“Islam merupakan suatu sistem komprehenshif, atau dalam bahasa Arab disebut al-Diin sehingga dikenal dengan Diinul Islaam. Pengertian Diin
sendiri melingkupi segala permasalahan yang melintas batas material
spiritual, pribadi dan kemasyarakatan, dan dengan sendirinya dunia dan
akhirat. Dengan demikian, Diinul Islaam bukanlah semata sebuah agama, dan Diinul Islaam tdk semata mengurusi akhirat.
(Fahri Hamzah, Negara, Pasar, dan Rakyat, h.353)
***
Barangkali sementara rekan akan sulit memahami pandangan saya terhadap
Fahri Hamzah, Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) pertama, yang kemudian menjadi politisi muda “kontroversial”
dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Saya katakan sulit dipahami, karena tak sedikit di antara rekan yang
menyangka tulisan saya di Kompasiana Agustus lalu yang berjudul Kader PKS, Mari Belajar Bersama (yang
bikin followers saya bertambah 500 orang) ditujukan untuk mengritik
sikap politik Fahri Hamzah.
Sekalipun saya memahami penilaian tersebut
sah sebagai persepsi publik, namun saya ingin katakan tidak. Tulisan
tersebut sama sekali bukan untuk mengritik Fahri Hamzah karena
sejujurnya saya kagum terhadap keberanian eksponen mahasiswa ‘98 itu
ketika bicara dan keberaniannya pasang badan di depan media. Ia tak
sedikitpun takut untuk tidak populer karena pilihan sikap politik dan
idealismenya. Ia tentang siapapun yang ia anggap tak rasional. Fahri
Hamzah adalah seorang orator ulung. Lihat bagaimana ia membungkam Adian
Napitupulu, mantan aktivis Forum Kota (Forkot) dalam acara Debat
di TVOne, ketika berkali-kali aleg PDIP itu mengritik Lembaga DPR.
Fahri membunuh debat itu sembari berkata, “Anda bicara seolah Anda bukan
orang partai, apa yang Anda lakukan untuk PDIP?” kita tahu, PDIP
termasuk partai dengan koleksi koruptor terbanyak di Negeri kita.
Di kalangan aktivis reformasi ‘98, Fahri Hamzah bertengger dalam posisi yang populer. Rekan-rekan seperjuangan Fahri dulu adalah Indra J.Piliang, Fazlurrahman, Adian Napitupulu, Andi Arif, Rama Pratama, Desmon Mahesa, dll. Mereka adalah pentolan di antara ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung MPR dan melahirkan era baru politik Indonesia. Akhirnya, berbeda dengan dulu, anak-anak sekolah kini mengeja sejarah Indonesia modern dalam tiga fase: Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi.
Mereka itulah, bersama elemen-elemen mahasiswa yang dibawanya, yang
berdarah-darah memperjuangkan demokratisasi di tanah air hingga kita
punya kebebasan berekpresi seperti hari ini. Menjadikan Indonesia
berjejer sebagai Negara paling demokratis di dunia. Sesekali lihatlah
dokumentasi Reformasi 1998 itu di Youtube dan biarkan badan
anda merinding ketika melihat para mahasiswa itu bertakbir, sebagian
bersujud syukur, sebagian berteriak merdeka ketika akhirnya Soeharto
memilih lengser. Agar tahu, sekalipun Anda boleh membenci mereka, bahwa
mereka tetap punya andil atas reformasi kita hari ini.
Ngomong-ngomong, budayawan Butet Kartaredjasa yang pernah menyetarakan makian asu dan juancuk dengan “Fahri, lu!” di Twitternya, dimana dia waktu reformasi ‘98? #oops!.
Fahri Hamzah Anak Sumbawa
Fahri Hamzah lahir di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 10
Nopember 1971. Dia adalah deklarator sekaligus ketua umum pertama
organisasi gerakan mahasiswa yang diperhitungkan di tanah air, Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). KAMMI merupakan satu-satunya
elemen mahasiswa pendukung B.J. Habibie sebagai penerus tongkat estafet
kepemimpinan tanah air di saat elemen mahasiswa lain ketika itu
menganggap Habibie sebagai kroni Soeharto.
Fahri banyak menulis di media sejak masih mahasiswa, menulis artikel ini
saya sempatkan diri membaca satu buku tebalnya berjudul Negara, Pasar,
dan Rakyat untuk membaca pemikiran politik dan ekonominya sebagai
seorang legislator.
Terlepas dari kontroversinya, hal yang perlu diketahui publik adalah,
ayah tiga anak ini merupakan peraih suara terbanyak di Daerah Pemilihan
(Dapil) NTB dengan raihan 125.083 suara, sekaligus bertengger dalam
daftar “Top 50 Aleg Peraih Suara Terbanyak Nasional”. Fahri bahkan mengalahkan kyai
Hidayat Nur Wahid (Dapil Jakarta II) yang meraih 119.267 suara. Capaian
Fahri ini sekaligus mendudukan Pria Muda, Mapan, dan Tampan (eh..)
berumur 43 tahun itu sebagai aleg dengan suara tertinggi di partai
dakwah!

Tentu saja, raihan suara ini tidak lahir dari ruang hampa. Jika
rekan-rekan mengatakan capaian ini merupakan hasil kecurangan, saya kira
itu hanya sebentuk ketidaksiapan menerima kebesaran orang lain.
Terlepas Anda bersetuju atau tidak dengan style Fahri, faktanya
lebih dari 125ribu Rakyat NTB mengamanahkan suaranya melalui tangan
Fahri Hamzah, politisi muda yang belum genap 45 tahun itu. kita mesti
hormati pilihan publik yang berbeda dengan kita, itu sah dan
konstitusional.
Fahri Hamzah adalah anak Sumbawa. Jika kita mempelajari antropologi nilai-nilai budaya masyarakat Sumbawa, kita akan paham bagaimana nilai budaya masyarakat Sumbawa —dan NTB secara keseluruhan—sangat lekat dengan Islam. Tak Percaya? terbanglah ke NTB, lalu susuri jalan raya. Anda akan lihat Masjid-masjid megah berdiri berdekatan sepanjang jalan. Bahkan amat mengherankan bila ada orang yang mengaku orang Sumbawa namun tidak beragama Islam, sebab pasca penaklukkan Kerajaan Hindu Utan oleh Kerajaan Gowa-Sulawesi beberapa abad lalu, proses Islamisasi di sana berlangsung gemilang lewat segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, hingga tradisi yang diselaraskan dengan ajaran Islam. Hal ini juga tercermin dalam syair-syair tradisional di Sumbawa.
Sejak munculnya pengaruh Islam pada abad ke-16, dapat dikatakan Sumbawa
nyaris tak mengenal unsur kepercayaan di luar Islam. Diyakini hanya
Islamlah yang mampu mengikat rasa persaudaraan dan mempersatukan
berbagai perbedaan etnik pendatang yang telah turun-temurun. Secara
umum, panggilan Tuan Guru Haji adalah panggilan yang sangat dihormati di
NTB. Terpilihnya kembali seorang gubernur yang juga seorang ustaadz kharismatik
di NTB, Dr.KH.Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majdi (semoga dapat jumpa
kembali, pak), menunjukkan sentimen agama merupakan faktor dominan dalam
lanskap sosial kemasyarakatan di NTB. Secara keseluruhan, agama Islam
dianut oleh mayoritas warga NTB, yakni 96%, lebih tinggi dari rata-rata
nasional. Itulah mengapa Islam sudah menjadi nafas yang menyatu dalam
pribadi masyarakat NTB.
Sekalipun demikian, Fahri bukan merupakan sosok ekslusif dalam memahami
ragam agama. Ia cukup moderat untuk hidup berdampingan dengan penganut
agama lain dalam hubungan sosial yang egaliter. Nampaknya ini nilai yang
dibawa Fahri sebagai anak pesisir yang berkultur lebih terbuka, dan
menjadi semakin matang berkat pergaulan yang luas dan beragam.
Lihat bagaimana Fahri mengucapkan selamat Natal kepada penganut
Kristiani sebagai sesama anak bangsa. Fahri memilih pendapat moderat
yang membolehkan mengucapkan kalimat tersebut alih-alih memilih pendapat
yang mengharamkan, bahkan mem-bully Fahri atas ucapan itu. Di kalangan Ulama Islam sendiri, ucapan selamat Natal dibolehkan oleh ‘alim terkenal yang tergolong moderat, Syaikh Yusuf al-Qaradhawy, juga, mengutip eramuslim, dibolehkan
oleh Lembaga Riset dan Fatwa Eropa, dan sejumlah ulama antara lain DR.
Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustaadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al
Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustaadz
Syari’ah di Universitas Qatar, Ustaadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh
Muhammad Rasyid Ridho.
Kontroversi Fahri, Demokrasi kita, dan Negara Berdasarkan Agama
Menjadi moderat memang pilihan yang berada di antara dua titik ekstrim, tidak liberal dan tidak konservatif. Resikonya, memilih posisi ini akan hasilkan tudingan liberal oleh kaum konservatif, dan tudingan konservatif oleh kalangan liberal. Fahri Hamzah dicap liberal oleh kelompok Front Pembela Islam (FPI), dan pada saat bersamaan dianggap berbahaya oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) sebab dicurigai memperjuangkan cita-cita Islam. Dua hal kontradiktif yang terjadi pada saat yang sama.

Itulah resiko. Namun Fahri tak surut, sebagai jebolan pergerakan
mahasiswa, kuping suami dari Farida Briani itu sudah terbiasa dengan
segala macam kritik. Bagi Fahri, Kritik itu yang akan membesarkan
manusia. Tak hanya kritik, kata Fahri “dibully itu melatih jiwa kita”
Mari pahami bahwa Fahri, adalah politisi muda yang ingin memperjuangkan
kebebasan luas bagi publik untuk mengemukakan pendapat. Jika kita ingat
bagaimana Fahri berkicau di twitter mengomentari diskusi di
Salihara yang mendatangkan tokoh kontroversial Irsjad Manji, Kicauan
Fahri menunjukan betapa demokratisnya suami dari ahli bedah onkologi
itu. Berikut kicauannya:
Negara melalui polisi tidak boleh nampak lemah dihadapan konflik sebab ujungnya perang sipil.
Kasus saling serang dan konflik sosial di seluruh negeri adalah pertanda aparat negara sdh tidak dianggap.
Saya sensitif dengan kebebasan berpendapat. Sebab matinya ide adalah matinya kita semua.
Setiap komplain kita harusnya ditujukan ke aparat. Dalam hal ini#Polisi sebab itu tugas mereka menjaga wilayah publik.
Awalnya, memelihara keamanan diri masyarakat adalah tugas masing2 makanya setiap orang bawa senjata.
Ketika konsep negara lahir, senjata2 itu kita serahkan kepada negara dan
mereka menjaga kemanan kita, lahirlah #Polisi, kita gaji.
Maka kita andalkan #Polisi yg mengerti bahwa dua kelompok sipil tidak boleh saling sentuh jika ada sengketa.
Jika tetangga saya memelihara anjing yg mengancam keselamatan anak2 saya. Saya akan lapor polisi, bukan meracuni anjing itu smp mati.
Kehadiran negara ini juga adalah ciri masyarakat beradab ketika ruang publik diregulasi bersama dan kita tunduk padanya.
Dalam kaitan itulah juga kasus @salihara dan diskusi@IrshadManji kita simak. Apa masalah sebuah diskusi?
Secara subtantif UUD45 sudah menjamin kebebasan berpendapat (#freedomofspeech) jadi diskusi apapun bebas
Kalau anda tidak setuju dgn satu pendapat buatlah pendapat lain. Lalu bikin diskusi itulah #freedomofspeech
Jangan kan negara Tuhanpun membela #freedomofspeech . Salah satu tujuan syariat adalah hifdzul al aql (memilihara akal).
Kalau Tuhan aja membiarkan setan hidup kok kita menentang #freedomofspeech ? Negara harus dilarang membatasi kebebasan berbicara.
Negara harus menjamin pergumulan ide bahkan harus mengambil untung dari munculnya ide2 terbaik dari publik
Maka kita andalkan #Polisi yg mengerti bahwa dua kelompok sipil tidak boleh saling sentuh jika ada sengketa.
Jika tetangga saya memelihara anjing yg mengancam keselamatan anak2 saya. Saya akan lapor polisi, bukan meracuni anjing itu smp mati.
Kehadiran negara ini juga adalah ciri masyarakat beradab ketika ruang publik diregulasi bersama dan kita tunduk padanya.
Dalam kaitan itulah juga kasus @salihara dan diskusi@IrshadManji kita simak. Apa masalah sebuah diskusi?
Secara subtantif UUD45 sudah menjamin kebebasan berpendapat (#freedomofspeech) jadi diskusi apapun bebas
Kalau anda tidak setuju dgn satu pendapat buatlah pendapat lain. Lalu bikin diskusi itulah #freedomofspeech
Jangan kan negara Tuhanpun membela #freedomofspeech . Salah satu tujuan syariat adalah hifdzul al aql (memilihara akal).
Kalau Tuhan aja membiarkan setan hidup kok kita menentang #freedomofspeech ? Negara harus dilarang membatasi kebebasan berbicara.
Negara harus menjamin pergumulan ide bahkan harus mengambil untung dari munculnya ide2 terbaik dari publik
Kita mungkin tidak setuju dengan @IrshadManji dalam diskusi@salihara itu, tetapi biarkan dia bicara.
Mari jadikan Indonesia ini taman bunga ide2 segar seperti Bagdad zaman Abbasyiah. Wallahua’lam.
…
Jika kita seksamai kicauan tersebut tanpa tendensi atau apriori kepada Fahri, kita akan melihat bahwa pandangan-pandangan di atas sangat relevan dengan alam demokrasi modern dimana kita diberikan kebebasan untuk bicara dalam ragam pendapat. Kekerasan bukan jalan keluar atas perbedaan. Hukum dan konstitusi ditegakkan utk mendamaikan potensi konflik yang bisa muncul sewaktu-waktu. Itulah konsep Negara modern. Bahwa ada kelompok yang menolak kedatangan Irsjad Manji itu pun sah dan dibolehkan. Fahri hanya tak setuju jika kekerasan dijadikan sebagai jalan keluar untuk selesaikan persoalan.
Fahri Hamzah, tentusaja bukan Fahri dalam novel Ayat-ayat Cinta,
sosok nan sempurna yang jadi idaman para calon mertua, memang
kontroversi. Tapi tidak kontroversial sebetulnya, jika kita membacanya
dengan melihat konteks ketika statement kontroversialnya keluar.
Tudingan #sinting-nya kepada Jokowi misalnya, perlu dilihat
sebagai sebuah kritik atas capres yang banyak -umbar janji untuk sekadar
raup suara publik, dengan janji jadikan 1 Muharram sebagai Hari Santri.
Sebetulnya tagar #sinting itu adalah diksi yang tak berbeda dengan frasa “gila, lu!”, atau “stress, lu!”, frasa yang sebetulnya biasa dalam bahasa pergaulan. Ia menjadi besar, bahkan di-pressure di Mata Najwa secara politis, karena ‘digoreng’ sebagai alat demarketisasi. Ironisnya Mata Najwa atau Metro TV sendiri
tidak pernah mempersoalkan kicauan Wimar Witoelar, relawan pro Jokowi
itu, yang menuding Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia,
Muhammadiyyah sebagai bagian dari “kelompok Bajingan dan orang jahat”.
Lebih ironi karena menyusul belakangan, GP Anshor Semarang menolak 1
Muharram dijadikan sebagai hari Santri karena khawatir menimbulkan
bahaya.
Saya jadi ingat sebuah buku terkenal karangan Sayyid Qutb, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir berjudul, Ma’alim fi Thariq (Petunjuk
Jalan). Jika kita ingin memahami alam pikiran penulis buku tersebut,
kita perlu menyertakan konteks sosio-politik ketika buku itu ditulis.
Mengutip Salim Bahsanawi dalam bukunya Butir-butir Pemikiran Sayid Quthb, Sebagian aktivis yang melepaskan konteksnya ketika menikmati Ma’alim fi Thariq, akan
menjadi kaum radikal karena tak memahami alam pikiran Sayid Qutb secara
kontekstual. Itulah pentingnya kita memahami apa yang disebut oleh
William Isaac Thomas (1863-1947) sebagai ‘logika situasional’, yakni
konfigurasi faktor-faktor sosial –yang terjadi pada waktu dan
tempat—yang memengaruhi suatu gagasan ketika dicetuskan.
Demikian pula ketika memahami kicauan Fahri, perlu dilihat konteks
‘logika situasional’nya, atau dalam tanda kutip “asbaabul wurud”nya. Ia
bicara bukan dari tong yang kosong, tetapi didasari pada argumentasi
rasional yang terbuka untuk diperdebatkan.
Izinkan saya menguti beberapa paragraf tulisan Fahri dari bukunya Negara, Pasar dan Rakyat,
dan lihat bagaimana alam pikiran seorang Fahri Hamzah terhadap
demokrasi kita, sekali lagi, mari jauhi dulu apriori terhadap Fahri agar
kita bisa objektif menilai tanpa terpengaruh oleh apa yang disebut
Aaron T Beck, penggagas cognitive-behavioral therapy, sebagai distorsi kognitif. Berikut kata Fahri:
“Demokrasi tidak sekadar berlangsung pada tataran substansial, ia
memiliki cita-cita ideal dengan instrumen yang lebih mengedepankan
kemajemukan, penghargaan pada hak asasi serta jaminan partisipasi aktif
Warga Negara. Tidakkah karakter tersebut mampu menjamin manusia untuk
hidup lebih baik? jika pada kenyataannya kita belum merasakan hal itu,
bukan sistem demokrasinya yang perlu dirubah, namun kesungguhan kita
dalam berdemokrasi dan kerelaan kita untuk berkorban demi kematangan
sistem yang ada” (h.196)
Fahri melanjutkan:
“Apapun pilihan sistem politik yang dianut pada dasarnya bukanlah
persolan, namun sejauh mana gagasan kita diperjuangkan secara baik dan
benar. hal inilah yang ditunjukan demokrasi yang menghargai pilihan
individu. Jika mayoritas bangsa ini lebih memilih sistem demokrasi
sebagai sistem pemerintahan dan tata kehidupan bernegara ketimbang
agama, maka kita harus menghormati pilihan tersebut selama diproses
secara dmokratis. Pun jika pilihan mayoritas lebih memilih agama sebagai
rujukan tata pemerintahan secara simbolik, kita harus menerimanya.
Karena itu, semua tergantung pada pilihan individu dan masyarakat.
(h.196)
Mengutip Syafii Maarif, Fahri mengatakan: “Demokrasi sejalan dengan
ide modernisasi yang menuntut adanya perubahan di segala bidang
kehidupan. Tradisi Islam bukanlah warisan kaku yang mempertahankan corak
klasiknya. Meski pada awalnya Islam tidak mengenal prinsip demokrasi,
namun gagasan universal demokrasi sejalan dengan gagasan universal
Islam. Bahkan Islam lahir dengan prinsip demokrasi, meski al-Quran
sendiri tidak secara eksplisit menggambarkan struktur Negara tertentu.
Hal ini membuat organisasi politik bernafaskan Islam dapat selalu
berubah agar sesuai dengan tuntuan zaman dan kebutuhan masyarakat
Muslim.”
Bagi Fahri, “Demokrasi adalah sarana terbaik utnuk menggulirkan
cita-cita masyarakat Islam. Demokrasi bisa dipakai untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri. Karena itu
patut kiranya demokrasi dipertimbangkan untuk dipakai sebagai sarana
yang sesuai dengan tujuan Islam” (h.198)
Kalimat di atas adalah curahan kegelisahan intelektual seorang Fahri
Hamzah yang juga merupakan aktivis sekaligus politisi, dalam dalam
sebuah buku setebal 625 halaman yang perlu dibaca oleh aktivis
pergerakan. Kita akan memahami Fahri bukan politisi yang ‘asal bunyi’
atau sok sensasional seumpama seorang pengacara kondang di partai
Demokrat yang terkenal juga karena kontroversinya. Gagasan Fahri berasal
dari kontemplasi mendalam atas realitas sosial politik kita.
Bagi Fahri, memperjuangkan gagasan pada koridor konstitusi merupakan
jalan yang sah ketimbang sekadar berdebat atau menuntut ditegakkannya
Negara berdasarkan agama. PKS sendiri dalam bayan-nya ketika merespon
isu menghangatnya kembali ide Piagam Jakarta beberapa tahun lalu
menerangkan bahwa Perdebatan mengenai syariat perlu mempertimbangkan
akseptabilitas publik terlebih dahulu. Bagi PKS, Pemunculan isu
penerapan syariat di saat yang belum tepat justru dapat menjadi bumerang
bagi Syariat itu sendiri. Karena tidak dapat disangkal, realitas
pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam masih jauh dari ideal.
Pendidikan politik bagi ummat tentang landasan filosofis, tinjauan
praksis, serta dekonstruksi wacana lama tentang betapa rigidnya Syariat
Islam harus didahulukan ketimbang terburu-buru memaksakan formalisasi
disaat masyarakat belum memahaminya secara tepat. Inilah kritik terhadap
kaum strukturalisme Islam, seolah dengan formalisasi maka semua masalah
dapat diatasi.
Sayangnya, banyak yang kelirupaham mengapa Fahri mengatakan “kampungan”
atas tuntutan-tuntutan tersebut. Isu itu lagi-lagi digoreng dan
dipolitisasi sedemikian rupa. Padahal konteksnya ditujukan kepada
kelompok yang acap menuntut deklarasi Negara berdasar agama tanpa
mempertimbangkan hal-hal di atas.
Epilog
Memahami alam pikiran seorang Fahri Hamzah, tidak boleh dilepaskan dari
kapasitasnya sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan tarbiyah yang
secara kultural terus menerus berdakwah di masyarakat.
Apa yang dilakukan kelompok tarbiyah secara kultural dengan menyadarkan umat tentang “Islam yang komprehensif”, dan apa yang dilakukan PKS secara perlahan melalui jalur struktural parlemen adalah dua hal yang saling berpadu, tidak terpisah.
Saya tetap meyakini, atau setidaknya menaruh harap, tokoh muda seperti
Fahri Hamzah menjadi pemimpin di masa depan. Dengan amanah yang jauh
lebih besar dari saat ini. Sosok yang berani maju tanpa rasa takut,
tanpa sikap anti terhadap kritik, dan berani untuk tidak populer.
Fahri memang dibenci media sekuler-liberal. Beberapa kali ia
ditarik-tarik dalam pusaran kasus korupsi namun Tuhan masih menjaganya.
Sebesar apapun hasrat lawan politik untuk menjatuhkannya melalui isu
korupsi, ia masih selamat. Kini setelah ditetapkan oleh Ceu Popong lewat
palunya yang sempat euweuh sebagai Wakil Ketua DPR,
selayaknya Fahri Hamzah lebih bijak memilah kata. Indah nian sekiranya
nalar intelektual beriringan dengan perilaku cendekiawan. Selayak
perpaduan antara logika filosof dengan akhlak tasawuf. Saya mengamini
apa yang dikatakan oleh Profesor Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua MK dan
Guru Besar di Universitas Indonesia, bahwa Fahri Hamzah adalah ‘one of
the rising stars’ dalam jajaran elit kepemimpinan Indonesia masa depan.
Rekan-rekan, percayalah, Prof.Jimly, tentu bukan orang bodoh!
Rekan-rekan sila berkomentar, saya pahami barangkali kita tak sependapat dalam banyak hal.
Komentar spam tak perlu ditanggapi, karena sebetulnya teko hanya mengeluarkan isi teko.
Salam
Twitter: @mistersigit
Salam
Twitter: @mistersigit
source:
http://www.dakwatuna.com/2014/10/10/58164/memahami-fahri-hamzah-dengan-kaca-pembesar/
http://sosok.kompasiana.com/2014/10/10/memahami-fahri-hamzah-dengan-kaca-pembesar-684415.html
0 komentar:
Posting Komentar