by: Sigit Kamseno
Prolog
Dalam banyak kesempatan, seringkali saya menjumpai perdebatan antara
aktivis Islam dengan aktivis liberal. Yang menarik dari sekain banyak
perdebatan itu adalah, bahwa perdebatan tersebut selalu berujung
deadlock dikarenakan aktivis Islam tersebut memberikan argument dengan
pendekatan fiqh dan teologis, sementara lawannya dari kalngan liberal
menggunakan pendekatan filosofis, sehingga diskusi tak pernah bertemu
disebabkan keduanya berangkat dari titik tolak yang berbeda.
Saya paham, kalangan pluralis akan sulit diberikan pemahaman dari
pendekatan fiqh maupun teologis karena orang-orang ‘bermadzhab’ seperti
ini pada saat yang sama juga merupakan penganut paham relativisme
kebenaran.
Tentu saja, dari sudut pandang yang merelatifkan
kebenaran ini, wacana fiqh dan teologis menjadi tidak relevan. hal ini
disebabkan karena fiqh, bahkan agama, dipandang hanya sebatas ‘produk
dari tafsiran manusia biasa’ sehingga tak perlu disakralkan.
Maksud saya, pengagum pluralisme agama memandang bahwa truth claim dari
kelompok agama apapun adalah hal yang mentah karena kebenaran dipandang
sebagai sesuatu yang relative-subjektif.
Oleh karena itulah
saya tergelitik untuk sekadar menulis sebuah catatan sederhana tentang
pluralisme agama ini dari sudut pandang yang filosofis-logis sebagaimana
sering digunakan oleh penganut paham pluralisme agama itu.
Secara sederhana, saya ingin mengawali notes ini dengan menggambarkan
sebuah kekhawatiran besar yang seringkali saya baca dalam buku2 tentang
pluralisme. Salahsatunya adalah pandangan yang bertitik tolak dari
“realitas” di masyarakat dimana seringkali terjadi benturan antar umat
dikarenakan perbedaan masing2 agama sebagai akibat dari truth claim
tersebut:
Ketika masing2 penganut agama telah mengklaim
agamanya yag paling benar, dan pada saat yang sama mengkafirkan penganut
agama lain, maka pada saat itu manusia akan berhadapan dengan
konsekuensi logis dengan “ditebasnya 60 kepala manusia tiap hari” atas
nama membela Tuhan. Tentu Tuhan menurut masing-masing agama.
Demikianlah masing2 penganut agama mengklaim dirinya sebagai “ummat
Tuhan” yang paling benar dan “mewakili Tuhan” di muka Bumi, bahwa hanya
agamanyalah yang paling benar dan yg lain berada di jalan yang tersesat
dan calon penghuni neraka.
Kalangan pluralis kemudian
memberikan jalan keluar dari problema ini. Solusi yang ditawarkan oleh
penganut paham pluralisme agama dari kenyataan pahit ini adalah
hendaknya para penganut agama-agama ‘menurunkan’ pengakuan derajat
kebenarannya dan meletakkan kebenaran agamanya sejajar dengan kebenaran
dengan agama lain.
Karena sebetulnya pada saat yang sama
penganut agama lain juga memahami agamanya sebagai yang paling benar.
Oleh karenanya kebenaran agama adalah kebenaran yang relative.
Tidak boleh penganut suatu agama merasa agamanya merupakan satu-satunya
yang benar dan yang lain salah. Karena paham semacam ini akan membawa
konsekuensi memaksa ummat beragama lain untuk taat pada agamanya.
Konflik-konflik antar agama telah membuktikan itu. Inilah pemahaman
beragama yang benar menurut kalangan pluralis.
Maka dari itu
dalam pandangan penganut pluralisme agama, hendaklah para penganut
agama memahami bahwa sebetulnya semua agama adalah benar. Semuanya
adalah ajaran dari Tuhan melalui persepsi masing2 agama. Realitas
agama-agama sebetulnya adalah Beragam jalan menuju Tuhan yang Sama.
Semua bermuara kepada Tuhan. Dialah al-Haq (The Real).
--
Esoterisme
Fritjoff Schuon telah memberitahu kita dengan istilah esoterisme.
Esoterisme adalah “keberadaan Tuhan sebagaimana ada-Nya”. Dia, yang
berada sebagaimana ada-Nya bukan dalam pemakanaan manusia terhadap-Nya.
Dialah Tuhan yang bukan Tuhan dalam penafsiran agama-agama terhadap-Nya.
Dialah Tuhan sesungguhnya.
Sementara pada level
“eksoterisme,” Tuhan berada dalam persepsi manusia. Eksistensi
transedentalnya kemudian dipersepsikan oleh manusia dalam nama yang
beragam. Eksoterisme adalah eksistensi Tuhan dalam penerjemahan manusia
tentang keberadaan-Nya. Maka dari itu, pada level eksoteris ini nama
Tuhan menjadi beragam. Kaum Muslimin menyebut Dia dengan nama Allah,
Yahudi menyebut-Nya dengan sebutan YHVH (yahveh, yehovah), kalangan
kristiani menyebut Dia dengan panggilan Bapa, penganut Hindu memuja-Nya
dengan sebutan Brahman, demikian seterusnya.
Tuhan, dalam level
eksoteris ini adalah Tuhan dalam persepsi manusia yang beragam. Sesuai
dengan kondisi sosiologis, historis, geografis, serta faktor-faktor lain
yang mengarahkan manusia untuk mengenal-Nya. Maka dari itulah kemudian
muncul nama-nama yang berbeda tentang Tuhan al-Haq atau The Real itu.
Semuanya sama, semuanya mengajak pada kedamaian, begitulah Tuhan
memperkenalkan diri-Nya pada manusia. Dan perbedaan jalan menuju Tuhan
ini akan bertemu pada titik-Nya. Disitulah bertemuanya muara
agama-agama. di kalangan pluralis dari madzhab Schuonn disebut dengan
kesatuan transenden agama-agama, Transendent Unity of Religion
--
Paradoks
Sekilas kita akan melihat betapa mulia gagasan pluralisme agama ini.
Kalangan pluralis ini menginginkan perdamaian antar umat beragama sesuai
dengan realitas zaman yang kian beradab dan jauh dari peperangan.
Namun jika dilihat secara logika, saya melihat ada paradoks dan
inkonsistensi dari konsep ini. Konsep relativitas kebenaran ini
kemudian menjadi konsep yang paradoks dan lemah/problematis.
Ketika kalangan pluralis memahami bahwa Tuhan pada level esoteris
merupakan Tuhan sebagaimana ada-Nya. Tuhan dalam keberadaan-Nya. Tuhan
sebagaimana menurut-Nya. Tuhan sebelum masuk dalam ranah penafsiran
manusia, yang diistilahkan dengan al-Haq atau The Real misalnya, maka
sebetulnya pemahaman ini juga subjektif.
Paham esoterisme
tentang keberadaan Tuhan sebagaimana ada-Nya inipun pada faktanya
merupakan paham “eksistensi Tuhan dalam pandangan manusia” yaitu Tuhan
sebagaimana di persepsikan oleh Fritjhoff Schuon itu. 'Tuhan' yang
subjektif.
Bukankah istilah Tuhan pada level esoterik dengan
nama al-Haq ini pun harus diakui merupakan wujud keberadaan Tuhan
setelah masuk dalam penafsiran kalangan pluralis. Bukan lagi Tuhan
sebagaimana ada-Nya, tetapi Tuhan dalam persepsi manusia.
Jadi apa bedanya paham Tuhan dalam level esoteris ini dengan persepsi Tuhan menurut penganut agama yang lain?
Standar ganda juga terjadi ketika kalangan penganut pluralism agama
ini mengatakan bahwa penganut agama tidak boleh menganggap pahamnya yang
paling benar, namun pada saat yang sama kalangan pluralisme agama
justru menganggap konsep mereka tentang esoterime agama itu sebagai
satu-satunya paham keberagamaan yang paling benar. Bukankah ini adalah
sebuah konsep standar ganda dalam beragama dan paradoks?
Pada
akhirnya, alih2 menjadi penengah dari konflik antar agama, justru
kelahiran paham pluralisme agama ini menambah daftar “tuhan baru” dalam
keberagamaan manusia di dunia ini dan semestinya jika mereka konsisten
maka tuhan mereka inipun harus berposisi setara dengan agama-agama yang
lain.
Alih-alih menjadi perangkul dari aneka ragam perbedaan,
pluralisme agama justru lahir sebagai wujud perbedaan baru dan pada saat
yang sama melakukan truth claim atas pemahaman keberagamaannya itu
seraya menyalahkan yang lain.
saya kira, lebih konsisten utk
memahami kebenaran suatu agama dengan pendekatan yang lebih
komprehenshif, secara filosofis, sosiologis, historis, eksakta,
perbandingan agama, dan lain-lain. saya yakin, jika mereka
bersungguh-sungguh menuju jalan-Nya, maka Allah (sebagai satu-satunya
Tuhan bagi semesta) akan menunjukkan jalan-Nya. bahwa Dialah Tuhan Yang
Sebenarnya!
24 Desember 2010
Jumat, 22 Maret 2013
Absurditas pluralisme agama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar