Pekan ini, kita dibuat geger oleh sekelompok kecil Senat Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Ampel, Surabaya. Geger karena demikian sensasional tema besar mereka
dalam menyambut mahasiswa baru, “Tuhan Membusuk, Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan” demikian tema yang mereka pandang dapat mencerahkan mahasiswa baru itu.
Frasa
‘Tuhan Membusuk’ itu sebetulnya nyanyian lama dengan aransemen baru.
Sepuluh tahun silam, mahasiswa fakultas serupa di UIN Sunan Gunung
Djati, Bandung, berteriak “Anjinghu Akbar!” melengkapi ‘sabda’: “Selamat
Datang, di Kampus Bebas Tuhan”.
Frasa-frasa bombastis dan
‘menyerang Tuhan’ ini memang “makanannya anak-anak Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat” di sejumlah kampus UIN/IAIN di Indonesia. Mahasiswa
Ushuluddin diberikan kebebasan untuk menafsir tuhan, mengkritik hingga
meragukan otentisitas al-Quran, atau menafsirkan shalat sesuai paham
hermeneutik yang ada di balik kepala mereka. Sebagian (kecil) di antara
mereka menolak shalat ritual dan menggantinya dengan ‘shalat sosial’,
sebab ‘shalat sosial’ dianggap lebih substantif daripada shalat ritual.
Shalat ritual adalah shalat sebagaimana kita pahami, dengan bilangan rakaat, dan didirikan pada waktu yang telah ditentukan, sementara Shalat Sosial dipahami
sebagai ibadah kepada Tuhan dengan melakukan kebajikan, memberdayakan
kaum miskin, menolong kaum dhuafa, membebaskan rakyat dari belenggu
kezaliman sebagaimana diyakininya, dst., Menurut “sebagian sangat
sedikit’ mahasiswa itu, shalat sosial lebih bermanfaat daripada
shalat ritual, dan oleh karenanya shalat ritual adalah hal yang tak
terlalu diperlukan. Nampaknya mereka merasa lebih paham Islam ketimbang
Rasulullah yang masih melakukan shalat ritual. Entah apa yang ada
dibalik kepalanya ketika memahami ayat “inna shalata kaanat ‘alal mukminiina kitaaban mawquutaa” yang jelas merupakan perintah shalat ritual itu.
Demikianlah,
sekalipun sebagian kecil “tersesat pada akhirnya”, bagi mahasiswa
Ushuluddin dan Filsafat, kritisisme terhadap doktrin-doktrin agama
diperlukan agar agama tak menjelma dogma yang sulit dipahami nalar. “Kami paham maka kami beriman, dan bukan sebaliknya”. Akal
harus bisa menerjemahkan doktrin-doktrin agama supaya ia mengakar di
dalam dada, karena akal adalah anugerah Tuhan yang membedakan manusia
dengan binatang. Namun karena tidak seimbang, doktrin yang sebetulnya
baik ini pada akhirnya menjadikan sebagian mereka menjadi sangat
liberal, judul seminar ‘anak-anak Ushuluddin’ memang bombastis dan
menggelitik nalar, seperti “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, “Ketika
Keadilan Tuhan dalam Gender Dipertanyakan”, dst.
Sewaktu masih
berkuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, kami pernah melakukan survei di bawah pengampu Dr. Saiful
Mujani, begawan survei paling populer waktu itu yang juga mengajar
Metodologi Penelitian di Fakultas.
Survei kecil-kecilan itu
mencari korelasi antara liberalisme pemikiran Islam dengan sebaran
jurusan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Hasilnya, Jurusan Aqidah Filsafat adalah jurusan dengan
mahasiswa paling liberal dalam memahami Islam, disusul berturut-turut
Jurusan Perbandingan Agama, Sosiologi Agama, lalu Tafsir Hadits, dan
Pemikiran Politik Islam (PPI) pada sudut paling konservatif. Waktu itu
Saiful Mujani berseloroh, mungkin di PPI ini banyak anak LDK-nya, (Lembaga Dakwah Kampus).
Pada kesempatan lain, Saiful Mujani juga pernah mempublikasi hasil survey yang cukup menarik, bahwa kalangan Islam liberal lebih tidak taat agama daripada
kalangan fundamentalis. Dalam pengertian, indikator taat agama dimaksud
adalah shalat tepat waktu, melakukan shalat-shalat sunnah, membaca al-Quran, dll.
Sebagai alumni Fakultas Ushuluddin (dan atas kehendak Allah saya lulus dengan predikat cum laude), saya
tidak terkejut dengan tema “Tuhan Membusuk” yang digemborkan oleh
mahasiswa di UIN Sunan Ampel itu. Saya ingin mencoba meraba apa yang
dimaksud dengan “Tuhan” oleh calon-calon intelektual yang kontoversinya
sudah pasti tapi jadi orang besarnya belum tentu itu, saya coba menebak
apakah Tuhan dimaksud adalah nafsu angkara yang meraja dalam dada
manusia yang kian dipertuhankan hingga kita inginkan ia membusuk?
Ataukah Tuhan Membusuk yang dimaksud adalah sebuah terma dimana manusia
kian lupa kepada Tuhan, Tuhan didiamkan, tak disapa, tak dikunjungi
sampai dikiaskan Ia “membusuk”?
Ataukah ‘tuhan membusuk’ adalah
kesalahpahaman kalangan ‘fundamentalis’ sebagaimana diyakini oleh
mahasiswa itu, tentang Tuhan yang kaku dan rigid, sehingga Tuhan menjadi
demikian busuk yang atas nama-Nya membunuh orang lain menjadi halal dan
dibenarkan? Ataukah tema “Tuhan Membusuk” ini hanya sebentuk kebebasan
akademik sastrawi akibat gegar budaya, dimana mahasiswa-mahasiswa UIN
itu mencoba bernalar liberal, anti mainstream, asal beda dan “sok
sensasional?”
Rupanya rabaan ketiga yang benar. Tuhan membusuk
yang dimaksud adalah “Tuhannya kaum fundamentalis” dalam pandangan
mereka. Saya ingin kutip pernyataan Gubernur Senat Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Ampel sebagaimana diberitakan indonesia.faithfreedom.org:
Gubernur
Senat Mahasiswa dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Rahmad
Sholehuddin menjelaskan bahwa tema tersebut diangkat dikarenakan atau
berangkat dari sebuah realitas yang ada.
“Sekarang tidak sedikit orang atau kelompok yang mengatasnamakan Tuhan membunuh orang lain,” kata Rahmad, Sabtu 30 Agustus 2014.
Demi
(membela) Tuhan, rata-rata mereka rela mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Perilaku ini dianggap sudah lazim dan dilakoni oleh sebagian kelompok
yang mengklaim paling shaleh. Kelompok yang mengklaim paling islami.
Dari pemikiran tersebut, kelompok yang berbeda dengan mereka dapat
dengan mudahnya dianggap atau dituduh kafir (darahnya halal).
Selain
itu, fenomena yang terjadi dalam keberagamaan yang mulai menempatkan
spiritualitas sebagai alternatif pemecahan berbagai problem kehidupan.
Ironisnya, ada juga yang beragama dengan bertitik tolak pada
pertimbangan matematis-pragmatis.
“Agama (Tuhan) tidak
lebih hanya dijadikan sebagai pemuas atas kegelisahan yang menimpanya.
Tidak salah kalau sekarang agama dikatakan berada di tengah bencana,”
tegas mahasiswa dari jurusan Perbandingan Agama ini.
Salah
satu mahasiswa lainnya, Rahmad juga memberi contoh, ketika ditimpa
musibah maka dengan reflek masyarakat ingat Tuhan. Keadilan Tuhan pun
digugat. Di sisi lain, peran Tuhan kerap berada dalam simbol
ketidakberdayaan.
“Lagi-lagi Tuhan berada di pojok
kesalahan. Itulah salah satu alasan dari kami mengangkat tema tersebut,”
tandas alumnus Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong Probolonggo ini.
Dia
juga menambahkan bahwa yang hendak dikritik itu bukan eksistensi dari
Tuhan, melainkan nilai-nilai ketuhanan yang sudah mulai mengalami
‘pembusukan’ dalam diri masyarakat beragama.
“Dengan tema
ini, kami berharap bagi mahasiswa baru bisa menerapkan nilai-nilai
ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Demikianlah,
Tuhan yang mereka maksud. Mungkin tidak seperti yang sepintas dipahami
oleh masyarakat luas. Sayang mahasiswa tersebut nampak kurang bijaksana
memilah kata. Statemen yang ia sampaikan terlihat seperti apologi dari
“sensasionalisme dan bombastisisme” yang berapi-api, padahal mereka
sedang menyambut mahasiswa baru yang baru saja lulus SMA, aliyah, atau
baru meninggalkan pondok pesantren guna menuntut ilmu di kampus Islam
itu.
Tema tersebut awalnya tentu hanya konsumsi internal, bukan
untuk masyarakat luas secara umum, akan tetapi di era sosial media
“dimana isu menyeberang jauh lebih cepat dari penjelasan kita”,
masyarakat berhak pula untuk menafsir frasa Tuhan Membusuk itu dari
perspektifnya masing-masing, dan mereka berhak menggugat, bahkan
memberikan penilaian buruk atas pilihan kata yang diambil.
Selain
berbobot akademik, berlaku bijak dalam memilah tema saya kira merupakan
hal yang patut dipertimbangkan sebagai mahasiswa ilmu agama. Bukankah
sejak dulu, agamawan dan filosof dipandang sebagai kaum cendekiawan nan
bijaksana?
Masyarakat kita adalah masyarakat religius. Masyarakat
Nusantara menempatkan Tuhan sebagai Dzat yang dihormati. Ia dipuja dan
disembah. Ia diingat pada setiap desahan nafas. Bahkan diibadahi pada
malam-malam yang sunyi. Oleh karena itu ketika sebagian kecil mahasiswa
mengatakan “Tuhan membusuk” dengan penjelasan apapun, masyarakat tak
dapat menerima dan terlanjur mengatakan: “otak mahasiswa Ushuluddin
itulah yang sudah busuk”, lalu kampus UIN Sunan Ampel pun tercitrakan
busuk pula, bahkan akhirnya melebar ke kampus-kampus UIN/IAIN lainnya di
Nusantara sebagaimana saya lihat ramai di sosial media.
Intelektual Muslim, Mengajarlah di IAIN
Fenomena yang terus berulang ini sebetulnya menjadi pelajaran berharga bagi para intelektual Muslim yang concern pada
pemikiran Islam, atau memosisikan diri sebagai penyeimbang di tengah
derasnya arus liberalisme pemikiran Islam dewasa ini. Hal ini disebabkan
karena keberanian mahasiswa Ushuluddin tersebut sebetulnya merupakan
produk dari corak pemikiran yang mereka terima. Teko hanya mengeluarkan
isi teko, jika teko tersebut diisi air yang jernih ia akan mengeluarkan
air yang jernih, sebaliknya, jika teko tersebut diisi air yang keruh ia
akan mengeluarkan air yang keruh pula. Penghormatan terhadap Tuhan atau
Nabi adalah produk dari tidak dicontohkannya adab kepada Tuhan atau
kepada Nabi. Misalnya, pernah dalam suatu perkuliahan dulu, kami para
mahasiswa terkejut ketika seorang dosen menggunakan kata “mati” untuk
Nabi Muhammad pada waktu Diskusi Politik Islam. “ketika Muhammad mati,” kata dosen tersebut yang dengan segera diluruskan oleh Mahasiswa, “Wafat, bu”. Saya sendiri sangat tersinggung waktu itu.
Pengalaman
menjadi mahasiswa Fakultas Ushuluddin di IAIN/UIN memang menarik.
Bayangkan, secara pribadi, ketika OSPEK dulu saya nyaris tak bisa Shalat
Ashar karena rangkaian acara yang terus berjalan hingga menjelang
Maghrib. Sampai akhirnya saya complain kepada kakak kelas karena waktu sudah pukul lima sore tapi tak ada tanda-tanda break untuk
sekadar shalat. Mahasiswa baru tak berani protes karena secara
psikologis dalam posisi tak berdaya. Akhirnya saya sampaikan pada
panitia, saya mau shalat, dan mohon sesi diskusi ditunda dulu. Raut
kakak kelas di Fakultas Ushuluddin itu nampak terkejut dengan permintaan
tersebut. Teman-teman peserta OSPEK lain di kelompok ikut menguatkan,
kami belum Shalat Ashar. Bayangkan, akhirnya kami Shalat Ashar diujung
waktu. Lewat pukul lima sore di sebuah kampus Islam terbesar di
Indonesia, pada fakultas yang concern pada studi Pokok-pokok
Agama, Fakultas Ushuluddin, Fakultas lain tidak demikian. Dalam OSPEK
itu pula kami, mahasiswa baru, diberi majalah gratis bernama Syir’ah, sebuah majalah yang kental nuansa liberalnya.
Pun
ketika berkuliah, seorang dosen meyakinkan, carilah Tuhan olehmu.
Bahkan jika kamu tak menemukan-Nya Tuhan akan memaafkan karena kamu
sudah berusaha mencari-Nya. Tuhan justru tak akan memaafkan jika kamu
merasa mengenal-Nya padahal kamu belum pernah mencari Dia. Konklusi sang
dosen ini, sekalipun pada akhirnya kita menjadi atheis (atau murtad)
akibat pengembaraan kita mencari Tuhan sebab ragu akan eksistensi-Nya,
lalu tak berhasil menemukan Dia sehingga memilih menjadi atheis, lalu
meninggalkan shalat dan tak imani keberadaan Allah, kita akan termasuk
golongan yang selamat.
Atau misalnya, bagaimana dada saya
berguncang ketika menyelami alam pikiran filosof kontroversial Abu Bakar
Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-Razi tentang Yang Kekal selain
Tuhan, penjelasan dosen saat itu begitu rasional sekaligus
menggelisahkan, kemudian saya dibiarkan dalam keadaan gelisah
berhari-hari lamanya. Saya bersyukur berkat bertanya kesana kemari, saya
menemukan jawaban menenangkan dan semakin menguatkan keyakinan saya
tentang Tuhan.
UIN memang terkenal karena liberalisme pemikiran
Islamnya, namun perlu diketahui kelompok seperti ini sebetulnya hanya
terkonsentrasi di fakultas agama utamanya Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, dan Fakultas Syariah dan Hukum, sedangkan di fakultas-fakultas
umum seumpama Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, Fakultas
Tarbiyah, Fakultas Ekonomi, atau Fakultas Sains dan Teknologi, corak
pemikiran Islam liberal ini senyap.
Demikian pula sebetulnya,
mahasiswa yang mengimani liberalisme pemikiran Islam di Fakultas
Ushuluddin pun tidak banyak. Mereka hanya sedikit di antara sekian
banyak mahasiswa Ushuluddin yang rata-rata jebolan pesantren itu.
Sedikit tetapi sensasional sehingga mendapat liputan media, seumpama
ungkapan kencingilah air Zamzam jika ingin terkenal. Mereka
rajin mengadakan seminar-seminar ilmiah dan diskusi dengan bahasan yang
menggelitik nalar, mengkritisi agama, dengan tema-tema bombastis
sehingga menarik minat mahasiswa untuk hadir.
Pun, dosen yang
memiliki corak pemikiran serupa, sangatlah rajin mengajar. Sebutlah
Zainun Kamal, Kautsar Azhari Noor, atau dulu semisal Prof. Harun
Nasution, dan dosen yang terkenal dengan pemikiran liberalisme Islam
lainnya, adalah tokoh-tokoh yang sangat dedikatif mengajar. Dalam tiap
semester, mungkin hanya satu kali absen, selebihnya full mengajar.
Berbeda dengan dosen lain yang, katakanlah, berpaham Islam mainstream. Dosen-dosen
aktivis dakwah itu justru jarang mengajar karena mungkin sibuk dengan
agenda dakwah di pergerakan-pergerakan Islam. Saya sendiri, dalam sebuah
perbincangan dengan senior aktivis dakwah kampus yang alumni jurusan
Aqidah Filsafat, sempat bertanya: “abang kenapa ga coba mengajar di
Ushuluddin. Kasihan teman-teman mahasiswa karena dosen yang liberal
rajin-rajin mengajar sementara yang antiliberal justru seringkali
absen.”
Kembali pada judul tulisan kecil ini, saya kira fenomena
semacam ini menjadi sebuah pelajaran menarik. Para intelektual Muslim
yang saat ini giat meng-counter ide-ide Islam liberal perlu
untuk menjadi dosen di kampus-kampus UIN/IAIN. Memang benar, tidak perlu
menjadi dosen UIN untuk menghadang ide liberalisasi pemikiran Islam,
tetapi kampus-kampus UIN sebagai basis awal liberalisasi pemikiran Islam
perlu diimbangi oleh dosen dengan ragam pemikiran berbeda agar
melahirkan referensi yang seimbang bagi khazanah pengetahuan mahasiswa.
Hal ini karena kajian keislaman di luar kampus, atau hanya sekadar
membaca buku dengan ragam pemikiran berbeda, tak akan se-intensif ketika
berdiskusi langsung dengan dosen-dosen tersebut berikut perdebatan
dengan rekan mahasiswa di kelas yang memperkaya wawasan. Mengajarlah,
agar mereka punya adab terhadap Tuhan dan Nabi-Nya.
Saya terkejut, ketika akun facebook dari
seorang yang dipandang intelektual Muslim, atau setidaknya menjadi
rujukan para aktivis anti Jaringan Islam Liberal (Anti-JIL) menulis di status-nya:
“lebih baik bubarkan saja UIN Sunan Ampel!” Bagi saya itu terlalu
reaktif. Apakah para intelektual itu sudah mencoba untuk mengajar di
sana guna menyelamatkan akidah para mahasiswa? atau memikirkan bahwa
jauh lebih banyak mahasiswa yang masih “menghargai Tuhan” ketimbang
sedikit mahasiswa yang mencari sensasi itu? bagaimanapun jangan sampai
sedikit noda ini kemudian menutup mata kita atas jasa lahirnya
ulama-ulama dari kampus UIN yang menjadi rujukan umat di Indonesia.
Selayaknya universitas, corak pemikiran di UIN memang sangat terbuka.
Pemikiran boleh beragam-ragam selama itu bisa dipertanggungjawabkan
secara akademis.
Pertanyaannya adalah, jika orang-orang liberal
itu bisa mengajar di UIN/IAIN, lalu apa yang menghalangi pemikir-pemikir
muda Muslim untuk melamar menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin di
UIN/IAIN?
Kamis, 16 April 2015
Intelektual Muslim, Mengajarlah di IAIN!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar