Rabu, 19 November 2014

Laporan Kegiatan Bas Belia MABIMS 2014

 
Prolog

Tanggal 22 hingga 28 Oktober lalu, saya ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perhelatan Bas Belia MABIMS 2014 yang berlangsung dari Kota Pahlawan, Surabaya, hingga berakhir di Pulau Dewata, Bali. Acara ini adalah program tahunan kerjasama empat negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki Kementerian Agama. Mabims sendiri, adalah akronim dari Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.


Program Bas Belia Mabims ditujukan sebagai sarana perekat persaudaraan di kalangan pemuda empat negara serumpun yang “kebetulan” memiliki akar  budaya yang serupa meski tak sama: yakni berakar pada budaya Melayu. Saya sebut “kebetulan” karena jika Timor Leste, misalnya, memiliki Kementerian Agama, tentu akar budaya Bas Belia MABIMS jadi tak serupa. 


Tahun 2014 adalah giliran Indonesia menjadi tuan rumah setelah tahun lalu kegiatan yang sama digelar di Malaysia. Sebagai tuan rumah, banyak hal yang saya sampaikan pada rekan-rekan mengenai Indonesia, baik secara sosial, budaya, hingga toleransi agama.

Menyusuri Khazanah Islam di Pesisir Jawa

Sesuai namanya, ‘Bas Belia’ yang berarti ‘Bis Anak-anak Muda’, perjalanan ini terutama ditopang oleh mobil bis yang mengantar seluruh peserta sejak dari Surabaya hingga Denpasar melalui jalur darat dan selat Bali. Seluruh delegasi –masing-masing sepuluh orang dari Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura, dan dua belas dari Indonesia—diajak untuk menyusuri kekayaan khazanah Islam di pesisir Jawa, yang secara sosio-kultural memiliki perbedaan dengan model Islam di pedalaman.


Dalam kerangka itu, selain mengunjungi sejumlah masjid dan madrasah, kami diantar menuju pondok-pondok pesantren ternama di Jawa Timur, mula dari Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Surabaya, Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah, Situbondo, Pondok Pesantren Darussalam, Banyuwangi, hingga Pondok Pesantren di daerah minoritas Muslim, yakni Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Denpasar.


Yang kemudian menumbuhkan keinsafan di dalam diri adalah, apa yang kami lihat di pesantren tersebut nampak berbanding terbalik dengan citra lembaga pesantren yang acap digambarkan tertinggal, kolot, dan ketinggalan zaman. Yang nampak justru sebaliknya, kami disuguhi deretan prestasi pondok pesantren yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan umum. Banyak sekali alumni pondok pesantren tersebut yang melanjutkan pendidikan ke universitas favorit baik dalam maupun luar negeri. Bahkan, sejatinya pesantren justru memiliki nilai lebih, karena selain menerima mata pelajaran umum, para santri dididik dengan materi keagamaan yang sangat memadai sehingga worldview yang tertanam dalam benak mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tetap dibingkai dalam pagar islami, sebuah doktrin yang tidak bisa dilepaskan oleh para santri, sejauh apapun mereka mengembara selepas dari pesantren itu.


Pihak panitia bukan tanpa sebab mengajak kami menyusui khazanah Islam pesisir. Sebagaimana disampaikan dalam sambutan acara, program Bas Belia Mabims yang menyusur garis pantai utara Jawa Timur hingga Bali adalah untuk memperkenalkan para peserta pada corak keislaman model pesisir. Sejumlah studi memang memberitahu kita, bahwa corak Islam Pesisir dan Islam Pedalaman memiliki sejumlah perbedaan, bahkan pada masa lalu, perbedaan ini tak jarang berimplikasi negatif berupa konflik antar kerajaan.


Sebuah studi yang ditulis oleh Mudjahirin Thohir (2006) berjudul Orang-Orang Islam Jawa Pesisiran misalnya, menggambarkan bahwa masyarakat pesisir (yakni penduduk yang tinggal di wilayah garis pantai), memiliki kepribadian yang lebih terbuka, lugas, dan egaliter. Masyarakat pesisir secara geopolitik juga jauh dari kerajan di pedalaman yang feodal, namun justru dekat dalam hal perniagaan dengan pedagang-pedagang mancanegara semisal dari Timur Tengah, Tiongkok, India, dan seterusnya. Interaksi ini juga memengaruhi bagaimana mereka menerima Islam, termasuk kemudian, pada bagaimana mereka bertindak dalam nafas keislamannya yang khas.


