September silam, sebuah pesan whatsapp dari nomor asing masuk ke handphone
saya. Isi pesan itu berisi curahan hati seorang murabbi tentang binaan
yang “lebih berkualitas” dari dirinya. Binaan itu baru menyelesaikan
studi di kota besar, berpendidikan tinggi, lebih paham syariah pula.
Sebagai murabbi tentu ia bangga punya binaan berkualitas luar biasa, ia
berharap sang binaan dapat membantunya membenarkan apa yang keliru,
meluruskan apa yang bengkok, membersihkan yang masih bernoda.
Namun
harapan tinggal harapan. Yang kemudian terjadi adalah tiap kali majelis
halaqah digelar, binaan tersebut tampil lebih dominan daripada Murabbi,
sehingga acap memunculkan ketidakharmonisan dengan binaan lain.
Mendapat
pesan itu, saya jadi teringat cerita murabbi saya dulu dengan kisah
yang nyaris serupa. Beliau adalah sarjana ilmu agama Islam, jurusan
Aqidah di Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Tak berbeda dengan mahasiswa fakultas Ushuluddin
lainnya, murabbi saya ini adalah alumni pondok pesantren, dengan
penguasaan bahasa Arab dan kemampuan membaca kitab kuning atau turats yang tak diragukan. Dengan kemampuan seperti itu, beliau diterima bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah Islam.
Karena
harus pindah rumah, suatu hari beliau punya murabbi baru. Dibanding
dirinya yang sarjana ilmu agama dan seorang wartawan, murabbi barunya
ini hanya tamatan SMA, bekerja sebagai buruh pabrik, dan tidak pula
menguasai ilmu-ilmu syariah. Namun tak ada yang berbeda sama sekali
dengan jalannya halaqah, karena beliau paham beginilah jalan dakwah
mengajarkan kita: siapapun yang ditunjuk untuk menjadi murabbinya, ia
akan taruh ihtiram, mahabbah, dan ketaatan sebagaimana seharusnya. Ia pahami siapa jundi siapa qa’id. Sesekali ia membetulkan tulisan Arab sang murabbi yang keliru, kurang alif dan lam,
misalnya, dan seterusnya. Pun, sang murabbi tak merasa tersinggung
ketika dibetulkan, dengan kerendahatian ia syukuri punya binaan yang
memang lebih paham bahasa Arab.
Dari kasus ini, ada mutiara yang
dapat kita petik. Kita perlu garisbawahi bahwa Murabbi adalah pemimpin
dalam halaqah, kebanggaan terhadap binaan tidak boleh menjadikan murabbi
merasa minder dengan kualitas yang tak sebaik binaan. Halaqah adalah
majelis tarbawi, setiap anggota dapat berbagi ilmu dan
pandangan-pandangan pribadi, tetapi otoritas mengendalikan halaqah tetap
ada pada murabbi. Kondisi tersebut selayaknya menjadikan murabbi
terpacu untuk berupaya lebih keras dalam meningkatkan kualitas ilmu dan
amal. Setiap kita tak pernah terlalu tua untuk terus belajar.
Sebaliknya
bagi binaan, hendaknya tumbuh kesadaran di dalam dirinya bahwa
pemahaman terhadap gerakan tak hanya ditentukan oleh ketinggian ilmu
syariah semata-mata, tapi juga oleh pengalaman yang lebih panjang. Pun,
kebijaksanaan atau hikmah dalam menjalani kehidupan berharakah sejatinya
selain erat dengan ilmu pengetahuan, juga oleh usia dalam berjamaah,
meski dalam beberapa kasus tentu tak selalu sama.
Tentu tidak
semua murabbi memiliki kualitas ilmu syariah yang tinggi, hendaklah kita
memahami itu, seraya meyakini bahwa ia terus berbenah tingkatkan
kualitas keilmuan dan kedalaman ibadahnya. Jangan sampai, karena
memahami kompetensi syariah murabbi yang dirasa kurang, lalu menjadikan
kita malas hadir dalam halaqah. Kehadiran kita dalam majelis halaqah
adalah karena kita yakin bahwa kita merupakan bagian dari sebuah gerakan
yang teratur, dan halaqah adalah basis terkecil dari gerakan besar itu.
Jika kita ingin terlibat di dalamnya maka semestinya kita kuatkan
komitmen untuk hadir sehingga tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan
darinya.
Sekalipun seseorang lebih memiliki wawasan keislaman,
lebih memiliki keutamaan di hadapan kaum Muslimin, hendaklah ia pahami
bahwa jika keputusan telah diambil dan ia ditempatkan menjadi mutarabbi,
hendaklah ia memiliki kerendahatian untuk taat, bahwa murabbi adalah
panglima. Kita semua sadari bahwa majelis halaqah bukan semata-mata
majelis ilmu, kita bisa peroleh itu dalam majelis lain, seperti kajian
tatsqif, mabit, atau jalasah ruhiyah. Bukankah Usamah bin Zaid, yang
demikian masih hijau, pernah diperintah Nabi untuk menjadi panglima
sementara di antara pasukannya terdapat sahabat-sahabat senior dan
pemuka kaum Muhajirin dan Anshar? Tak ada yang menolak dan membangkang
dengan perintah Usamah sebagai panglima perang, bahkan pasukan itu,
sebagaimana digambarkan oleh Khalid Muhammad Khalid, sukses dan kembali
tanpa meninggalkan seorangpun korban.
Demikianlah, kerendahatian
para sahabat, yang sekalipun memiliki ilmu lebih tinggi, tapi pemahaman
terhadap al-qiyadah wal jundiyah demikian meresap erat, bahwa pada satu
masa kita menjadi jundi, dan akan ada masanya menjasi qa’id. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar