Saya punya dua kelompok binaan, satu kelompok usia 26, kini semua
anggotanya sudah menikah, dan kelompok lain berusia 23 tahun, satu di
antaranya baru saja genapkan separuh agama.
Ada hal menarik ketika
mendengar curhat mereka, terutama tentang menikah. Biasanya anggota
lain hanya senyum-senyum, mungkin curhat itu dianggap mewakili dirinya
juga.
Tipikal orang itu memang beragam macam, tidak bisa satu
karakter binaan, kita paksakan untuk sama dengan yang lain. Kisah
shahabat Nabi mengajarkan kita bahwa karakter para sahabat juga
beragam-ragam, tapi semuanya tetap bisa berselaras dengan Islam.
Demikian pula semestinya kita memahami karakter binaan. Misalnya, satu
binaan menyerahkan sepenuhnya keinginan untuk menikah kepada murabbi
(guru pengajian), tapi yang lain “minta diupayakan dengan ‘akhwat yang
itu”, sementara binaan lainnya ingin “mandiri” alias cari sendiri.
Bagi saya tidak masalah, ta’aruf melalui murabbi hanyalah satu cara, dan aneka cara lain selama halal adalah boleh. Dalam konteks ta’aruf, murabbi
hanya berperan untuk membantu, dengan harapan kiranya sang binaan
berserius untuk membentuk sebuah keluarga dakwah. Saya tidak pernah
berfikir bahwa otoritas menikahkan ada di tangan murabbi. Murid
terbina saya punya otoritas untuk menentukan pilihannya sendiri.
Sedangkan untuk akhwat, otoritas untuk bersetuju atau tidak tentu berada
di tangan walinya, bukan murabbi. Guru, pembina hanya fasilitator, mentor, motivator, atau mediator.
Menikah
adalah keputusan besar. Dan itu adalah pilihanmu. Dan itu adalah
hidupmu. Bisa jadi binaan punya pandangan tersendiri yang berbeda dengan
murabbinya. Dan saya hormati itu. Jangan samakan generasi
dakwah era 2000-an ke sini dengan kader dakwah era 80-90-an. Tidak
sebanding karena konteksnya berbeda. Saat ini tantangan dakwah bukan
lagi pada represivitas pemerintah melainkan pada tantangan media yang
semakin terbuka, itu tak kalah beratnya.
Mari lihat seranai
interaksi mereka di media sosial, berapa banyak kemudian kita mengetahui
apa yang ada dalam hati mereka meluap-luap tumpah di sana. Merasa
generasi 90-an lebih baik ketimbang yang sekarang adalah perbandingan
yang tidak aple to aple. Mereka yang menjaga dirinya di era ini memang lebih baik, tapi tak elok membanding-bandingkan.
Alhamdulillah
sejauh ini tidak ada binaan saya yang memposting hal-hal berbau galau
tentang akhwat di akun sosial media mereka, memang lebih indah
dibicarakan dalam halaqah, atau berdua ketika ia bertamu sendiri, “mau
konsultasi” katanya.
Tapi saya ingin memahami, meski tidak membenarkan, keinginan sebagian binaan untuk menikah namun merasa terganjal oleh murabbi yang “over protected.” Murabbi memang lebih banyak pengalaman, tapi ia bukan manusia super yang bisa memahami kedalaman isi hati setiap binaannya. Murabbi
dituntut bijak untuk memahami, bahwa rasa cinta kepada seseorang bukan
hal yang bisa dipaksakan, bukan pula hal yang mudah dinafikan. Jika ia
ingin menikah dengan seorang akhwat yang diincarnya, selama akhwat itu
memang baik, bantulah semoga ia mendapatkan kebahagiaannya. Bersyukur ia
tidak pacaran. Jangan biarkan ia berlama-lama memendam rasa dalam
kesunyian. Kasihan. Karena rasa semacam itu adalah fitrah yang telah
Allah benamkan pada hati-hati manusia. Bukankah Fatimah juga memendam
rasa kepada Ali sebelum ia dinikahinya? Demikian pula Ali. Ah, cinta
sememangnya merupakan fitrah, bersyukur kita bisa merasakan gelisahnya.
Murabbi,
bijaklah! Berhati-hati dalam memilihkan karena cinta kepada binaan
tentu perlu, tapi terlalu menyulitkan tentu tidak bijak juga. Jika ada
yang ingin menikah, mari bermudah-mudah!
0 komentar:
Posting Komentar