Abstraksi
Dewasa ini,
seiring dengan perkembangan peradaban manusia, interaksi serta paradigma
sosial masyarakat dunia telah mengalami perubahan yang barangkali tidak
pernah terbayangkan pada zaman-zaman dahulu. Munculnya kesadaran akan
persamaan, keadilan, kebebasan, rasioalisme, kesetaraan, dan lain
sebagainya telah mengalami titik kesadaran yang paling tinggi—paling
tidak sampai saat ini—dalam sejarah peradaban manusia. Munculnya
kesadaran akan “nilai-nilai universal” ini sedikit banyak berimplikasi
pada paradigma sebagian kalangan tehadap konsep agama-agama. Bagaimana
agama misalnya, memberikan respon terhadap ide-ide kebebasan berfikir
yang pada beberapa hal bertentangan dengan mainstream keagamaan yang
membatasi akal pada beberapa dimensi. Atau dalam hal lain, bagaimana
agama kemudian harus menjawab “tantangan manusia modern” akan perlunya
kesetaraan. Konsep Kasta dalam agama Hindu kemudian akan (dan harus)
berbenturan dengan gagasan kesetaraan ini. Demikian pula, Islam
misalnya, harus memberikan jawaban yang rasional—sesuai dengan nalar
manusia modern—tentang diperbolehkanya konsep poligami yang dianggap
bertentangan dengan asas persamaan dan kesetaraan manusia. Dan
seterusnya, dan seterusnya.
Tulisan ini mencoba memberikan sebuah
paradigma, bagaimana agama, Dalam hal ini Islam memandang isu-isu serta
gagasan yang lahir seiring—atau akibat dari—lahirnya modernisme;
fundamentalisme, terorisme, rasionalisme, feminisme, pluralisme serta
multikulturalisme.
Pandahuluan
Islam
merupakan agama dalam pengertian amat luas. Sebagian kalangan memahami
Islam bukan hanya sebagai ‘agama,’ namun Islam dipahami sebagai sebuah
system yang Syamil wa mutakamil, lengkap dan komprehensif dengan segala
makna yang terkandung dari komprehensivitas itu. Berbeda dengan mereka
yang menolak asumsi ini, kalangan yang menjadikan Islam sebagai way of life memaknai al-Diin (sebagai
predikat yang hanya melekat pada Islam), sebagai sebuah konsep yang
secara komprehensiif mengatur semua aspek kehidupan manusia. Islam
diimani sebagai sebuah konsep hidup yang meliputi seluruh dimensi
kehidupan yang meliputi dimension of logic tentang hukum benar dan
salah, dimension of ethics tentang baik dan buruk, bahkan esthetics
dimension, Islam menjadi pandangan hidup yang mengatur mana keidahan
yang layak dinikmati manusia dan mana yang tidak. Islam adalah symbol
dan substansi pada saat yang sama.
Dalam perspektif ini, al-Diin tampaknya lebih tepat dimaknai sebagai sebuah sistem dari pada sebagai ‘agama.’ Karena ketika al-Diin
diterjemahkan sebagai ‘agama’ dalam pengertian bahasa Indonesia, atau
religion dalam bahasa Inggris, ia dipandang telah mengalami reduksi
atau penyempitan makna yang terlampau jauh. Yakni menegasikan wilayah
komprehensifitas Islam yang meliputi aspek ekonomi, sosial, politik,
militer, dsb. Fahty al-Durayni, seorang ilmuwan dari Universitas
Yordania, sebagaimana dikutip oleh Khalif Muammar (poltik Islam antara
Demokrasi dan Teokrasi, 2007) , menyadari perbedaan konsep agama dan
implikasinya terhadap hubungan antara agama dan dimensi social lainnya.
Al-Durayni berpendapat bahwa kehadiran Islam justru telah merevolusi
makna agama yang sebelumnya dimaknai sebatas ritual-spiritual yang
hanya mengatur dimensi ethics (sebagai manifestasi dari hubungan
vertical antara manusia dengan Tuhan). Kehadiran Islam menurutnya justru
menunjukkan hubungan antara agama/religion dengan politik, agama dan
sains, dunia dan akhirat, dan seterusnya.
Dari paradigma awal yang demikian, kaum Islamis kemudian secara meyakinkan memposisikan Islam sebagai sebuah konsep hidup, way of life,
dalam segala aspek kehidupan mereka, Dalam berpolitik, dalam kehidupan
perekonomian, menuntut ilmu, bekerja, dsb. Semuanya didorong oleh
semangat bersyukur pada Allah dan dalam kerangka beribadah kepada-Nya.
Itulah sebabnya secara umum kita melihat kaum “fundammentalis” Islam
yang konsisten dengan ideogi keislamannya, semacam gerakan tarbiyah
(PKS), Hizbut Tahrir, Jama’ah tabligh, merupakan contoh ideal dari
prototype manusia yang memiliki keikhlasan dalam bekerja, ketelitian dan
kejujuran, kesungguhan dalam menuntut ilmu, keindahan dalam kehidupan
rumah tangga, serta merupakan teladan dalam kehidupan personal maupun
publik. Sebuah karakteristik yang tampaknya cukup jarang ditemui di
kalangan para pemuda pemuja sekularisme. Fakta ini diamini oleh Hassan
Hanafi (2003) ketika melihat karakteristik gerakan pemuda Ikwanul
Muslimin, dengan menyatakan bahwa kita patut menangis melihat kaburnya
nilai dan keimanan, melihat perilaku para pemudi dan remaja yang sudah
semakin jauh dari semangat dan akhlak Islam, sehingga Mesir semestinya
menyesal telah membubarkan Ikhwanul Muslimin yang cabang-cabangnya di
perkampungan bahkan sudah seperti sekolah-sekolah pendidikan akhlak,
agama dan nasonalisme.
Kerangka Awal Paradigma Komprehensivisme Islam
Rasionalisme Islam
Untuk mengawalinya penulis ingin membedakan antara rasio dan logika. Rasio (ratio) secara etimologis berarti akal. Dalam hal ini berfikir rasional (rationalism)
berarti sebuah konstruksi berfikir yang berlandaskan pada penempatan
rasio sebagai panglima kebenaran. Sementara itu, logika berarti
pemahaman yang berasal dari hubungan sebab akibat. Berfikir logis dalam
hal ini diartikan sebagai konstruksi berfikir yang menyandarkan pada
pola hubungan sebab akibat. Eksistensi akibat adalah karena adanya
sebab.
Salah satu indikator modernisme adalah berkuasanya rasio
daripada dogma, dalam bahasa lain berarti kemenangan logos atas mitos.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan tekhnologi adalah hasil dari kemenangan
rasio daripada mitos-mitos primitivisme. Dari indikator ini, Islam
kemudian dibenturkan dengan modernism dengan asumsi bahwa beberapa aspek
dalam Islam bertentangan dengan rasionalitas manusia modern. Sehingga
dengan asumsi ini, Islam dipandang dapat menghambat kemajuan peradaban.
Namun menjadi menarik kemudian adalah seberapa konsisten manusia
“modern” menggunakan rasionalisme ini?
Untuk mencapai sebuah
kebenaran, pendekatan yang digunakan harus komprehenshif atau tidak
boleh parsial, sehingga konklusi yang dihasilkanpun adalah kebenaran
yang tidak parsial. Penulis ingin mengajak kita untuk berfikir tidak
hanya dari pendekatan ilmu social, tetapi juga melalui pendekatan ilmu
eksakta. Hal ini diperlukan agar tercapai apa yang dinamakan dengan
berfikir komprehensif, yakni tidak menggunakan paradigma hanya dari satu
sudut pandang saja (social saja atau eksakta saja). Terlebih pula,
mengingat salah satu keunggulan modernitas adalah kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi yang tidak lepas dari dua pendekatan ini,
sosial dan eksakta.
Dalam kacamata ilmu eksakta di dunia
tekhnologi yang sudah modern ini, terdapat sebuah misteri bagi para
ilmuwan tentang batas-batas alam semesta. Pertanyaan yang seringkali
muncul adalah, apakah alam semesta yang terdiri dari jutaan galaksi ini
memiliki batas, atau tidak? Sangat tidak masuk akal, jika alam semesta
ini tidak berbatas, dalam hal ini, akal manusia modern yang rasional
itu, dituntut untuk dapat memahami eksistensi sebuah dimensi ruang yang
terus menjauh dan tidak memiliki batas bahkan terus mengembang dan
menjauh menurut teori astonomi. Sebaliknya, jika seandainya alam semesta
ini memiliki batas, lalu pertanyaannya ada apa di luar batas alam
semesta tersebut? Ruang kosongkah yang pada akhirnya juga tidak memiliki
batas?? Ataukah sebuah materi yang padat yang juga tanpa batas?
Befilsafat
demikian sungguh membuat kita merenung bahwa dalam alam modern ini,
tenyata ada hal yang harus diakui berada diluar jangkauan rasionalitas
manusia. Ada hal yang sesungguhnya tidak mampu dijangkau oleh akal.
Barangkali tidak terlalu salah jika kita menyebutnya dengan “filsafat
batas”.
Pertanyaannya adalah, jika kita menerima fakta empiris
ilmu pengetahuan ini meskipun tidak masuk akal, misterius, ‘tidak
rasional’, mengapa doktrin-doktrin Islam tentang keberadaan surga dan
neraka misalnya, kemudian diragukan—justru—karena dipandang tidak
rasional? Bukankah tampaknya terdapat standar ganda yang digunakan oleh
kalangan –yang mengklaim-rasionalis itu untuk membenturkan Islam dan
modernisme? Dalam perspektif Islam, Sesungguhnya penggunaan nalar
rasional memang tidak berkorelasi dengan kemajuan peradaban. Karena
manusia primitive pada zaman dahulupun telah menggunakan nalar
rasionalnya untuk meragukan kebangkitan alam kubur. Bagaimana mungkin
organ-organ biologis makhluk hidup yang telah melebur menjadi
molekul-molekul yang berbeda dari asalnya dapat menyatu kembali?
Sementara
itu disisinya yang lain, apakah memang keimanan tentang adanya surga
dan neraka akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi?
Tampaknya kita harus mempertanyakan kembali apakah memang doktrin
keagamaan dalam Islam akan berbenturan dengan kemajuan zaman sebagaimana
yang terjadi dalam agama Kristen yang memaksa mereka untuk berfikir
lebih rasional dari dogma agama mereka seperti yang dialami oleh
masyarakat Kristen Eropa abad pertengahan?
Kita akan melihat pula
bahwa pada banyak hal, fakta-fakta ilmu pengetahuan justru semakin
memperkuat doktrin dan wahyu al-Qur’an. Sebagai hanya salah satu contoh,
dari sekian banyak fakta yang terdapat dalam al-Qur’an, adalahTeori
awal mula terjadinya alam semesta yang dikenal dengan teori Bigbang yang
diakui oleh seluruh ilmuwan astronomi sebagai awal mula jagad raya.
Teori ini menyatakan bahwa seluruh materi dalam alam semesta ini berasal
dari sebuah materi yang sangat besar, yang karena adanya suatu gaya
maka materi tersebut meledak sehingga tepecah menjadi galaksi—galaksi,
justru telah terdapat dalam al-Qur’an,
"Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian Kami pisahkan
antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.
Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. 21:30)
Bagaimana
mungkin kita akan meragukan ayat yang telah terbukti secara empiris
ini? Dari sini seyogyanya kita memandang bahwa, kaum Islamis tidaklah
terjebak dalam dogma keagamaan mereka, tetapi justru doktrin keagamaan
tersebutlah yang telah menemukan ruang buktinya pada realitas empiris
ilmu pengetahuan. Sehingga keyakinan terhadap fundamentalitas keagamaan
mereka pada akhirnya semakin menguat. Hal ini sekaligus membuktikan
bahwa Islam tidak pernah bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan indikator utama kemajuan peradaban.
Selanjutnya,
sebagaimana di atas, bahwa berfikir logis adalah berfikir yang
dilandasi oleh prinsip sebab akibat. Penulis ingin memberi gambaran,
bahwa telah jelas al-Qur’an adalah benar, bahkan terbukti secara empiris
seperti disebut tadi, lalu mengapa kita tidak mempercayai dengan
pemahaman yang sama terhadap ayat-ayat yang lain? Yang berbicara tentang
pranata social, hukum, perundang-undangan, dan sebagainya yang juga
turun dari Allah sebagaimana ayat-ayat tadi?
Mengapa tidak kita
memposisikan bahwa, jika ayat yang satu benar dan shahih li kulli makan
wa zaman, maka ayat yang lain juga sama, dengan tidak meragukannya
dengan berargumentasi bahwa ia tidak terlepas dari dimensi ruang dan
waktu. Padahal mempercayainya sama sekali tidak berelevansi dengan
kemunduran peradaban atau menolak kemajuan. Fakta empiris di masyarakat
kita membuktikan bahwa kalangan “fundamentalis” semacam Hizbut Tahrir,
Tarbiyyah, dan sebagainya justru lebih modern daripada kalangan
rasionalis misalnya. Mereka akrab dengan internet, menguasai filsafat
serta sejarah bangsa-bangsa dunia, menyadari urgensi pemeliharaan
lingkungan, bahkan tidak memiliki sikap individualis—ini uniknya.
Inilah
yang terjadi, bahwa doktrin keagamaan dalam Islam tidak berelevansi
negatif dengan kemajuan peradaban dan modernitas. Karena Islam memiliki
rasionalismenya sendiri, memiliki isme-nya sendiri.
Dari
sini dapat penulis sampaikan, bahwa lahirnya isme-isme yang mencari
justifikasinya dalam Islam (semacam sosialisme Islam, feminisme Islam,
dsb), atau bahkan yang bertentangan dengan Islam, tidak lain hanyalah
sebuah miskonsepsi yang hadir sebagai antitesa dari miskonsepsi yang
lain. Misalnya gerakan feminisme Islam yang merupakan miskonsepsi
terhadap Islam, merupakan respon dari miskonsepsi yang telah ada
sebelumnya, yakni fakta rigiditas pada beberapa kalangan kaum muslimin
yang merasa bahwa laki-laki lebih supremated dari perempuan. Dari sini
ternyata, sebuah miskonsepsi dibalas secara reaksioner juga dengan
sebuah miskonsepsi. Padahal jika memahaminya secara komprehensif,
polemik ini tidak perlu terjadi. Karena memang Islam telah mengatur
relasi laki-laki dan perempuan dengan sangat adil. Pembagian harta waris
yang berbeda dilandasi oleh kewajiban yang juga berbeda, wanita tidak
diwajibkan berperang (keadaan paling buruk jika perang memang
betul-betul terjadi, karena kehidupan politik adalah hal yang sangat
dinamis dan segala sesuatu mungkin saja terjadi, bahkan di zaman
modern.) tidak diwajibkan mencari nafkah, dsb. Dari sini justru harta
waris akan kembali pada perempuan juga pada akhirnya, sebagai pihak yang
harus di-tanggung jawab-i oleh laki-laki.
Demikian pula
dengan isme-isme semacam sosialisme Islam, gerakan spiritualisme Islam,
komunisme Islam, dsb., yang kesemuanya tidak lain sebagai akibat dari
parsialisme dalam memahami Islam sebagai sistem yang komprehensif.
(Misalnya hanya melihat Islam dari segi sosialismenya saja, dari
spiritualismenya saja, dsb.) Akan halnya pluralisme, Islam memiliki cara
pandang tersendiri, bahwa penghargaan terhadap pluralitas (bukan
pluralisme) adalah sebuah keniscayaan yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah (dalam Piagam Madinah, kata
‘Muhammad’ menggunakan predikat nabi Allah , membuktikan bahwa tidak ada
sekularisme dalam Islam). Keberadaan minoritas dalam sejarah Islam
selalu mendapatkan posisi yang tepat, mereka dilindungi, dan tidak
diwajibkan berperang. Namun mereka diwajibkan membayar jizyah, itupun
besarnya ditentukan oleh penguasa secara adil dan tidak memberatkan,
sebagai jaminan perlindungan terhadap mereka. Berbeda dengan umat Islam
yang diwajibkan membayar pajak, namun masih diwajibkan berperang.
Pun
demikian, Islam tidak mengenal sosialisme, karena Islam telah mengatur
hubungan antara kaum Aghniya dengan kaum mustadh’afîn dalam nuansa yang
sejuk dan sinergis tidak antagonis. Adalah sebuah kekeliruan jika
memandang kedatangan Islam semata-mata hanya untuk membebaskan
ploretarianitas ’Ammar ibn Yaŝir, Bilal ibn Rabah, dsb., dari
borjuanisme Abu Lahab, Abu Jahl, dll. Hal ini disebabkan karena selain
Islam melindungi Bilal ibn Rabah, ’Ammar ibn Yaŝir, dsb., yang kaum papa
itu, Islam juga mengakui eksistensi ’Abdurrahmân ibn Auf, ’Utsmân ibn
’Affan, dan sahabat-sahabat lain yang merepresentasikan golongan
pengusaha. Kehadiran Islam bukan hanya untuk membebaskan kaum
mustadh’afin an sich dari perbudakan yang terjadi pada masa jahiliyyah,
tetapi melahirkan sebuah gagasan baru bahwa ”golongan pengusaha” dan
”golongan buruh” dapat bersinergi dalam hubungan yang harmonis.
Sebagaimana dikatakan oleh Musthafa Mahmud, Islam datang untuk
menegaskan adanya persamaan dalam meraih kesempatan, menjamin hak untuk
hidup dengan layak, menuju keseimbangan ekonomi antara individu dan
masyarakat. Islam mengakui prinsip kepemilikan pribadi dan kepemilikan
umum. Islam memerangi Abu Lahab an Abu Jahl bukan karena kebangsawanan
mereka, namun menuju sebuah keadilan sosial Islam yang merupakan
implementasi dari tauhid dan pandangan hidup (ketakwaan) untuk menaati
ajaran-Nya.
Demikianlah framework kaum Islamis, sehingga
gagasan-gagasan yang mencari labelnya dalam baju Islam, semisal
feminisme Islam, sosialisme Islam, militerisme Islam, hingga gerakan
tasawwuf dan institusionalisasinya (tarekat), dipandang sebagai akibat
dari tidak berhasilnya pencetus gagasan-gagasan tersebut dalam memandang
Islam secara komprehenshif. Gagasan-gagasan diatas adalah eksplorasi
yang lahir sebagai akibat dari pandangan mereka yang terbatas secara
parsial (hanya memandang beberapa aspek saja) terhadap Islam yang
sebetulnya komprehenshif (al-Syumûliyyah al-Islâmiyyah). Lalu mengapa
muncul hal yang demikian? Tampaknya, Hal ini lebih disebabkan oleh apa
yang disebut oleh sosiolog William Isaac Thomas (1863-1947) sebagai
’Logika Situasional’ yakni konfigurasi faktor-faktor sosial yang terjadi
pada waktu dan tempat yang memengaruhi persepsi seseorang terhadap
sesuatu. Gamal Abdel Nasser dan Muammar Qadhafi memilih Sosialisme Islam
karena logika situasional mendorong mereka melakukan hal itu, demikian
pula untuk kasus-kasus yang lain. Wallahu A'lam
Senin, 18 Maret 2013
Komprehensivisme Islam (1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar