Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Selasa, 16 Desember 2014

Cerita Pita Part I: "Gara-Gara ODOJ"






Perkenalkan, nama gw Adit. Lengkapnya Aditya Nugraha. Kalo pake gelar lengkap, nama gw panjang. Sangking panjangnya, kalo dicetak di nametag dan ditempel pake peniti di atas saku, panjang nametag gw bisa mentok sampe ke ketek. Soalnya gelar akademik gw banyak,  sebab gw kuliah ngambil banyak jurusan. Selain ngambil hukum, gw juga ngambil komputer, makanya di rumah gw banyak banget komputer (garing...) Nama lengkap gw: Aditya Nugraha, M.Sg, MP3. MCk, MBer, MPang.


Dulu, perawakan gw seperti pendekar, pendek dan kekar. Sekarang ga lagi. Sekarang gw udah ga kekar, tapi tetep pendek. Sekarang, kalo naik taksi (kira2 lima tahun sekali lah gw naik taksi) pengen rasanya tuh perut w simpen di bagasi biar bisa duduk nyaman. Punya perut gendut emank susah. Mau BAB aja susah duduk, keganjel ama perut. Paling enak cuma dua: pas jalan sambil gendong anak, tinggal ditemplokin di atas perut, anak gw nyaman banget dikira lagi naik odong2. Satu lagi pas lagi sholat, soalnya sedekap tangan gw ga bakalan merosot sebab ketahan sama perut  (puas lu pada? Wahai orang2 langsing?)


Temen gw namanya ‘Arif, orang sunda. Karena  Z, F, Dz adalah fonem yang sulit diucapin oleh orang2 sunda. Maka dia dipanggil Arip. Padahal siapa yang  bilang urang sunda ga bisa ngomong ‘f’? Pitnah! ( <- plis deh lawakan ini udah sering banget). Orangnya putih, bebas jerawat. beda banget ma  gw. Gw item, berjerawat pula. Satu hari, jerawat gw numbuh di punggung, soalnya di muka udah ga ada tempat lagi..


Temen2 gw semua ganteng2. Ada Haidar, ada Patah, ada Gopal, Asep Mulyana, Herry, Arvin, Fazran,  Marwin, Wahyu botak, Malih, Bikit, Irham, Hunus, Yusup, Bias, Hamim, Riswan, Panto, Ajam, Nashor, Anshir,  Sigit Ganteng {*berdehem*}, dll., ada banyak, semuanya orang penting yg sangat sibuk, hansip2 semua di RT masing2. Penting banget! badan2 mereka atletis semua. Mukanya ganteng2. Sempurna. Apalagi yang namanya Gopal. Badangnya tinggi, atletis, kulitnya putih, dan bebas jerawat. (Note: cerita ini hanya fiktif!).


Sementara gw, kulit gw keriput, pake sejumlah cream masih aja keriput. Kata Gopal cara paling efektif utk hilangkan keriput kulit wajah adalah pake karet gelang. Maksudnya kulit wajahnya ditarik ke belakang, trus diiket pake karet di belakang muka. Et dah, dikira kulit gw kertas nasi kali. Sakit banget gw dengernya. Sakitnya tuh disini. (nunjuk puser).


Tapi gw bersyukur, tadinya gw anak metal. Kalo joget sukanya mental2. Tapi sejak gw ketemu Gopal, dunia itu udah gw tinggalin. Gopal ngajak gw ikut One Day One Juz (ODOJ), sebuah komunitas kebaikan. Dengan ODOJ, yang tadinya hati gw selalu resah dan gelisah, menunggu di sini, di sudut sekolah, (tempat yang kau janjikan. Ingin jumpa denganmu..walau mencuri waktu... asseik!) skrg hati gw lapang dan tenang. Soale hati gw udah dipenuhi oleh cahaya al-Quran. (Aamiin ya Allah)


Gw dan teman2 yang dikumpulin Gopal tadi akhirnya bikin grup, namanya PITA, sebuah komunitas independen. Tidak berafiliasi pada ormas tertentu, bukan bagian dari parpol manapun, apalagi raksasa bisnis, wong isinya orang2 kere semua), ga tau itu PITA singkatan apa. Mungkin singkatan dari Pria Tampan, atau Pangeran Idaman Tetangga Anda, atau Penganut Istri Tambah Atu (maksai), atau lain2. Dulu sih nama gank-nya adalah Partai Ikhwan Gaul, Cuma karena ga enak disingkatnya, jadi diganti. Jelaslah kita ga terima, enak aja kita dipitnah dengan nama kayak  gitu. Meskipun kita gemuk dan kulit kemerahan, gw ga sudi :p. Makanya dipilihlah nama PITA,. Pita artinya tali. Tali yang menghubungkan hati2 kita karena ikatan iman. Tali Allah yang mengikat kita utk bersatu dan tidak berpecah belah. (Azzek azzek joss.)


Sekalipun bukan bagian dari ODOJ, tapi anak2 PITA ini emank kece2 badai, rajin2, pantang menyerah, selalu mengerjakan PR Penjaskes, dan berbadan gagah perkakas! Mereka aktif di kegiatan2 dakwah. Kalo ada acara2 ODOJ mereka sering kali jadi motor penggerak. Maksutnya kalo narasumber perlu dijemput, nah anak2 PITA jadi tukang jemput narasumber pake motor. Atau kalau AC mati pas acara,  maka mereka jadi mesin buat ngipas2in narasumber. Kayak motor di kipas angin gitu lah. Nah itu maksutnya “motor penggerak.”


Gw bangga jadi bagian dari mereka. Mereka beragam2. Ada tukang futsal, tukang jual buku, PNS, wartawan, tukang ceramah, tukang khutbah, tukang khitbah, tukang ta’aruf gagal, dan macem2. Dengan keragaman itu kita jadi kaya.


Gw di antara mereka, ibarat anak kecil yang berdiri di antara orang2 dewasa sambil menengadah ke atas, merasa heran akan kehebatan orang2 besar. Bersama mereka, persahabatan bagai kecebong. Yang tadinya telor berubah jadi kodok bangkong. Bersama mereka, persahabatan bagai kedondong, sekalipun dalam hati sedang semrawut, tapi di luar tetap bisa mulus menampilkan keceriaan. Bersama mereka, persahabatan bagai odong-odong, bisa menghibur hati yang bersedih. Bersama mereka, persahabatan bagai kepompong, bulet lonjong. :p


Kalau gw lagi bete, atau mungkin aku sedang lelah, atau butuh bahu untuk bersandar, atau mungkin saat aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, atau tenggelam dalam lautan luka dalam, atau tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, mereka selalu mengingatkan, ngasih nasihat inspiratif (misalnya nasihat ttg cara makan di tempat kondangan dengan efektif dan efisien), atau sekadar bertanya, misalnya “kamu dimana, dengan siapa, semalam berbuat apa” by kangen band.


Setelah kenal mereka dengan izin Allah tersebab ODOJ ini, gw berharap persahabatan ini sampe ke surga. Persis  seperti kalimat indah di bawah ini:


“PERINGATAN! Windows 7  Anda terlalu lamban! Internet Anda akan menjadi lamban dan terbatas jika Anda tidak membersihkan Windows 7. Klik OK dan ikuti petunjuk untuk melanjutkan dengan Membersihkan Windows 7  Anda!

Eh,”sorry salah copas :D


Maksud gw yang bener,

Gw bersyukur bisa kenal dan bersahabat dengan mereka. Bersahabat karena iman dan taqwa, bukan karena yang lain. Sehingga kita masuk surga bersama nanti, persis seperti firman Allah dalam al-Qur’an:


"Dan Kami cabut segala dendam di hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara, duduk berhadapan di atas dipan-dipan." {QS 15: 47}

Amiin Allahumma amin. Duhai Allah, Engkau mempertemukan kami dalam komunitas kebaikan, maka persaudarakanlah kami dalam ikatan iimaan. Jadikan kami sahabat yang senantiasa saling mengingatkan karenaMu, saling mencintai dan membenci hanya karena Engkau.

Kekalkan persahabatan kami ini dalam ketaqwaan. Aamiin.. TT

@mistersigit
Kantor yg sepi, ditemani kardus2, 16/12/2014


Ketika Dakwah Bermuhasabah Bag. 2: Halaqah Mekanistik




Ikhwah, sejenak mari menengok kembali halaqah kita. Tak sedikit di antara senarai halaqah nan indah ini kita alami, dimana satu persatu anggota halaqah mundur teratur. “afwan akhi, bertahun sudah ana mengikuti halaqah, tak pernah rasakan kejenuhan seperti masa belakangan. Mohon izin malam ini ana tidak hadir, titip salam mahabbah dan ihtiram untuk ustadz. Afwan.” Lalu begitulah, hari-hari ke depan ia absen dari halaqah, dan tak nampak lagi pada pertemuan-pertemuan berikutnya.


Bukan satu dua, fenomena mundurnya binaan dalam halaqah terjadi. Di beberapa tempat, halaqah kemudian dimerger karena makin sedikitnya kehadiran anggota. Penyebabnya tentu tak cuma satu, namun ada satu hal yang banyak diperbincangkan ikhwah, beberapa mundur karena merasakan halaqah yang kian kering, sebab liqa dipenuhi obrolan politik. Materi halaqah dipinggirkan, dan sejak awal hingga akhir isinya melulu membahas fenomena politik terkini, dari A hingga Z, mulai isu strategis hingga strategi-strategi pemenangan. Murabbi acap abai terhadap materi-materi pokok tarbiyah. Halaqah kemudian berjalan mekanistik. Seperti mesin, dinyalakan, dijalankan, lalu dimatikan. Sunyi dari ruh dan berjalan hampa. Seumpama shalat tak khuyu’, kering.


Memang, kader tidak boleh buta politik. Kader perlu mengetahui dan memandang fenomena politik dari sudut pandang yang shahih sesuai perspektif Islam. Selayak ucapan Bertolt Brecht, penyair dari Jerman yang mengatakan, bahwa buta terburuk adalah buta politik, sebab ia memengaruhi hampir semua aspek kehidupan kita yang diatur oleh regulasi. Tapi halaqah tak boleh hanya diisi oleh materi-materi politik. Justru agar ia dapat memandang fenomena politik itu dengan shahih, ia tetap perlukan Ma’na Syahadatain, ia tetap perlukan Syumuliyatul Islam, ia tetap harus tahu Ahdaf Al-Tarbiyah, Khasa’is Al-Tarbiyah, dan seterusnya. Materi-materi itulah yang, sekalipun sudah tak lagi berpanah-panah, akan membentuk cara pandang ikhwah hampir dalam segala hal. Itu sebabnya paradigma di antara kita relatif homogen, nyaris serupa.


Adalah ulama mulia, Imam Hassan Al-Banna mengatakan kepada kita mengenai kesempurnaan Islam. Katanya, “Islam adalah negara dan tanah air, atau pemerintahan dan umat, ia adalah akhlak dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan. Ia adalah wawasan dan perundang-undangan, atau ilmu pengetahuan dan peradilan, ia adalah materi dan kekayaan, atau kerja dan penghasilan, ia adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan fikrah, sebagaimana ia adalah akidah yang bersih dan ibadah yang benar.”


Ikhwah fillah, mari pahami pesan mujahid yang telah akhiri hidupnya untuk dakwah itu baik-baik. Sekiranya kita pahami bahwa Islam sedemikian syamil dan mutakamil, seyogyanya materi dakwah dalam halaqah menggambarkan Islam yang komprehenshif pula. mulai dari Aqidah Islamiyah, hingga Adabu Ta’amulu fi Al-Jama’ah. Dari Birrul Walidain hingga Ahwaal Al-Muslimun Al-Yaum. Melulu membahas politik dalam halaqah sejatinya telah melanggar prinsip syumuliyatul Islam, seakan Islam hanya bicara masalah siyasah.


Hingga kapankah kita akan berlindung di balik kalimat, “Halaqah sememangnya bukan tempat untuk mencari semua ilmu, ilmu-ilmu lainnya bisa dicari di tempat lain”, sebuah kalimat yang sejatinya benar, tetapi menjadi keliru jika digunakan untuk menjustifikasi kelemahan diri, yang merasa nyaman ngobrol politik namun abai pada materi-materi dakwah lainnya. Bukankah setidaknya cukup satu dua kali dalam halaqah bicara politik, dan seterusnya justru politik yang bisa dicari di tempat lain?


Sekiranya halaqah hanya pertemuan pengajian biasa tanpa kurikulum Madah Tarbiyah, maka asatidz di televisi sudah cukup memenuhi kebutuhan itu. Tapi tidak, kita ini gerakan. Kita ini berjuang dalam barisan yang teratur seumpama bangunan yang tersusun kokoh. Ia bukan kayu biasa, bukan ubin biasa. Ia diatur sedemikian rupa.


Bagi mutarabbi, selain sebagai teman, ayah, dan guru, sejatinya murabbi umpama syaikh yang mengisi ruhiyah dari kehampaan jiwa. Pandangan teduh murabbi kepada binaannya akan menguatkan iman, meneguhkan tapak. Air mata dan doanya adalah airmata binaan. Maka seyogyanya Murabbi senantiasa menguatkan ruhiyahnya. Karena kalimat yang keluar dari jiwa dengan ruhiyah kuat akan menjelma kalimat berbobot yang berat. Berisi nasihat yang menelusup ke dalam bagian di hatinya yang paling bening. Akan berbeda jika kalimat tersebut menelusur dari lisan yang tak lagi terukir dzikir, dari malam-malam tanpa sujud panjang. Obrolan politik terus menerus dan abai pada kondisi ruhiyah hanya membawa halaqah makin membosankan, kering dan hampa.


Sungguh kita merindukan, binaan yang tak berpunya ongkos memaksakan diri hadir dengan menggoes sepeda, berpeluh keringat ketika tiba di tempat liqa namun tak berkurang semangatnya. Kita merindukan, masa ketika hujan turun lebat, namun tak ragu ia kenakan jas hujan, menerobos deras guyuran air itu untuk menuju tempat halaqah. Dalam beberapa obrolan bersama ikhwah, kita tahu di beberapa tempat suasana itu masih kita rasakan, namun kini kian jarang dan makin jarang. Akankah kita senang mengatakan, “ia bagian dari yang berguguran di jalan dakwah?” padahal sejatinya ia gugur tersebab kita yang tak mampu memegang tangannya kuat-kuat.


Para Murabbi, mari bergenggaman erat, kita pejamkan mata dan saling menguatkan dalam do’a. Agar Allah senantiasa menjaga kafilah ini dari fitnah dan tipu daya, dari runtuhnya dakwah justru di tangan kita, tersebab kita yang tak lagi mau berpayah-payah mengkaji materi sebelum halaqah dimulai, sehingga hanya ambil jalan pintas mengobrol politik. Kita berdoa agar yang runtuh hanya mereka yang memang keyakinannya tak teguh, agar yang terlempar hanya mereka yang keyakinannya tak mengakar, bukan karena salah kita…


Mari erat bergenggam, kita membahu, saling ingatkan. Buku materi tarbiyah di lemari kita, usaplah ia lagi. Buka kembali dan rasakan suasana itu, saat kita bersama melingkar bertahun-tahun lalu. Masa-masa awal kala kita merasa damai dalam lingkaran-Nya.




Ketika Dakwah Bermuhasabah




Pagi itu, tak dinyana murabbi datang ke rumah. Waktunya sangat sempit karena saya harus mengisi ceramah di pengajian kaum ibu dalam acara lebaran anak yatim di mushalla belakang rumah. Kebetulan adik-adik rohis yang akan membawakan marawis pada pengajian tersebut sedang berkumpul di beranda rumah. Mereka adalah binaannya binaan saya. Melihat itu, murabbi bercerita betapa dakwah membutuhkan junud yang mampu membina. Beliau yang merupakan kader dakwah senior di daerah pinggiran Jakarta, nampak merenung.


Obrolan pagi itu jadi semacam muhasabah. Betapa, katanya, demikian banyak kader dakwah tidak mampu membina, padahal masyarakat yang membutuhkan sentuhan dakwah demikian banyak.


Lebih banyak ikhwah kita yang “menganggur”, tidak punya binaan. Terkadang, sudah dilimpahi sejumlah binaan pun, mereka tak mampu merawatnya. Binaan lepas satu per satu, kian jauh dan makin menjauh.


Apa yang murabbi sampaikan di depan rumah pagi itu, adalah benar adanya. Tidak satu dua saya temui, ikhwah yang dahulunya kader dakwah nan militan, kini asyik bercelana pendek di depan tokonya, bahkan sembari memegang sebatang rokok.


Sebahagian lain memang masih memilih perahu dakwah dalam pesta lima tahunan, tapi anak-anaknya yang sudah remaja dibiarkan tidak lagi ikut halaqah.


Sampai kapan kita berlindung di balik kalimat, “Ini seleksi alam, dakwah sememangnya dipenuhi onak dan duri. Hanya yang bermental baja yang mampu bertahan”. Kalimat ini sejatinya benar, tetapi menjadi salah ketika dijadikan justifikasi untuk membenarkan kelemahan. Lemah karena tidak mampu menjaga atau mengelola halaqah.


Betapa hari-hari ini kita melihat, terutama di sosial media, seakan kekaderan seorang ikhwah diukur dari seberapa hebat ia mencaci maki pemerintah, dari seberapa sering ia meledek dan menertawakan penguasa. Ikhwah lain yang mencoba menyejukkan agar sosial media tak bersuhu panas dibully dan diragukan kekaderannya. “Antum kader, bukan?”


Padahal yang diragukan kekaderannya itu punya binaan banyak. Halaqahnya produktif sebab setiap binaannya juga memiliki binaan.

Padahal yang diragukan kekaderannya itu telah belasan tahun bergabung dalam kafilah bernama tarbiyah. Hanya karena tak larut dalam arus hiruk pikuk di Facebook, ia dicurigai bukan ikhwah, kekaderannya diragukan, Laa haula walaa quwwata illa billah.


Padahal bina-membina dalam konteks tarbiyah lebih fundamental. Ia merupakan satu dari sejumlah perangkat tarbiyah selain tatsqif, mabit, dan seterusnya. Sekiranya setiap kader hanya merekrut satu orang pertahun, (sekali lagi, hanya satu orang pertahun!), maka tiap kali intikhabi semestinya kader dakwah bertambah menjadi 600 persen. Jika pertumbuhan kader dakwah tak mencapai 500 persen tiap kali pagelaran lima tahunan itu dihelat, patutlah kita bermuhasabah. Ada apa dengan kader dakwah?


Adalah Syeikh Abdullah Qadiry Al-‘Ahdal mengatakan kalimat terkenal seperti dikutip Ust. Satria Hadi Lubis dalam bukunya “Menjadi Murabbi Sukses”,

“Inna al-akh al-shadiq, laa budda an yakuna Murabbiyan” (Seorang ikhwah yang benar, tidak bisa tidak, ia harus menjadi murabbi).

Halaqah adalah basis dakwah, sarana membentuk karakter. Dalam untai rabithah yang dipanjat khusyu’ tiap kali lingkaran kerinduan itu usai, kita rasakan ikatan. Bahkan ikatan itu kita rasai pula ketika jumpa ikhwah di lain tempat yang sama sekali belum kita kenal, namun serasa sahabat nan lama tak jumpa. Itulah ta’liful qulub, ikatan hati antar kader dakwah. Allah mengikat hati mereka dalam ikatan iman.


Dan rabithah itu kita kenal dari majelis-majelis halaqah. Tidakkah rasa yang sama ingin kita sebarkan pula kepada umat ini.

Angin bertiup perlahan, saya dan murabbi masih duduk di kursi bambu, di bawah rimbun pohon mangga. Teh pagi masih hangat. Ia sudah nampak tua, rambutnya sudah memutih. Matanya tak lagi bening. Lama sudah ia jalani dakwah ini sejak tahun 80-an. Dakwah ini butuh kader yang mampu membina.


Ikhwah, sudahkah antum punya binaan?


dimuat di: http://www.dakwatuna.com/2014/11/26/60685/ketika-dakwah-bermuhasabah/#ixzz3M2FXqa1L 



Menyelam ke Kedalaman Pemikiran Politik Islam Anis Matta





“Saya ingin mengatakan kepada seluruh aktivis Muslim, jangan pernah merasa sempurna. Karena setiap kali mereka merasa sempurna, saat itu ia berhenti bertumbuh. Dia berhenti berkembang. Tapi jangan sampai kelemahan-kelemahan yang kita temukan membuat kita putus asa untuk terus bertumbuh. Saya ingin mengatakan bahwa mereka harus melakukan cara belajar yang benar, yaitu mengumpulkan sebanyak mungkin kebaikan dalam dirinya dari waktu ke waktu...” (Anis Matta, Geliat Dakwah di Era Baru) [1]

Prolog

Di depan saya saat ini ada tiga majalah lama. Majalah Saksi edisi Agustus 2005,Sabili edisi September 1999, dan al-Muslimun edisi Februari 1990. Tiga majalah jadul itu adalah bacaan saya saat sekolah dan kuliah dulu. Hasil pinjam dari sepupu dan paman yang nyantri di pondok Ulul Albaab, UIKA, Bogor. Saya beruntung sekalipun tumbuh dalam tradisi Nahdhatul Ulama yang kental, tetapi cukup terbuka untuk terima ragam pemikiran lain. Headline ketiga majalah tersebut berturut-turut adalah: “Partai Paling Kreatif”, “Islam Slogan atau Islam Sejati”, dan “Ummatan Wahidah”.

Selain al-Muslimun, majalah Saksi dan Sabili sudah tak lagi terbit (al-Muslimunapa kabar, ya?), ketiga majalah yang sempat menjadi trade mark aktivis Islam itu gulung tikar karena sepi pembeli –dan tentu saja karena sebab lain. Sepertinya, era media online sudah menggantikan era majalah kertas.

Yang menarik, entah kenapa melihat majalah tersebut saya teringat pada Anis Matta, Presiden PKS yang argumentasinya acapkali saya gunakan dalam debat-debat seputar relasi Islam-negara, demokrasi, khilafah versus nation-state, dan seterusnya, pada diskusi-diskusi akademik di kampus.

Saya sering mengutip pendapat pria muda mapan dan berkumis tipis (lho?) yang kini menjadi Presiden PKS itu karena bagi saya, dan rekan-rekan tentu boleh tak bersetuju, paradigma dan nalar orator ulung itu berbeda dari kebanyakan. Misalnya, ketika sebagian orang mengkhawatirkan terjadinya disintegrasi bangsa akibat aspirasi penerapan syariat Islam di Indonesia, Anis justru mendudukan akar masalahnya terlebih dahulu dengan sebuah pertanyaan fundamental“apakah memang ada korelasi antara penerapan syariat Islam dengan disintegrasi bangsa?”[2]

Nalar ini menjadi penting karena faktanya, dalam kasus merdekanya Timor Leste, menyusul keinginan serupa dari Papua, atau Aceh beberapa waktu lalu, (bahkan sempat beredar isu Riau ingin memisahkan diri dari NKRI), apakah ada pertalian dengan keinginan menerapkan syariah? “yang pasti adalah” sambung Anis, “syariat Islam belum diterapkan, tapi gejala disintegrasi itu sudah ada. Jadi, ada alasan untuk bertanya ‘Siapa yang berada dibalik mitos ini? Apakah mitos ini merupakan sebuah konspirasi terhadap Islam? Atau mitos disintegrari bangsa akibat penerapan syariah ini adalah indikator keminderan dari sekelompok umat Muslim yang tidak pernah memiliki rasa percaya diri yang memadai dengan keislamannya?” Demikian retorik pria kelahiran 28 September 1986 eh 1968 itu.[3]

Dari alam pikiran ini, Anis kemudian mengutip doktrin pemikir politik Islam klasik, Imam al-Mawardi dalam kitabnya Adab al-Dunya wa al-Dien, bahwa “Umur persatuan suatu bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu keadilan berganti kezaliman, maka tunggulah saat perpecahan.”[4]

Saya kira ini sebuah pandangan yang tetap aktual, sebab jika kita melihat fenomena disintegrasi negara, bukankah keinginan memerdekakan diri provinsi-provinsi di atas adalah karena tiadanya keadilan? Sehingga, belum lagi isu penerapan syariah ini dilemparkan ke muka publik, disintegrasi sebetulnya telah terjadi karena tidak meratanya keadilan. Menurut Anis, jika sebagian kelompok kemudian mengatakan bahwa nasionalisme bisa dijadikan sebagai satu-satunya alat untuk menyatukan bangsa (dengan menegasikan syariah), maka Yugoslavia dan Uni Sovyet adalah contoh terbaik bagaimana nasionalisne sebetulnya bukanlah faktor pemersatu yang efektif. Kedua negara itu terpecah dan runtuh.

Relasi Islam - Demokrasi, Perspektif Anis Matta

Perdebatan mengenai relasi Islam-demokrasi dalam diskursus politik Islam ibarat menyalip Avanza di jalan raya, tak pernah ada habisnya. Sebagian kelompok, menempatkan demokrasi selayak sampah yang harus dimusnahkan. Seratus persen bertentangan dengan Islam. Sistem kufur. Bahkan warisan Yunani kuno itu acap disebut sebagai ideologi syirik karena demokrasi, dipandang telah merampas hak Tuhan sebagai satu-satunya pihak yang berdaulat untuk menetapkan hukum. Pun, kalangan ini kerap mengimani bahwademos-cratos itu lahir dari rahim sekularisme, dimana sekularisme bertentangan dengan Islam. Demokrasi dipandang telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Dalam realitas alam politik kita, pendapat seperti ini sekalipun seolah shahih, sebetulnya menggelisahkan, dan dalam banyak hal seringkali berimplikasi merugikan umat Islam yang membutuhkan regulasi untuk memayungi hajat mereka. Menghindari masuknya aktivis Muslim ke parlemen hanya akan menyisakan kelompok sekuler yang kemudian memiliki otoritas untuk membuat regulasi yang merugikan umat.

Pun, keyakinan bahwa demokrasi lahir dari rahim sekularisme senyatanya merupakan hal yang membuat kepala jadi confused. Keyakinan ini diimani sedemikian rupa dengan mengesampingkan fakta bahwa sekularisme sebetulnya lahir lebih belakangan daripada demokrasi. Demokrasi sudah berjaya di Yunani kuno sejak lima abad sebelum masehi, sementara sekularisme, baru bertumbuh di Eropa pada abad pertengahan bersamaan dengan munculnya protes atas dominasi agama dalam kehidupan bernegara di bawah seruan Martin Luther yang kemudian menyebar ke sejumlah negara.[5] Jika pun justifikasi atas sekularisme ini ditarik lebih awal, maka doktrinnya akan kita dapatkan pada awal abad masehi, yakni dari dogma Kristiani sebagaimana tertulis dalam Injil Matius XXII:21 “Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.”

Syamsuddin Arif,[6] seorang intelektual dan peneliti di INSIST dalam makalahnya berjudul Religius atau Sekuler mengatakan, implikasi dari doktrin Kristen inilah yang kemudian menghasilkan pandangan bahwa agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik dan negara, dari sini muncul dikotomi antara regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas gereja, antara wewenang negara dan wewenang agama. Doktrin ini pun mendapat legitimasi dari St. Augustin yang membuat distingsi antara Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei). Inilah sekularisme, atau sae culum yang mengutip Syed M.Naquib al-Attas bermakna “kedisinikinian” itu.[7]

Pertanyaannya: bagaimana mungkin demokrasi yang sudah eksis di Yunani pada abad ke 5 SM, lahir dari rahim sekularisme yang baru dikenal pada awal tahun Masehi?

Saya ingin hindari lebih jauh perdebatan relasi Islam-demokrasi. Terma tentang politik Islam dan demokrasi seperti saya sebut dimuka tak pernah akan ada habisnya. Bahkan, definisi dari demokrasi itu sendiri tidak mudah untuk disepakati. Ian Adams, professor ilmu politik di New College, Durham, mengatakan bahwa pasca Perang Dunia II, PBB melalui UNESCO pernah menugaskan sejumlah sarjana untuk mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991), para intelektual itu mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat begitu banyak definisi demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk dicapai kesepakatan.[8] Bahkan sedemikianconfuse-nya demokrasi, kelompok pemuja Karl Marx dan Lenin yang notabene komunis pun punya klaim demokrasinya sendiri sebagai tandingan bagi demokrasi liberal.[9]

Mari kita biarkan perdebatan politik Islam vis a vis demokrasi itu menjadi kekayaan khazanah dalam pemikiran politik Islam, karena bagaimanapun dialektika mengenai pergumulan ideologi-ideologi politik akan tetap diperlukan, agar dinamika kehidupan sosial politik kita tetap berjalan dengan dinamis. 

Hanya saja ada satu hal yang sebetulnya menjadi titik temu dari aneka ragam demokrasi itu, yaitu sistem politik yang memberikan pilihan kepada rakyat untuk mengatur hidup mereka sendiri berdasarkan konsensus yang disepakati bersama. Dalam banyak hal, demokrasi memberi peluang lebih besar kepada suara terbanyak yang secara sosio-politik (harus) diandaikan sebagai suara tuhan. Menariknya, justru celah demokrasi inilah yang dimanfaatkan Anis Matta untuk menggulirkan cita-cita. Mari kita lihat misalnya gagasan yang ia tulis dalam bukunya yang terkenal Menikmati Demokrasi 

“Semua individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan individu lain. Semua sama-sama bebas berpikir, berekspresi, bertindak, dan memilih jalan hidup. Tidak boleh ada rasa takut, ada tekanan, terutama dari militer. Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan yang sama.”
Anis melanjutkan,
“Namun kebebasan (dalam demokrasi) ini ada harganya. Para pelaku dakwah memang bebas menjalankan dakwahnya. Tetapi pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan sesuatu itu benar tapi tidak legal, adalah salah. Jadi tugas kita adalah bagaimana mempertemukan antara kebenaran dan legalitas.” [10]
Dari perspektif yang semacam itu, kita akan paham bahwa Anis menerima demokrasi sebagai bagian dari caranya menyampaikan aspirasi. Sama persis dengan apa yang berada dalam benak kalangan sekuler, yang juga menyampaikan aspirasinya lewat jalur demokrasi. Yang membedakannya hanya pada gagasan apa yang diperjuangkan. Justru memang karena itulah demokrasi diperlukan: sebagai melting pot dari ragam ide yang tumbuh dalam masyarakat.

Anis menyampaikan apa yang diinginkannya itu melalui prosedur demokrasi yang sah dan konstitusional, seraya tetap menghargai keragaman dan multikulturalitas dalam masyarakat. Saya kira pandangan realistis dan akomodatif terhadap demokrasi semacam ini sejatinya sejalan dengan pandangan seorang ulama dunia yang cukup dihormati di Indonesia, yaitu Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Daulah yang memandang demokrasi pada beberapa hal dapat bersesuaian dengan Islam. Bagi kyai Qaradhawy, siapapun yang memandang demokrasi secara benar, akan mendapatkan kesesuaian dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Bahkan, Ketua Persatuan Ulama Dunia itu mengatakan, Islam lebih awal menerapkan prinsip tersebut.[11]

Bagi Anis, demokrasi bukanlah agama yang melahirkan diferensiasi halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara pada ranah legal dan tidak legal. Sehingga tugas kita adalah bagaimana menjadikan sesuatu yang haram dalam pandangan agama, menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Sebaliknya menjadikan apa yang diperbolehkan oleh agama menjadi legal dalam hukum positif itu. Dalam framing seperti itu, sebetulnya doktrin “vox populi vox dei” atau suara rakyat adalah suara Tuhan bisa menemukan ruangnya yang relevan.

Sebagai seorang politisi Muslim, Anis faham bahwa hal-hal semacam itu bukan suatu yang mustahil untuk dicapai dengan memanfaatkan mashlahat dari demokrasi prosedural. Di alam demokrasi pula, umat Islam Indonesia dapat berdakwah lebih bebas.

Islamist Democrat

Kelompok Muslim yang menerima demokrasi prosedural semacam Anis Matta dengan kafilah PKS-nya ini disebut oleh para pengamat dengan sebutan kaumIslamist democrat (Demokrat Islamis), yakni kelompok Islam yang menjalankan demokrasi, setidaknya demokrasi elektoral, tetapi tetap memperteguh identitas dan agenda-agenda Islam ke dalam kehidupan publik. Istilah islamist democrat ini menurut pengamat politik senior Saiful Mujani, adalah suatu contradictio interminis, atau ungkapan yang mengandung pengertian kontradiktif di dalam dirinya.[12]

Tentu mudah dipahami mengapa fenomena Islamist democrat disebut sebagai sebuah kontradiksi, karena selama ini pattern yang terbentuk antara gerakan Islam dan demokrasi adalah dua hal tidak pernah bisa bertemu. Kita bisa melihat pandangan-pandangan tersebut melalui pemikiran Hizbut Tahrir, Jamaah Ansharut Tauhid, dan kelompok-kelompok anti demokrasi lainnya.

Sementara, Anis Matta berpandangan bahwa mempertahankan demokrasi sebagai sebuah sistem politik saat ini justru jauh lebih penting dan strategis, bukan semata untuk meraih kekuasaan, melainkan kebutuhan terhadap tersedianya payung politik bagi umat Islam untuk mengekpresikan diri secara bebas dan wajar, tanpa perlu dihantui rasa takut atau merasa sebagai warga negara kelas dua, atau merasa teralienasi di negaranya sendiri karena ingin teguh memegang tuntutan-tuntutan Islam di dalam dirinya. 

Artinya, bagi Anis, untuk saat ini memenangkan demokrasi jauh lebih penting ketimbang meraih kemenangan lain yang mungkin diraih. Bahkan baginya, hidup dalam alam demokrasi tanpa harus berkuasa adalah hal yang lebih strategis daripada meraih kekuasaan melalui konflik berkepanjangan. Bukankah selepas diraih pun, terkadang kekuasaan itu justru menjadi bumerang? Mengutip John L. Esposito, secara satire Anis mengatakan bahwa partai-partai Islam tidak perlu dikhawatirkan sebab mereka akan hancur sendiri begitu mereka berkuasa, karena mereka tidak memiliki keterampilan untuk memenuhi janji-janji Islam.[13] Oleh karena itu, pembenahan terhadap alat politik berupa parpol sebagai kontestan dalam alam demokrasi menjadi keniscayaan, baik pada level pemikir, maupun basis massa, agar ketika kekuasaan diraih, semua indikator yang diperlukan benar-benar telah matang.

Negara Islam dan NKRI, Perspektif Anis Matta

Ada kalimat menarik ketika A.M.Furqon, mewawancarai Anis Matta untuk proyek tesisnya di Universitas Indonesia seputar model negara Islam. Ketika membedah tentang urgensi label “negara Islam” dalam format negara, jebolan LIPIA yg karir politiknya paling mentereng itu menjawab bahwa “jika substansi sudah cukup mewakili nama, tak perlu nama mewakili substansi, meski tidak menafikan nama.” Menurut Anis, ketika Rasulullah Saw berkuasa di Madinah, negara itu tidak diberi nama al-Madinah al-Islamiyyah al-Munawwarah. Pun Saudi Arabia yang dikenal sebagai negara Islam, hanya bernama resmi “al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah”, tidak ada sama sekali label “Mamlakah al-Islamiyyah” disitu. Oleh karena itu menurut Anis, negara sebesar Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini, tak perlu mendeklarasikan atau melabeli negara dengan sebutan ‘Negara Islam’. Identitas keislaman Indonesia itu bahkan sudah semakin jelas dengan bergabungnya republik ini sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Bagi Anis, tidak penting berdebat tentang wacana negara Islam atau bukan negara Islam, karena negara ini sudah milik umat Islam. Jika sebelumnya negara ini dikelola oleh orang sekular, PKS sebagai kendaraan politik Anis menginginkan agar negara ini dikelola secara Islam. Yang sebetulnya lebih penting bagi deklarator Partai Keadilan ini adalah bagaimana menghadirkan Islam pada seluruh sektor kehidupan, membangun sebuah pandangan fiqh bernegara yang lebih luas, tidak berorientasi tekstual. Dalam wawancara yang sama, Anis mengatakan bahwa ia menempuh cara-cara politik dengan tujuan yang substansial seperti bagaimana mengelola pendidikan dengan cara Islam, mengelola sistem pertahanan secara Islam, perekonomian secara Islam, itu yang lebih penting. Dan dalam konstruksi berfikir yang demikian, tidak terlalu penting apakah diperlukan label negara Islam atau tidak. 

Yang diperlukan adalah pembuktian bahwa jika kekuasaan politik didapatkan, rakyat kemudian enjoy, pemerintahan juga cukup capable, sehingga jangan sampai ketika kekuasaan diraih dan dilabeli dengan nama ‘negara Islam’, lalu negara ini bangkrut, atau tak bisa melawan Amerika jika diserang, atau tak berdaya ketika dikerjai oleh Geroge Soros, label menjadi tak ada gunanya.[14]

Pandangan Anis Matta ini juga dikuatkan oleh sejawatnya di PKS, Kyai Hidayat Nur Wahid (HNW). Menurut HNW, kata-kata “negara Islam” sebetulnya bukan sesuatu yang diutamakan sebab baik masa pemerintahan Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah atau Abbasiyyah pun, juga tidak disebut dengan label ‘Negara Islam’. 

Namun demikian, dengan tiadanya label negara Islam, lanjut ustadz yang kerap disapa ‘pak doktor’ ini, bukan berarti kita diperkenankan membentuk negara sekularistik yang menjurus pada kehidupan bernegara yang serba materialistik dan senyap dari petunjuk wahyu.

Yang lebih penting bagi mantan ketua MPR itu adalah bagaimana kemudian nilai-niali Islam itu hadir dalam kehidupan, tidak melakukan kezaliman pada apapun dan siapapun, termasuk tidak menghabiskan waktu pada perdebatan yang tidak pernah berujung pangkal.[15]

Prinsipnya, kembali ke Anis Matta, sebagaimana paparannya dalam presentasi yang luar biasa di depan dosen-dosen Universitas Indonesia November 2013 silam, Islam mengatur secara berbeda antara perkara yang tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu, dengan hal-hal yang yang kebutuhannya dipengaruhi oleh ruang dan waktu. 

Orator ulung itu mengatakan, untuk hal yang tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman, maka Islam mengaturnya dengan baku secara lengkap dan detail. Contohnya hukum waris dalam keluarga. Karena struktur keluarga itu tidak dipengaruhi oleh perkembangan zaman, dalam arti strukturnya akan tetap terdiri dari ayah, ibu, anak, saudara, dan seterusnya, maka Islam memberikan “regulasi” yang baku mengenai hukum waris.

Tetapi untuk hal-hal yang selalu berubah sesuai dengan dinamisitas perkembangan zaman, Islam memberikan panduan-panduan yang substansial namun tidak menentukan formatnya secara baku. Contohnya dalam hal ini adalah bentuk atau format negara. Itulah alasan jika kita berdebat dalam sejarah pemikiran politik Islam dan mencari format baku negara Islam, kita tidak akan menemukan satu bentuk yang sama. Menurut Anis, Hal ini disebabkan karena format negara disesuaikan dengan ijtihad yang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Kebutuhan sosial – politik Ini bukan model permanen, tetapi menyesuaikan diri tunduk kepada ruang dan waktu dimana kebutuhannya selalu berubah. [16]

Nampaknya ini adalah pembacaan yang benar sekaligus jawaban atas diskursus relasi Islam-negara. Kita bisa berikan sebuah contoh, pemilihan keempat khulafa al-Rasyidin yang berbeda-beda, merupakan contoh bagaimana sistem pemilihan kepala negara di dalam Islam sebetulnya boleh beragam-ragam, baik secara aklamasi seperti Abu Bakar, ditunjuk lansung seperti Umar, maupun menggunakan tim formatur seperti Utsman. Sistem suskesi sebetulnya menunjukkan mau dengan format seperti apa negara dibangun. 

Pada faktanya, sistem politik kenegaraan di dunia memang terpengaruh oleh kebutuhan manusia sesuai zamannya yang bergerak dinamis. Di masa lalu, model kerajaan mendominasi format politik di berbagai belahan dunia, mulai Eropa hingga kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, adopsi sistem kerajaan dengan corak monarki heridetis seperti diterapkan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah misalnya, adalah hal yang relevan, sekalipun sistem kerajaan sebetulnya merupakan format asing dan “berasal dari Luar Islam”. Namun kedua dinasti tersebut tetaplah diakui sebagai sebuah kekhalifahan.

Oleh karena itu dengan logika serupa, di masa sekarang demokrasi sebetulnya sangat mungkin dimanfaatkan untuk dipadukan dengan sistem politik Islam, tentu saja dengan memperhatikan norma Islam yang menjadi pagar agar demokrasi tidak bergerak liar. Sebangun dengan apa yang oleh Abul A’la al-Maududi, ulama legendaries asal Pakistan, sebagai Theo-Demokrasi atau demokrasi yang berketuhanan.

Epilog

Model Islam politik ala Anis Matta ini nampaknya lebih realistis dan visible. Alasannya, ideologi yang terlalu ekstrem, baik terlalu liberal maupun terlalu konservatif, tidak akan mendapatkan dukungan publik di Indonesia. Cita-cita penerapan gagasan islam dalam negara lebih mungkin dilakukan jika realisasi menuju ke arah itu dilakukan dengan luwes, supel dan toleran. Oleh karena itu, dakwah yang bercorak moderat semacam gerakan tarbiyah dimana Anis Matta terlibat di dalamnya, sejatinya merupakan sebuah alternatif bagi terwujudnya cita-cita Islam dalam negara.

Model yang semacam ini disambut baik oleh kalangan cendekiawan, misalnya sebagaimana disebut oleh Azyumardi Azra selepas ia diundang dalam Milad ke 10 partai dakwah ini beberapa tahun lalu. Dalam kolomnya di Republika 2008 silam, Guru Besar Sejarah UIN Jakarta itu mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari corak Islam politik a la PKS, karena “Tujuan didirikannya PKSejahtera adalah terwujudnya masyarakat madani, yakni masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang keimanan, menghormati pluralitas, bersikap terbuka dan demokratis, dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara. PKS bertujuan membentuk masyarakat madani.”

“Jelas pula”, lanjut Azra, “masyarakat madani yang diinginkan PKS adalah masyarakat yang berbasiskan agama (religious-based civil society), bukan konsep civil society yang tidak memiliki konotasi apalagi hubungan dengan agama seperti pengalaman negara-negara di Eropa Timur dan Amerika Latin.”[17]

Kita perlu paham bahwa yang diperjuangkan Anis Matta bersama PKS adalah masyarakat madani. Sebuah model kehidupan sosial bermasyarakat yang merujuk pada peri kehidupan pada masa Nabi di Madinah. Bukan lagi pada masa khilafah. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, terdiri dari beragam suku dan agama namun hidup bersatu dalam sebuah Negara yang konstitusional dalam sebuah konsensus bersama.

Jika kita menelaah buku Risalah Rabthul ‘Am yang diterbitkan BPU DPP PKS, maka pemikiran ini sebetulnya sangat akomodatif bagi tercapainya pendekatan kepada para cendekiawan, penentu kebijakan seperti tokoh politik, pejabat pemerintah, pimpinan media, dan sebagainya agar mereka faham gagasan-gagasan politik PKS[18]. Gagasan semacam ini sejatinya perlu disosialisasikan secara luas, agar PKS sebagai kendaraan politik Anis Matta tidak terus dicurigai memiliki hidden agenda sebagaimana yang acap kita temukan di media-media sekular!

Salam 

Sigit Kamseno 
Twitter: @mistersigit
dimuat di : http://www.islamedia.co/2014/11/menyelam-ke-kedalaman-pemikiran-politik.html

[1] Geliat Dakwah di Era Baru, Kumpulan Wawancara Dakwah (Jakarta: Izzah Press, 2001), h. 73
[2] Ani Matta, Dari Gerakan ke Negara (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006),  h. 47
[3] Ibid, h.51
[4] Al Mawardi menempatkan Keadilan sebagai point ketiga dalam enam sendi negara. Lihat eksplorasi singkatnya dalam Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press), h.61-62
[5] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2001), h.154-155
[6] Syamsuddin Arief, Religius atau Sekuler, makalah.
[7] Syed Muhammad Naquib al-Atas, Islam dan Sekularisme. (Bandung : Penerbit Pustaka, 1981), h. 15.
[8] Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Yogyakarta: Qalam, 2004), h.74
[9] Ahmad Suhelmi, Op.Cit, h.309
[10] Anis Matta, Menikmati Demokrasi (Bandung: 2010), h.33-34
[11] Yusuf al-Qardhawy, Fiqih Negara. (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 182, lihat pula h.67-68, dan 175.
[12] Saiful Mujani, “Fenomena Demokrat Islamis” dalam Jurnal Harmoni (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Kemenag RI), h.17-18
[13] Anis, Dari Gerakan, h.77
[14] Aay M.Furqon, Partai Keadlian Sejahtera, Ideologi dan Praksis Politik Kaum  Muda Muslim Indonesia Kontemporer (Jakarta: Teraju, 2004), h. 234
[15] ibid
[16] Presentasi Anis Matta ini bisa disaksikan di Youtube
[17] Azyumardi Azra, PKS dan Masyarakat Madani, Republika, 24 April 2008
[18] Risalah Rabthul ‘Am (Jakarta: BPU DPP PKS, 2011), h. 11