Sampai tadi pagi di bus jemputan kantor, saya masih melihat hasil quick count
sejumlah lembaga survei terhadap raihan suara partai-partai peserta
Pemilu. Hasilnya memang mengejutkan. Saya jadi teringat ucapan politisi
PAN, Drajat Wibowo, ketika diwawancarai presenter TVOne, kemarin sore.
Ekonom yang sempat digadang-gadang menggantikan Gita Wirjawan sebagai
Menteri Perdagangan itu mengatakan bahwa hasil quick count ini
meluruskan dan membantah prediksi lembaga-lembaga survei yang
menghambakan dirinya kepada uang. Memang jika kita melihat hasil survei
yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei mendekati Pemilu, nampak survei
tersebut sekadar dagelan dibungkus metode ilmiah. Lembaga survei
kemudian berlindung dibalik data “sejumlah pemilih yang belum menentukan
sikap” dan menjadikan kalimat tersebut sebagai justifikasi hasil quick count yang rupanya berbeda dengan survei elektabilitas partai yang sudah mepet menjelang masa tenang itu.
Fakta Menarik di Balik Pileg 2014
Golkar
memang sulit dibendung. Akar politik Golkar sudah menjamah ke
pelosok-pelosok desa. Pun fanatisme masyarakat terhadap Golkar –dan
pada beberapa hal terhadap Soeharto— Nampak sulit direduksi dan disalip
partai lain. Sehingga bukan kejutan melihat Golkar bertengger di posisi
dua. Banyak pihak sudah memprediksi itu. Sementara Hanura harus mengubur
mimpinya memajukan Win-HT sebagai capres cawapres sekalipun sudah
kampanye besar-besaran di media-media milik pengusaha Harry
Tanoesoedibyo. Berbeda dengan Gerindra yang melejit ke posisi ketiga
sebagai buah dari “kemenakjuban” Prabowo Effect.
Yang tak
kalah mengejutkan adalah suara PDIP. Sebelum pemilu, sejumlah survei
sempat menyebut elektabilitas partai moncong putih itu menembus 30
bahkan 35%. Jokowi effect yang dibesarkan oleh media rupanya tak
terlalu signifikan. Artinya, seluruh partai harus mencari teman koalisi
untuk memenuhi ambang presidential treshold 25% atau parliamentary threshold
20% sebagai syarat calonkan presiden. Di sinilah posisi partai-partai
Islam yang memenuhi deretan partai papan tengah menemukan
signifikansinya.
Peta Partai Islam
Raihan suara partai papan tengah yang relatif merata menjadi penentu peta koalisi pada pilpres mendatang. Versi quick count, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) meraih suara mengagumkan dengan perolehan
suara di atas 9%. Selain berhasil mengonsolidasikan basis suara
tradisional Nahdlatul Ulama, strategi Muhaimin Iskandar, ketua Umum PKB
mem-publish calon presiden dari kalangan public figure seperti Rhoma Irama, Jusuf Kalla, dan Mahfudh MD sebagai vote getter cukup
jitu untuk mendongkrak suara PKB yang pada Pemilu lalu hanya memperoleh
suara 4.9%. Ketiga tokoh itu memiliki basis massanya sendiri. Sebagian
pengagum musisi Ahmad Dhani juga nampaknya terpengaruh untuk memberikan
suaranya ke PKB setelah melihat pemillik Republic Cinta Manajemen itu
beriklan untuk PKB. Hanya saja PKB harus berhati-hati, karena suara
besar tak mesti berbanding lurus dengan perolehan kursi di parlemen.
Suara PKB besar di Pulau Jawa yang Bilangan Pembagi Pemilih-nya lebih
tinggi. Bisa jadi, sekalipun bersuara besar, tapi raihan kursi PKB di
parlemen lebih sedikit daripada PAN atau bahkan PKS. Hal ini tentu akan
berefek pula pada bargaining position dalam peta koalisi. Harga kursi di pulau Jawa memang “lebih mahal” daripada kursi dari Daerah Pemilihan (Dapil) lain.
Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga meraih kenaikan suara sekalipun tidak signifikan. Over all
suara partai-partai Islam cukup baik pada Pemilu kali ini. Yang cukup
mencuri perhatian adalah suara Partai Keadilan Sejahtera. Versi quick count,
PKS bertengger pada posisi 6.5% menurut data Lingkaran Survei
Indonesia, atau 7% versi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC),
jika margin of error dari survei dengan metode multistage random sampling
itu sebesar 1%, maka suara PKS akan berkisar antara 5,5 hingga 8 %.
Sebuah pertahanan yang mengagumkan di saat pemberitaan mengenai PKS
begitu negatif di media massa. (lihat rilis survei Pol-Tracking
Institute berjudul “Prediksi Elektabilitas Partai pada Pemilu 2014:
Mengukur Pengaruh Pencapresan Jokowi dan Tone Pemberitaan 15 Media Mainstream pada Masa Kampanye”.
Raihan
suara PKS ini mematahkan pandangan (atau keinginan?) sejumlah pengamat
yang menyebut riwayat PKS akan berakhir di bawah 3%, sekaligus
membuktikan bahwa mesin partai dakwah tersebut bekerja dengan sangat
efektif. Di tengah terpaan badai sedemikian rupa, bisa bertengger pada
posisi 6-7% untuk PKS saya kira termasuk prestasi yang luar biasa.
Artinya, suara PKS hanya turun sedikit dari Pemilu 2009 yang meraih
suara sebesar 7.8%. PKS sebetulnya “merugi” (dalam tanda kutip) karena
Mahkamah Konstitusi meloloskan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai partai
politik peserta pemilu 2014 pasca pakar hukum Yusril Ihza Mahendra
mengajukan gugatan. Jika saja PBB tidak ikut Pemilu, maka basis massa
PBB sebesar 1.39% kemungkinan besar akan melimpah ke PKS, mengingat
irisan konstituen antara PBB dan PKS yang relatif dekat sebagai pewaris
Masyumi. Massa PBB bagi PKS cukup berharga untuk menambah raihan suara
mencapai 8% melampaui PAN.
Deretan partai-partai Islam, atau
berbasis massa Islam sebagai papan tengah di atas, merupakan penentu
bagi peta perpolitikan Indonesia, terutama menjelang koalisi menuju
pilpres. Kekuatan partai Islam terletak pada bargaining position-nya
untuk menjadi pilihan bagi, setidaknya, tiga partai besar sebagai
pasangan calon wakil presiden. Secara kasar kita tinggal mengira
pasangan misalnya Jokowi-Hatta, Prabowo-HNW, ARB-Mahfudh, dan sejumlah
skenario lain di mana tiga partai besar akan meminang partai-partai
papan tengah untuk raup dukungan.
Partai Islam Berkoalisilah!
Tetapi
peta politik akan menjadi sangat menarik, jika pada Pemilihan Presiden
nanti partai-partai Islam ‘jual mahal’ dengan tidak berkoalisi dengan
tiga partai pemenang. Partai-partai Islam bisa berkoalisi membentuk
poros tengah jilid baru sebagai mana dulu dilakukan secara ciamik oleh
Amien Rais, yang berhasil mengantarkan ketua PP Muhammadiyah itu sebagai
ketua MPR, dan ketua PBNU, Abdurrahman Wahid sebagai Presiden.
Partai-partai Islam dapat bergabung dalam sebuah ‘politik aliran’ yang
berbasis massa Islam. Politik aliran tidak dapat dibungkam sekalipun
banyak pihak mengatakan doktrin Clifford Geertz era 50-an itu sudah
tenggelam.
Fakta munculnya Kajian Politik Islam yang cukup ramai
di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru, atau Deklarasi Capres Ummat Islam di
Masjid Islamic Center, Sentul beberapa waktu lalu, atau menyebarnya
pesan broadcast anti agama tertentu dan kampanye-kampanye yang
menggunakan semangat dan simbol agama adalah fakta bahwa politik aliran
di Indonesia tak akan pernah mati. Tentu bukan bermaksud untuk
menghidupkan kembali nuansa lama itu, tetapi untuk menunjukkan bahwa
memang politik aliran itu masih eksis dan akan tetap ada.
Tentu
akan menjadi sebuah tantangan dan dinamika politik yang sangat menarik,
jika pimpinan partai-partai Islam rela meninggalkan egoismenya, untuk
kemudian bersatu. Akumulasi dari raihan suara partai-partai Islam
mencapai 29-32%, sebuah suara yang lebih dari cukup untuk mengajukan
capres alternatif, sekaligus menyulitkan hasrat capres dari tiga partai
pemenang Pemilu lainnya yang galau mencari cawapres.
Masalah
konsolidasi bersama di parlemen yang membutuhkan setidaknya 50% tambah
satu suara tentu bisa dinegosiasikan menyusul. Partai Islam,
bersatulah!
Kamis, 16 April 2015
Menanti Koalisi Partai - Partai Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar