum. Sekadar….
Sepertinya sopir biskota ini tidak
sabar. Masih lampu merah begini malah tancap gas. Cocok dengan sifat
kondekturnya yang juga serakah. Dasar- orang-orang tak berpendidikan.
Merusak lamunanku tentang ibu, satu-satunya sosok yang kucinta dalam
hidup ini. Cahaya mata yang selalu ingin kubahagiakan sisa umurnya
dengan segenap dayaku. O, ibu…tunggulah saatnya nanti….
Tiba-tiba, sebuah bis dari arah depanku melaju dengan cepat. Gawat! Seluruh penumpang panik, dan….
***
Perlahan kubuka mataku, berat. Kurasakan diriku terasa lemah, seluruh
persendianku sakit. Genangan darah tampak becek di aspal jalan. Dalam
lemah kulihat sebuah keramaian. Dua biskota bertabrakan di perempatan
jalan. Orang-orang berkumpul hiruk pikuk. Dan, samar-samar kulihat
saudara sepupuku yang baik hati itu terbaring tanpa daya…tanpa nyawa….
Tiba-tiba aku merasa gamang. Asaku menjadi gelap. Aku bingung. Aku linglung, dan tiba-tiba aku ingin tertawa sendirian….
***
By. Git Seno, Bumifana 2006.
Ket: Bilik (sunda) = dinding rumah tradisional yang terbuat dari anyaman bambu.
Mengetem = menunggu penumpang.
Jumat, 22 Maret 2013
ENDING ANDAI-ANDAI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar