Di kalangan akademisi maupun praktisinya, paling tidak terdapat dua
tanggapan dalam diskursus penegakkan Syariat Islam. Di satu sisi, isu
ini selalu menjadi perdebatan menarik, bahkan polemik. Sementara di sisi
lain, isu ini justru danggap membosankan. Disebut ”membosankan” karena
wacana ini selalu berujung pada artikulasi yang tampaknya
selalu—mengulang, dan—terjebak dalam tiga madzhab besar (Bachtiar
Effendy, 2006), bahwa (1) Islam dan politik adalah kesatuan integral
yang tidak bisa dipisahkan, madzhab ini bisa dilihat melalui pemikiran
Saŷid Quţb, Abu al-A’la al-Mawdûdî, dsb.; (2) Islam dan politik bisa dan
harus dipisahkan, pengusungnya antara lain `Aly `Abd al-Raziq, Ţaha
Huŝein, dsb.; atau (3) Islam dan politik memiliki hubungan, tetapi bukan
pada tataran legal-formal, melainkan secara substansialistik. Madzhab
terakhir tampaknya diekspos dan menjadi rujukan banyak cendekiawan di
Indonesia, pemikiran semacam ini dapat kita lihat dari gagasan
Nurchalish Madjid, Azyumardi Azra, dsb.
”Keterjebakan (?)”
ke dalam tiga aliran besar seputar relasi ideal agama-negara ini pada
akhirnya hanya menjadi perbincangan layaknya debat kusir tiada bertepi,
yang oleh para penolaknya dijadikan ’kesempatan’ untuk mengangkat terma
ini sebagai hal yang menghabiskan energi dan kontra produktif. Namun
demikian, menegasikan diskursus ini, tentu bukan sebuah langkah yang
cerdas. Hal ini disebabkan karena konfrontasi ini, baik karena didorong
oleh pandangan akademis, maupun sebagai implementasi dari tuntutan
ideologis, selalu menemukan ruangnya dalam setiap waktu dan tampak
mustahil padam.
Depolitisasi Islam
Dalam
konteks politik Indonesia, pergulatan pemikiran ini telah berlangsung
sejak lama, seumur dengan usia Republik ini. Perdebatan Soekarno versus
Natsir tentang dasar negara adalah contoh konkrit bagaimana sedari awal,
tarik menarik antara kubu Nasionalis Islam dengan Nasionalis Sekular
telah menjadi pertarungan seru. Contoh yang lebih konkrit adalah seputar
Piagam Jakarta yang—bahkan—masih menjadi ”beban sejarah” bagi Bangsa
ini.
Nurchalish Madjid telah menyuarakan gagasan
sekularisasinya sejak tahun 1970an. Islam dalam pandangannnya tidak
lebih dari agama sebagaimana pengertian agama pada umumnya. Dari sini
Nurchalish menyerukan agar Islam diceraikan dari politik. Dalam
pandangannya, ”negara adalah aspek kehidupan yang bersifat profan yang
berdimensi rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek lain
tentang kehidupan yang berdimensi sakral dan individual.” Senada namun
dalam lirik yang berbeda dengan ucapan Said al-Asymawi, bahwa agama
adalah hal yang bersifat universal, sedangkan politik bersifat temporal
dan partikular. (catatan: Ketika
Nurchalish menyampaikan gagasan sekularisasinya pada 1970-an, ia
langsung di tanggapi oleh sejumlah intelektual dari kubu modernis
semisal Endang Saefudin Anshari, Prof. H.M. Rasyidi, dll. Pada tahun
1992, gagasannya tentang makna agama, ahlul kitab, dsb, dijawab dengan
serangkaian reaksi yang cukup keras. Debat besar “di Mimbar TIM” yang
legendaris seolah menjadi sebuah pengadilan bagi gagasan-gagasan
Nurchalish. Tanggapan terhadap pemikiran Cak Nur ini lihat Daud Rasyid,
“Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan.” (Jakarta: Usamah
Press, 2003).
Gagasan Nurchalish Madjid ini ditanggapi
oleh sejumlah intelektual Islam. Pada tahun 1970an, gagasan ini
ditanggapi oleh Endang Saefuddin Anshari, Prof. Rasyidi, dsb. Pada tahun
1992, gagasan Nurchalish ditentang oleh tokoh muda Daud Rasyid dalam
debat besar ’pembaruan Islam’ di Mimbar TIM yang tersohor itu.
Tema
sentral dari perdebatan relasi agama-negara ini berporos pada
pendefinisian Islam, apakah ia merupakan agama dalam definisi
barat/religion, ataukah sebagai sebuah agama namun dengan pengertian
yang berbeda? Karena faktanya kalangan yang menolak Islam Politik
memaknai al-Dîn sebagai agama yang sama dengan religion dalam pangertian
barat, yakni konsep yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan secara
vertikal an sich. Agama adalah urusan spiritual dan ritual, sebagaimana
dipahami oleh para sosiolog, antropolog, dan filosof barat yang memang
menggunakan framework sekular yang notabene merupakan produk dari
traumatisme dari hagemoni Kristen terhadap sistem kehidupan pada zaman
kegelapan Eropa. Suatu hal yang berbanding terbalik secara diametral
dengan sejarah Islam.
Konteks Indonesia
Tidak
berbeda dengan realitas yang terjadi di belahan dunia Islam, di
Indonesia, ketika ide penerapan syariat ini dilemparkan ke ruang publik,
selalu terjadi perdebatan sengit antara pihak yang mendukung dan
menentangnya. Hanya saja dalam konteks Indonesia, perdebatannya tidak
melulu terjebak dalam wilayah akademis-filosofis, tetapi lebih pada
sebuah kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa. Hal ini yang
membedakannya dengan perdebatan wacana relasi Islam-negara yang terjadi
di Indonesia dengan di Timur Tengah, mengingat berbeda dengan Timur
Tengah, Indonesia merupakan negara yang jauh lebih heterogen, sehingga
kekhawatiran disintegrasi bangsa menjadi lebih menonjol ketimbang
perdebatan akademis untuk mencari landasan teologis tentang relasi
Islam-negara.
Ada beberapa argumen yang diajukan mengapa Syariat
Islam dipandang tidak relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia
kekinian. Argumen-argumen tersebut antara lain,
Pertama, isu
ini, terutama akan mengancam integrasi nasional Bangsa Indonesia yang
plural dan terdiri dari aneka ragam budaya, etnis dan agama, sehingga
tidak diperbolehkan ada sebagian pihak yang memaksakan pahamnya ke dalam
ruang publik. Hal ini disebabkan karena sebagaimana dipahami, negara
adalah pertemuan dari aneka perbedaan unsur-unsur komunal yang
menyusunnya. Keanekaragaman ini telah mengalami dialektikanya sehingga
dicapai kesepakatan-kesepakatan kolektif yang dipandang telah
mengakomodasi semua kepentingan dari elemen-elemen tersebut. Tentu,
harus ada paham-paham subjektif-primordial yang diperkecil perannya agar
dapat berjalan sinergis dengan aspirasi dari paham subjektif yang lain.
Dialektika ini meniscayakan adanya dekonfessionalisasi dari
ekslusifisme semua pihak, karena dikhawatirkan akan berbenturan dengan
paham ekslusif dari pihak lain. Meminjam istilah George Wilhem Friedrich
Hegel (1770-1831), Negara adalah The Great Spirit atau The Absolute
Idea.
Dari perspektif ini mudah untuk dipahami bahwa, sebagai
sebuah “kesepakatan sosial” yang telah mengalami dialektika, maka tidak
diperkenankan adanya hagemoni sebuah paham komunal-primordial diatas
paham komunal-primordial yang lain dalam ruang publik. Derivasi dari
argumen ini melahirkan argumen lain seperti kekhawatiran munculnya
diskriminasi terhadap ”warga negara kelas dua” untuk non Muslim,
kemudian isu sektarianisme, dsb. Yang seluruhnya bertemu pada
kekhawatiran disintegrasi bangsa yang tidak diharapkan.
Kedua,
isu penegakkan syariat Islam ini dianggap sebagai rencana yang
problematik dan tidak matang. Disebut problematik karena, dalam paham
keberagamaan Islam terdapat perbedaan pemahaman terhadap jurisprudensi
hukum Islam yang terkristalisasi dalam madzhab. Ketika Syariat Islam ini
akan diterapkan, maka akan muncul masalah selanjutnya, hukum Islam
versi mana yang akan diterapkan? sementara masing-masing golongan dalam
Islam mengklaim dirinya sebagai ”yang paling Islam.” Realitas ini akan
lebih mengkristal terlebih di dalam tubuh umat Islam sendiri, aspirasi
untuk menegakkan Syariat ini tidak sepenuhnya didukung.
Standar Ganda
Menjawab
argumen kedua terlebih dahulu, Sebuah kritik terhadap mereka yang
menolak penerapan Syariat Islam ini, yaitu penggunaan standar ganda
yang dilakukan untuk menilai Syariat Islam. Di satu sisi, kalangan ini
menolak formalisasi syariat dengan alasan ketidakjelasan Syariat Islam
versi mana yang akan diterapkan? Sementara di sisi lain mereka dengan
gigih menyerukan demokrasi yang dianggap sebagai satu-satunya sistem
yang dapat memanusiakan manusia (humanization of man). Padahal faktanya,
demokarsi pun mengalami kekaburan definisi. Demokrasi sebagai ’teks’
pada akhirnya ditafsirkan secara subjektif oleh para pemimpin negara di
pojok-pojok bumi, entah untuk mencari legitimasi publik, entah untuk
kepentingan ekonomi. Bahkan Ian Adams mencatat, setelah Perang Dunia
Kedua para sarjana yang ditugaskan oleh UNESCO untuk mencari definisi
demokrasi agar dapat disepakati oleh semua pihak, dalam laporannya,
Democracy in a World of Tensons, mereka terpaksa harus mengakui telah
bertemu dengan kegagalan. Ada begitu banyak definisi tentang demokrasi
yang saling bertentangan dan mustahil untuk disepakati. (Ian Adams,
2004) Ketidakjelasan tentang demokrasi ini akhirnya membawa banyak
negara dengan serta merta mengklaim sebagai negara demokrasi dengan
segala macam alirannya; Demokrasi Sosialis, Demokrasi Liberal, Demokrasi
Islam, dsb.
Jika kalangan yang menolak Syariat Islam ini
dengan sukarela menerima demokrasi meskipun dengan kekaburan definisi,
demokrasi menurut siapa? mengapa untuk formalisasi Syariat mereka tidak
menerima justru dengan alasan yang sama? Tampaknya terdapat standar
ganda dalam memandang ini.
Lagi-lagi Piagam Jakarta
Akan
menjadi hal yang membosankan mengangkat kembali argumen historis untuk
membenarkan penerapan Syariat Islam di Indonesia, dan tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk itu. Dinamika perjuangan penegakkan Syariat Islam di
Indonesia memang mengalami ironisme sejarah tersendiri. Penulis ingin
mengingatkan lagi wacana lama tentang Piagam Jakarta yang sebagaimana
disebutkan di awal tulisan, masih menjadi ”beban sejarah” bagi bangsa
ini. Hal ini dianggap perlu karena ada terlalu banyak hal yang
terlewatkan ketika tema Piagam Jakarta ini diangkat.
Pertama, sebagaimana
diketahui bahwa rumusan Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi selama
berbulan-bulan oleh para founding father Republik ini. Alotnya
pembahasan tentang rumusan Piagam Jakarta menjadikan perundingan ini
benar-benar tampak seperti ”perebutan pengaruh” untuk bangsa ini
kedepan. Sampai-sampai Soekarno yang menjadi ketua Tim Sembilan,
mengatakan kepada para negosiator, ”saya mohon dengan rasa menangis,
rasa menangis, kepada tuan-tuan, sudilah kiranya tuan-tuan menjalankan
pengorbanan ini kepada tanah air dan bangsa kita. Pengorbanan untuk
keinginan kita, agar kita dapat lekas menyelesaikan, agar Indonesia
merdeka dan lekas damai” . (catatan:
Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromi dari Panitia Sembilan yang
mencerminkan kubu Islam, Nasionalis, dan Kristen. Mereka adalah, Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso,
Abdul Kahar Moezakkir, H. Agoes Salim, Mr. Achmad Soebardjo, KH. Wachid
Hasjim, (ayah Gus Dur dan putra pendiri NU Hadratussyeikh KH. Hasyim
Asy’ari,) dan Mr. Muhammad Yamin. Lihat Alwi Shahab, “Piagam Jakarta:
Kisah Tujuh Kata Sakral” dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA.ed.,
Syariat Islam Yes, Syariat Islam No.” (Jakarta: Paramadina,2001. h. 5.),
Rumusan ini merupakan hasil jerih payah dari kompromi yang berjalan
dengan sangat alot. Hasil kompromi ini sangat dihormati oleh para ahli
hukum karena mencerminkan adanya upaya dekonfsesionalisasi, setelah
sebelumnya kubu Islam bersikeras menghendaki Indonesia sebagai Islamic
State/Negara Islam. Yang menyebabkan mereka mengendurkan tuntutannya
adalah adanya kalimat, ”dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Prof. Soepomo menyebutnya sebagai “Perjanjian
Luhur,” sedang Dr. Sukiman menyebutnya “Gentlemen Agreement,” Mr.
Muhammad Yamin menamakannya dengan “Jakarta Charter,” Prof. Notonagoro
menjulukinya “Suatu Perjanjian Moril yang amat Luhur.” Lihat Firdaus AN,
Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993), h. 64-65.)
Yang
perlu kita pertebal dan garisbawahi adalah, bahwa rumusan yang telah
disepakati—sekali lagi, dengan jerih payah sebagai hasil perundingan
yang sangat alot—ini dicoret hanya dalam waktu beberapa menit. Peristiwa
ini menggambarkan kenyataan tidak dihormatinya kerja keras para
founding father republik ini
Kedua, yang
menjadikan peristiwa ini ironis adalah, bahwa pencoretan ini hanya
didorong oleh kekhawatiran akan ancaman seorang dari Indonesia Timur
yang –bahkan—tidak diketahui siapa namanya . (catatan:
Sampai tahun 1984 Tidak terdapat satu buku pun yang menjelaskan siapa
gerangan yang memberi ultimatum supaya tujuh kata dalam Piagam Jakarta
itu dicoret, dalam buku Bung Hatta sendiri pun tidak ada. Sampai tahun
1984 tokoh itu masih misterius bagi sejarawan maupun politisi. Barulah
setelah Cornell University menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia
diketahui bahwa tokoh tersebut bernama Dr. Sam Ratulangi yang pada
halaman 7 disebut sebagai an astute Cristhian politician from Manado,
North Sulawesi. Lihat Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang,
h. 67.)
Ketiga,
lebih ironis lagi, seseorang yang tidak diketahui siapa namanya ini
mengklaim sebagai ”wakil dari Indonesia Timur.” Lengkap dengan ancaman
bahwa ”Indonesia Timur” akan memisahkan diri dari NKRI jika tujuh kata,
dengan kewajban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, tetap
dicantumkan dalam Piagam Jakarta. Padahal perlu dicatat di sini bahwa
belum pernah dilaksanakan referendum di Indonesia Timur untuk memberikan
otoritas pada ’Mr. X’ bahwa mereka akan bercerai dari NKRI seandainya
tujuh kata tersebut masih dicantumkan. Dalam perkembangan selanjutnya,
Isu disintegrasi inilah yang selalu diungkap saat keinginan untuk
menerapkan Syariat ini muncul ke permukaan.
Keempat,
menambah panjang ironisme ini adalah, fakta bahwa disintegrasi bangsa
justru terjadi disebabkan oleh pencoretan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta tersebut. Disebut ironis sebab pencoretan yang diharapkan dapat
meredam disintegrasi ini justru menghasilkan disintegrasi yang lebih
nyata (bukan sekedar ancaman). Hal ini dibuktikan dengan terjadinya
pemberontakan di berbagai daerah. Sungguh tidak dapat disangkal bahwa
”pemberontakan” DI/TII Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di
Sulawesi, Ibnu Hajar di Kalimantan, dan Daud Beureuh di Aceh merupakan
akumulasi kekecewaan rakyat atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka
untuk menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia
(al-Chaidar, 1999). Rasanya tidak etis jika kita memberi argumen bahwa
mereka bukan ”tipikal Islam Indonesia,” karena ”pemberontakan” terjadi
di berbagai daerah.
Kelima,
ironisme yang kesekian adalah bahwa gejolak yang diakibatkan oleh
pencoretan tujuh kata ini justru ”diapresiasi” oleh pemerintah kala itu
dengan pendekatan militer. Kita akan melihat perlakuan pemerintah yang
berbeda dengan ancaman dari ”Indonesia Timur” (mohon perhatikan tanda
kutip, sekali lagi ”Indonesia Timur”) yang diapresiasi dengan sangat
baik, yakni dengan dikabulkannya ’ultimatum’ mereka, sekalipun belum
jelas akurasinya.
Keenam,
yang makin menambah ironisme ini, adalah fakta tak terbantahkan bahwa
gerakan-gerakan separatis semacam Republik Maluku Selatan dan Gerakan
Papua Merdeka tetap muncul meskipun tujuh kata dalam Piagam Jakarta
telah dicoret. Sehingga muncul sebuah keraguan, apakah memang terdapat
relevansi antara Piagam Jakarta dengan isu disintegrasi bangsa? Pun
demikian pula lepasnya Timor Lesté, munculnya Gerakan Aceh Merdeka
beberapa waktu lalu, menyusul Riau, dan beberapa daerah lain, sebetulnya
memberi gambaran pada kita bahwa isu distintegrasi ini sama sekali
tidak berkorelasi dengan ideologi negara. Faktanya dapat dilihat, bahwa
isu penegakkan Syariat ini belum lagi bergema, gerakan untuk memisahkan
diri dari NKRI justru telah muncul. Isu disintegrasi ini, mengutip Anis
Matta, hendaklah dipandang secara jernih, bahwa masalah yang sebenarnya
justru terletak pada usia keadilan Republik ini, yakni keadilan
pemerintah pusat kepada daerah. Kita dapat melihat bahwa daerah yang
ingin memerdekakan diri itu adalah daerah-daerah yang selama ini merasa
dianaktirikan oleh pemerintah pusat (Anis Matta, 2006).
Menghindari Pembicaraan
Dari
argumen di atas, pertanyaan yang lahir adalah, apakah karena tidak
dapat menjawab argumen historis ini, kalangan yang menolak penerapan
Syariat Islam di Indonesia kemudian menyepakati agar amandemen UUD tidak
menyentuh isu dasar negara. Dengan alasan bahwa Pancasila sudah menjadi
kesepakatan para founding father Republik Indonesia. Padahal faktanya,
yang merupakan kesepakatan para Founding father NKRI, justru adalah
Piagam Jakarta yang ditandatangani pada 22 Juni 1945, sebelum akhirnya
dicoret sesaat menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) tanggal 18 Agustuis 1945. Menghindari Piagam Jakarta sebetulnya
justru menunjukkan bentuk ketidakpenghargaan terhadap keringat para
founding father NKRI itu sendiri. Hal ini sekaligus membantah pandangan
yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan hasil dekonfessionalisasi yang
lahir dari kompromi para pendiri republik ini.
Anti Klimaks
Terlepas
dari semua argumen di atas, sebetulnya penulis termasuk kelompok yang
tidak sepakat dengan isu dicantumkannya kembali tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Mengingat ada peluang diskriminasi di dalamnya. Yakni hanya
Syariat Islam yang diakomodir oleh negara, sementara syariat agama
lain—kalau ada—tidak di akomodasi. Hal ini dapat menimbulkan pandangan
adanya kesenjangan yang selama ini dikhawatirkan, yakni munculnya warga
negara ´kelas satu´ dan ´kelas dua.´(hal ini pun sesungguhnya tidak
perlu dikhawatirkan, karena penganut agama lain memang tidak
menginginkan syariat agamanya di terapkan oleh negara).
Selain
itu, Ketidaksepakatan penulis terhadap formalisasi Piagam Jakarta ini
selain disebabkan karena memandang mereka yang berhasrat menghidupkan
kembali isu ini telah terjebak dalam idealisme yang tidak realistis
dalam konteks kekinian, juga mengingat ada banyak hal yang perlu
dibenahi sebelum isu ini dilemparkan ke ruang publik. Bahwa Piagam
Jakarta bukanlah satu-satunya rumusan final yang sakral bagi
pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Pemunculan isu ini di saat yang
belum tepat justru dapat menjadi bumerang bagi Syariat itu sendiri.
Karena tidak dapat disangkal, realitas pemahaman masyarakat terhadap
syariat Islam masih jauh dari ideal. Pendidikan politik bagi ummat
tentang landasan filosofis, tinjauan praksis, serta dekonstruksi wacana
lama tentang betapa rigidnya Syariat Islam harus didahulukan ketimbang
terburu-buru memaksakan formalisasi disaat masyarakat belum memahaminya
secara tepat. Inilah kritik terhadap kaum strukturalisme Islam, seolah
dengan formalisasi maka semua masalah dapat diatasi.
Namun
demikian, argumentasi historis sebagaimana diatas tampaknya diperlukan
untuk merubah paradigma tentang Piagam Jakarta yang selama ini kurang
dibedah secara jujur. Bahwa betapa peristiwa pencoretan itu laksana
sebuah ”Penghianatan agung” yang selama ini terus ”dibangga-banggakan”
oleh beberapa kalangan . (catatan:
Pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ini secara resmi berarti pula
bahwa Syariat Islam di Indonesia dinyatakan tidak lagi berlaku.
Sekaligus pada akhirnya menetaskan hukum konvensional yang kemudian
berlaku hingga hari ini. Sebagai sebuah perbandingan sederhana, Dalam
hukum konvensional kita, seorang tahanan akan diganjar dengan hukuman
kurungan/penjara. Jika diasumsikan seorang tahanan mendapat jatah makan
sehari dua kali, yang setara dengan Rp 1500,- (artinya, Rp 700,- sekali
makan). Dengan asumsi hanya terdapat satu juta orang kriminalis di
seluruh Indonesia, maka negara harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp
1.500.000.000,- (Rp 1,5 M) perhari. Ini berarti Rp 45.000.000.000,- (Rp
45 M) dalam satu bulan, atau Rp.540.000.000.000,- (Rp 540 M) dalam satu
tahun. Anggaran negara sebesar ini digunakan "hanya" untuk memberi
makan para tahanan dan belum terbukti mampu memberikan efek jera. Hal
ini dibuktikan dengan tidak sedikit diantara mereka yang menjadi
residivis, karena tangan yang dahulu digunakan untuk mencuri misalnya,
masih bisa digunakan untuk mencuri. Terlebih hukuman ini kurang
memberikan efek domino bagi masyarakat lainnya.
Pun dengan
prosesi hukuman mati dalam hukum kita, Siapakah yang dapat menjamin
bahwa Ayodhya Prasahad Chobey, tereksekusi mati kasus narkoba asal India
itu, betul-betul di hukum mati? Demikian pula dengan (tanpa maksud
melecehkan agama manapun) Fabianus Tibo, tidak ada yang menjamin bahwa
keduanya betul-betul dieksekusi mati, Karena pelaksanaan eksekusi
berlangsung tertutup tanpa ada wartawan yang meliput, apa lagi masyaraat
yang melihat. Terlebih setelah dieksekusi "mayat"nya langsung
dimasukkan ke dalam peti tanpa ada satu orang pun yang diperbolehkan
membukanya. Metode eksekusi semacam ini sangat memberi peluang bagi
tindak pidana baru seperti penyuapan. Belum termasuk jika ditanyakan
seberapa signifikan efek positif bagi masyarakat atas metode eksekusi
semacam itu? Eksekusi seharusnya dilihat langsung oleh masyarakat
sehingga menutup peluang adanya manipulasi, selain itu efek domino yang
dihasilkan jelas lebih efektif. Sehingga efisiensi hukum benar-benar
jelas, mengobati sekaligus mencegah penyakit datang kembali. Solutif
sekaligus preventif.
Logika ini diakui terlampau sederhana,
namun logika sederhana ini menggambarkan betapa tidak efektifnya hukum
konvensional kita. Artinya adalah, kekhawatiran tentang "efek negatif"
dari penegakkan Syariat Islam, baru berada dalam level "kekhawatiran,"
sementara ketidakefektifan hukum konvensional telah terlihat nyata.)
Artikulasi Politik: Mencari Solusi
Perdebatan
antara kaum sekular dan Islamis (termasuk pula perdebatan antara kaum
kultural vs struktural) sepenuhnya dapat diyakikni sebagai idealisme
untuk mencari solusi terbaik bagi problematika kebangsaan kita. Baik
kaum sekular maupun kaum Islamis, keduanya berangkat dari keyakinan
bahwa republik ini membutuhkan solusi bagi krisis multidimensi yang
menyelubunginya. Keduanya memiliki visi dan orientasi yang sama, hanya
dalam persepsi dan perspektif solusi yang berbeda.
Sebagaimana
kita ketahui, dalam segala aspek kehidupan berbangsa, kita berhadapan
dengan lebih dari satu masalah. Pelik problem ekonomi yang melilit
bangsa, bobroknya mental para birokrat pusat hingga daerah, rusaknya
lembaga hukum, kepolisian, hingga mental rendah diri para pendidik
sehingga merasa perlu untuk memberi bocoran jawaban Ujian Nasional
kepada siswanya, serta lebih dari seribu masalah lain yang ”menunggu”
perbaikan.
Dalam ceramah kuliah pada 3 April 2007 di Ruang
Teater Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah,
pengamat Politik Bachtiar Effendy menghempaskan semua gelisahnya tentang
gambaran kondisi bangsa yang patut menjadi perhatian kita bersama.
Bachtiar Effendy memberikan sebuah solusi alternatif dalam pendekatan
kultural. Bahwa yang dapat kita lakukan adalah bersungguh-sungguh
memperbaikinya melalui aspek pendidikan. Dari arah pendididkan ini
kemudian diharapkan lahir generasi yang memiliki kepekaan dan integritas
tinggi, serta memiliki rasionalitaas politik yang memadai. Sehingga
tidak lagi memilih para pemimpin yang bermental rusak.
Namun
pertanyaan yang lahir kemudian adalah seberapa efektif solusi ini jika
perbaikan hanya dimulai dari aspek pendidikan? padahal kejahiliyyahan
telah merasuk dalam segala sendi kehidupan. Karena para birokrasi,
politisi, praktisi hukum mulai dari kepolisian hingga pengadilan, yang
kita kritik itu, seluruhnya adalah mereka yang berpendidikan. Jika
harapan besar ini kita tujukan kepada mereka yang berpendidikan tinggi,
yang (dianggap sebagai manusia ’melek politik’ sehingga diharapkan)
memiliki nalar rational choice dalam menentukan pilihan politiknya,
jumlah suara mereka akan dikalahkan oleh mayoritas masyarakat yang tidak
memiliki rational choice seperti itu, bahkan cenderung berpikir
praktis-pragmatis.
Dalam hal ini diperlukan adanya perbaikan
yang meliputi semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, budaya,
kemanusiaan, birokrasi, militer, hingga politik dan struktrur personalia
pemerintahan. Sehingga perbaikan dimulai dari sini, dari segala aspek.
Hal ini menjadi kebutuhan, karena perbaikan yang diawali dari sudut
pandang yang parsial, hanya akan melahirkan produk yang juga parsial.
Bila perbaikan hanya dimulai dari satu aspek, ia akan dikalahkan oleh
aspek yang lain yang belum tersentuh perbaikan. Dibutuhkan adanya
gerakan yang tersistematika dan terkoordinasi dengan baik untuk
memperbaiki kondisi ini secara menyeluruh. Al-haqq bi lâ niżâmin, yaġlibuhu al-bâthilu bi al-Niżâmin.
Mental
bobrok para birokrat adalah hasil dari sistem yang memungkinkan adanya
penyimpangan tersebut. Terjadinya ketidakadilan hukum adalah karena
ketentuan hukum yang dijadikan acuan memang memungkinkan untuk itu.
Munculnya borok pendidikan pun adalah implikasi dari acuan program
pendidikan yang memberi peluang untuk itu. Sebuah kritik bagi kaum
kultural, bahwa nalar kulturalisme mengandaikan perbaikan ini dapat
dicapai hanya melalui semangat atau ”paradigma sufi” yang seyogyanya
dianut oleh seluruh komponen bangsa, sehingga diharap dengan hati para
sufi, betapapun sesungguhnya bobrok suatu sistem, kejernihan hatinya
mampu menundukkan syahwat dunia yang saat ini menggelayuti bangsa. Jika
masyarakat sudah memahami spirit sufistik ini dengan baik maka
institusionalisasi menjadi tidak penting. Karena kehidupan saling
menghormati, persamaan hak, keadilan, kejujuran, toleransi, ramah tamah
dan seribu sifat positif yang ’sempat’ menjadi trademark Indonesia dapat
dicapai. Inilah maksud dari syariat sesungguhnya, Nalar ini kemudian
sepenuhnya menghindari institusionalisasi.
Permasalahannya
adalah, kita tidak mungkin menyadarkan seluruh komponen bangsa ini
dengan pendekatan tersebut, karena tidak semua masyarakat dapat memahami
spirit sufistik yang ditawarkan. Sulit membayangkan manusia yang secara
natural merupakan makhluk yang sulit diatur, secara keseluruhan
menerima gagasan ini tanpa koersifitas negara. Koersifitas negara
diperlukan karena tidak semua orang mau secara sadar diajak untuk
berbuat baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan hukum. Doktrin
ini berlaku pada semua format negara, apakah ia sekular maupun agama.
Berbanding
terbalik dengan pendekatan kultural diatas, kaum struktural
berandai-andai dengan institusionalisasi tanpa memandang urgensi
kesadaran masyarakat tentang hakikat Islam itu sendiri. Nalar ini
mengandaikan bahwa kesadaran ummat, dalam pandangan mereka, dapat
dicapai setelah formalisasi syariat ini diterapkan. Bahwa keadilan,
persamaan hak, kesejahteraan, dapat dicapai secara utuh melalui
formalisasi Syariat. Karena definisi dari keadilan, persamaan,
kesejahteraan, dan sebagainya yang menjadi maqâshid dari Islam
sepenuhnya mengacu pada definisi dari literatur Islam.
Permasalahannya
adalah bahwa ada terlalu banyak hal yang perlu dibenahi sebelum
formalisasi ini diterapkan di level negara. Pengetahuan tentang syariat
itu sendiri dan Kondisi ekonomi ummat, adalah hal yang perlu dibenahi
terlebih dahulu. sehingga berbicara tentang syariat Islam tidak terjebak
pada formalisasi yang dalam stereotype masyarakat masih dipandang
rigid. Usaha mengakrabkan masyarakat dengan Syariah dapat dimulai dari
munculnya bank syariah sebagai implementasi dari semangat ekonomi Islam,
Islamisasi pendidikan, Islamisasi politik, hingga Islamisasi ilmu
pengetahuan, sehingga blueprint dari nilai positif Syariat telah
tergambar dalam benak masyarakat sebelum konsep ini diformalisasikan.
Dari sini, Islamisasi tidak diartikan, seperti yang selama ini dimaknai
secara pejoratif sebagai ”arabisasi” tempat-tempat umum, penggunaan
simbol-simbol Arab, dsb., tetapi lebih pada kesadaran mengaplikasikan
Islam dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Sehingga, ketika muncul
kesadaran untuk menginstitusionalisasikan syariat dalam level negara
(agar mereka yang tetap menolak tunduk pada hukum ini), paradigma yang
terbentuk sudah mendukung untuk itu. Hal ini untuk menghindari bumerang
yang dikhawatirkan terjadi ketika syariat diterapkan pada saat yang
belum tepat. Bukankah jika keadilan dan kesejahteraan telah mewujud
dalam masyarakat, sehingga tindak kriminalitas dapat ditekan, maka
eksekusi potong tanganpun—yang selama ini ditakuti—tidak diperlukan?
(catatan:
Dalam riwayat Abu Daud dan Nasa’i disebutkan kisah tentang Abbad ibn
Sharjil yang sedang dalam kelaparan, rasa lapar tersebut memaksanya
untuk mencuri buah-buahan di suatu kebun dan menyimpannya dalam bajunya.
Ketika sang pemililk kebun meminta Nabi untuk menghukum Abbad bin
Sharjil, ternyata Nabi saw berkata, “pencurinya adalah orang bodoh. Kamu
tidak menasehatinya sedang dia dalam kelaparan sementara kamu tidak
memberinya makanan.” Lalu Nabi Saw., mengembalikan pakaian Abbad
dan—bahkan—memberinya makanan.
Mengomentari kisah tadi, dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa secara filosofis menjadi kewajiban
Masyarakat Muslim untuk menjamin terciptanya keadilan dan kesejahteraan,
sebelum memberikan hukuman kepada pelanggar hukum. Apabila telah
terbangun sebuah masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, sementara
masih terdapat tidak kriminalitas misalnya, maka sudah menjadi hal yang
pantas untuk dijatuhkan hukuman. Dalam batas-batas seperti inilah
diperlukan adanya kontekstualisasi yang lebih realistis dari Syariat
Islam, sehingga kontekstualisasi tidak diartikan secara liberal dengan
menegasikan Syariat)
Dari sini kemudian menjadi tidak
relevan lagi pertanyaan bagaimana kita bisa mengetahui apakah suatu
hukum betul-betul dari Tuhan atau tidak, karena maslahat yang terwujud
lebih menonjol dari spekulasi semacam itu. Termasuk pertanyaan hukum
Islam versi mana yang akan diterapkan, karena dalam konteks kenegaraan
manapun, apakah negara sekular maupun negara agama, sikap koersif
(memaksa) negara mutlak diperlukan. Dan hukum dibuat untuk dipatuhi.
Dalam sejarah Islam pun kita tidak pernah menemukan adanya kesulitan
dalam hal ini.
Metode pendekatan terhadap masyarakat
diperlukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang Islam dengan
menawarkan sebuah pandagan hidup yang menyelamatkan, yakni pandangan
hidup yang selalu merasa diawasi oleh Allah (murâqabatulLâh). Yaitu
suatu kesadaran bahwa Allah lah yang mengawasi, serta mengatur
kehidupan. Dari pandangan hidup semacam inilah, justru kekhawatiran akan
perjudian, pornografi, kegiatan asusila, dsb., dapat ditekan semaksimal
mungkin. Di sinilah letak pentingnya mengaplikasikan Syariat Islam
secara komprehensif, baik individual maupun kolektif, tidak parsial yang
terbatas pada satu atau beberapa aspek saja.
Wallahu A’lam
Daftar Pustaka
Al-Quran dan terjemahnya. Departemen Agama.
Hassan Hanafi Aku bagaian dari Fundammentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara (Jakarta: UI Press, 2000)
Musthafa Mahmud, Islam Kiri (Jakarta: GIP, 1999)
Khalif Muammar, Politik Islam: antara Demokrasi dan Teokrasi” dalam Islamia. Thn. I. No. 6, h. 99.
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi, tt.)
Daud Rasyid, “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan.” (Jakarta: Usamah Press, 2003).
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1998)
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA.ed., Syariat Islam Yes, Syariat Islam No.” (Jakarta: Paramadina,2001.
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia, Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo (Jakarta: Darul Falah, 1999)
Firdaus AN, Dosa-dosa yang Tidak Boleh Terulang (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993)
Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara (Jakarta : Fitrah Rabbani, 2006), h. 37-51.
Ian adams, Ideologi Politik Mutakhir,(Yogyakara: Qalam, 2003)
Senin, 18 Maret 2013
Komprehenshivisme Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar