
Prolog
Tanggal 22 hingga 28 Oktober
lalu, saya ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perhelatan Bas Belia
MABIMS 2014 yang berlangsung dari Kota Pahlawan, Surabaya, hingga berakhir di
Pulau Dewata, Bali. Acara ini adalah program tahunan kerjasama empat negara di
kawasan Asia Tenggara yang memiliki Kementerian Agama. Mabims sendiri, adalah
akronim dari Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Program Bas Belia Mabims
ditujukan sebagai sarana perekat persaudaraan di kalangan pemuda empat negara
serumpun yang “kebetulan” memiliki akar
budaya yang serupa meski tak sama: yakni berakar pada budaya Melayu.
Saya sebut “kebetulan” karena jika Timor Leste, misalnya, memiliki Kementerian
Agama, tentu akar budaya Bas Belia MABIMS jadi tak serupa.
Tahun 2014 adalah giliran Indonesia
menjadi tuan rumah setelah tahun lalu kegiatan yang sama digelar di Malaysia.
Sebagai tuan rumah, banyak hal yang saya sampaikan pada rekan-rekan mengenai
Indonesia, baik secara sosial, budaya, hingga toleransi agama.
Menyusuri Khazanah Islam di Pesisir Jawa
Sesuai namanya, ‘Bas Belia’ yang
berarti ‘Bis Anak-anak Muda’, perjalanan ini terutama ditopang oleh mobil bis
yang mengantar seluruh peserta sejak dari Surabaya hingga Denpasar melalui jalur
darat dan selat Bali. Seluruh delegasi –masing-masing sepuluh orang dari Brunei
Darussalam, Malaysia, dan Singapura, dan dua belas dari Indonesia—diajak untuk
menyusuri kekayaan khazanah Islam di pesisir Jawa, yang secara sosio-kultural
memiliki perbedaan dengan model Islam di pedalaman.
Dalam kerangka itu, selain
mengunjungi sejumlah masjid dan madrasah, kami diantar menuju pondok-pondok
pesantren ternama di Jawa Timur, mula dari Pondok Pesantren Amanatul Ummah,
Surabaya, Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah, Situbondo, Pondok Pesantren
Darussalam, Banyuwangi, hingga Pondok Pesantren di daerah minoritas Muslim,
yakni Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Denpasar.

Yang kemudian menumbuhkan
keinsafan di dalam diri adalah, apa yang kami lihat di pesantren tersebut
nampak berbanding terbalik dengan citra lembaga pesantren yang acap digambarkan
tertinggal, kolot, dan ketinggalan zaman. Yang nampak justru sebaliknya, kami
disuguhi deretan prestasi pondok pesantren yang tidak kalah dengan lembaga
pendidikan umum. Banyak sekali alumni pondok pesantren tersebut yang
melanjutkan pendidikan ke universitas favorit baik dalam maupun luar negeri.
Bahkan, sejatinya pesantren justru memiliki nilai lebih, karena selain menerima
mata pelajaran umum, para santri dididik dengan materi keagamaan yang sangat
memadai sehingga worldview yang
tertanam dalam benak mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tetap
dibingkai dalam pagar islami, sebuah doktrin yang tidak bisa dilepaskan oleh
para santri, sejauh apapun mereka mengembara selepas dari pesantren itu.
Pihak panitia bukan tanpa sebab
mengajak kami menyusui khazanah Islam pesisir. Sebagaimana disampaikan dalam
sambutan acara, program Bas Belia Mabims yang menyusur garis pantai utara Jawa
Timur hingga Bali adalah untuk memperkenalkan para peserta pada corak keislaman
model pesisir. Sejumlah studi memang memberitahu kita, bahwa corak Islam
Pesisir dan Islam Pedalaman memiliki sejumlah perbedaan, bahkan pada masa lalu,
perbedaan ini tak jarang berimplikasi negatif berupa konflik antar kerajaan.
Sebuah studi yang ditulis oleh
Mudjahirin Thohir (2006) berjudul Orang-Orang
Islam Jawa Pesisiran misalnya, menggambarkan bahwa masyarakat pesisir (yakni
penduduk yang tinggal di wilayah garis pantai), memiliki kepribadian yang lebih
terbuka, lugas, dan egaliter. Masyarakat pesisir secara geopolitik juga jauh
dari kerajan di pedalaman yang feodal, namun justru dekat dalam hal perniagaan
dengan pedagang-pedagang mancanegara semisal dari Timur Tengah, Tiongkok,
India, dan seterusnya. Interaksi ini juga memengaruhi bagaimana mereka menerima
Islam, termasuk kemudian, pada bagaimana mereka bertindak dalam nafas keislamannya
yang khas.
Berbeda dengan corak Islam
pesisir, model Islam pedalaman secara antropologis dipandang lebih tertutup,
juga lebih menekankan pada kerukunan dan keselarasan sebagaimana kita kenal
dalam falsafah-falsafah Jawa seumpama gemah
ripah loh djinawi tata tengtrem kerta rahardja, dan sebagainya (Franz
Magnes: 2003). Corak seperti ini, dalam hal tertentu, dipandang sebagai
hambatan bagi demokratisasi yang memestikan egalitarianisme pada seluruh
rakyat.

Untuk melihat satu corak
keberislaman di tanah Jawa itulah kemudian seluruh peserta diajak berkunjung ke
pusat-pusat pendidikan Islam tradisional di daerah pesisir sebagaimana
disebutkan di muka. Adapun model Islam pedalaman pernah disusuri oleh senior
kami pada Program Bas Belia Mabims tiga tahun lalu yang juga digelar di
Indonesia. Dalam kegiatan yang serupa dengan “rihlah edukatif” ini, antusiasme
peserta terlihat demikian besar, terutama ketika mengunjungi pesantren. Seorang
sahabat dari Singapura di sebelah saya berdecak kagum melihat ribuan santri
yang berkumpul menyambut kedatangan delegasi, dan semakin kagum ketika
diinformasikan bahwa jumlah santri di pondok pesantren tersebut mencapai dua
belas ribu orang. Tentu ini sebuah angka yang sangat besar jika dibandingkan
populasi umat Islam di Singapura.
Saya menyampaikan kepadanya bahwa
model pendidikan a la pesantren
semacam ini telah berlangsung berabad-abad lamanya di Indonesia, ribuan santri
itulah, yang nanti akan kembali ke kampung halaman masing-masing untuk menjadi
guru ngaji, ustadz, imam masjid, di seluruh penjuru Nusantara. Secara umum,
mereka akan dihormati di kampung masing-masing karena dipandang telah memiliki
ilmu agama yang baik. Saya katakan, “insya Allah, Islam di Indonesia akan tetap
berjaya selama masih ada ribuan santri yang tekun mempelajari agama seperti
yang saat ini kita lihat”. Matanya terlihat berbinar waktu itu.
Belajar Toleransi dari Bali
Hal yang tak kalah menarik adalah
ketika seluruh peserta diajak ke pusat studi Islam di Bali, juga mengikuti
seminar bertajuk “Titik Temu Islam dan Budaya Bali”, tema yang menarik
mengingat Bali merupakan sebuah “pulau minoritas Muslim”. Penganut agama Islam
di Bali adalah minoritas terbesar yakni 520.244 jiwa atau 13,37% dari total penduduk
Bali. Sementara lebih dari tiga juta lainnya beragama Hindu.
Sebuah pelajaran penting yang
dapat diambil dari kunjungan ke Bali adalah toleransi agama yang patut menjadi
pelajaran bagi daerah lain di Indonesia. Dalam seminar yang menghadirkan
narasumber dari tokoh Islam dan Hindu itu, kami mengetahui bahwa di Bali, umat
Islam dan Hindu saling menghormati dan bertoleransi tanpa perlu mencampuradukan
akidah. Umat Hindu tidak melarang pemeluk agama Islam untuk shalat Jumat,
mengumandangkan adzan, keluar rumah, menyalakan lampu, dan sebagainya ketika
Hari Raya Nyepi jatuh pada hari Jumat, misalnya. Sebaliknya, Umat Islam
menghormati pemeluk Hindu yang sedang melakukan Tapa Brata pada Hari Raya Nyepi itu dengan tidak membunyikan speaker ketika adzan atau khutbah, atau tetap
menyalakan lampu kamar namun dibuat sedemikian rupa supaya tak nampak dari luar
rumah dengan tujuan agar tak ada penganut agama Hindu yang merasa tersinggung.
Hal ini demi menjaga perasaan dan kerukunan sesama pemeluk agama.
Ketika tiba hari Galungan dan
Kuningan, umat Hindu merayakannya dengan mengirimkan “hantaran makanan” kepada
tetangganya yang Muslim, dan diyakini memenuhi syarat halal bagi umat Islam. Pun ketika tiba Hari Raya
Lebaran atau Idul Adha, umat Islam merayakan kebahagiaan dengan memberikan
“hantaran makanan” yang disebut dengan ngejot
kepada tetangganya yang beragama Hindu. Bahkan, pada hari Raya Idul Fitri,
umat Hindu ikut “memasak lebih banyak” dan mengenakan baju baru selayaknya umat
Islam berhari raya. Nilai luhur yang dipahami disini, sebagaimana disampaikan
Narasumber I Nyoman Arya, Kepala Kankemenag Kabupaten Badung, adalah bagaimana umat
Islam dan Hindu di Bali bisa memisahkan mana ranah akidah, dan mana ranah
budaya yang termasuk kategori muamalah, sehingga toleransi dapat berjalan
harmonis, kerukunan tetap terjaga, tradisi tetap lestari tanpa harus
mencampuradukan akidah dari dua agama berbeda.
Toleransi paling dramatis yang
saya dengar dari I Ketut Arya adalah bagaimana tokoh-tokoh agama Hindu dan
Islam di Bali melakukan musyawarah pasca peristiwa Bom Bali dimana pelakunya
membawa identitas agama. Saat itu, para tokoh agama Islam dan Hindu kemudian
bersepakat bahwa aksi bom tersebut bukan merupakan ajaran agama. Kemudian,
untuk menghindari aksi intoleransi antar umat beragama, tetua-tetua adat
memerintahkan para pecalang (polisi
adat Bali), untuk menjaga kampung-kampung Islam dan rumah-rumah umat Muslim
agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini adalah sebentuk toleransi
yang luar biasa.
Di Bali sendiri ada sejumlah
kampung dimana Umat Islam menjadi mayoritas, terutama di Loloan, kemudian di
Kecamatan Karangasem (11.729 jiwa), kecamatan Bebandem (4.438 jiwa), dan
lain-lain. Bahkan, di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng,
Bali Utara, yang berpenduduk 4.821 jiwa, penggunaan nama khas Bali seperti
seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau Nengah
(anak kedua); Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga); dan Ketut (anak
keempat), tetap melekat pada pemeluk agama Islam sekalipun di belakang nama
mereka acap menggunakan nama Arab yang dipandang sebagai identitas Islam.
Penduduk Pegayaman adalah
penduduk asli Bali, bukan pendatang. Tidak ada perbedaan mencolok dalam
kehidupan sosial di antara dua penganut agama tersebut kecuali tidak adanya padmasana di sudut depan rumah sebagaimana lazimnya
pemeluk Hindu di Bali.
Islam di Bali memang sudah masuk
berabad silam sejak zaman Raja Gelgel pada abad XIV, juga zaman Raja Panji
Sakti (abad XV) di Buleleng yang mendapatkan hadiah 80 orang prajurit Muslim
dari Jawa untuk menjaga kerajaannya dari
serangan pasukan dari Selatan Bali.
Mensyukuri Indonesia
Dalam kegiatan yang berlangsung
selama satu pekan itu, kami banyak berbincang mengenai negara masing-masing.
Tentu, setiap negara memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Dalam diskusi
mengenai pendidikan, kesehatan, perkembangan ekonomi, dan seterusnya di antara
empat negara itu, saya memahami bahwa di antara kita boleh berbangga dengan
negara masing-masing. Tak terkecuali Indonesia.
Dalam framing kegiatan Bas Belia Mabims bersama sahabat dari Brunei
Darussalam, Malaysia, dan Singapura itu, kesyukuran saya menjadi orang Indonesia
salah satunya karena ia merupakan negara terluas di antara negara peserta lain.
Jika hanya diukur dari luas
daratannya saja, Indonesia berada di peringkat 15 negara terluas di dunia.
Namun jika diukur dengan luas lautnya, maka total luas wilayah Indonesia adalah
7.9 juta km² yang terdiri dari 1.8 juta km² wilayah daratan dan 3.2 juta km²
wilayah laut territorial, serta 2.9 juta km² laut perairan Zona Ekonomi
Eksklusif. Itu adalah wilayah yang sangat luas.
Untuk mengetahui betapa luasnya
Indonesia, kita bisa simulasikan, misalnya jika kita tumpangkan peta Indonesia
di atas peta China, maka ia akan membentang dari China Barat hingga ke Kepulauan
Jepang. Jika peta Indonesia itu ditumpangkan di atas peta India, maka luas
Indonesia akan membentang mulai dari Pakistan di Barat hingga ke laut China
Selatan di timur. Negara Indonesia yang membentang dari 6˚08΄ LU hingga 11˚15΄
LS, dan dari 94˚45΄ BT hingga 141˚05΄ BT adalah negara yang sangat luas.
Wilayah Indonesia dengan lautnya, hampir sama dengan luas benua Eropa atau
dengan luas Amerika Serikat dan Australia. Sebuah wilayah yang setara dengan
jarak dari Inggris di Barat Eropa hingga ke Laut Kaspia di Asia Tengah.
Pun dengan jumlah penduduk Muslim
di Indonesia (dalam konteks acara Mabims yang concern pada dakwah Islam), estimasi populasi umat Islam Indonesia
pada 2013, berdasarkan survey BPS tahun 2010, adalah sekitar 230 juta jiwa.
Ketika saya menghitung jumlah penduduk negara-negara Arab melalui data di laman
wikipedia, rupanya angka 230 juta ini
lebih besar daripada jumlah seluruh penduduk Timur Tengah apabila disatukan,
dengan mengecualikan negara Afrika Utara selain Mesir. Selain sebagai
tantangan, jumlah ini tentu merupakan sumber daya yang sangat besar sekiranya
mampu diberdayakan secara baik. Kekayaan dan luas wilayah Indonesia adalah
anugerah yang demikian besar. Dengan pengelolaan yang benar dan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang juga baik, saya optimis di masa depan, negara kita
akan tumbuh menjadi bangsa yang besar.
Dan tentu saja, hal lain yang
saya syukuri “menjadi Indonesia”, adalah alam politik Indonesia yang lebih
demokratis. Dalam hal ini, Indonesia bisa kita sebut sebagai negara paling
demokratis di Asia Tenggara, bahkan salah satu negara demokrasi terbesar di
dunia. Demokrasi memang tidak menjanjikan kekayaan sekalipun ia kita perlukan,
tetapi demokrasi menjamin kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi memberikan
jaminan kepada kita untuk bebas bicara secara bertangungjawab, demokrasi
memberikan kepada kita hak politik yang adil dan setara. Hal yang sulit kita
temukan di negara selainnya.
Epilog
Tentu saja, kecintaan kepada
Indonesia itu tidak mengurangi rasa hormat dan kecintaan kepada sahabat dari
negara serumpun. Bagaimanapun, interaksi yang hanya satu pekan itu telah memberikan
kesan yang mendalam. Hal ini karena persaudaraan sesama manusia, terlebih
sesama Muslim, tidak mengenal batas negara. Keakraban yang terjalin di atas
diskusi dan canda bersama rekan-rekan dari negara serumpun adalah hal yang tak
akan mungkin –dan tentu saja tak ingin—kami lupakan.
Apa yang kerap muncul di sosial
media mengenai “permusuhan” sesama negara serumpun adalah hal yang tidak
diperlukan. Yang perlu kita bangun adalah persahabatan antar negara untuk
kehidupan dan peradaban yang lebih baik.
Itu sebabnya sekalipun Program
Bas Belia Mabims 2014 telah selesai, interaksi di antara kami di dunia maya
melalui facebook dan whatsapp masih terjalin untuk saling
bertukar informasi mengenai perkembangan banyak hal di negara masing-masing.
Menutup artikel sederhana ini, saya ingin sampaikan pantun yang rupanya telah
menjadi trade mark dalam Program Bas Belia Mabims.
Pergi ke hutan melihat rusa
Rusa bersedih sebatang kara
Salam dari kami wakil Indonesia,
Ingat-ingatlah, kita semua bersaudara.
Pesulap berucap ‘sim salabim’
Tongkat diubah menjadi dupa,
Senang hati ikut Bas Belia Mabims
Kenangan bersamamu, takkan kulupa
Ke Bekasi membeli Minyak
Terimakasih banyak
***
0 komentar:
Posting Komentar