Berbeda dengan corak Islam pesisir, model Islam pedalaman secara antropologis dipandang lebih tertutup, juga lebih menekankan pada kerukunan dan keselarasan sebagaimana kita kenal dalam falsafah-falsafah Jawa seumpama gemah ripah loh djinawi tata tengtrem kerta rahardja, dan sebagainya (Franz Magnes: 2003). Corak seperti ini, dalam hal tertentu, dipandang sebagai hambatan bagi demokratisasi yang memestikan egalitarianisme pada seluruh rakyat. 


 
Untuk melihat satu corak keberislaman di tanah Jawa itulah kemudian seluruh peserta diajak berkunjung ke pusat-pusat pendidikan Islam tradisional di daerah pesisir sebagaimana disebutkan di muka. Adapun model Islam pedalaman pernah disusuri oleh senior kami pada Program Bas Belia Mabims tiga tahun lalu yang juga digelar di Indonesia. Dalam kegiatan yang serupa dengan “rihlah edukatif” ini, antusiasme peserta terlihat demikian besar, terutama ketika mengunjungi pesantren. Seorang sahabat dari Singapura di sebelah saya berdecak kagum melihat ribuan santri yang berkumpul menyambut kedatangan delegasi, dan semakin kagum ketika diinformasikan bahwa jumlah santri di pondok pesantren tersebut mencapai dua belas ribu orang. Tentu ini sebuah angka yang sangat besar jika dibandingkan populasi umat Islam di Singapura.


Saya menyampaikan kepadanya bahwa model pendidikan a la pesantren semacam ini telah berlangsung berabad-abad lamanya di Indonesia, ribuan santri itulah, yang nanti akan kembali ke kampung halaman masing-masing untuk menjadi guru ngaji, ustadz, imam masjid, di seluruh penjuru Nusantara. Secara umum, mereka akan dihormati di kampung masing-masing karena dipandang telah memiliki ilmu agama yang baik. Saya katakan, “insya Allah, Islam di Indonesia akan tetap berjaya selama masih ada ribuan santri yang tekun mempelajari agama seperti yang saat ini kita lihat”. Matanya terlihat berbinar waktu itu.



Belajar Toleransi dari Bali

Hal yang tak kalah menarik adalah ketika seluruh peserta diajak ke pusat studi Islam di Bali, juga mengikuti seminar bertajuk “Titik Temu Islam dan Budaya Bali”, tema yang menarik mengingat Bali merupakan sebuah “pulau minoritas Muslim”. Penganut agama Islam di Bali adalah minoritas terbesar yakni 520.244 jiwa atau 13,37% dari total penduduk Bali. Sementara lebih dari tiga juta lainnya beragama Hindu.


Sebuah pelajaran penting yang dapat diambil dari kunjungan ke Bali adalah toleransi agama yang patut menjadi pelajaran bagi daerah lain di Indonesia. Dalam seminar yang menghadirkan narasumber dari tokoh Islam dan Hindu itu, kami mengetahui bahwa di Bali, umat Islam dan Hindu saling menghormati dan bertoleransi tanpa perlu mencampuradukan akidah. Umat Hindu tidak melarang pemeluk agama Islam untuk shalat Jumat, mengumandangkan adzan, keluar rumah, menyalakan lampu, dan sebagainya ketika Hari Raya Nyepi jatuh pada hari Jumat, misalnya. Sebaliknya, Umat Islam menghormati pemeluk Hindu yang sedang melakukan Tapa Brata pada Hari Raya Nyepi itu dengan tidak membunyikan speaker ketika adzan atau khutbah, atau tetap menyalakan lampu kamar namun dibuat sedemikian rupa supaya tak nampak dari luar rumah dengan tujuan agar tak ada penganut agama Hindu yang merasa tersinggung. Hal ini demi menjaga perasaan dan kerukunan sesama pemeluk agama.


Ketika tiba hari Galungan dan Kuningan, umat Hindu merayakannya dengan mengirimkan “hantaran makanan” kepada tetangganya yang Muslim, dan diyakini memenuhi syarat halal  bagi umat Islam. Pun ketika tiba Hari Raya Lebaran atau Idul Adha, umat Islam merayakan kebahagiaan dengan memberikan “hantaran makanan” yang disebut dengan ngejot kepada tetangganya yang beragama Hindu. Bahkan, pada hari Raya Idul Fitri, umat Hindu ikut “memasak lebih banyak” dan mengenakan baju baru selayaknya umat Islam berhari raya. Nilai luhur yang dipahami disini, sebagaimana disampaikan Narasumber I Nyoman Arya, Kepala Kankemenag Kabupaten Badung, adalah bagaimana umat Islam dan Hindu di Bali bisa memisahkan mana ranah akidah, dan mana ranah budaya yang termasuk kategori muamalah, sehingga toleransi dapat berjalan harmonis, kerukunan tetap terjaga, tradisi tetap lestari tanpa harus mencampuradukan akidah dari dua agama berbeda.


Toleransi paling dramatis yang saya dengar dari I Ketut Arya adalah bagaimana tokoh-tokoh agama Hindu dan Islam di Bali melakukan musyawarah pasca peristiwa Bom Bali dimana pelakunya membawa identitas agama. Saat itu, para tokoh agama Islam dan Hindu kemudian bersepakat bahwa aksi bom tersebut bukan merupakan ajaran agama. Kemudian, untuk menghindari aksi intoleransi antar umat beragama, tetua-tetua adat memerintahkan para pecalang (polisi adat Bali), untuk menjaga kampung-kampung Islam dan rumah-rumah umat Muslim agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini adalah sebentuk toleransi yang luar biasa.


Di Bali sendiri ada sejumlah kampung dimana Umat Islam menjadi mayoritas, terutama di Loloan, kemudian di Kecamatan Karangasem (11.729 jiwa),  kecamatan Bebandem (4.438 jiwa), dan lain-lain. Bahkan, di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara, yang berpenduduk 4.821 jiwa, penggunaan nama khas Bali seperti seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua); Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga); dan Ketut (anak keempat), tetap melekat pada pemeluk agama Islam sekalipun di belakang nama mereka acap menggunakan nama Arab yang dipandang sebagai identitas Islam. 


Penduduk Pegayaman adalah penduduk asli Bali, bukan pendatang. Tidak ada perbedaan mencolok dalam kehidupan sosial di antara dua penganut agama tersebut kecuali tidak adanya padmasana  di sudut depan rumah sebagaimana lazimnya pemeluk Hindu di Bali. 


Islam di Bali memang sudah masuk berabad silam sejak zaman Raja Gelgel pada abad XIV, juga zaman Raja Panji Sakti (abad XV) di Buleleng yang mendapatkan hadiah 80 orang prajurit Muslim dari Jawa  untuk menjaga kerajaannya dari serangan pasukan dari Selatan Bali.


Mensyukuri Indonesia
Dalam kegiatan yang berlangsung selama satu pekan itu, kami banyak berbincang mengenai negara masing-masing. Tentu, setiap negara memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Dalam diskusi mengenai pendidikan, kesehatan, perkembangan ekonomi, dan seterusnya di antara empat negara itu, saya memahami bahwa di antara kita boleh berbangga dengan negara masing-masing. Tak terkecuali Indonesia.


Dalam framing kegiatan Bas Belia Mabims bersama sahabat dari Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura itu, kesyukuran saya menjadi orang Indonesia salah satunya karena ia merupakan negara terluas di antara negara peserta lain.


Jika hanya diukur dari luas daratannya saja, Indonesia berada di peringkat 15 negara terluas di dunia. Namun jika diukur dengan luas lautnya, maka total luas wilayah Indonesia adalah 7.9 juta km² yang terdiri dari 1.8 juta km² wilayah daratan dan 3.2 juta km² wilayah laut territorial, serta 2.9 juta km² laut perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Itu adalah wilayah yang sangat luas. 


Untuk mengetahui betapa luasnya Indonesia, kita bisa simulasikan, misalnya jika kita tumpangkan peta Indonesia di atas peta China, maka ia akan membentang dari China Barat hingga ke Kepulauan Jepang. Jika peta Indonesia itu ditumpangkan di atas peta India, maka luas Indonesia akan membentang mulai dari Pakistan di Barat hingga ke laut China Selatan di timur. Negara Indonesia yang membentang dari 6˚08΄ LU hingga 11˚15΄ LS, dan dari 94˚45΄ BT hingga 141˚05΄ BT adalah negara yang sangat luas. Wilayah Indonesia dengan lautnya, hampir sama dengan luas benua Eropa atau dengan luas Amerika Serikat dan Australia. Sebuah wilayah yang setara dengan jarak dari Inggris di Barat Eropa hingga ke Laut Kaspia di Asia Tengah.


Pun dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia (dalam konteks acara Mabims yang concern pada dakwah Islam), estimasi populasi umat Islam Indonesia pada 2013, berdasarkan survey BPS tahun 2010, adalah sekitar 230 juta jiwa. Ketika saya menghitung jumlah penduduk negara-negara Arab melalui data di laman wikipedia, rupanya angka 230 juta ini lebih besar daripada jumlah seluruh penduduk Timur Tengah apabila disatukan, dengan mengecualikan negara Afrika Utara selain Mesir. Selain sebagai tantangan, jumlah ini tentu merupakan sumber daya yang sangat besar sekiranya mampu diberdayakan secara baik. Kekayaan dan luas wilayah Indonesia adalah anugerah yang demikian besar. Dengan pengelolaan yang benar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang juga baik, saya optimis di masa depan, negara kita akan tumbuh menjadi bangsa yang besar.


Dan tentu saja, hal lain yang saya syukuri “menjadi Indonesia”, adalah alam politik Indonesia yang lebih demokratis. Dalam hal ini, Indonesia bisa kita sebut sebagai negara paling demokratis di Asia Tenggara, bahkan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Demokrasi memang tidak menjanjikan kekayaan sekalipun ia kita perlukan, tetapi demokrasi menjamin kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi memberikan jaminan kepada kita untuk bebas bicara secara bertangungjawab, demokrasi memberikan kepada kita hak politik yang adil dan setara. Hal yang sulit kita temukan di negara selainnya.


Epilog

Tentu saja, kecintaan kepada Indonesia itu tidak mengurangi rasa hormat dan kecintaan kepada sahabat dari negara serumpun. Bagaimanapun, interaksi yang hanya satu pekan itu telah memberikan kesan yang mendalam. Hal ini karena persaudaraan sesama manusia, terlebih sesama Muslim, tidak mengenal batas negara. Keakraban yang terjalin di atas diskusi dan canda bersama rekan-rekan dari negara serumpun adalah hal yang tak akan mungkin –dan tentu saja tak ingin—kami lupakan. 


Apa yang kerap muncul di sosial media mengenai “permusuhan” sesama negara serumpun adalah hal yang tidak diperlukan. Yang perlu kita bangun adalah persahabatan antar negara untuk kehidupan dan peradaban yang lebih baik.


Itu sebabnya sekalipun Program Bas Belia Mabims 2014 telah selesai, interaksi di antara kami di dunia maya melalui facebook dan whatsapp masih terjalin untuk saling bertukar informasi mengenai perkembangan banyak hal di negara masing-masing. Menutup artikel sederhana ini, saya ingin sampaikan pantun yang rupanya telah menjadi trade mark  dalam Program Bas Belia Mabims.


Pergi ke hutan melihat rusa
Rusa bersedih sebatang kara
Salam dari kami wakil Indonesia,
Ingat-ingatlah, kita semua bersaudara.

Pesulap berucap ‘sim salabim’
Tongkat diubah menjadi dupa,
Senang hati ikut Bas Belia Mabims
Kenangan bersamamu, takkan kulupa

Ke Bekasi membeli Minyak
Terimakasih banyak 
***

0 komentar:

Posting Komentar