Soal konflik KPK dan Polri, saya ingin jadi penonton saja. Menonton
sambil muak menahan muntah. Ada banyak puzzle yang nampak berkaitan satu
sama lain sekalipun tidak mudah dicari sambungannya. Anda masih ingat
pertemuan politisi PDIP Trimedya Panjaitan dengan komisioner KPU, Haidar
Nafis Gumay, menjelang pilpres lalu? Rupanya waktu itu Trimedya sedang
duduk makan dengan Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan. Menurut sang
Jenderal, pertemuan itu murni urusan makan. Anda percaya ada seorang
jenderal bintang tiga melakukan pertemuan dengan politisi dari partai
besar penyokong capres kemudian bersapa dengan komisioner KPU adalah
murni urusan makan? Its ok untuk Hadar Nafis Gumay yang katanya hanya
bersapa beberapa detik karena kebetulan berpapasan, dan Dewan Etik KPU
pun membebaskan ia dari tuduhan konspirasi, baiklah saya terima itu,
tapi pertanyaan dalam kerangka apa seorang Komisaris Jenderal Polisi
yang setara dengan Letjen pada militer itu, bertemu dengan politisi PDIP
yang waktu itu sedang menyokong calon presiden? Sulit rasanya menerima
bahwa itu “sekadar urusan makan”.
Selepas Jokowi terpilih sebagai presiden, Komjen Budi Gunawan inilah
yang belakangan diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden
Joko Widodo. Calon tunggal, pemirsa! Padahal ia sudah mendapat kartu
merah dari KPK. Kompolnas pun, sebagai sebuah lembaga yang memberikan
pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian
kapolri, baru menyampaikan draft calon-calon Kapolri pengganti Jenderal
Sutarman kepada Jokowi, dan belum finish karena belum sampai pada tahap
wawancara. Tapi “cerdas”nya, Jokowi bersegera mengajukan nama Budi
Gunawan ke DPR, ada kepentingan apa demikian tergesa?
“Padahal yang kami serahkan baru draft, kami belum lakukan wawancara
semua kandidat. Eh tapi Jokowi sudah kirim surat ke DPR. ‘Cerdas’ Jokowi
itu,” sindir komisioner Kompolnas Adrianus Meliala sebagaimana dikutip
Kompas.com (25/01).
Pertanyaannya kemudian kenapa Jokowi hanya ajukan calon tunggal? Kenapa
harus Budi Gunawan yang merupakan mantan Ajudan Megawati itu? rakyat
akhirnya menaruh curiga bahwa Budi Gunawan hanyalah perpanjangan tangan
Megawati untuk kepentingan dirinya. Dalam hal ini nampak Jokowi telah
gagal menjalankan fatsun politik Manuel Luis Quezon yang paling terkenal
di dunia: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”
Dalam akun twitter-nya, Denny JA, penyokong Jokowi pra pilpres lalu
bahkan mengunggah sejumlah foto meme yang menyindir Megawati dan
Jokowi. Denny menggambarkan bahwa mantan Gubernur DKI itu hanyalah
boneka ketua umum PDIP.
Pun, ekonom Rizal Ramli juga lakukan hal serupa. Dua jam sebelum Jokowi
memberhentikan Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan menunda
pelantikan Komjen Budi Gunawan, ia mengirim pesan di akun twitternya,
@RizalRamli. Ia mengingatkan Jokowi untuk tetap di jalur konstitusi.
“Mas Jokowi, you are the President, act like one! Tugas presiden adalah menegakkan undang-undang, tegakkan hukum, termasuk anti korupsi,” pesannya.
Ia juga menulis begini: “Saya dekat dengan Bang TK dan Mbak Mega. Saya
sayang Mbak Mega. Perlu saya ingatkan, wis lah, jangan dipaksakan,
jangan kebablasan,” pesan Menko Perekonomian era Gus Dur itu.
Semua menaruh curiga yang sama, dan punya kegemasan yang sama. Ingin rasanya berkata “Jokowi, You are the real President! Presidennya itu Anda! Kewenangan ada di tangan Anda! act like one!”
Dus, pertanyaan selanjutnya muncul mengikuti, ada apa dibalik
pemberhentian Jenderal Sutarman dari jabatannya sebaga Kapolri? Bahkan
pemberhentian tersebut dipaksakan hingga melanggar undang-undang
kepolisian? Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang
merupakan penyusun UU tersebut, Jokowi melanggar pasal 11 UU No.2/2012
tentang Kepolisian yang mengamanatkan bahwa “Pemberhentian dan
Pengangkatan Kapolri harus satu paket dan melalui persetujuan Dewan”,
Jokowi melanggar UU itu.
Yusril menambahkan bahwa pemberhentian Kapolri memang bisa dilakukan
oleh presiden dalam keadaan mendesak hanya dan hanya jika kapolri
melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keselamatan negara. Bagian
mana dari dua faktor ini yang dilakukan oleh Jenderal Sutarman? Jika
Pak Sutarman tak lakukan pelanggaran tersebut, patut kita bertanya ada
kepentingan sangat besar apa dibalik “pemaksaan” pengangkatan Budi
Gunawan oleh Jokowi itu?
Saya Ingin Menonton Saja
Pasca kasus KPK vs Polri ini, ramai-ramai publik mengganti foto profil
dengan gambar #saveKPK, tagar itu jadi trending topic di twitter berhari
hari lamanya. Broadcast untuk mengganti foto pofil akun medsos kita
menyebar cepat. Pada prinsipnya kita semua mendukung pemberantasan
korupsi, itu harga mati. Tapi dibalik euphoria dukung mendukung KPK
versus Polri itu saya ingin masalah Budi Gunawan (BG) dan Bambang
Widjojanto (BW), yang keduanya sama-sama tersangka itu, kiranya
dipersonifikasi saja, jangan dibawa ke ranah institusi masing-masing.
Kita dukung KPK untuk berantas korupsi, tetapi kita juga perlu mendukung
kepolisian untuk menegakkan hukum. Kedua institusi itu tetap penting
bagi negara kita sebagai negara hukum. Jangan terjebak pada dukung
mendukung salah satunya. Jika Anda berfikir bahwa penetapan tersangka
kepada Bambang Widjojanto adalah cara Polri untuk memandulkan KPK,
mengapa Anda tidak berfikir bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh
KPK juga merupakan cara lembaga anti rasuah itu untuk tampil superior
dengan memandulkan Polri?
Jika Anda menaruh curiga mengapa penetapan tersangka atas Komisioner KPK
Bambang Widjojanto baru dilakukan pasca Komjen Budi Gunawan
ditersangkakan oleh KPK –padahal kasus BW terjadi pada 2010 sehingga
sangat terlihat seperti balas dendam— lantas kenapa Anda tak berikan
pertanyaan serupa kepada KPK: “mengapa KPK baru menetapkan Budi Gunawan
sebagai tersangka, saat Jenderal Bintang Tiga itu diajukan sebagai
Kapolri, kenapa tidak dari dulu, sehingga terkesan KPK ingin menjegal
karir, atau mencari momentum agar dapat liputan media lebih luas?
Saya ingin katakan bahwa, jika apa yang dituduhkan kepada BW itu
terbukti benar, maka BW pun wajib dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai
UU.
Tidak boleh ada warga negara di republik ini yang kebal hukum sekalipun
ia adalah pimpinan lembaga negara semacam KPK. Adalah Fahri HAmzah,
mantan aktivis Mahasiswa eksponen 98 yang kini menjabat sebagai wakil
ketua DPR sudah mengingatkan itu jauh-jauh hari. Tak boleh ada lembaga
di negara ini yang menjadi superbody, kebal hukum, Katanya.
Kasus BW ini harus diusut secara adil. Akan berbahaya jika di negara ini
ada orang per-orang atau lembaga yang superbody, kebal hukum, karena
hal itu sangat rawan pada penyelewangan kekuasaan. Sejatinya, Fahri
Hamzah hanya menerjemahkan doktrin terkenal dari Lord Acton: “Power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan
absolute, superbody, kuasa penuh, itu rawan penyelewengan!
sebagaimana Budi Gunawan, Bambang Widjojanto pun jika ia bersalah maka
patut dijatuhi hukuman. Jangan hanya karena ia dipuja sebagai
pemberantas korupsi lantas ia dibebaskan dari kesalahan yang fatal:
“sebagai pengacara ia disangkakan mengarahkan saksi untuk memberikan
kesaksian palsu di persidangan dalam kasus Pilkada”, kita tentu tak
ingin ada jutaan rakyat di satu kabupaten dipimpin oleh kepala daerah
yang sebetulnya kalah tapi dimenangkan lantaran kecurangan pengacara,
jutaan rakyat dipimpin oleh pemimpin yang tak mereka pilih!
Abi-Ummi, Janggut dan peci
Menyusuli kasus ini, belakangan kemudian muncul broadcast tentang
keindahan keluarga Bambang Widjojanto. Ketegaran keluarganya, juga
sapaan di keluarganya yang menggunakan frasa-frasa “Abi, Ummi,” dan
seterusnya. Islami sekali, indah dan merupakan prototype keluarga
sakinah. Kita kenal Bambang Widjojanto adalah aktivis, pun demikian
dengan Abraham Samad, keduanya rajin shalat, memelihara sunnah dengan
memanjangkan janggut, kerap tampil berkopiah, dan seterusnya. Tapi hal
tersebut tentu saja tak boleh menjadikan kita berlaku tidak adil. Tak
ada urusan dengan kata sapaan Abi –Ummi, janggut dan peci, jika ia
terbukti bersalah ia patut dijatuhi sanksi dan tak boleh dimenangkan.
Dalam sejarah Islam, jangankan yang berjanggut dan berpeci, Khalifah ke
empat, Ali bin Abi Thalib bahkan pernah dikalahkan dalam sidang, dalam
kapasitasnya sebagai pendakwa baju zirah waktu itu.
Sebagian pihak menduga perkara broadcast frasa “Abi-Ummi” dan keluarga
nan Islami Bambang Widjojanto yang beredar belakangan adalah upaya untuk
menyeret aktivis sosmed PKS agar ikut turun meramaikan lapangan
pertandingan cicak vs buaya jilid II itu. Sebagaimana kita tahu kader
PKS termasuk segmen masyarakat paling aktif di sosmed. Bahkan, demikian
ramainya aktivis partai dakwah itu di media sosial, mereka memiliki
kekuataan merubah paradigma para netizen dalam isu-isu aktual via
broadcast. Dengan memunculkan pesan berantai “Abi-Ummi” itu diharapkan
aktivis PKS terjun membantu #saveKPK lantaran frasa itu relatif akrab di
kalangan kader PKS.
Tapi rupanya tidak. Kader PKS bergeming. Mereka tidak terlibat dalam
dukung mendukung KPK atau Polri. Hal ini mungkin karena kader PKS punya
pengalaman tak menyenangkan dengan KPK sejak penggeledehan kantor mereka
oleh lembaga anti rasuah itu lantaran kasus impor sapi. Pun dengan
vonis maksimal kepada Luthfie Hassan Ishaq (LHI), Presiden PKS, yang
bahkan tidak merugikan negara meski hanya 100 rupiah, uang dari Fathanah
tidak sampai ke tangannya, pun Fathanah mengakui uang yang diterimanya
saat penangkapan itu bukan untuk LHI. Tapi apa lacur, dengan segala
kejanggalan kasus itu, LHI sudah dihukum maksimal untuk kesalahan yang
tak ia lakukan. KPK melakukan festivalisasi kasus ini dengan menggiring
opini publik pada hal-hal yang tidak relevan dengan kasus, sehingga PKS
disidang oleh persepsi publik sementara fakta persidangan sangat lemah.
Jika penuntut melakukan festivalisasi dan mengangkat sisi-sisi personal
terdakwa yag tak berkaitan dengan kasus, itu artinya kasus tersebut
memang lemah!
Aku ingin menonton saja
KPK memang penting, sebagaimana Polri juga merupakan lembaga yang
penting. Tetapi penting pula untuk meletakan orang-orang bersih di
sana. Orang yang independen, fokus pada penegakan hukum, pemberantasan
korupsi, bukan atas pesanan sebagian pihak. Ingat kasus Anas, ia
ditersangkakan oleh KPK hanya beberapa hari setelah presiden menanyakan
bagaimana status mantan ketua HMI itu, sebelumnya Anas tak berstatus apa
pun dalam kasus Nazaruddin. Harap kita ingat pula apa yang diungkapkan
oleh plt.Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bahwa ketua KPK Abraham Samad
pernah bertemu dengannya dengan mengenakan masker dan topi untuk
menghindari publik. Tak ada yang salah jika ia ingin jadi wakil presdien
waktu itu, tetapi kepentingan politik ini rawan dengan “politik balas
dendam” jika ia gagal melaju sebagai cawapres, persis seperti yang
ditudingkan oleh Hasto.
Bukankah Abraham Samad yang terburu-buru pulang lebih awal sebagai
narasumber sebuah kuliah Umum di Universitas Gajah Mada, kemudian
bertemu Jokowi secara “tak sengaja” di ruang VIP Bandara Adi Soetjipto,
Yogyakarta?
Sebagai rakyat kecil, saya tak ingin mendukung Polri atau pun KPK,
siapapun yang bersalah harus dijatuhi sanksi sesuai undang-undang. Saya
tak ingin dukung Polri atau KPK, saya hanya ingin mendukung kebenaran!
Salam
0 komentar:
Posting Komentar