by: Sigit Kamseno
Wacana Umum seputar Islam dan Sekularisme
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,[1] secara etimologis, secular
berasal dari bahasa latin, saeculum yang memiliki arti dalam konotasi
time (masa) dan location (tempat). Al-Attas menerangkan bahwa saeculum
memiliki makna “masa kini,” dan “disini.” “Masa kini” berarti zaman
sekarang ini (this present age) sedangkan “di sini” merujuk kepada di
dunia ini.
Jadi, paham secular berdasarkan definisi dari
al-Attas, merujuk kepada, “kedisini-kinian” atau peristiwa-peristiwa
masa kini, dan peristiwa-peristiwa di dunia ini.
Adapun
secara historis, sekularisme berasal dari pergolakan pemikiran dan
pertarungan gagasan seperti yang tercermin dalam kasus Nicolaus
Coppernicus (1473-1543 M), Galileo Galilei (1564-1642 M), dan para
ilmuwan lain yang memiliki teori yang bertentangan dengan doktrin
gereja. Galileo Galilei adalah seorang Astronom yang mendapatkan hukuman
dari pihak Gereja karena mengeluarkan teori heliosentric pada 19
Januari 1616. Teori ini menyatakan bahwa pusat Tata Surya bukanlah Bumi,
tetapi Matahari. Teori ini, oleh pakar yang dibentuk oleh Tahta Suci
Vatikan, dianggap bertentangan dengan Bible, oleh karena itu, Paus Paul V
meminta Cardinal Bellarmine untuk mengingatkan Galileo. Tetapi pada
1632, Galileo kembali mengajarkan teorinya tersebut. Oleh Mahkamah
Inquisisi, Galileo dipaksa untuk bertobat dan mengakui kesalahan
teorinya.[2]
Sebelum Galileo, Nicollaus Coppernicus
seorang Astronom dan ahli matematika menyembunyikan penemuan teori
heliosentic-nya, karena khawatir akan menimbulkan kontroversi dengan
doktrin gereja. Namun pada 1543, atas desakan rekannya, Coppernicus
mempublikasikan teorinya. Pada tahun 1616, otoritas Vatikan menetapkan
buku Coppernicus sebagai buku yang terlarang.[3]
Faktor
lain yang mendukung munculnya sekularisme adalah Gerakan Reformasi
Protestan yang dipimpin oleh Martin Luther pada abad XV-XVI di Eropa.
Gerakan ini menuntut dipisahkannya otoritas agama, sebagai reaksi
terhadap maraknya korupsi dan politisasi agama oleh penguasa Katholik
Roma.[4] Gerakan ini kemudian berhasil melahirkan Sekularisme, yaitu
upaya untuk memisahkan kekuasaan agama dan kekuasaan politik.[5]
Menurut ‘Abdul Karîm Soroush, sekularisme adalah upaya untuk
mengeluarkan agama dari unsur-unsur dunia. Menurutnya, terdapat dua
kemungkinan motivasi desakan sekularisme terhadap pemisahan agama dan
pemerintahan, yaitu keyakinan terhadap ketidakberdayaan agama dibarengi
ketakutan akan pengaruhnya yang merusak terhadap politik. Atau,
keyakinan terhadap kebenaran agama dibarengi kecemasan terhadap
kontaminasi dan profanasi dari kepentingan politik terhadap agama.[6]
Dalam konteks Islam, sekularisme mulai dikenal seiring dengan runtuhnya
kekhalifahan Turki Utsmani pada 1924 dan melahirkan Negara Turki modern
dibawah Mustafa Kamal Pasha. Turki modern ini melakukan sekularisasi
secara radikal dengan mengubah sistem pemerintahan, kebudayaan,
undang-undang dan sebagainya dari pengaruh Islam. Runtuhnya kekhalifahan
Utsmaniyyah ini kemudin melahirkan negara-negara dalam format
kebangsaan yang melandaskan negaranya tidak kepada Islam, tapi kepada
paham kebangsaan.
Dalam konsepsi Islam, sekularisme
seperti yang diterapkan di Turki merupakan hal yang ahistoris. Hal ini
disebabkan karena, mengutip Carl Brown,[7] dalam tradisi Islam
sebetulnya tidak dikenal pemisahan antara agama dan negara. Bahkan
menurut Ian Adams,[8] semenjak kelahirannya, Islam merupakan agama yang
paling politis.
Menurut Yudi Latif, manghalau agama dari
basis legitimasi politik jauh lebih problematik dalam agama yang
menganut monoteisme yang kuat seperti Islam. Menurutnya,
komunitas-komunitas Muslim dari madzhab dan tradisi apapun menyetujui
bahwa tauhid merupakan inti keyakinan, tradisi dan amalan Islam.
Konsepsi tauhid ini kemudian membawa pada satu keyakinan, bahwa Tuhan
serba hadir dalam setiap aspek dan praktek kehidupan Muslim.
--------------------
[1] Syed Muhammad Naquib al-Atas, Islam dan Sekularisme. Pemerjemah
Karsidjo Djojosoewarno (Bandung : Penerbit Pustaka, 1981), h. 15.
[2] Adian Hussaini, “Problem Teks Bible dan Hermeneutika,” dalam Islamia, no. 1 Vol. I (Maret 2004): h. 13.
[3] Ibid., h. 13.
[4] Desakralisasi lembaga kependetaan ini disebabkan karena
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam banyak bentuk antara lain
penyuapan seperti yang terjadi pada kasus Paus Leo X, atau skandal
seksual seperti yang dilakukan oleh Paus Alexander VI, pembayaran pajak
kepada lembaga keagamaan yang mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi
antara Vatikan dan daerah-daerah lain, juga penjualan surat-surat
pengampunan dosa dalam pengertian semakin besar uang yang dibayarkan
maka akan semakin besar dosa yang diampuni Tuhan. Ahmad Suhelmi,
Pemikiran Politik Barat, Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat, dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 144-147.
[5] Ibid., h. 155.
[6]‘Abd al-Karîm Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Penerjemah Abdullah Ali (Bandung: Mizan 2002), h. 79.
[7] Carl Brown, Wajah Islam Politik. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2003), h. 48.
[8] Ian Adams, Ideologi, Politik Mutakhir, h. 426
Jumat, 22 Maret 2013
Islam dan Sekularisme (part 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar