Pandangan Hidayat Nur Wahid tentang Piagam Madinah, Civil Society, dan Masyarakat Madani
by: Sigit Kamseno
------------------
utk melihat terjemahan Piagam Madinah, klik disini
Secara kebetulan, kemarin sore saya membaca status FB seorang Syabab
Hizbut Tahrir yang mempertanyakan komitmen dari sebuah "Partai Terbuka
Yang Sekular" (dengan bahasa yang mengarah sekaligus menstigmatisasi
partai tertentu), akan perjuangannya menerapkan semangat Piagam Madinah
di Indonesia.
Tentu kita, saya dan Anda, tak terlalu bodoh
untuk tidak mengerti partai apa yang dimaksud, karena satu-satunya
partai yang mewacanakan Piagam Madinah di DPR adalah Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Status tersebut secara implisit memang hanya --dan
hanya-- mengarah kepada PKS.
Oleh karena itulah, saya (dan
mungkin rekan2 lain yang tak jenuh melihat bagaimana syabab HT tak
bosan-bosannya "memikirkan" PKS, merasa perlu untuk memposting bagaimana
sebetulnya pandangan PKS (dalam hal ini melalui pandangan ust.HNW)
terhadap wacana Piagam Madinah ini. Mesekipun saya sebetulnya hanyalah
kalangan grassroot yang bukan pengurus PKS bahkan ditingkat kelurahan
sekalipun.
Dalam konteks pemikiran Hidayat Nur Wahid,
nilai-nilai universal dari Piagam Madinah sebagaimana dipaparkan di part
1 notes ini, memiliki relevansi dengan konteks Indonesia yang plural.
Hal ini disebabkan karena Piagam Madinah menjadi faktor penting bagi
proses integrasi masyarakat Madinah yang juga plural.[1] Untuk itulah
Hidayat Nur Wahid tidak memperjuangkan penerapan Piagam Jakarta di
Indonesia, tetapi memberikan alternatif yang disebutnya sebagai, “Piagam
Jakarta yang berwawasan Piagam Madinah.” [2] karena lebih memiliki
nuansa pernghargaan terhadap keragaman.
Piagam Madinah
menurutnya, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial,
dan juga mendekatkan manusia kepada Tuhan. Piagam Madinah yang
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kedekatan pada Tuhan itu,
merupakan inspirasi bagi terwujudnya masyarakat madani sebagai solusi
bagi problema kemanusiaan saat ini, seperti konflik hubungan manusia,
krisis antar kelompok, krisis ekonomi, krisis hukum, dan krisis moral
bangsa.[3] Dalam konteks ini, Hidayat Nur Wahid membedakan masyarakat
madani dengan civil society, “masyarakat madani berbeda dengan civil
society. Selama ini kita telah banyak dikaburkan dengan berbagai istilah
dan pengaruh barat.”[4]
Hidayat Nur Wahid menerangkan sebuah
hadits dari Rasulullah Saw., sebagai contoh dari karakter masyarakat
madani sebagai berikut,
“untuk mencapai masyarakat madani, perlu diperhatikan salah satu bunyi hadîts Rasulullah,
’Wahai manusia sebarkan salam, berikan makan pada yang membutuhkan,
sambungkanlah tali kasih sayang, dan shalatlah di malam hari ketika
orang-orang lain sedang tidur maka dengan itu semuanya kalian bisa masuk
surga dengan sejahtera.”[5]
Dari sini, meskipun Hidayat Nur
Wahid membedakan masyarakat madani dari civil society, namun dapat
diambil kesimpulan bahwa Hidayat Nur Wahid memaknai masyarakat madani
sebagai etos moral dalam kehidupan bermasyarakat. Makna ini sebetulnya
relevan dengan pemaknaan civil society oleh Cicero dan Adam Ferguson.
Namun demikian, dari perspektif Hidayat Nur Wahid ini pula, terlihat
bahwa perbedaan fundamental antara civil society dengan masyarakat
madani yaitu bahwa civil society yang merujuk pada masyarakat barat
sekular tidak membawa spirit agama, sementara masyarakat madani yang
merujuk kepada konstutusi Piagam Madinah membawa spirit religius
sehingga lebih relevan dengan konteks keindonesiaan.
Artinya,
meskipun secara bahasa civil society dapat relevan dengan masyarakat
madani, (“masyarakat kota”), tetapi secara value keduanya mempunyai
perbedaan sebagai implikasi historis dari apa yang disebut oleh William
Isaac Thomas (1863-1947 M) sebagai “logika situasional,” yakni
konfigurasi faktor-faktor sosial yang terjadi pada waktu dan tempat yang
memengaruhi suatu gagasan yang dilahirkan.[6]
Urgensi
religiusitas yang merupakan ciri dari masyarakat madani ini terletak
pada perannya sebagai penjaga moral individu dan bangsa. Menurut
Hidayat,
“keperluan untuk mempertegas identitas religius ini
semakin mendesak. Justru pada era reformasi sekarang ini, ketika
Indonesia dinyatakan sebagai negara terkorup dan paling rendah
kemampuannya dalam memunculkan keadilan hukum di Asia. Paham
materialisme dan sekularisme telah melanda hampir seluruh sektor
kehidupan berbangsa, dan terbukti membawa kerusakan fisik dan moral yang
berat.” [7]
Tidak berhenti pada idealisme tentang terbentuknya
masyarakat madani pada level wacana, Hidayat Nur Wahid menerangkan
sejumlah langkah yang menjadi dasar untuk menuju cita-cita terbentuknya
masyarakat madani, yaitu (1) menyegarkan kembali pemahaman tentang
manusia sebagai makhluk mulia dan unggul, (2) pemahaman terhadap
pluralitas, yakni menghadirkan manusia yang harmonis dalam keragaman,
(3) Demokrasi yang dijadikan tolok ukur dunia barat dalam melihat bangsa
lain. Sebuah demokrasi yang baik dan unik seperti di Indonesia yang
berpenduduk Muslim terbesar namun dapat melakukan demokrasi yang sangat
bermartabat dengan aturan yang sangat terbuka, partai yang berkualitas,
dan hasil yang berkualitas pula. “Di Indonesia tidak hanya terdapat
umat Islam, tetapi juga non-Islam yang berhasil bekerja sama menciptakan
demokrasi tanpa ada konflik antarsuku dan penganut agama,” [8] (4)
globalisasi. dalam masyarakat global, semua kelompok itu harus bekerja
sama dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan tidak membuat stigma
negatif pada orang lain.[9]
Dari seluruh elaborasi di atas,
dapat disimpulkan bahwa Hidayat Nur Wahid memandang penerapan civil
society tidak relevan dengan konteks keindonesiaan karena logika
situasional yang melahirkan gagasan tersebut berbeda dengan Indonesia.
Sementara gagasan tentang masyarakat madani yang merujuk pada Piagam
Madinah dipandang lebih relevan karena memiliki konteks pluralitas dan
semangat religiusitas yang berdekatan dengan konteks keindonesiaan.
Masyarakat madani yang demokratis dan religius seperti inilah yang
menurut Hidayat merupakan cermin dari masyarakat yang rahmatan li
al-‘âlamîn.[10]
-----------------------
[1] Hidayat, Membangun Masa Transisi, h. 156.
[2] Muhammad Bugi, ed., Partai Keadilan Sejahtera Menjawab Tudingan dan Fitnah, h. 20.
[3]“Masyarakat Madani Solusi Krisis,” artikel diakses pada 9 Januari 2009 dari http://
[4]Dani Arif, “Spirit dan Idealisme,” artikel diakses pada 9 Januari 2009 dari http://
[5] Fatkur, “12 Ribu Massa Padati Gelora Pancasila,” artikel diakses pada 8 Januari 2009 dari http://
[6] Abd Rahim Ghazali, “Syariat Islam dan Logika Situasional,” atikel diakses pada 27 Februari 2009 dari http://www.hamline.edu/
[7] Hidayat, Membangun Masa Transisi, h. 160.
[8]“Masyarakat Madani Solusi Krisis,” artikel diakses pada 9 Januari 2009 http://www.kompas.com/
[9]“Masyarakat Madani Solusi Krisis,” artikel diakses pada 9 Januari 2009 http://www.kompas.com/
[10] Ceramah Hidayat Nur Wahid dalam acara “Doa dan Dzikirku untuk Bangsaku,” Masjid al-Tîn Jakarta, 31 Desember 2008.
Jumat, 22 Maret 2013
Piagam Madinah, Civil Society, dan Masyarakat Madani (part 2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar