Selasa, 16 Desember 2014

Menyelam ke Kedalaman Pemikiran Politik Islam Anis Matta





“Saya ingin mengatakan kepada seluruh aktivis Muslim, jangan pernah merasa sempurna. Karena setiap kali mereka merasa sempurna, saat itu ia berhenti bertumbuh. Dia berhenti berkembang. Tapi jangan sampai kelemahan-kelemahan yang kita temukan membuat kita putus asa untuk terus bertumbuh. Saya ingin mengatakan bahwa mereka harus melakukan cara belajar yang benar, yaitu mengumpulkan sebanyak mungkin kebaikan dalam dirinya dari waktu ke waktu...” (Anis Matta, Geliat Dakwah di Era Baru) [1]

Prolog

Di depan saya saat ini ada tiga majalah lama. Majalah Saksi edisi Agustus 2005,Sabili edisi September 1999, dan al-Muslimun edisi Februari 1990. Tiga majalah jadul itu adalah bacaan saya saat sekolah dan kuliah dulu. Hasil pinjam dari sepupu dan paman yang nyantri di pondok Ulul Albaab, UIKA, Bogor. Saya beruntung sekalipun tumbuh dalam tradisi Nahdhatul Ulama yang kental, tetapi cukup terbuka untuk terima ragam pemikiran lain. Headline ketiga majalah tersebut berturut-turut adalah: “Partai Paling Kreatif”, “Islam Slogan atau Islam Sejati”, dan “Ummatan Wahidah”.

Selain al-Muslimun, majalah Saksi dan Sabili sudah tak lagi terbit (al-Muslimunapa kabar, ya?), ketiga majalah yang sempat menjadi trade mark aktivis Islam itu gulung tikar karena sepi pembeli –dan tentu saja karena sebab lain. Sepertinya, era media online sudah menggantikan era majalah kertas.

Yang menarik, entah kenapa melihat majalah tersebut saya teringat pada Anis Matta, Presiden PKS yang argumentasinya acapkali saya gunakan dalam debat-debat seputar relasi Islam-negara, demokrasi, khilafah versus nation-state, dan seterusnya, pada diskusi-diskusi akademik di kampus.

Saya sering mengutip pendapat pria muda mapan dan berkumis tipis (lho?) yang kini menjadi Presiden PKS itu karena bagi saya, dan rekan-rekan tentu boleh tak bersetuju, paradigma dan nalar orator ulung itu berbeda dari kebanyakan. Misalnya, ketika sebagian orang mengkhawatirkan terjadinya disintegrasi bangsa akibat aspirasi penerapan syariat Islam di Indonesia, Anis justru mendudukan akar masalahnya terlebih dahulu dengan sebuah pertanyaan fundamental“apakah memang ada korelasi antara penerapan syariat Islam dengan disintegrasi bangsa?”[2]

Nalar ini menjadi penting karena faktanya, dalam kasus merdekanya Timor Leste, menyusul keinginan serupa dari Papua, atau Aceh beberapa waktu lalu, (bahkan sempat beredar isu Riau ingin memisahkan diri dari NKRI), apakah ada pertalian dengan keinginan menerapkan syariah? “yang pasti adalah” sambung Anis, “syariat Islam belum diterapkan, tapi gejala disintegrasi itu sudah ada. Jadi, ada alasan untuk bertanya ‘Siapa yang berada dibalik mitos ini? Apakah mitos ini merupakan sebuah konspirasi terhadap Islam? Atau mitos disintegrari bangsa akibat penerapan syariah ini adalah indikator keminderan dari sekelompok umat Muslim yang tidak pernah memiliki rasa percaya diri yang memadai dengan keislamannya?” Demikian retorik pria kelahiran 28 September 1986 eh 1968 itu.[3]

Dari alam pikiran ini, Anis kemudian mengutip doktrin pemikir politik Islam klasik, Imam al-Mawardi dalam kitabnya Adab al-Dunya wa al-Dien, bahwa “Umur persatuan suatu bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu keadilan berganti kezaliman, maka tunggulah saat perpecahan.”[4]

Saya kira ini sebuah pandangan yang tetap aktual, sebab jika kita melihat fenomena disintegrasi negara, bukankah keinginan memerdekakan diri provinsi-provinsi di atas adalah karena tiadanya keadilan? Sehingga, belum lagi isu penerapan syariah ini dilemparkan ke muka publik, disintegrasi sebetulnya telah terjadi karena tidak meratanya keadilan. Menurut Anis, jika sebagian kelompok kemudian mengatakan bahwa nasionalisme bisa dijadikan sebagai satu-satunya alat untuk menyatukan bangsa (dengan menegasikan syariah), maka Yugoslavia dan Uni Sovyet adalah contoh terbaik bagaimana nasionalisne sebetulnya bukanlah faktor pemersatu yang efektif. Kedua negara itu terpecah dan runtuh.

Relasi Islam - Demokrasi, Perspektif Anis Matta

Perdebatan mengenai relasi Islam-demokrasi dalam diskursus politik Islam ibarat menyalip Avanza di jalan raya, tak pernah ada habisnya. Sebagian kelompok, menempatkan demokrasi selayak sampah yang harus dimusnahkan. Seratus persen bertentangan dengan Islam. Sistem kufur. Bahkan warisan Yunani kuno itu acap disebut sebagai ideologi syirik karena demokrasi, dipandang telah merampas hak Tuhan sebagai satu-satunya pihak yang berdaulat untuk menetapkan hukum. Pun, kalangan ini kerap mengimani bahwademos-cratos itu lahir dari rahim sekularisme, dimana sekularisme bertentangan dengan Islam. Demokrasi dipandang telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Dalam realitas alam politik kita, pendapat seperti ini sekalipun seolah shahih, sebetulnya menggelisahkan, dan dalam banyak hal seringkali berimplikasi merugikan umat Islam yang membutuhkan regulasi untuk memayungi hajat mereka. Menghindari masuknya aktivis Muslim ke parlemen hanya akan menyisakan kelompok sekuler yang kemudian memiliki otoritas untuk membuat regulasi yang merugikan umat.

Pun, keyakinan bahwa demokrasi lahir dari rahim sekularisme senyatanya merupakan hal yang membuat kepala jadi confused. Keyakinan ini diimani sedemikian rupa dengan mengesampingkan fakta bahwa sekularisme sebetulnya lahir lebih belakangan daripada demokrasi. Demokrasi sudah berjaya di Yunani kuno sejak lima abad sebelum masehi, sementara sekularisme, baru bertumbuh di Eropa pada abad pertengahan bersamaan dengan munculnya protes atas dominasi agama dalam kehidupan bernegara di bawah seruan Martin Luther yang kemudian menyebar ke sejumlah negara.[5] Jika pun justifikasi atas sekularisme ini ditarik lebih awal, maka doktrinnya akan kita dapatkan pada awal abad masehi, yakni dari dogma Kristiani sebagaimana tertulis dalam Injil Matius XXII:21 “Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.”

Syamsuddin Arif,[6] seorang intelektual dan peneliti di INSIST dalam makalahnya berjudul Religius atau Sekuler mengatakan, implikasi dari doktrin Kristen inilah yang kemudian menghasilkan pandangan bahwa agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik dan negara, dari sini muncul dikotomi antara regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas gereja, antara wewenang negara dan wewenang agama. Doktrin ini pun mendapat legitimasi dari St. Augustin yang membuat distingsi antara Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei). Inilah sekularisme, atau sae culum yang mengutip Syed M.Naquib al-Attas bermakna “kedisinikinian” itu.[7]

Pertanyaannya: bagaimana mungkin demokrasi yang sudah eksis di Yunani pada abad ke 5 SM, lahir dari rahim sekularisme yang baru dikenal pada awal tahun Masehi?

Saya ingin hindari lebih jauh perdebatan relasi Islam-demokrasi. Terma tentang politik Islam dan demokrasi seperti saya sebut dimuka tak pernah akan ada habisnya. Bahkan, definisi dari demokrasi itu sendiri tidak mudah untuk disepakati. Ian Adams, professor ilmu politik di New College, Durham, mengatakan bahwa pasca Perang Dunia II, PBB melalui UNESCO pernah menugaskan sejumlah sarjana untuk mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991), para intelektual itu mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat begitu banyak definisi demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk dicapai kesepakatan.[8] Bahkan sedemikianconfuse-nya demokrasi, kelompok pemuja Karl Marx dan Lenin yang notabene komunis pun punya klaim demokrasinya sendiri sebagai tandingan bagi demokrasi liberal.[9]

Mari kita biarkan perdebatan politik Islam vis a vis demokrasi itu menjadi kekayaan khazanah dalam pemikiran politik Islam, karena bagaimanapun dialektika mengenai pergumulan ideologi-ideologi politik akan tetap diperlukan, agar dinamika kehidupan sosial politik kita tetap berjalan dengan dinamis. 

Hanya saja ada satu hal yang sebetulnya menjadi titik temu dari aneka ragam demokrasi itu, yaitu sistem politik yang memberikan pilihan kepada rakyat untuk mengatur hidup mereka sendiri berdasarkan konsensus yang disepakati bersama. Dalam banyak hal, demokrasi memberi peluang lebih besar kepada suara terbanyak yang secara sosio-politik (harus) diandaikan sebagai suara tuhan. Menariknya, justru celah demokrasi inilah yang dimanfaatkan Anis Matta untuk menggulirkan cita-cita. Mari kita lihat misalnya gagasan yang ia tulis dalam bukunya yang terkenal Menikmati Demokrasi 

“Semua individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan individu lain. Semua sama-sama bebas berpikir, berekspresi, bertindak, dan memilih jalan hidup. Tidak boleh ada rasa takut, ada tekanan, terutama dari militer. Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan yang sama.”
Anis melanjutkan,
“Namun kebebasan (dalam demokrasi) ini ada harganya. Para pelaku dakwah memang bebas menjalankan dakwahnya. Tetapi pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan sesuatu itu benar tapi tidak legal, adalah salah. Jadi tugas kita adalah bagaimana mempertemukan antara kebenaran dan legalitas.” [10]
Dari perspektif yang semacam itu, kita akan paham bahwa Anis menerima demokrasi sebagai bagian dari caranya menyampaikan aspirasi. Sama persis dengan apa yang berada dalam benak kalangan sekuler, yang juga menyampaikan aspirasinya lewat jalur demokrasi. Yang membedakannya hanya pada gagasan apa yang diperjuangkan. Justru memang karena itulah demokrasi diperlukan: sebagai melting pot dari ragam ide yang tumbuh dalam masyarakat.

Anis menyampaikan apa yang diinginkannya itu melalui prosedur demokrasi yang sah dan konstitusional, seraya tetap menghargai keragaman dan multikulturalitas dalam masyarakat. Saya kira pandangan realistis dan akomodatif terhadap demokrasi semacam ini sejatinya sejalan dengan pandangan seorang ulama dunia yang cukup dihormati di Indonesia, yaitu Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Daulah yang memandang demokrasi pada beberapa hal dapat bersesuaian dengan Islam. Bagi kyai Qaradhawy, siapapun yang memandang demokrasi secara benar, akan mendapatkan kesesuaian dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Bahkan, Ketua Persatuan Ulama Dunia itu mengatakan, Islam lebih awal menerapkan prinsip tersebut.[11]

Bagi Anis, demokrasi bukanlah agama yang melahirkan diferensiasi halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara pada ranah legal dan tidak legal. Sehingga tugas kita adalah bagaimana menjadikan sesuatu yang haram dalam pandangan agama, menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Sebaliknya menjadikan apa yang diperbolehkan oleh agama menjadi legal dalam hukum positif itu. Dalam framing seperti itu, sebetulnya doktrin “vox populi vox dei” atau suara rakyat adalah suara Tuhan bisa menemukan ruangnya yang relevan.

Sebagai seorang politisi Muslim, Anis faham bahwa hal-hal semacam itu bukan suatu yang mustahil untuk dicapai dengan memanfaatkan mashlahat dari demokrasi prosedural. Di alam demokrasi pula, umat Islam Indonesia dapat berdakwah lebih bebas.

Islamist Democrat

Kelompok Muslim yang menerima demokrasi prosedural semacam Anis Matta dengan kafilah PKS-nya ini disebut oleh para pengamat dengan sebutan kaumIslamist democrat (Demokrat Islamis), yakni kelompok Islam yang menjalankan demokrasi, setidaknya demokrasi elektoral, tetapi tetap memperteguh identitas dan agenda-agenda Islam ke dalam kehidupan publik. Istilah islamist democrat ini menurut pengamat politik senior Saiful Mujani, adalah suatu contradictio interminis, atau ungkapan yang mengandung pengertian kontradiktif di dalam dirinya.[12]

Tentu mudah dipahami mengapa fenomena Islamist democrat disebut sebagai sebuah kontradiksi, karena selama ini pattern yang terbentuk antara gerakan Islam dan demokrasi adalah dua hal tidak pernah bisa bertemu. Kita bisa melihat pandangan-pandangan tersebut melalui pemikiran Hizbut Tahrir, Jamaah Ansharut Tauhid, dan kelompok-kelompok anti demokrasi lainnya.

Sementara, Anis Matta berpandangan bahwa mempertahankan demokrasi sebagai sebuah sistem politik saat ini justru jauh lebih penting dan strategis, bukan semata untuk meraih kekuasaan, melainkan kebutuhan terhadap tersedianya payung politik bagi umat Islam untuk mengekpresikan diri secara bebas dan wajar, tanpa perlu dihantui rasa takut atau merasa sebagai warga negara kelas dua, atau merasa teralienasi di negaranya sendiri karena ingin teguh memegang tuntutan-tuntutan Islam di dalam dirinya. 

Artinya, bagi Anis, untuk saat ini memenangkan demokrasi jauh lebih penting ketimbang meraih kemenangan lain yang mungkin diraih. Bahkan baginya, hidup dalam alam demokrasi tanpa harus berkuasa adalah hal yang lebih strategis daripada meraih kekuasaan melalui konflik berkepanjangan. Bukankah selepas diraih pun, terkadang kekuasaan itu justru menjadi bumerang? Mengutip John L. Esposito, secara satire Anis mengatakan bahwa partai-partai Islam tidak perlu dikhawatirkan sebab mereka akan hancur sendiri begitu mereka berkuasa, karena mereka tidak memiliki keterampilan untuk memenuhi janji-janji Islam.[13] Oleh karena itu, pembenahan terhadap alat politik berupa parpol sebagai kontestan dalam alam demokrasi menjadi keniscayaan, baik pada level pemikir, maupun basis massa, agar ketika kekuasaan diraih, semua indikator yang diperlukan benar-benar telah matang.

Negara Islam dan NKRI, Perspektif Anis Matta

Ada kalimat menarik ketika A.M.Furqon, mewawancarai Anis Matta untuk proyek tesisnya di Universitas Indonesia seputar model negara Islam. Ketika membedah tentang urgensi label “negara Islam” dalam format negara, jebolan LIPIA yg karir politiknya paling mentereng itu menjawab bahwa “jika substansi sudah cukup mewakili nama, tak perlu nama mewakili substansi, meski tidak menafikan nama.” Menurut Anis, ketika Rasulullah Saw berkuasa di Madinah, negara itu tidak diberi nama al-Madinah al-Islamiyyah al-Munawwarah. Pun Saudi Arabia yang dikenal sebagai negara Islam, hanya bernama resmi “al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah”, tidak ada sama sekali label “Mamlakah al-Islamiyyah” disitu. Oleh karena itu menurut Anis, negara sebesar Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini, tak perlu mendeklarasikan atau melabeli negara dengan sebutan ‘Negara Islam’. Identitas keislaman Indonesia itu bahkan sudah semakin jelas dengan bergabungnya republik ini sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Bagi Anis, tidak penting berdebat tentang wacana negara Islam atau bukan negara Islam, karena negara ini sudah milik umat Islam. Jika sebelumnya negara ini dikelola oleh orang sekular, PKS sebagai kendaraan politik Anis menginginkan agar negara ini dikelola secara Islam. Yang sebetulnya lebih penting bagi deklarator Partai Keadilan ini adalah bagaimana menghadirkan Islam pada seluruh sektor kehidupan, membangun sebuah pandangan fiqh bernegara yang lebih luas, tidak berorientasi tekstual. Dalam wawancara yang sama, Anis mengatakan bahwa ia menempuh cara-cara politik dengan tujuan yang substansial seperti bagaimana mengelola pendidikan dengan cara Islam, mengelola sistem pertahanan secara Islam, perekonomian secara Islam, itu yang lebih penting. Dan dalam konstruksi berfikir yang demikian, tidak terlalu penting apakah diperlukan label negara Islam atau tidak. 

Yang diperlukan adalah pembuktian bahwa jika kekuasaan politik didapatkan, rakyat kemudian enjoy, pemerintahan juga cukup capable, sehingga jangan sampai ketika kekuasaan diraih dan dilabeli dengan nama ‘negara Islam’, lalu negara ini bangkrut, atau tak bisa melawan Amerika jika diserang, atau tak berdaya ketika dikerjai oleh Geroge Soros, label menjadi tak ada gunanya.[14]

Pandangan Anis Matta ini juga dikuatkan oleh sejawatnya di PKS, Kyai Hidayat Nur Wahid (HNW). Menurut HNW, kata-kata “negara Islam” sebetulnya bukan sesuatu yang diutamakan sebab baik masa pemerintahan Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah atau Abbasiyyah pun, juga tidak disebut dengan label ‘Negara Islam’. 

Namun demikian, dengan tiadanya label negara Islam, lanjut ustadz yang kerap disapa ‘pak doktor’ ini, bukan berarti kita diperkenankan membentuk negara sekularistik yang menjurus pada kehidupan bernegara yang serba materialistik dan senyap dari petunjuk wahyu.

Yang lebih penting bagi mantan ketua MPR itu adalah bagaimana kemudian nilai-niali Islam itu hadir dalam kehidupan, tidak melakukan kezaliman pada apapun dan siapapun, termasuk tidak menghabiskan waktu pada perdebatan yang tidak pernah berujung pangkal.[15]

Prinsipnya, kembali ke Anis Matta, sebagaimana paparannya dalam presentasi yang luar biasa di depan dosen-dosen Universitas Indonesia November 2013 silam, Islam mengatur secara berbeda antara perkara yang tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu, dengan hal-hal yang yang kebutuhannya dipengaruhi oleh ruang dan waktu. 

Orator ulung itu mengatakan, untuk hal yang tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman, maka Islam mengaturnya dengan baku secara lengkap dan detail. Contohnya hukum waris dalam keluarga. Karena struktur keluarga itu tidak dipengaruhi oleh perkembangan zaman, dalam arti strukturnya akan tetap terdiri dari ayah, ibu, anak, saudara, dan seterusnya, maka Islam memberikan “regulasi” yang baku mengenai hukum waris.

Tetapi untuk hal-hal yang selalu berubah sesuai dengan dinamisitas perkembangan zaman, Islam memberikan panduan-panduan yang substansial namun tidak menentukan formatnya secara baku. Contohnya dalam hal ini adalah bentuk atau format negara. Itulah alasan jika kita berdebat dalam sejarah pemikiran politik Islam dan mencari format baku negara Islam, kita tidak akan menemukan satu bentuk yang sama. Menurut Anis, Hal ini disebabkan karena format negara disesuaikan dengan ijtihad yang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Kebutuhan sosial – politik Ini bukan model permanen, tetapi menyesuaikan diri tunduk kepada ruang dan waktu dimana kebutuhannya selalu berubah. [16]

Nampaknya ini adalah pembacaan yang benar sekaligus jawaban atas diskursus relasi Islam-negara. Kita bisa berikan sebuah contoh, pemilihan keempat khulafa al-Rasyidin yang berbeda-beda, merupakan contoh bagaimana sistem pemilihan kepala negara di dalam Islam sebetulnya boleh beragam-ragam, baik secara aklamasi seperti Abu Bakar, ditunjuk lansung seperti Umar, maupun menggunakan tim formatur seperti Utsman. Sistem suskesi sebetulnya menunjukkan mau dengan format seperti apa negara dibangun. 

Pada faktanya, sistem politik kenegaraan di dunia memang terpengaruh oleh kebutuhan manusia sesuai zamannya yang bergerak dinamis. Di masa lalu, model kerajaan mendominasi format politik di berbagai belahan dunia, mulai Eropa hingga kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, adopsi sistem kerajaan dengan corak monarki heridetis seperti diterapkan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah misalnya, adalah hal yang relevan, sekalipun sistem kerajaan sebetulnya merupakan format asing dan “berasal dari Luar Islam”. Namun kedua dinasti tersebut tetaplah diakui sebagai sebuah kekhalifahan.

Oleh karena itu dengan logika serupa, di masa sekarang demokrasi sebetulnya sangat mungkin dimanfaatkan untuk dipadukan dengan sistem politik Islam, tentu saja dengan memperhatikan norma Islam yang menjadi pagar agar demokrasi tidak bergerak liar. Sebangun dengan apa yang oleh Abul A’la al-Maududi, ulama legendaries asal Pakistan, sebagai Theo-Demokrasi atau demokrasi yang berketuhanan.

Epilog

Model Islam politik ala Anis Matta ini nampaknya lebih realistis dan visible. Alasannya, ideologi yang terlalu ekstrem, baik terlalu liberal maupun terlalu konservatif, tidak akan mendapatkan dukungan publik di Indonesia. Cita-cita penerapan gagasan islam dalam negara lebih mungkin dilakukan jika realisasi menuju ke arah itu dilakukan dengan luwes, supel dan toleran. Oleh karena itu, dakwah yang bercorak moderat semacam gerakan tarbiyah dimana Anis Matta terlibat di dalamnya, sejatinya merupakan sebuah alternatif bagi terwujudnya cita-cita Islam dalam negara.

Model yang semacam ini disambut baik oleh kalangan cendekiawan, misalnya sebagaimana disebut oleh Azyumardi Azra selepas ia diundang dalam Milad ke 10 partai dakwah ini beberapa tahun lalu. Dalam kolomnya di Republika 2008 silam, Guru Besar Sejarah UIN Jakarta itu mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari corak Islam politik a la PKS, karena “Tujuan didirikannya PKSejahtera adalah terwujudnya masyarakat madani, yakni masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang keimanan, menghormati pluralitas, bersikap terbuka dan demokratis, dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara. PKS bertujuan membentuk masyarakat madani.”

“Jelas pula”, lanjut Azra, “masyarakat madani yang diinginkan PKS adalah masyarakat yang berbasiskan agama (religious-based civil society), bukan konsep civil society yang tidak memiliki konotasi apalagi hubungan dengan agama seperti pengalaman negara-negara di Eropa Timur dan Amerika Latin.”[17]

Kita perlu paham bahwa yang diperjuangkan Anis Matta bersama PKS adalah masyarakat madani. Sebuah model kehidupan sosial bermasyarakat yang merujuk pada peri kehidupan pada masa Nabi di Madinah. Bukan lagi pada masa khilafah. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, terdiri dari beragam suku dan agama namun hidup bersatu dalam sebuah Negara yang konstitusional dalam sebuah konsensus bersama.

Jika kita menelaah buku Risalah Rabthul ‘Am yang diterbitkan BPU DPP PKS, maka pemikiran ini sebetulnya sangat akomodatif bagi tercapainya pendekatan kepada para cendekiawan, penentu kebijakan seperti tokoh politik, pejabat pemerintah, pimpinan media, dan sebagainya agar mereka faham gagasan-gagasan politik PKS[18]. Gagasan semacam ini sejatinya perlu disosialisasikan secara luas, agar PKS sebagai kendaraan politik Anis Matta tidak terus dicurigai memiliki hidden agenda sebagaimana yang acap kita temukan di media-media sekular!

Salam 

Sigit Kamseno 
Twitter: @mistersigit
dimuat di : http://www.islamedia.co/2014/11/menyelam-ke-kedalaman-pemikiran-politik.html

[1] Geliat Dakwah di Era Baru, Kumpulan Wawancara Dakwah (Jakarta: Izzah Press, 2001), h. 73
[2] Ani Matta, Dari Gerakan ke Negara (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006),  h. 47
[3] Ibid, h.51
[4] Al Mawardi menempatkan Keadilan sebagai point ketiga dalam enam sendi negara. Lihat eksplorasi singkatnya dalam Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press), h.61-62
[5] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2001), h.154-155
[6] Syamsuddin Arief, Religius atau Sekuler, makalah.
[7] Syed Muhammad Naquib al-Atas, Islam dan Sekularisme. (Bandung : Penerbit Pustaka, 1981), h. 15.
[8] Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir (Yogyakarta: Qalam, 2004), h.74
[9] Ahmad Suhelmi, Op.Cit, h.309
[10] Anis Matta, Menikmati Demokrasi (Bandung: 2010), h.33-34
[11] Yusuf al-Qardhawy, Fiqih Negara. (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 182, lihat pula h.67-68, dan 175.
[12] Saiful Mujani, “Fenomena Demokrat Islamis” dalam Jurnal Harmoni (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Kemenag RI), h.17-18
[13] Anis, Dari Gerakan, h.77
[14] Aay M.Furqon, Partai Keadlian Sejahtera, Ideologi dan Praksis Politik Kaum  Muda Muslim Indonesia Kontemporer (Jakarta: Teraju, 2004), h. 234
[15] ibid
[16] Presentasi Anis Matta ini bisa disaksikan di Youtube
[17] Azyumardi Azra, PKS dan Masyarakat Madani, Republika, 24 April 2008
[18] Risalah Rabthul ‘Am (Jakarta: BPU DPP PKS, 2011), h. 11

0 komentar:

Posting Komentar