by: Sigit Kameno
Wacana seputar Piagam Madinah, Civil Society, dan Masyarakat Madani
Civil society adalah produk sejarah masyarakat barat. Karena itu untuk
memaknai civil society, harus merunut kepada konteks latar belakang
kelahirannya. Dalam sejarahnya yang panjang, menurut Asrori S. Karim,[1]
terdapat lima model pemaknaan civil society.
Pertama, civil
society dipahami sebagai sebuah sistem kenegaraan. Dalam konteks ini,
civil society sama dengan state. Pemaknaan ini dikembangkan oleh
Aristoteles (384-322 SM), Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas
Hobbes (1588-1679 M), dan John Locke (1632-1704 M). Istilah civil
society sendiri diambil dari istilah latin, yaitu societas civilis, yang
pertama kali digunakan oleh Marcus Tullius Cicero, yaitu sebuah
komunitas yang mendominasi komunitas lain. Cicero menggunakan istilah
ini dengan merujuk pada masyarakat politik. Masyarakat ini memiliki
kode-kode hukum dalam mengatur kehidupan mereka. Konsep ini mengacu pada
konteks masyarakat Romawi yang tinggal di kota-kota yang mempunyai
hukum yang menunjukkan keberadaban masyarakat, dalam pengertian
masyarakat Romawi adalah masyarakat yang memiliki nilai-nilai kesopanan
dan tata hukum. Hal ini dianggap sebagai hal yang membedakan mereka dari
masyarakat pra-kota yang masih barbar yang hidup berpindah-pindah.[2]
Pada masa Aristoteles, istilah civil society belum dikenal. Aristoteles
menyebut istilah koinonie politike yakni merujuk pada komunitas
politik dimana warga dapat terlibat langsung dalam pengambilan
keputusan.[3]
Thomas Hobbes memaknai civil society sebagai
konsep yang dimaksudkan untuk meredam konflik dalam masyarakat, sehingga
masyarakat tidak jatuh dalam chaos. Karena itu bagi Hobbes, kekuasaan
negara harus mutlak dan tidak boleh terbagi-bagi. Kekuasaan yang
terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil, atau perang
agama dalam negara.[4] Civil society ini harus memiliki kekuasaan
absolut agar mampu sepenuhnya mengontrol pola-pola interaksi warga
negara.
Sementara John Locke memaknai civil society untuk
melindungi kebebasan dan hak warga negara. Civil society menurutnya
adalah masyarakat politik hasil dari kontrak sosial. Locke memaknai
civil society sebagai negara yang mempunyai kekuatan politik untuk
mengatur kehidupan masyarakat.[5] Karenanya civil society tidak boleh
absolut. Ia harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak dapat
dikelola oleh masyarakat dan memberi ruang yang wajar bagi warga negara
untuk memperoleh hak-haknya. Dominasi negara yang terlampau dominan
hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan
rakyat menghadapi kekuasaan Negara.[6]
Kedua, pada abad ke-18,
Adam Ferguson (1723-1816 M),[7] memaknai civil society sebagai konsep
etis dalam kehidupan bermasyarakat untuk memelihara kehidupan sosial,
yang bercirikan solidaritas sosial yang lahir dari sentimen moral serta
sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah. Pemaknaan civil
society ini merupakan refleksi dari kekhawatiran Ferguson terhadap
konteks sosial politik Skotlandia yang tengah menghadapi kemunculan
kapitalisme dan pasar bebas sebagai ekses dari revolusi industri, yang
akan menumbuhkan individualisme dan lunturnya tanggung jawab sosial
masyarakat. Dalam konteks ini, civil society dimaknai sebagai kebalikan
dari masyarakat primitif atau barbar.
Ketiga, Thomas Pain
(1822-1882 M) mendefinisikan civil society sebagai anti tesis bagi
negara dalam posisi yang berbeda secara diametral. Peran negara
menurutnya, harus dibatasi seminimal mungkin, karena eksistensinya
hanyalah merupakan keniscayaan buruk belaka. Bagi Thomas Pain, civil
society harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi keperluannya.[8]
Model pemaknaan civil society semacam ini ditentang oleh George Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831 M) dengan mengembangkan makna civil society
sebagai bagian subordinatif dari negara. Menurut Hegel, struktur sosial
terbagi atas tiga entitas, yaitu keluarga yang merupakan ruang
sosialisasi pribadi yang harmonis, civil society sebagai tempat
berlangsungnya konflik pemenuhan kebutuhan pribadi atau kelompok,
terutama sentimen ekonomi, dan negara yang merupakan representasi dari
ide universal yang merupakan sintesa dari dialektika masyarakat. Negara
memiliki tugas untuk melindungi kepentingan politik warganya oleh karena
itu berhak untuk mengintervensi civil society. Dalam hal ini, Hegel
memaknai civil society sebagai entitas yang cenderung melumpuhkan diri
sendiri sehingga memerlukan peran serta negara melalui kontrol hukum,
administrasi, dan politik.[9]
Hegel mengajukan alasan mengapa
negara berhak untuk mengintervensi masyarakat, yaitu ketika terjadi
ketidak-adilan atau ketidak-sederajatan dalam masyarakat, atau ketika
terjadi ancaman terhadap kepentingan universal masyarakat. Dalam hal
ini, sebagai absolut idea yang merupakan hasil dari dialektika
masyarakat itu sendiri, negaralah yang berhak menentukan kriteria
kepentingan universal tersebut. Hegel memaknai negara sebagai entitas
untuk melindungi kepentingan umum, sementara aktivitas masyarakat adalah
untuk memenuhi kepentingan individu atau kelompok. Inilah pemaknaan
keempat dari civil society.
Kelima, sebagai reaksi atas civil
society a la Hegel, Alexis de Tocqueville (1805-1859 M), memaknai civil
society sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Dalam hal ini,
Tocqueville merujuk pada pengalaman demokrasi di Amerika yang diawali
dari civil society berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat,
termasuk gereja dan asosiasi professional, yang kerap membuat keputusan
pada tingkat lokal dan menghindar dari intervensi negara. Civil society
dalam hal ini tidak sub-ordinatif dari negara, tetapi bersifat otonom
dan memiliki kapasitas politik sebagai pengimbang dari intervensi
Negara.[10] Civil society model Tocquiville sebagai rekonstruksi
pengalaman Amerika di Eropa inilah yang kemudian menjadi basis kehidupan
demokrasi modern yang berlandaskan prinsip toleransi, desentralisasi,
kewarganegaraan, aktivisme dalam ruang publik, sukarela, swasembada,
swadaya, otonom, dan konstitusionalisme.[11]
Secara
institusional, instrumen penegak civil society ini dapat mewujud dalam
berbagai asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara,
antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, paguyuban,
organisasi keagamaan, partai politik, dan perguruan tinggi. Menurut AS.
Hikam,[12] karakter dari civil society adalah menolak partikularisme dan
sektarianisme, namun pada saat yang sama juga menentang totalisme dan
uniformisme; Menghargai kebebasan individu namun menolak anarki;
memperjuangkan kebebasan berekspresi tetapi juga menuntut tanggung jawab
etik; menolak intervensi negara, tetapi juga memerlukan negara sebagai
pelindung dan penengah konfilk baik internal maupun eksternal. Negara
memang tidak mesti dilihat sebagai lawan, karena negara juga memiliki
elemen signifikan bagi pertumbuhan civil society, seperti pranata hukum.
Pengertian civil society inilah yang menjadi cita-cita dan harapan
dari negara modern yang berlandaskan sistem demokrasi.
Di
Indonesia, istilah civil society ini kerap dipadankan dengan istilah
“masyarakat madani.” Sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Anwar
Ibrahim dalam ceramahnya di Festival Istiqlal pada 1991. Istilah
masyarakat madani ini merujuk pada bahasa arab, madînah yang berarti
kota.
Masyarakat kota yang dimaksud, menurut Mulyadi
Kartanegara,[13] bukan dalam konotasi secara geografis, tetapi dalam
arti “karakter yang cocok untuk penduduk sebuah kota” yang memiliki
sifat/adab atau kesopanan yang tinggi. Semakin tinggi suatu kota,
semakin tinggi pula nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku. Dalam hal ini
secara bahasa, masyarakat madani menjadi relevan dengan civil society,
terutama pemaknaan yang digunakan oleh Cicero.
Gagasan
masyarakat madani yang diperkenalkan Anwar Ibrahim ini, merujuk pada
Negara Kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad pada tahun 622
Masehi, dimana Nabi membuat perjanjian antara Muhâjirîn dan Ansâr
sebagai komunitas Islam di satu pihak, dan antara kaum Muslimin dengan
kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak yang lain agar mereka
terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan
keamanan di wilayah Madinah.
Perjanjian ini juga disebut
sebagai “konstitusi” atau undang-undang karena di dalamnya terdapat
prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial
politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan
sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk.[14] Disebut juga
sebagai “piagam” karena perjanjian tersebut berisi pengakuan terhadap
hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat,
mengatur kewajiban-kewajiban semua golongan, menetapkan persatuan dan
kesatuan semua warga, dan menghapus peraturan kesukuan yang tidak
baik.[15]
Piagam Madinah ini menjadi landasan persatuan
masyarakat Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur yang
heterogen. Piagam Madinah inilah yang merupakan dasar terbentuknya
Negara Madinah (butir-butir dalam Piagam Madinah dapat dilihat dalam
komentar di bawah)
Piagam Madinah ini, menurut Sayuti Pulungan,
mencakup 14 prinsip yang yang menjadi landasan bagi pembentukan
pemerintahan, yaitu 1) prinsip umat; 2) persatuan dan persaudaraan; 3)
persamaan; 4) kebebasan; 5) hubungan antar pemeluk agama; 6)
tolong-menolong dan membela yang teraniaya; 7) hidup bertetangga; 8)
perdamaian; 9) pertahanan; 10) musyawarah; 11) keadilan; 12) penegakan
hukum; 13) kepemimpinan; 14) ketakwaan.[16]
-----------------
[1]Asrori S. Karim, Civil Society dan Ummah, Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 21.
[2] Haryono, “Pemikiran Robert F. Hefner tentang Civil Society dalam
Negara Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Unversitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 12.
[3] Asrori, Civil Society dan Ummah. h. 23.
[4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 177.
[5] Haryono, “Pemikiran Robert F. Hefner,” h. 13.
[6] Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 198.
[7] Asrori, Civil Society dan Ummah, h. 23.
[8] Ibid., h. 24.
[9] Ibid., h. 24-26.
[10] Ibid., h. 28-31.
[11] Ibid., h. 31.
[12] Ibid., h. 36.
[13] Mulyadi Kartanegara, “ Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam,” artikel di akses pada 9 Februari 2009 dari http://
[14] J. Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam
Madinah Ditinjau dari Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 114. Konstitusi adalah peraturan-paraturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis, sementara undang-undang adalah peraturan
tertulis yang merupakan bagian dari konstitusi. Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, h. 95.
[15] Piagam adalah suatu dokumen yang
menjamin hak-hak, kekuasaan, dan kewajiban-kewajiban tertentu, baik
piagam yang memerintah suatu negara, piagam universitas, piagam badan
hukum, maupun piagam yang memberikan kekuasaan kepada suatu masyarakat.
William Harris dan Judith S. Levey, “Charter,” The New Columbia
Ensiklopaedia, Columbia University Press, New York & London, 1975.
H, 514. Dikutip dari Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h.
113.
[16] Ibid., h. 121.
Jumat, 22 Maret 2013
Piagam Madinah, Civil Society, dan Masyarakat Madani (part 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar