Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Jumat, 22 Maret 2013

Dua Wajah Hizbut Tahrir


Oleh: Sigit Kamseno

Menjelang pembukaan sebuah acara pelatihan di kawasan Puncak, Bogor, seorang teman yang bekerja di Kementerian Agama menceritakan pengalamannya menjadi moderator dalam sebuah acara temu konsultasi antara Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI dengan Ormas-Ormas Islam di Indonesia. Sebagai seorang jebolan pesantren dan sebuah Universitas Islam di Medan, wawasan keislaman teman saya ini cukup luas dan moderat.

Saya tertarik dengan ucapannya waktu itu, bahwa sebagai salah satu ‘ormas’ Hizbut Tahrir sesungguhnya memiliki dua wajah. (by the way saya sepakat dengan kata ‘ormas’ ini. Bahwa, Hizbut Tahrir secara de jure memang terdaftar sebagai ormas di Indonesia, sekalipun seluruh syabab/aktivis HT mengklaim diri sebagai partai politik non peserta pemilu).

Wajah baik

Kata “dua wajah” ini mengingatkan saya tentang fakta demokrasi, sebuah ideologi yang tak henti-henti dihinadina dan dicerca habis-habisan oleh syabab Hizbut tahrir. Selayaknya demokrasi yang memiliki dua wajah, yakni wajah baik dan buruk, Hizbut Tahrir juga memiliki dua wajah. Wajah baik Hizbut Tahrir, seperti sering saya apresiasi di setiap kuliah saya di hadapan rekan2 mahasiswa dan dosen, adalah bentuk perlawanan mereka terhadap dominasi ideologi yang dihembuskan oleh Negara adidaya Amerika Serikat ke seluruh penjuru bumi. Semangat ini, saya pandang sebagai wajah baik hizbut tahrir, karena sejujurnya saya termasuk dalam kalangan yang memandang bahwa hembusan demokrasi yang dikipas2 oleh amerika ke banyak Negara sebetulnya dipenuhi oleh banyak sekali kepentingan. Minyak, dan usaha mempertahankan superioritasnya pada negara2 lain di dunia adalah kepentingan terbesar AS yang berlindung dibalik gaun demokrasi. Amerika Serikat bahkan menyimbahkan genangan darah pada gaun demokrasi itu di Afghanistan, Iraq, dan kini Libya. Hingga gaun itu terlihat bersimbah darah dan terlihat amat buruk.

Dengan berlindung di balik gaun demokrasi itulah, pemerintah AS menumpahkan darah2 manusia sehingga tampak amat lengket di aspal-aspal jalan, di pagar-pagar perkampungan, hingga di mimbar-mimbar masjid, sementara tangannya sibuk membawa tangki2 minyak yang siap ia bawa pulang untuk berminum-minum di atas meja makan nan indah dipenuhi obrolan-obrolan ‘ringan’: “Negara mana lagi selanjutnya?”

Hizbut tahrir, menentang imperialisme ini. Dengan tak henti menyebarkan wacana perlawanan terhadap ideologi Amerika yg kini mendominasi dunia. Di kampus-kampus, di dunia maya, di masjid2, tak sulit bagi kita untuk mendapatkan leaflet, brosur, atau bulletin kampanye Hizbut Tahrir ini. Meski perannya memang hanya sebatas wacana (jujur sejauh ini saya belum melihat langkah riil HT dalam “melawan” Amerika kecuali lewat seminar, jaulah tokoh, konferensi, atau tulisan2 di media2 milik mereka, yang kesemuanya hanya berada pada level ‘wacana’ semata.), namun saya pikir cukup berperan sebagai sebuah counter wacana atas “keunggulan-keunggulan” demokrasi yang merajalela di hampir seluruh dunia.

Melalui media HT, meski bukan satu2nya faktor, tak sedikit diantara ummat Islam yang akhirnya paham bahwa demokrasi, tak melulu unggul sebagai sebuah ideologi.

Melihat hizbut tahrir dalam wajah“baik”nya ini, mengingatkan kita pada karya-karya Karl Marx, Engels, beserta ‘binaan’2anya semacam Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, DN Aidit, Tan Malaka, Fidel Castro, Hugo Chavez, atau mungkin Pramoedya Ananta Toer. Wajah HT mirip dengan nama-nama tersebut, hanya saja HT duduk di jajaran kursi sebelah “kanan”. Maksud saya, Di dalam pesawat yang hendak membombardir kapitalisme dan demokrasi ini, Marx satu jajaran dengan Engels di bangku sebelah kiri, sementara Taqiyuddin dengan Abdul Qadim Zallum berada pada pesawat yang sama di jajaran sebelah kanan.

Bedanya kaum komunis melakukan aksi berdarah-darah dalam perlawanan melawan kapitalisme-demokrasi (dan saya tidak setuju dengan hal ini), sementara HT tidak berdarah-darah tetapi berseminar2 dan berkonferensi-konferensi (saya juga tak setuju dengan hal ini karena tidak kongkrit, rasanya harus ada formula lain dalam membasmi racun kapitalisme ini yang cerdas dan membunuh).

Bagaimanapun, saya selalu memberikan apresiasi atas bentuk counter opinion terhadap sesuatu yang dianggap wajar padahal zalim. Seperti kapitalisme dan demokrasi a la amerika itu. Tanpa ada pihak2 yang berani melakukan counter, maka kezaliman akan dianggap sebagai kelaziman. Selain itu, adanya dialektika dari satu tesis dengan tesis lainnya. Meminjam istilah filosof Jerman George Wilhem Friendrich Hegel, akan melahirkan absolute idea atau the great spirit yang akan membawa manusia pada kesempurnaan konsep. Hizbut Tahrir berdiri sebagai antitesa, layaknya Daud melawan raksasa tesis Demokrasi Amerika.

Wajah Buruk

Eksplorasi di atas adalah pembedahan saya dari obrolan ringan dengan teman yang orang medan itu. Kemudian dia melanjutkan bahwa hizbut tahrir memiliki satu wajah lagi: wajahnya yang buruk. Bukan buruk secara aqidah seperti selama ini cukup ramai diperbicangkan, misalnya ketidakyakinan Hizbut tahrir terhadap adanya siksa kubur, (utk hal ini baiknya diantara rekan syabab ada yang memberikan klarifikasi karena point ini menjadi bola liar untuk menghantam hizbut tahrir dari segi aqidah. Atau justru memang kenyataannya demikian?), atau bagaimana seorang syabab HT menafikan Nabi Ismail sebagai Rasul Allah sebagaimana dicetuskan di dunia maya oleh seorang kakak kelas saya yang aktivis Hizbut Tahrir itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah, sebuah keyakinan yang nyata-nyata bertentangan dengan al-Qur’an, (saya berharap itu hanya pandangan pribadi kakak kelas saya yang—sekali lagi, aktivis hizbut tahrir itu—atas kejahilannya terhadap al-Quran semata karena berpijak pada definisi “Nabi” dan “Rasul” a la buku Materi Dasar Islam yg dikaji oleh pemula2 di Hizbut Tahrir).

Saya tak ingin membedah terlalu jauh masalah aqidah Hizbut Tahrir ini, di dunia maya ada cukup banyak rekan yang saya pikir lebih kompeten utk membedahnya. Wajah buruk HT yang lain, menurut teman saya itu, adalah penyerangannya yang membabibuta terhadap kelompok-kelompok lain.

Hal ini mudah dipahami bahwa, sebagai jamaah yang berfokus pada “counter opinion” terhadap ideologi asing, Hizbut Tahrir tak henti melakukan propaganda agar publik memahami betapa busuknya kapitalisme, sekularisme, dan demokrasi. Perjuangan meng-counter ideologi ini memang mengharuskan syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan propaganda ke dalam opini masyarakat seperti yang mudah kita temui di masjid2, kampus, atau di dunia maya seperti saya singgung di awal tulisan tadi.

Senyatanya, propaganda ini merupakan sebentuk “dakwah” Hizbut Tahrir. Hampir seluruh (atau memang seluruhnya?) aktivitas dakwah Hizbut Tahrir, mulai dari bulletin, tabloid, majalah, jaulah, seminar, diskusi publik, konferensi, demonstrasi, dan sebagainya ditujukan untuk mempropagandakan keagungan khilafah dan kebusukan ideologi dan sistem politik selainnya. Saya pikir tak ada masalah dengan hal ini, hanya saja tampaknya Hizbut Tahrir “kelewatan” dalam melakukan “aktivitas dakwah”nya.

Tak jarang dalam melakukan propaganda demi mengopinikan keagunan khilafah yang dicita-citakan seraya membusuk-busukan apa yang dipandang bertentangan dengannya, seperti demokrasi misalnya, syabab Hizbut tahrir melakukan serangan pada kelompok-kelompok Islam yang tak sepemandangan dengannya. Bagaimana syabab Hizbut Tahrir misalnya, kerap mengeksploitasi habis-habisan kelemahan kelompok lain agar tampak bahwa pemahaman HT-lah satu-satunya yang paling benar. Jika ada satu kelemahan atau kekhilafan {‘kekhilafan’ ya, bukan ‘kekhilafahan’ :-)} yang dilakukan kelompok dakwah lain, maka serta merta syabab HT menjadikannya sebuah amunisi untuk kemudian mengeksploitasi kekhilafan tersebut tanpa merasa perlu melakukan tabayun atau check and recheck yang merupakan sikap seorang muslim.

Dalam lain kesempatan, syabab Hizbut Tahrir juga memberikan predikat penuh propaganda sekaligus demarketisasi terhadap sebuah partai dakwah islam di Indonesia dengan sebutan telah melakukan “pelacuran politik”. Sebuah predikat terlampau kasar yang tak pantas digunakan oleh seorang aktivis dakwah, apalagi sengaja disebar sebagai sebuah demarketing terhadap partai dakwah tersebut dengan harapan agar para pembaca mengalihkan dukungannya pada Hizbut Tahrir. Sebuah megalomania ideologis yang mirip-mirip madzhab Machiavelli.

Dan, sebagaimana tak sulit untuk menemukan media-media propaganda Hizbut Tahrir setiap Sholat Jumat, ternyata pedasnya lisan aktivis Hizbut tahrir juga mudah ditemukan di banyak tempat. Dalam interaksi di dunia maya, kadang kelompok lain juga terpancing utk membalas, beberapa syabab mungkin sudah melakukan screen shoot atau menyimpan link di layar komputer utk menujukkan bahwa bukan hanya syabab yg berlaku kasar, tapi perlu diketahui bahwa semuanya diawali oleh syabab Hizbut Tahrir itu sendiri yg memang dituntut utk melakukan propaganda akan keagungan khilafah dan kebusukan sistem lain itu. (Sekadar mengingatkan, dakwah HT memang banyak berkutat pada propaganda politik sehingga segala macam “yang buruk2” tentang demokrasi akan di-blow up habis2an, dan “segala yang buruk2” tentang sejarah khilafah akan disimpan rapat2. )

Tak cukup menyerang aktivis dakwah lain, Syabab HT juga menyerang para ulama. Terus terang saya betul-betul terkejut ketika ada syabab HT menggelari al-Muhaddits Al-Syaikh Nashiruddin al-Albani serta Syamahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz sebagai Ulama-ulama Su’, atau seburuk-buruk ‘ulama. Laa hawla walaa quwwata illa billah.

Bahkan seorang ulama Indonesia yang merupakan Imam Masjid Istiqlal, seorang pakar hadits dan murid langsung dari ulama internasional al-Syaikh Musthafa al-A’zhami, seorang ‘alim yg berbaris dalam jajaran ulama MUI, sekaligus Rais Syuriah PBNU, dan anggota lajnah pentashih Mushaf al-Quran, yakni al-Ustadz Dr. ‘Aly Musthafa Ya’qub, MA pun disesat2kan dan digelari dengan sebutan ulama su’ (Ulama sesat) semata karena berbeda pandangan dengan Hizbut Tahrir. Masya Allah. sebuah musibah bagi dakwah Islam jika seorang pemuda da’i yang baru belajar mengaji begitu berani menyesat-nyesatkan ulama, apalagi tampak para syabab Hizbut Tahrir saling tolong menolong dalam hal mencela ulama tersebut.

Memang hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar. Meminjam istilah ust. Farid Nu’man, Mereka (para pemuda itu) merasa telah menyelam ke lautan dalam, padahal ilmu mereka masihlah di tepian pantai. Uang receh memang berisik bunyinya.

Aktivis Hizbut Tahrir juga tak jarang mencela HAMAS, sebuah gerakan perlawanan terhadap Israel yang didukung oleh “sangat Mayoritas” rakyat Palestina, syabab HT juga mencela Pemimpin Turki Recep Thayib Erdogan yang berupaya merubah konsitusi sekular di Negara reruntuhan Khilafah ‘Utsmaniyyah itu, HT juga mencela hasil usaha keras rakyat Mesir yang telah berlelah-lelah dalam menggulingkan rezim Husni Mubarak semata karena tak menelurkan hasil yang sesuai dengan keinginan HT. Ironisnya, di negara2 tersebut, peran Hizbut Tahrir dalam membela kepentingan rakyat tak terdengar sama sekali gemanya.

Propaganda kesekian kalinya adalah “pembajakan” terhadap nama organisasi2 Islam. Dalam dunia maya, kita bisa melihat betapa syabab HT melakukan propaganda yang melampaui batas dengan mencatut nama Nahdhatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, serta Kammi. Nama-nama organisasi tersebut dibajak untuk dicantumkan dalam grup facebook “mendukung khilafah”, sebuah grup yang ditujukan sebagai media propaganda dan kampanye HT. Anda, rekan-rekan sekalian bisa bertanya kepada para pengurus PBNU, Muhammadiyah, atau Kammi, apakah mereka mengetahui pembuatan grup tersebut? Hizbut Tahrir seolah ingin—maaf—“numpang tenar” dengan menggunakan nama besar organisasi tersebut, seolah organisasi-organisasi besar itu mendukung ide2 mereka. Hal ini mungkin dibutuhkan karena sejatinya Hizbut Tahrir memang hanya organisasi kecil dengan pengikut yang relative sedikit. Dalam hal ini, HT tampak memang telah kelewatan dalam melakukan “dakwah”nya.

Demikianlah, wajah baik maupun wajah buruk Hizbut Tahrir, keduanya merupakan “perlawanan” terhadap “musuh2” ideologisnya. Dalam dunia marketing, cara2 mereka ini justru akan menjadi boomerang yang menghantam “nama besar” Hizbut Tahrir itu sendiri. Bagaimana cara marketisasi ideologi yg mereka lakukan, seperti tagging gambar-gambar ke account aktivis dakwah lain secara berlebihan, atau melakukan spamming link-link milik HT di grup-grup yang high rate yang diharapkan akan menumbuhkan dukungan bagi Hizbut Tahrir , justru akan melahirkan ‘kebencian’ terhadap Hizbut Tahrir itu sendiri. Kekecewaan terhadap HIzbut thari ini tampaknya sulit dielakkan, bahkan seorang teman mengatakan, “saya setuju khilafah, tapi bukan oleh Hizbut Tahrir. Karena jika HT berkuasa, akan meletus perang dunia karena HT meyakini perluasan wilayah yg tak henti2 utk menancapkan kekuasaannya di seluruh penjuru bumi secara radikal.”

Sebuah imperialisme baru, bukan?


Wallahu a’lam

Jakarta, 30 Juni 2011

Aktivis Hizbut Tahrir tak Paham Demokrasi


Oleh: Sigit Kamseno

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengucapkan terimakasih atas apresiasi dari rekan-rekan sekalian atas catatan-catatan saya sebelumnya. Saya mendapatkan banyak tanggapan, baik yang mengkritik, yang request untuk ditag, dan banyak pula yang mengajak diskusi one by one via inbox. Saya mohon maaf apabila diskusi tak semuanya diselesaikan karena keterbatasan waktu, sementara yang mengajak diskusi bukan hanya satu dua orang. Ada yang mempertanyakan latar belakang saya di harakah Islam tertentu, bahkan ada pula yang meminta saya untuk bersumpah atas nama Allah untuk pertanyaannya tentang niat saya dalam menulis artikel-artikel di facebook. Bagi saya, tanggapan-tanggapan tersebut merupakan konsekuensi logis jika kita mempublikasikan pandangan kita ke “permukaan jalan” yang dilalui banyak orang. dan hal tersebut adalah hal yang biasa saja bagi saya. kritik, nasehat, dan sebagainya adalah hal yang membuat diri kita menjadi lebih besar (tanpa kepala).

Saya ingin katakan bahwa bukan tanpa sengaja judul tulisan ini beraroma konklusif: Aktivis HT tak paham demokrasi. moga-moga saja konklusi saya tak keliru. Ada banyak pengalaman diskusi saya bersama para aktivis Hizbut Tahrir, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Seperti beberapa waktu lalu. Malam hari di sebuah masjid, halaqah yang saya bina kedatangan dua orang mahasiswa. Karena halaqah adalah salah satu jendela ilmu, binaan-binaan saya- yang merupakan mahasiswa lintas universitas dan beberapa orang karyawan swasta itu—dengan senang hati menerima kedatangan “anggota baru” tersebut.

Dikarenakan kedatangan dua orang itulah, halaqah yg diawali sebelum Isya itu akhirnya berakhir hingga tengah malam. Rekan-rekan tahu tema apa yang diajukan dua orang mahasiswa itu dalam diskusi? Jika rekan2 menjawab ‘demokrasi’, maka jawaban anda benar saudara-saudara. :-)

Dari diskusi tersebut saya paham, mengapa seluruh aktivis Hizbut Tahrir membenci demokrasi. hal ini semata karena doktrin yang mereka terima sejak awal mempertentangkan antara aksioma “kedaulatan di tangan Allah” yang mereka terjemahkan dengan Khilafah Islamiyyah, vis a vis kedaulatan di tangan manusia yang mereka arahkan pada seluruh sistem selainnya, terutama demokrasi karena demokrasi merupakan satu ideologi paling menghagemoni di dunia saat ini. Bagi kebanyakan aktivis Hizbut Tahrir, musuh ‘ideologis’ terbesar baginya untuk saat ini adalah demokrasi.


Doktrin Hizbut Tahrir sama sekali tak memberikan pilihan bahwa demokrasi misalnya, bisa saja pada beberapa hal bersesuaian dengan konsep politik Islam. Bahwa nilai-nilai universal seperti egaliterianisme, kebebasan mengemukakan pendapat, dan lain sebagainya, bisa saja berjalan selajur dengan konsep-konsep Islam. Bahkan, konsep kedaulatan di tangan Allah sebetulnya bisa saja berjalan sesuai dengan kedaulatan di tangan rakyat jika “apa yang dikehendaki rakyat” tak bertentangan dengan “apa yang dikehendaki” Tuhan dalam perspektif Islam. Misalnya, jika Tuhan menghendaki diterapkannya ekonomi syariah, maka rakyat atau wakil-wakilnya di parlemen menelurkan regulasi tentang ekonomi syariah. Dalam hal ini sebetulnya adagium vox populi vox dei justru telah menemukan ruangnya yang benar: bahwa suara rakyat merupakan suara Tuhan.


Makna ‘Tuhan Dalam Dimensi Sosial Politis’ Masyarakat Barat


Dalam ranah empiris, memang, tak melulu (bahkan teramat jarang) suara rakyat adalah suara Tuhan karena bisa jadi rakyat menginginkan kebebasan seluas-luasya diluar ‘yang diinginkan’ Tuhan. Hal inilah yang saya kritik dalam sebuah mata kuliah politik saya di kampus.

Saya katakan kepada rekan-rekan mahasiswa saat itu bahwa “saya tak bersetuju dengan adagium vox populi vox dei”

Serta merta rekan saya yang bahkan "keringatnya berbau kiri" itu bilang, “jadi menurut Anda, Suara Penguasalah yang merupakan suara Tuhan?”

“Tidak”, saya melanjutkan, “sekali lagi, suara rakyat bukanlah suara Tuhan, suara penguasa juga bukanlah suara Tuhan.” Lanjut saya, “Suara Tuhan adalah suara kebenaran. Artinya, ketika suara itu sejalur dengan ‘kebenaran’, maka itulah suara Tuhan!”

Rekan-rekan mahasiswa serta dosen di kelas menyetujui apa yg saya katakan. Sebuah sikap yang demokratis, bukan? Bahkan yg berbeda pendapat pun tetap dipersilahkan. Jadi, ketidaksetujuan kita terhadap adagium vox populi vox dei dalam konsep demokrasi, justru diizinkan, bahkan oleh demokrasi itu sendiri. Tentu saja, hal ini tergantung pula dari apa yang dimaknai sebagai ‘Tuhan’ itu sendiri. Seperti kita tahu bahwa makna ‘tuhan’ yang dalam worldview masyarakat Barat berbeda dengan Tuhan seperti dipahami secara sosiologis pada masyarakat di Timur (seperti akan dipaparkan lebih lanjut).

Setelah kita bersepakat bahwa suara Tuhan adalah suara kebenaran, kita hanya tinggal mencari ‘formula’ apa yang akan mejadi standar untuk mengatakan “benar” terhadap suatu produk hukum, dan “salah” terhadap produk yang lain. Standar apa yang bisa kita gunakan untuk “berkata atas nama Tuhan sementara kita tak bisa berjumpa dengan-Nya?”

Masyarakat Barat sekular dengan nilai permissifismenya yang kental seperti kopi fullcream itu (jadi haus nih..) , mudah dibaca akan menjadikan “suara rakyat kebanyakan” sebagai standar kebenaran. (lebih tepatnya mungkin standar ‘kebolehan’ untuk tidak atau melakukan sesuatu dalam konteks sosial/politik. karena bisa jadi mereka ‘diperbolehkan’ melakukan sesuatu meskipun mereka menyadari hal tersebut sebagai sesuatu yg tidak benar).

Standar kebenaran secara sosial-politik bagi masyarakat barat bukan berasal dari doktrin-doktrin keagamaan, bukan pula berasal dari tradisi historis suatu kelompok tertentu. Hal ini disebabkan karena masyarakat barat mengadopsi konsep relativisme kebenaran. Jika ‘kebenaran suara Tuhan‘ merujuk kepada doktrin-doktrin agama tertentu, maka akan terjadi konflik dengan doktrin agama lain. Hal ini karena setiap agama memiliki klaim kebenarannya sendiri. Demikian pula jika kebenaran dikembalikan kepada tradisi historis, atau apapun yang termasuk dalam aspek-aspek primordial masyarakat lainnya, maka dikhawatirkan akan menjadi faktor penyulut konflik dengan tradisi historis, atau aspek-aspek primordial dari kelompok masyarakat yang lain.

Oleh karena itu, untuk menghindari pertentangan yang lebih luas dalam kehidupan politik dan bermasyarakat itu, selain dekonfessionalisasi[1] , maka suara mayoritas rakyat menjadi acuan dalam menentukan apa yg disebut dengan ‘kebenaran’ itu. Karena dengan konsep suara mayoritas, maka “jika jauh lebih banyak orang menginginkan A daripada sedikit orang yang menginginkan B, mengapa tidak kita mengakomodasi keinginan masyarakat yg jauh lebih banyak ketimbang yg lebih sedikit? sementara pada saat yg sama setiap orang punya klaim kebenarannya sendiri, dan Siapa yg bisa memaksakan klaim kebenarannya pada orang lain?” Maka tak ada jalan lain selain menyerahkan semuanya kepada apa yang diinginkan kebanyakan masyarakat.

Dalam ilustrasi ini, masyarakat barat kemudian telah menjadikan suara mayoritas sebagai ‘tuhan’ dalam mengatur urusan mereka. Tuhan dalam pengertian “kuasa atas segala yang terkait dengan kehidupan sosial politik. ini yang disebut dengan ‘tuhan’ dalam perspektif barat yang tertera dalam adagium vox populi vox dei. Bukan “tuhan spiritual” seperti yesus, yehovah, dll yang mereka sembah dalam ritus-ritus keagamaan mereka itu.


Bukan itu Maksudnya

Namun demokrasi tak hanya sebatas konteks Barat. Jika di masyarakat Barat suara mayoritas kemudian menggiring mereka pada kebebasan yang berlebihan, maka di Timur, khususnya kita di Indonesia, justru bisa menjadikan kuasa suara mayoritas itu untuk mendukung “kehendak Tuhan Yang Sebenar-benarnya Tuhan” yang ada dalam kitab suci kita, untuk ditelurkan dalam bentuk UU. Pengamat politik Yudi Latif menyebutnya, KedaulatanTuhan itu “didelegasikan” kepada manusia sebagai khalifah fil ardh.[2] Dalam arti bahwa penerjemahan hukum Tuhan itu memang diformulasikan oleh manusia.[3]

Di Barat, jika saja suara mayoritas dikuasai oleh kaum Muslim yang benar, maka sebetulnya keinginan utk berhukum dengan hukum Tuhan itu bukanlah hal yg tak mungkin, hanya saja menjadi “belum mungkin” karena suara kaum Muslimin di sana masih terlalu sedikit. Di Indonesia, peluang tersebut tentu saja terbuka jauh lebih lebar.

Kedaulatan Tuhan itu kemudian diterjemahkan ke dalam regulasi (seperti ucapan Ibnu Abbas Ra dalam catatan kaki), tentu kita tak hanya bicara potong tangan yang “menakutkan” bagi sebagian orang itu. dalam bahasa Untung Wahono, kita bisa mengawalinya secara bertahap dari ekonomi syariah, seni budaya syariah, dan sebagainya sehingga blue print syariah yg amat positif bisa dirasakan secara nyata oleh masyarakat, bukan semata wacana tentang indahnya hidup di bawah naungan syariah secara total namun hanya sebatas angan-angan. Jika masyarakat telah mengetahui keindahan hidup di bawah naungan Islam, maka tujuan utk melanjutkan kehidupan yg lebih Islami akan jauh lebih diterima. Meski tak perlu menamainya dengan istilah ‘negara Islam’ karena Rasulullah pun tidak mendeklarasikan istilah tersebut di Madinah. Begitupun khulafa al-Rasyidin.

Sayangnya aktivis HT tak memahami ini. Mereka keukeuh ingin mengkufur-kufurkan dan menthaghut-thaghutkan demokrasi karena mereka telah jatuh dalam “distorsi kognitif” terhadap demokrasi. Sejak awal para aktivis Hizbut Tahrir telah berkenalan dengan demokrasi melalui jalur yang tidak tepat. Musyrif-musyrif mereka, sejak awal telah menyodorkan “kertas hitam dan putih”. Putih dan suci untuk khilafah, vis a vis hitam untuk demokrasi. jika sebatas menghina demokrasi tentu tak jadi masalah, di kalangan akademisi pun definisi, makna, dan nilai demokrasi itu sendiri selalu diperdebatkan. tapi jika ketidak setujuan aktivis HT terhadap demokrasi itu diikuti dengan penyerangan-penyerangan kepada kelompok Islam lain secara “kurang beretika” maka menjadi batu sandungan dalam keber-ukhuwwahan kaum Muslimin.

Aktivis Hizbut Tahrir mengenal demokrasi justru dari kalangan yang membenci demokrasi. dari buku2 yg anti demokrasi dan yang mencercanya. Sehingga ketika “wawasan” ini berakumulasi, muncullah kemudian kebencian yang mendarah daging terhadap demokrasi sehingga buku atau sumber apapun yang kemudian disodorkan atau mereka baca sebagai compare atas pandangan mereka sebelumnya, maka tak akan merubah kebencian yg mendalam karena pengaruh distorrsi kognitif (pengenalan awal) itu. bahkan saya khawatir, buku-buku demokrasi yang mereka pelajari pun, semata dikaji untuk mencari-cari celah untuk dicela-cela kembali.

Saya rindu sekali dengan kedua mahasiswa tersebut dan ingin diskusi lebih jauh, sayang sekali selepas malam itu mereka tak pernah lagi hadir dalam halaqah yang saya bina.

Seluruh elaborasi di atas hanyalah persepsi saya. rekan-rekan tentu boleh berbeda pendapat dengan saya dan itu sah-sah saja. saya juga mempersilahkan jika ada di antara rekan yang ingin memberikan kritik atas pandangan tersbut, sejauh kita bisa saling berdialektika secara ilmiah.

Namun demikian, konklusi dari catatan ini bukan pada eksplorasi saya barusan, tetapi terdapat pada bagian akhir tulisan, seperti akan saya paparkan berikut:


Aktivis Hizbut Tahrir tak Tahu Demokrasi (?)

Sejarah Demokrasi



jujur ada yang “mengherankan” dalam diskusi saya di dunia maya. Dari diskusi ke diskusi ada begitu banyak aktivis Hizbut Tahrir yang menghempaskan semua sumpah serapahnya terhadap demokrasi.

Dunia maya, memang wahana yang bebas untuk curhat dan melepaskan kebencian.

Diantara mereka ada yang mencoba melakukan “tahqiiqul manath” terhadap demokrasi. Sebuah semangat seorang pelajar yang patut diapresiasi. Sayangnya, semangat ini hanya diiringi dengan wawasannya yg premature terhadap demokrasi itu sendiri. Ketika saya bertanya kepadanya bagaimana tentang sejarah lahirnya demokrasi yang dicela-celanya itu, ia menjawab bahwa demokrasi lahir dari konflik kaum gerejawan dan masyarakat di barat, dimana kaum gerejawan menjadikan dirinya sebagai wakil-wakil Tuhan di muka bumi untuk kepentingannya, oleh karena itu munculah konflik yang menghasilkan ide agar urusan rakyat diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Karena demokrasi berasal dari konflik kaum gerejawan dan masyarakat di Barat itulah, maka ia tak layak diadopsi oleh kaum Muslimin. Kira-kira seperti itu.

Rekan-rekan, anda tahu bagian mana yang “menyedihkan” dari statementnya diatas? Yaitu sejarah demokrasi yg ia sebut berasal dari konflik masyarakat Barat dan kaum gerejawan. Anda bisa melihat betapa wawasannya tentang demokrasi begitu rendah namun dengan “sok tahu” melakukan tahqiiqul manath terhadap demokrasi seraya mencela-celanya padahal wawasannya tentang demokrasi itu sendiri masih di tepian pantai.

Oh iya, hampir saja lupa. Saya bukan pengagum demokrasi. Saya juga bukan pembelanya. Saya pun tak pernah memuja-muja demokrasi seolah ia adalah sistem yang sempurna. Apalagi seperti yang sering aktivis HT tujukan kepada kelompok Islam lain, “penyembah” demokrasi. Saya hanya ingin menempatkan fenomena ini sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua. Sebuah fenomena betapa tak jarang diantara kita yang merasa pengetahuannya telah cukup, kemudian dengan pengetahuan yg telah kita rasa cukup itu, kita membenci sesuatu yang sebetulnya pemahaman kita terhadapnya belumlah cukup komprehenshif. Semata karena kita diberikan pemahaman yang keliru sejak awalnya.

Aktivis hizbut tahrir yang satu ini rupanya lupa, bahwa gereja dan pemuka-pemukanya itu baru lahir pasca doktrin-doktrin Paulus di awal-awal abad Masehi seiring dengan agama Kristen yang dilahirkannya. Sementara Demokrasi sudah diterapkan jauh sebelumnya pada abad ke-6 SM. Bagaimana mungkin demokrasi yg sudah ada pada abad ke 6 SM lahir dari pertentangan kaum gereja dan masyarakat yang baru terjadi –bahkan—pada abad pertengahan di Eropa? Tampaknya ia tak bisa membedakan mana sejarah demokrasi dan mana sejarah sekularisme.

Apa yg ia katakan tersebut sebetulnya sejalur sejalan dengan rekan sesama harakah-nya yang mengatakan bahwa demokrasi lahir dari rahim sekularisme. Temannya yg satu ini pun lupa, bahwa sekularisme lahir lebih belakangan dari demokrasi.

Sekularisme berasal dari bahasa Latin: ‘saeculum’. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas—seorang filosof Malaysia yang banyak menjadi rujukan para intelektual muda Muslim INSIST utk men-counter ide-ide Liberalisme Islam itu, Saeculum berarti ‘masa kini’ dan ‘disini’, atau bisa disebut “kedisinikinian”[4]. Sedangkan secara historis sekularisme bisa ditelusuri dari konflik yg terjadi pada abad pertengahan di Eropa akibat pertentangan antara kaum gereja dan ilmuwan seperti tercermin dalam kasus Nicollaus Coppernicus (1473-1543) atau pada kasus Galileo Galilei (1564-1642).[5] Dimana faktor agama bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Faktor lain yang memunculkan sekularisme adalah gerakan reformasi protestan yg dipimpin oleh Marthin Luther pada abad XV-XVI di Eropa. Gerakan ini menuntut dipisahkannya otoritas agama sebagai reaksi terhadap maraknya korupsi dan politisasi agama oleh penguasa Katholik Roma. Gerakan ini kemudian berhasil melahirkan Sekularisme, yaitu upaya utk memisahkan kekuasaan agama dan kekuasaan politik.[6] Dari sini kita bisa mengetahuui bahwa sekularisme baru muncul di Eropa berabad-abad setelah demokrasi di terapkan di Yunani Kuno pada abad ke-6 SM. Bagaimana mungkin demokrasi yang lahir lebih dulu, berasal dari rahim sekularisme yang lahir belakangan?

Jika pun, kita mengatakan bahwa sekularisme “sebagai ide” telah lahir dan diterapkan jauh sebelum abad pertengahan di Eropa, maka ide awal sekularisme bisa kita lihat dari dogma kristiani sebagaimana tertulis dalam injil Matius XXII:21 Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.”

Syamsuddin Arif seorang intelektual dan peneliti di INSIST, mengatakan, implikasi dari doktrin Kristen ini kemudian menghasilkan pandangan bahwa agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik dan negara, sehingga muncul dikotomi antara regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas gereja, antara wewenang negara dan wewenang agama. Doktrin ini pun mendapat legitimasi dari St. Augustin membuat distingsi antara Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan (civitas dei). [7]

Jika merujuk pada doktrin sekularisme Kristen ini pun, maka “persepsi aktivis HT” tersebut (aktivis HT biasanya mengatakan persepsi sebagai “faktanya”) yang mengatakan bahwa demokrasi lahir dari sekularisme akhirnya terbantahkan, karena sejarah Kristen muncul lebih belakangan dari sejarah demokrasi. Sekali lagi, mana mungkin doktrin sekularisme dari ayat injil yang baru muncul pada awal-awal abad Masehi itu melahirkan demokrasi yang diterapkan 600 tahun sebelumnya?

Anehnya, jika anda memanfaatkan search engine Google dengan keywords “bahwa demokrasi adalah sebuah sistem politik yang muncul dari akidah sekularisme”, maka anda akan mendapati bahwa tulisan-tulisan sejenis ini di-repost di banyak blog dan notes para aktivis Hizbut Tahrir secara taken for granted, atau tanpa tedeng aling-aling. Maksud saya, tanpa sikap kritis sedikitpun.

Aktivis HT yang sama juga berkata bahwa atas nama demokrasilah darah tumpah di Afghanistan, di Iraq, dan bumi2 kaum Muslimin lainnya. Karena demokrasilah, kaum Muslimin meregang nyawa di berbagai belahan dunia. Aktivis tersebut ingin menggiring kita pada persepsi buruk tentang demokrasi dengan mengatakan bahwa demokrasilah yang menyebabkan darah-darah itu tumpah di negeri-negeri kaum Muslimin. Tampak sekali “aktivis dakwah” ini menyamakan ‘demokrasi’ dengan ‘penyimpangan demokrasi’. Nalar ini sebetulnya mudah dibantah jika kita bisa merujuk kepada buku atau bertanya pada pakar-pakar demokrasi, dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “apakah yg dilakukan AS di Afghanistan dan Iraq itu sesuatu yg sesuai dengan demokrasi atau justru mencederai demokrasi itu sendiri. Jika jawabannya adalah “tidak sesuai”, maka kita akan mengetahui bahwa sebetulnya apa yang dilakukan AS hanyalah perang yang mengatasnamakan demokrasi, dan bukan demokrasi itu sendiri.

Dari buku tentang demokrasi manapun, atau anda bertanya pada dosen ideologi politik manapun, tampaknya jawaban yang akan anda temui adalah, bahwa AS dalam hal ini hanya mengatasnamakan demokrasi dalam penyerangan ke Negara-negara tersebut untuk kepentingan minyak dan mempertahankan superioritasnya sebagai Negara adidaya di dunia dan justru bertentangan dengan nilai-neilai demokrasi itu sendiri.

Syabab ini tak bisa membedakan mana ‘demokrasi’ dan mana “penyimpangan terhadap demokrasi’. Anehnya, ia bisa dengan mudah membedakan antara ‘khilafah’ dan ‘penyimpangan khilafah’. Ia tentu bisa menalar dengan baik bahwa darah puluhan ribu kaum Muslimin dalam sejarah kelam kekhilafahan hanyalah sebentuk “penyimpangan” terhadap konsep khilafah dan bukan “khilafah” itu sendiri.

Mengapa “penyimpangan” demokrasi justru dibandingkan dengan “konsep” khilafah?

Semestinya, jika ingin membandingkan secara adil, bandingkanlah konsep dengan konsep, dan bandingkanlah penyimpangan konsep dengan penyimpangan konsep pula. Ini adil namanya. Penyimpangan terhadap demokrasi dengan darah-darah kaum muslimin yang tumpah semestinya dibandingkan juga dengan penyimpangan khilafah dengan darah-darah yang tumpah semasa Dinasty Umayyah dan Abbasiyyah misalnya, dimana puluhan ribu kaum muslimin meregang nyawa di masanya.

Dalam hal ini, jangan sampai secara tak adil, aktivis dakwah membandingkan penyimpangan demokrasi dengan masa keemasannya khilafah. Atau membandingkan konflik demokrasi dalam ranah empiris dengan konsep ideal khilafah dalam ranah wacana. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, jikalau para aktivisnya saja tidak berlaku adil dalam menilai sesuatu, bagaimana mungkin khilafah akan tegak dengan adil?

"..walaa yajrimannakum syanaaanu qawmin 'alaa allaa ta'diluu i'diluu huwa aqrabu lilttaqwaa.."

Mungkin ayat dalam surah al-Maidah ini harus diingatkan pula kepada mereka agar tak hanya berfokus pada ayat 40-50 surah al-Maidah saja.


Halal-Haram dalam Demokrasi


Lain lagi dengan seorang syabab yang mengatakan bahwa demokrasi itu telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sebuah statemen yang menurut saya tidak tepat. disebut tidak tepat karena demokrasi, bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara soal legal dan tidak legal. Untuk itulah dalam bahasa Anis Matta, diperlukan usaha agar yang ‘halal’ dalam agama menjadi legal dalam pandangan hukum postitif, dan apa yang ‘haram’ dalam pandangan agama menjadi tidak legal pula dalam pandangan hukum positif itu. Jika hal ini tercapai maka sebetulnya produk hukum yang dihasilkan oleh demokrasi justru mencerminkan berlakunya kedaulatan Tuhan dalam kehidupan bernegara. jika cita-cita ideal ini tercapai, maka sesungguhnya konsep “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan)” seperti yang saya katakan dimuka, telah menemukan maknanya yang tepat.

Masih amat banyak “kekeliruan” para aktivis HT yang membenci demokrasi tanpa pengetahuan. Benarlah kalimat bijak, Ketidaktahuan cenderung membawa pada kebencian. Pada beberapa waktu ketika saya diajak diskusi (atau debat?) oleh para aktivis HT itu, saya selalu meminta mereka untuk mendefiniskan demokrasi terlebih dahulu. Namun dalam seluruh pengalaman tersebut, tak ada satu pun syabab HT yang mampu memberikan jawaban akademis tentang demokrasi. Sebagian hanya mengatakan ‘kedaulatan di tangan rakyat’ dan berhenti sampai disana tanpa eksplorasi lebih lanjut untuk kemudian serta merta mempertentangkannya dengan Islam sebagaimana yang dipahaminya berikut sejumlah dalil dari al-Quran dengan menafikan para mufassir seolah-olah mereka paling mengetehui tentang demokrasi dan al-Quran. (coba bayangkan, demokrasi yang hanya konsep politik, ia bandingkan dengan Islam yang merupakan al-Diin yang syamil wa mutakamil, bukankah hal ini sebetulnya terlalu meninggikan demokrasi atau merendahkan Islam. Islam itu ya’lu wa laa yu’la ‘alaih. Tak sebanding kiranya Islam yang tinggi itu diperbandingkan dengan konsep demokrasi yang sebatas dimensi politik).

Atau dengan pola yang sama mengatakan demokrasi itu memiliki doktrin vox populi vox dei, lalu tanpa eksplorasi lebih lanjut, serta merta ia mencacinya dengan sumpah serapah. (parahnya lagi, ia menulisnya “fox populi fox dei”, sudah tak paham, benci habis-habisan pula) Dan bagi mereka ini adalah sebentuk dakwah. Ada pula yang merasa kesulitan utk menjelaskan demokrasi kecuali bersandar pada buku-bukunya Abdul Qadim Zallum, lalu mengalihkan diskusi dengan kalimat Tanya: apa itu politik?


Jika kita menjawab pengertian politik dari definisi-definisi yang akademis, maka semuanya akan dipandang salah dan ia akan memberikan definisi yang “benar” bahwa politik itu adalah “pemeliharaan urusan ummat…bla..bla..”

Demikianlah cara aktivis HT menunjukkan pengetahuan dan kebenciannya tentang demokrasi. Bagi mereka yang sedikit saja mengetahui wawasan ilmu politik, akan mudah mengetahui bahwa pemahaman Hizbut Tahrir ini hanyalah produk dari doktrin yang tak tercerahkan. Layaknya berada dalam dunia terasing dalam kesendiriannya seraya dengan ‘sok tahu’ menyalah-nyalahkan yang lain.

kenapa oh kenapa saya katakan ‘sok tahu’? karena oh karena, ternyata kejahilan “beberapa” pejuang khilafah bukan hanya pada wawasan politik wa bil khusush tentang demokrasi yang mereka benci sepenuh hati itu, tetapi juga pada pengertian khilafah yang mereka puja setengah mati.

Lihatlah seorang aktivis HT dengan penuh semangat yang meledak-ledak berkata dalam diskusi bersama saya bahwa Rasulullah SAW adalah “khalifah pertama dalam Islam”.

Masya Allah. Menghujat-hujat demokrasi tanpa pengetahuan memadai, dan mendewa-dewakan khilafah tanpa pengetahuan memadai pula, seraya menyalah-nyalahkan kelompok lain.


Apa namanya kalau bukan “sok tahu”?


Wallahu a’lam.

Wassalamu'alaikum wr wb

Jakarta, Juli 2011



--

[1] Dekonfessionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep “atas dasar pertimbangan kemanusian bersama. Pendekatan dekonfessionalisasi ini dekembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960. sederhananya, dekonfessionalisasi berarti mengakomodasi unsur dari semua kelompok pembentuk negara, hanya saja tidak seluruhnya karena dikhawatirkan akan berbenturan dengan paham kelompok yang lain. dalam konsep ini, semua kelompok merasa terwakili sebagai ‘pembentuk’ konstitusi’. utnuk lebih lengkap mengenai konsep ini lihat bukunya Pengamat Politik Bachtiar Efendy, Islam dan Negara: T terbitan Paramadina, Jakarta.

[2] Lihat Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 143-144.

[3] saya jadi teringat kisah bagaimana Ibnu Abbas RA berhadapan dengan kaum khawarij yang mengkafirkan Imam Ali karena tiga alasan, salah satunya adalah karena mereka menganggap Ali telah berhukum dengan hukum buatan manusia.

mereka berkata:

Mereka berkata: “Sungguh dia (Ali ibn Abi Thalib telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman:

“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah …” (Yusuf: 40)

Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah!”

maka Ibnu Abbas RA menjawab:

“Ucapan kalian bahwa Ali telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”

Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”

Ibnu ‘Abbas RA berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah: 95)

Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa: 35)

Maka Demi Allah , jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka[6] lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”

Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”

[4] Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 15.

[5] Adian Hussaini, “Problem Teks Bible dan Hermeneutika”, dalam Islamia, No. 1 Vol.1 (Maret 2004): h.13.

[6] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat. Sejarah Perkembangan Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 144-147.

[7] Syamsuddin Arief, Religius atau Sekuler, makalah pada Website INSIST. Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations. 03 January 2011

UTOPIA KHILAFAH HIZBUT TAHRIR (part2)

By Sigit Kamseno
---------------------------------------

Sewaktu masih berkuliah di program studi Pemikiran Poltik Islam dulu, saya termasuk yang paling getol membela gerakan dan pemikiran politik Hizbut Tahrir. Rekan-rekan kuliah saya di jagad facebok bisa menjadi saksi untuk itu. Pembelaan saya ini lebih disebabkan karena dalam perkuliahan, ada begitu banyak mahasiswa ilmu politik yang meragukan konsep politik Hizbut Tahrir. Saya, mengapresiasi HT karena keberanian Hizbut Tahrir yang memposisikan diri sebagai antitesa dari hagemoni sistem demokrasi di dunia. Tapi kekaguman saya hanya sebatas itu. Sebatas kagum atas semangat heroik mereka, sebagaimana kekaguman saya kepada minoritas creative yang 'menentang' hagemoni.

Ketika saya membaca buku Taqiyuddin an-Nabhani tersebut (lihat part 1 dari notes ini), berikut cita-cita mulianya akan penegakkan Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah di akhir zaman sebagaimana sering dipropagandakan lewat berbagai media Hizbut Tahrir, saya jadi teringat dengan seorang pemikir politik Islam klasik (w. 339 H) bernama Abu Nashar ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Unzalagh atau lebih dikenal sebagai al-Farabi.

Al Farabi dikenal dengan konsepnya tentang Madinatul Fadhilah (Negara Keutamaan). Sebuah negara dimana terbentang disana kesejahteraan, terhampar padanya kepedulian pada sesama dalam diri penduduknya, tegaknya keadilan, dan seribu keutamaan lain yang menjadi cita-cita kebanyakan manusia tentang sebuah negara yang ideal.

Namun al-Farabi hanya berhenti sampai disana. ia, tidak memformulasikan secara konkrit bagaimana Madinatul Fadhilah yang dicita-citakannya itu bisa mewujud secara empirik. Sehingga kemudian ia dikritik sebagai pemikir politik Islam yang utopis. bukunya Araa Ahl al-Madinatul Fadhilah itu dipandang hanya sebentuk harapan yang muncul dari kekecewaan terhadap pemberontakan dan kekacauan politik dinasty Abbasiyyah kala itu, yang kemudian menjadikan ia berhayal tentang sebuah negara ideal dimasa depan yang penuh dengan kedamaian.

Menarik memang jika kita melihat bahwa ada kemiripan antara konsep an-Nabhani dengan pemikiran al-Farabi. Tidak mustahil, apa yang diangan-angankan oleh al Farabi berupa Madinatul Fadhilah itu sebetulnya merujuk pada konsep Khilafah 'ala Minhajin Nubuwah yang akan tegak di akhir zaman sebagaimana haditsnya sering kita dengar.

Namun berbeda dengan an-Nabhani, al-Farabi tidak mengaktualisasikan pemikirannya tersebut dengan membentuk pergerakan dakwah. Hal ini mungkin disebabkan konteks sosio-politis pada waktu itu yg tidak memungkiknkan untuk membentuk harakah. (Sebagaimana kita tahu, munculnya harakah-harakah Islam yang terorganisasi dan terstruktur baru muncul menjelang atau pasca keruntuhan khilafah Islamiyyah bagi seluruh dunia.)

Meskipun berbeda dengan al-Farabi yang tidak mendirikan harakah sebagai metode perjuangan, saya tidak serta merta berifikir bahwa konsep harakah Hizbut Tahrir yang dibentuk oleh an-Nabhani akan sampai pada cita-cita perjuangannya. tampaknya hal ini disebabkan karena metode penegakkan khilafah sebagaimana diidamkan oleh Hizbut Tahrir adalah melakukan Coup D'Etat terhadap pemerintahan. Melakukan revolusi yang disebut sebagai revolusi damai sebagai puncak perjuangan yang sebelumnya telah diawali dengan pembentukan opini publik termasuk ahlul quwwah/militer. itulah mengapa Hizbut Tahrir menjadi "musuh pemerintah" di banyak negara, dan mereka tak mengambil pelajaran dari realitas itu. Bagaimana mungkin ada pemerintahan yang membiarkan terjadinya "pembusukan" yang akan mengambil alih pemerintahannya.

Sejujurnya saya merasa sulit untuk membayangkan bahwa sebuah propaganda tentang khilafah Islamiyyah kemudian diterima oleh publik dan militer, kemudian mereka melakukan kudeta terhadap pemerintah dan mendeklarasikan berdirinya khilafah 'ala minhajin nubuwah, sementara sejauh ini akselerasi pertumbuhan kader HT pun "tidak pesat-pesat amat." (korelasinya lihat di part 1 notes ini)

Yang lebih mudah dibayangkan oleh saya adalah, bahwa jauh sebelum HT berhasil mendirikan cita-citanya, pemerintah negara setempat membentuk Undang-Undang untuk menyelamatkan negara dari gerakan separatis dan memrintahkan untuk menangkapi aktivis-aktivis Hizbut Tahrir itu. Maka cita-cita mulia itu akan berakhir sebagai utopia belaka sebagai akibat dari metode mereka itu.


Memang benar jika kita berpandangan bahwa "urusan tegaknya khilafah adalah urusan Allah, dan tugas kita adalah berikhtiar mewujudkannya." tak ada yang salah dengan kalimat itu, dan semua harakah yang merindukan khilafah akan berpegang pada aksioma itu. Akan tetapi perlu kiranya kita mengetahui bahwa Allah telah memberikan kepada kita akal yang menjadikan kita makhluk mulia karenanya. Dengan akal itulah kita bisa melakukan analisa bagaimana cara yang terbaik utk berjuang menerapkan sistem Allah sebagai sistem pemerintahan.

Semoga tak ada yg memandang saya sebagai bagian dari kaum liberal, hanya karena saya mengatakan bahwa metode Hizbut Tahrir dalam memperjuangakan konsep politiknya sebagai metode yang amat dekat dengan utopia. (sebagaimana tidak tepat jika menyamakan Hizbut Tahrir dengan gerakan sosialisme semata karena sama-sama membenci demokrasi mislanya)

Saya, terus terang termasuk dalam kelompok mereka yang merindukan tegaknya khilafah di akhir zaman, rekan2 bisa membaca kalimat penutup pada pict-notes saya ini bagaimana saya merindukan kejayaan Islam itu kembali. :

Bahkan di kamar saya, ada poster yang saya print sendiri dan saya beri figura, dengan bendera tauhid yang berkibar-kibar itu, disertai ucapan Syaikh Al-Qardhawi di bawahnya yang mengatakan:

"kejayaan Islam yang sempat kita rasakan seribu tahun yang lalu, akan kita dapatkan kembali. dan saya berharap Indonesia menjadi pelopor kebangkitan itu!"

***

Kemiripan an-Nabhani dan gerakan Hizbut Tahrirnya dengan al-Farabi semakin nampak ketika kita berhadapan dengan kenyataan bahwa sejauh ini, sebagaimana al-Farabi, Hizbut Tahrir tidak pernah menduduki satu jabatan pemerintahanpun. Di satu pihak hal ini merupakan keuntungan karena Hizbut Tahrir tak akan terjebak dalam pilihan-pilihan sulit ketika harus berkontestasi dalam politik, seperti sulitnya bargaining politics ketika harus berkoalisi misalnya, namun disisinya yang lain juga merugikan karena Hizbut tahrir tidak mempunyai peluang untuk menguji kebenaran teorinya pada ranah empiris sehingga bisa lebih meyakinkan publik.

Hal ini memang konsekuensi logis dari pemahaman Hizbut Tahrir yang mengharamkan sekaligus mengkufurkan demokrasi. Sebuah kondisi yang "menguntungkan" saya kira, karena dengan itu Hizbut Tahrir dapat dengan leluasa mengkritik kesalahan sekecil apapun terhadap noda pemerintahan dengan mengaitkannya dengan "kebusukan demokrasi" dan "kemuliaan khilafah": mulai dari korupsi, aliran sesat, perzinahan, riba, pilkada, AIDS, hingga salamannya tifatul dengan Michelle Obama, semuanya adalah akibat buruk dari demokrasi yang busuk itu, Kemudian pada saat yang sama Hizbut Tahrir menutupi keburukan dan noda hitam khilafah Islamiyyah dimasa lalu.

Sebuah pemahaan yang 'aneh' karena HIzbut Tahrir akhirnya dengan leluasa mengkiritk penguasa tanpa perlu untuk menunjukkan kompetenesi mereka dalam mengelola negara dengan alasan menunggu khilafah tegak. Saya kira ini merupakan problem berfikir yang serius.

Cara pandang yang tidak realistis dan tidak menjawab realitas tuntutan zaman yang terus berubah inilah yang kemudian menjadikan Hizbut Tahrir sejauh ini masih GAGAL dalam menggapai cita-cita mereka sejak didirikan pada 1953.

--
Sigit Kamseno
oh iya, untuk mengetahui model khilafah yang saya pegang, bisa dicek ke link ini

Hipokrisi Gerakan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia


By: Sigit Kamseno

--
jazakumullah khairan katsiran kepada ust@ernesto Eksentrik, ust@Sur Yadi, dan ust@CPT Ranger atas data dan informasi yang menginsiprasi dan melengkapi notes kecil ini .
--
Menjelang jumlah membernya yang ke 1.500 account beberapa waktu lalu, ada “diskusi” yang menarik di Grup “Indonesia, Harapan itu Masih Ada”, yaitu perdebatan tentang urgensi dan tujuan dari pendaftaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) ke Departemen Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri).

Dalam alam demokrasi dimana masyarakat diberikan kebebasan utk berserikat dan berkumpul, sebetulnya tak ada masalah kelompok masyarakat manapun untuk mendaftarkan dirinya ke Depdagri sebagai jalan untuk melegalkan status organisasinya di Negara hukum Indonesia, termasuk Hizbut Tahrir.

Tetapi menjadi inkonsisten (atau setidaknya ‘terkesan’ inkonsisten), jika organisasi yang mendaftarkan dirinya ke Depdagri itu adalah organisasi yang secara massif menyerang pemerintahan plus prinsip-prinsip dalam organisasi tersebut justru bertentangan dengan syarat2 dari negara yang harus dipatuhi oleh ormas bersangkutan.

Bagi saya, tidak sulit untuk mengetahui bahwa Hizbut Tahrir Indonesia adalah gerakan Islam yang memandang bahwa demokrasi, Pancasila, UUD’45, dan format NKRI sebagai hal yang bertentangan dengan Islam. Kalangan Hizbut Tahrir ini memandang hal-hal tersebut sebagai sistem thaghut, sistem kufur, yang berseberangan dengan pemahaman keislaman sebagaimana yang mereka yakini (sekali lagi, pemahaman keislaman sebagaimana yang mereka yakini)

Konsekuensi logis dari pandangan ini kemudian mengejawantah dalam penentangan syabab HTI terhadap format NKRI, demokrasi , Pancasila, dan UUD’45 dalam status2 Facebook, tulisan2, booklet, dan media lain yang menjadi media propaganda Hizbut Tahrir.


Inkonsistensi HTI dapat diketahui ketika kita melihat bagaimana Hizbut Tahrir berupaya untuk melegalkan organisasinya di Negara Indonesia melalui Departemen Dalam Negeri dengan nomor 44.D.III.2/6/2006. Demi melegalisasi organisasinya di Indonesia ini, Hizbut Tahrir yang menentang Pancasila dan UUD 45 itu dengan ‘sukarela’ tunduk kepada sistem pemerintahan Republik Indonesia meskipun syarat dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah sebetulnya bertentangan dengan ideologi Hizbut Tahrir.

Sebagai contoh misalnya, "Dalam pasal 31 disebutkan kan ada tiga kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Ormas.

1) Menjaga, memelihara, dan mempertahankan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, KEUTUHAN NKRI, dan IDEOLOGI NEGARA PANCASILA;
2) Menjaga dan memelihara ketertiban umum serta mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas; dan
3) Menjunjung tinggi supremasi hukum.

Dengan demikian, Ormas dilarang melakukan kegiatan yang MENGGANGGU KEDAULATAN dan KEUTUHAN NKRI, dilarang MENYEBARLUASKAN IDEOLOGI atau ajaran yang bertentangan dengan PANCASILA dan UUD 1945, (pasal 52)."

Jika kita melihat ketentuan yang ditetapkan pemerintah ini, tentu kita melihat paradoks yang benderang antara doktrin-doktrin HT pada level ideologis via a vis langkah-langkah HTI pada tataran real-praktis yakni ketika HTI mendaftarkan diri di depdagri.

Hal ini disebabkan karena metode penegakan khilafah ala Minhajin Nubuwah versi Hizbut Tahrir adalah dengan cara revolusi, Coup D’Etat, penggulingan pemerintahan yang sah dan menggantinya dengan sistem Islam. Bukankah cara ini bertentangan dengan ketentuan di atas?

Problem yang saya pikir paling menonjol adalah, mengapa HTI mendaftarkan dirinya di Depdagri dengan syarat Menjaga, memelihara, dan mempertahankan …KEUTUHAN NKRI, dan IDEOLOGI NEGARA PANCASILA padahal sejak awal mereka memang bercita-cita untuk mengambil alih kekuasaan melalui revolusi dan berlepas diri dari format NKRI menuju Negara Trans- nasional Khilafah Islamiyah?

Semestinya, jika memang sejak awal HTI berniat utk “memberontak” pada pemerintah, menggantikan sistem demokrasi, pancasila, serta UUD 45 dengan sistem Islam, mereka tak perlu melakukan ‘kepura-puraan” untuk taat pada UU untuk kemudian menggulingkan pemerintahan ketika HTI merasa sudah kuat. Hal ini jelas menunjukkan sebuah hipokrisi dalam dakwah HTI.

Berpura-pura taat pada pemerintah kemudian menghianatinya di suatu saat kelak.
Bahkan definisi dari Organisasi Kemasyarakatan saja sudah bertentangan dengan doktrin HT.

Dalam Undang-undang, yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. [1]

Perhatikan kalimat: Untuk berperan serta dalam pembangunan nasional dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila. Apakah HTI memenuhi syarat ini? Saya pikir tidak. HTI secara ideologi membenci NKRI, pertama karena format nation state/Negara bangsa (NKRI) adalah format kenegaraan yang bertentangan dengan konsep negara trans-nasional Khilafah Islamiyah. Kedua, huruf ‘R’ dari NKRI yang merupakan akronim dari kata Republik merupakan format kenegaraan yang--menurut HT-- bertentangan dengan sistem Islam yakni khilafah Islamiyah sebagai satu2nya sistem pemerintahan.

Oleh karena itu, menjadi sebuah pertanyaan besar, untuk apa HTI merasa perlu mendaftarkan dirinya ke depdagri padahal syarat yang ditetapkan pemerintah bertentangan dengan ideologi HT?


Dalam beberapa kesempatan saya melihat rekan2 syabab HTI merasa kesulitan untuk menjelaskan realitas ini. Sebagian menjawab bahwa hal ini hanyalah perkara administrasi dan tak menyentuh ranah hadhari (peradaban, sistem). Saya pikir, kalaulah kemudian kita memandang bahwa hal ini adalah perkara administratif, apakah HTI memang memperbolehkan sebuah hipokrisi dengan berpura2 patuh dan taat pada UU secara formalitas di depan pemerintah --ketika mendaftarkan dirinya di depdagri itu--, padahal secara ideologi (yang tersembunyi di dalam hatinya), Hizbut Tahrir menentang apa yang mereka patuhi secara formal itu?

Sebuah jawaban yang tidak menjawab paradoksi ini bukan?

Bahkan, seorang syabab mengatakan via postingan di notes saya begini:

“Meskipun, ada UU Ormas, tetapi kenyataannya adalah pemberlakuan UU ormas itu tidak strict diperlakukan oleh Depdagri, tidak seperti pemberlakuan UU Parpol. Bahkan, sekalipun dengan jelas-jelas mereka mengetahui bahwa HT akan menegakkan syari’ah dan Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD, tetapi tetap diperbolehkan terdaftar sebagai Ormas yang resmi. ….

Karena, mereka (pemerintah) sendiri yang menyatakan bahwa HTI adalah resmi, sekalipun mereka tahu dan mengakui bahwa HT akan menegakkan syari'ah dan khilafah dikarenakan mereka sendiri yang tidak konsisten terhadap UU Ormasnya.

Tetapi, ketidak-konsisten mentaati UU Ormas tersebut adalah "BAGUS" dalam pandangan syara', karena konsisten terhadap UU Ormas sama saja dengan "Menta'ati makhluq di dalam bermaksiat kepada Allah". Karena itu, pelaksanaan prosedur pencatatan Ormas di Depdagri yang tidak konsisten terhadap UU Ormas, harus disyukuri. Alhamdulillah. Itu artinya, orang-orang di Depdagri masih memiliki sifat mencintai orang-orang yang (insyaAllah) tulus menegakkan syari'ah dan khilafah.”

Sebetulnya ada syabab lain yang memberikan jawaban hampir serupa. Intinya, bagi syabab HT, ketidak-konsistenan pemerintah dalam menegakkan UU adalah ‘rahmat’ bagi HT, bahwasanya banyak pula ormas yang melanggar UU di Indonesia, bahwasanya UU tidak pernah secara tegas diberlaukan oleh pemerintah. Kalimat, “karena konsisten terhadap UU Ormas sama saja dengan "Menta'ati makhluq di dalam bermaksiat kepada Allah" menjelaskan hal ini.

Saya berfikir bahwa ini merupakan sebuah langkah yang cukup mengherankan, bagaimana mungkin sebuah gerakan dakwah ikut2an melanggar UU yang secara de jure telah mereka sepakati di Depdagri? Sebuah sifat hipokrit dalam dakwah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
[61.2] Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
[61.3] Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.

(QS. Ash-Shaff:2,3)

--
Demikian pula (sedikit bergeser dari tema ini), jika konsisten dengan pemahaman keislamannya yang menurut saya rigid itu, semestinya syabab HTI tidak boleh menjadi PNS karena PNS terikat dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Syarat menjadi PNS adalah warga negara Republik Indonesia.
Sementara kedudukan Warga Negara dalam UUD 45 pasal 27 disebutkan "Warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Sedangkan bagi HTI, menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan RI adalah haram karena ini berarti loyalitas terhadap pemerintahan kufur.

2. Pengangkatan PNS ada sumpah loyalitas kepada negara. Kewajiban ini bisa dilihat di UU Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999. Diantara bunyinya adalah kesetiaan kepada Pancasila. Padahal bagi HTI, haram loyal kepada Pancasila.

Kutipan UU no 43 1999:

Bagian Kelima
Sumpah, Kode Etik, dan Peraturan Disiplin

Pasal 26
(1) Setiap Calon Pegawai Negeri Sipil pada saat pengangkatannya menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengucapkan sumpah/janji.

(2) Susunan kata-kata sumpah/janji adalah sebagai berikut:
Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:

Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pagawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;

Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab;

Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;

Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;

Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara”
--
Apakah HTI tidak akan membaca sumpah ini yang berarti membohongi lembaga tempat dia bekerja (artinya bekerja dengan diawali oleh kedustaan),

Ataukah membacanya sebatas di mulut belaka dan memberontak dalam hati bahwa sebetulnya yang ia baca adalah ‘sumpah palsu’? apakah dibenarkan bersumpah palsu menggunakan nama Allah?

Saya, sebagaimana notes saya sebelumnya, akan merasa senang jika ada rekan HT yang menanggapi notes ini dengan notes pula, sehingga terhindar dari debat kusir sepanjang komen di notes yang mereduksi argumentasi kita karena keterbatasan ruang dan waktu.


Oh iya, notes ini semata kritik yang biasa saja, tak ada kebencian di hati saya terhadap HizbutTahrir. salam ukhuwah.


Hadanallah wa iyyakum ajma’in
Bergeraklah! Karena air yang bergerak itu lebih segar daripada yang diam menggenang!
Wallahu a’lam bi ash-Shawwab

----

[1] (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, Lihat Juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan Dan Lembaga Nirlaba Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa Dan Politik Dalam Negeri Pasal 1 Ayat 2)

UTOPIA KHILAFAH HIZBUT TAHRIR (part1)

By Sigit Kamseno

Prolog


Membaca thread demi thread di grup “Indonesia, Harapan itu Masih Ada”, baik postingan dari kalangan ikhwah Tarbiyah maupun syabab Hizbut Tahrir, saya tertarik untuk membuat sebuah catatan kecil dengan judul ini. Setelah sebelumnya notes saya yg berjudul “Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir” mendapatkan cukup perhatian dari rekan2 pergerakan. (Saya katakan mendapatkan cukup perhatian karena gara-gara notes itu kemudian akun FB saya kabanjiran notif request pertemanan, bahkan beberapa orang baik dari tarbiyah maupun syabab menyampaikan pesan khusus via PM berupa link, ataupun memberikan e-book via email) oleh karena itu rasanya tidak ada salahnya jika notes kedua ini saya posisikan sebagai kelanjutan dari kritik saya terhadap harakah Islam internasional Hizbut tahrir tersebut.

Saya percaya rekan-rekan hizbut tahrir tak akan cepat-cepat reaktif memberikan penilaian terhadap notes ini hanya dari judulnya belaka sebelum membaca notes ini secara keseluruhan. Toh kita meyakini bahwa harakah trans-nasional apapun itu, baik hizbut tahrir, ikhwanul Muslimin, Jama’ah tabligh, salafiyyun, dan sebagainya adalah harakah buatan manusia yang tentu tak lepas dari perlunya kritik.

Tentu kritik yang dimaksud adalah kritik yang disampaikan secara baik, bukan kritik yang disampaikan dengan celaan-celaan tak pantas yg hanya bisa dinilai sebagai luapan emosional semata. Dan saya berusaha untuk menyampaikan notes ini sebaik yang saya bisa.
***

Membaca argumentasi yang disampaikan oleh rekan-rekan HT, saya teringat sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang saya baca sewaktu kuliah semester V dulu pada mata kuliah Gerakan Politik Islam Modern. Kalau tidak salah judul aslinya Nizhamil Hukmi fil Islam, di terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Sistem Pemerintahan dalam Islam.

Sekarang saya baru ‘ngeh’ bahwa sebetulnya merupakan sebuah kehormatan jika Hizbut Tahrir dimasukan sebagai salah satu tema pembahasan dalam mata kuliah itu. Hal ini disebabkan karena Hizbut tahrir sesungguhnya merupakan gerakan Islam yang secara kuantitas tidak terlalu besar, sehingga tak perlu terlalu diperhitungkan secara akademis. Mungkin karena itulah Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara yang mengupas pemikiran tokoh politik Islam sejak masa "klasik" hingga "kontemporer" sama sekali tak menyertakan pemikiran politik an-Nabhani dan gerakan Hizbut Tahrir-nya.

Dalam buku itu, Munawir Sjadzali membedah pemikiran Ibnu Abi Rabi', al Mawardi, Maududi, Ibn Khaldun, hingga yg Al-Afghani, Aly Abd Raziq, Ikhwanul Muslimin, hingga pemikiran politik Islam di Indonesia, namun sekali lagi, ia luput dalam membedah pemikiran politik Hizbut Tahrir. Saya jadi teringat statusnya Intan Menggugat—sebuah akun yang baru saya kenal setelah rame2 di grup “Jika 2014 Internet Masih Porno, Dukung HTI ikut Pemilu”, [sudah ditutup]— dalam statusnya itu Intan menuliskan bahwa dia berencana menerbitkan buku yang berisi kritik terhadap HT dengan judul Hizbut Tahrir antara Solusi dan Polusi namun ditolak oleh penerbit karena dipandang tak marketable lantaran HT hanyalah gerakan kecil yg tak diperhitungkan).

Saya kira, memang tak sepadan rasanya jika kita membandingkan gerakan Hizbut Tahrir dengan gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab misalnya, yang berhasil memainkan perannya di sebuah negara besar, yakni kerajaan Saudi Arabia. Atau membandingkan HT dengan Nahdhatul 'Ulama yang memiliki peran besar sebagai gerakan Kultural Islam di sebuah negara Islam terbesar di dunia: Indonesia, dengan basis pesantren-pesantren ‘tradisional’nya yang memasyarakat itu.

Pun tak sejajar jika membandingkan Hizbut Tahrir dengan gerakan islam internasional Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang setidaknya telah berperan dalam perpolitikan di dunia Islam melalui sayap-sayap gerakannya di berbagai Negara baik di Aljazair, Palestina, Sudan, dan sebagainya. Hizbut Tahrir sejauh ini belum memiliki pengaruh yang signifikan di dunia Islam kecuali konflik-konflik di beberapa negara yang memang dirasakan pula oleh semua gerakan Islam.

Saya, sejujurnya tak mengetahui berapa jumlah kader hizbut tahrir di Indonesia, namun tampaknya gerakan ini memang termasuk gerakan islam yang akselerasi pertumbuhannya lambat. Jika kader hizbut tahrir di Indonesia sudah mencapai satu juta orang saja, itu belumlah setara dengan satu persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah hampir 240 juta ini, bahkan setengah persen pun tidak sampai.

Itu kalau sudah mencapai satu juta kader ya,--kader, bukan simpatisan--. (saya amat berterimakasih seandainya ada syabab HT yg memberikan informasi berapa jumlah kadernya di Indonesia berdasarkan sensus internal di tubuh HT, dan kemudian memasukannya ke dalam format persentase dari total keseluruhan penduduk Indonesia. Kira2 sudah cukup signifikan belum ya untuk memainkan perannya di Negara Indonesia ini? Demikian pula dengan akselerasi pertumbuhan kader HT setiap tahun, apakah sepadan dengan persentase pertumbuhan penduduk di Indonesia atau justru lebih kecil. Maksud saya, meskipun secara kuantitas jumlah kader HT naik dari tahun ke tahun, tetapi jika secara persentase pertumbuhannya lebih kecil dari pertumbuhan penduduk indonesia, maka sesungguhnya ‘secara nilai’, jumlah HT semakin kecil karena kian terjepit oleh pertumbuhan penduduk indonesia yang semakin besar itu. (kalau ada yg berbaik hati memberikan info yg bermanfaat tentang jumlah kader HT, saya tunggu ya! ini hanya sekadar evaluasi saja koq)

Kecilnya jumlah syabab HT ini sejauh yang saya ketahui dari interaksi saya dengan mereka, disebabkan pola dakwah Hizbut Tahrir yang memang cenderung ekslusif dan ‘terpisah’ dari masyarakat. Syabab HT terlalu menonjolkan identitas ideologisnya sebagai seorang ‘pejuang’ khilafah dan lupa untuk berakrab-akrab dengan kebutuhan real masyarakat kita.

Dalam jagad maya facebook misalnya, mari kita lihat beberapa wall dari akun-akun milik Hizbut Tahrir. Mereka menggunakan nama-nama yang amat revolusioner, seperti penggunaan nama ‘revolusi', 'ideologis,’ dan sebagainya. Sebuah implementasi ideologis yang sepadan dengan karakter aktivis-aktivis kiri yg juga ideologis, hanya berseberangan sisinya saja saya kira. Plus dengan update status yang melulu ideologis (saya amat mengapresiasi semangat rekan2 HT dalam mengkampanyekan khilafah ini, sebatas apresiasi saja ya).

Sementara masyarakat kita pada umumnya, tak terlalu akrab bahkan tak memperdulikan slogan-slogan khilafah yang diusung Hizbut tahrir itu. Masyarakat kita di kampung-kampung , lebih membutuhkan kepastian harga bahan pokok sebagai kebutuhan sehari-hari, mereka lebih berharap pada kondisi keamanan dan rasa nyaman dalam kehidupan ketimbang berfikir apa itu Khilafah Islamiyah. Jika anda bertanya pada saya “masyarakat yang mana? Silahkan melakukan survey seberapa mengerti mereka pada istilah ‘khilafah islamiyyah?”

Sementara itu, hizbut tahrir juga cenderung offensif dalam menyerang pihak-pihak yang mereka angap ‘berdosa’. Celaan dengan menggunakan kata PEMERINTAHAN SETAN, ANJ*NG PENJILAT, ANTEK THAGHUT, dan sebagainya ternyata cukup familiar digunakan oleh syabab. (saya mohon rekan syabab berhenti dari celaan dan makian kasar yang tak dicontohkan Rasulullah ini, apalagi ditujukan kepada saudara sesama muslim).


Lebih ironis lagi, serangan offensive ini juga mereka lakukan kepada harakah-harakah yang berbeda pandangan dengan HT. Sebuah akun milik seorang syabab HT menuliskan dalam “pandangan politiknya” dengan kalimat yg amat eksplisit “ANTI PKS”. Adapula sebuah blog milik seorang syabab lain yang memiliki link khusus di sebelah kanannya yang terkoneksi ke blog ‘PKS Watch’ dan situs resmi PKS.

Pertanyaannya untuk apa syabab tersebut menuliskan pandangan politiknya sedemikian eksplisit sebagai “anti PKS” ? sebagai seorang aktivis Muslim yang ideologis, mengapa tak menuliskan pandangan politik tersebut secara lebih general, misalnya ANTI SEKULARISME yang karenanya akan mengena pula kepada partai-partai lain yang beraroma sekular yg amat dibenci HT itu. Mungkinkah syabab tersebut justru memandang PKS lebih berbahaya dari partai pengusung sekularisme sehingga dirasa perlu menuliskannya secara eksplisit sedemikian rupa? semoga saja tidak.

Belum lagi akun FB lain yang membuat notes berupa kritikan terhadap etika kampanye PKS namun menggunakan foto rekayasa yang tak relevan dengan notesnya, sehingga terkesan mengarahkan pembaca pada persepsi amat negatif thd citra PKS itu. Saya kira postingan semacam ini merupakan propaganda yang jauh dari hikmah daripada sebagai kritik. dan yang membuat saya berfikir ulang tentang HT adalah, mengapa banyak sekali akun-akun milik HTI yang isinya beraroma propaganda semacam ini? sehingga agak sulit untuk mengatakan bahwa hal ini hanyalah merupakan 'oknum'.

Saya jadi teringat, mungin itulah mengapa di kalangan ikhwah tarbiyah ada selentingan joke yang mengatakan, “PKS Sibuk memikirkan ummat dan bangsa, HTI sibuk memikirkan PKS”, rupanya joke itu ada benarnya juga..

Sikap 'keras' dan 'kasar' ini pula yang tampaknya menjadikan akselerasi pertumbuhan Hizbut Tahrir berjalan lambat jika dibandingkan dengan pergerakan Islam lain, karena sikap ini menjadikan akseptabilitas masyarakat terhadap eksistensi Hizbut Tahrir menjadi kecil. Jika banyak aktivis mengatakan bahwa beberapa kota menjadi 'basis' Hizbut Tahrir misalnya, saya kira persepsi itu perlu ditujukan dengan data yang valid. Dikalangan para aktivis misalnya diketahui bahwa Kota Bogor adalah basis HT, penggunaan kata 'basis' itu sejatinya hanyalah perbandingan angka kuantitatif Syabab HT di Kota Bogor yang memang lebih banyak jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun pada faktanya jumlah syabab HT di Kota Bogor juga 'belum seberapa' (kesaksian orang Bogor asli nih). Bahkan istilah 'Hizbut Tahrir' bagi masyarakat Bogor pada umumnya pun merupakan istilah yang hingga kini tidak familiar.

Jika Syabab Hizbut Tahrir masih mempertahankan sikap "kasar" dan mudah mencela itu, saya kira cita-cita mulia untuk mendirikan Khilafah Islamiyah hanya akan menjadi hal yang utopis belaka.

Walahu A'lam

Rethinking Khilafah, Reinventing Democracy Jawaban atas Tanggapan Adi Victory thd notes saya: Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir 

----
Bismillahirrahmanirrahim..

Pada Allah SWT, kepada-Nya kita memuji dengan hati yang lirih. Mengadu dengan jiwa yang luluh, saat menyadari betapa besar nikmat dari-Nya yang tidak kita syukuri. Ketika menyadari betapa besar dosa yang kita perbuat. Bertasbihlah memuji-Nya apa-apa yang ada di langit, di bumi, dan apa-apa yang berada di antara keduanya.

Shalawat dan salam atas kecintaan kita, Rasul mulia, Baginda Rasulullah Saw, beserta para keluarga, shahabat, dan ummat beliau yang tetap istiqamah dalam da’wah, hingga tiba hari yang dijanjikan.
*****

Saya merasa amat senang ketika mengetahui bahwa notes saya, “Paradoks Pemikiran Hizbut Tahrir”  mendapatkan tanggapan dari seorang syabab Hizbut Tahrir, akhina Adi Victory.

Saya memang menginginkan agar kalangan yang berminat memberikan tanggapan thd notes saya tsb menuliskannya dalam bentuk artikel agar lebih komprehenshif. Sehingga dengan demikian akan terjadi, kalo boleh meminjam istilah seorang filosof Jerman, George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831), adanya 'Dialektika,'yaitu sebuah proses bertemunya tesis dan anti tesis untuk melahirkan sintesis. Dalam konteks ini mungkin lebih tapat kita sebut, Dialektika Pemikiran Islam.

Sebelumnya saya ingin memulai jawaban ini dengan mengutip tulisan Adi Victory yg mengatakan bahwa “rupanya sangat ingin sekali niat antum ingin membuat karya ilmiah terhadap gerakan dakwah hizbut tahrir dengan judul “Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir”.

Saya ingin bilang bahwa saya sebetulnya tak berminat untuk menulis notes tersebut dalam konteks “tulisan ilmiah”, oleh karena itulah dari awal saya mengatakan:

“….sebetulnya saya ingin menulis artikel berikut ini, itu juga kalo pantes disebut sebagai artikel, hehe.. setelah tadi pagi di bus kota mayasari cibinong-tn.abang, sambil menunggu macet di tol jagorawi, saya membaca tulisan Ust. Farid Wajdi, seorang ustadz di HTI yg jebolan Austria itu, dan tulisan Shiddiq al-Jawi…”

Namun saya amat menghargai jika notes tersebut terkesan ilmiah. Terimakasih atas apresiasinya. :-)

Saya sudah membaca tanggapan Adi Victory tersebut, saya baca lebih dari satu kali dan baru sempat membuat jawabannya sore ini karena awal pekan ini saya punya sedikit waktu luang disela2 kerjaan kantor.
***

Jawaban ini saya beri judul:
RETHINKING KHILAFAH, REINVENTING DEMOCRACY

Judul diatas saya kutip dari makalah kajian politik Islam yg ditulis oleh AM Furqon dan Edwin Arifin dari judul aslinya, “Rethinking Islam Reinventing Democracy” yang dibedah bersama Jakarta Secret Society, dan Laboratorium Politik Islam UIN Jakarta tahun 2005, berkaitan dengan kebangkitan gerakan anak muda Islam yang bergerak dalam ranah politik praktis dan penerimaannya terhadap demokrasi. Makalah tersebut adalah hasil penelitian selama lima bulan dan isinya membahas tentang Partai Keadilan Sejahtera.

Judul makalah tersebut menginsiprasi saya untuk membuat catatan ini karena saya pikir relevan dengan realitas pemikiran Hizbut Tahrir (HT) yang tak bosan mengkufurkan demokrasi dan mencela mereka yang tengah berdakwah di dalamnya, disertai dengan kampanye penegakkan kembali khilafah Islamiyah di tengah hagemoni system demokrasi dewasa ini. Sebuah semangat heroik yang saya kira patut kita apresiasi jika disampaikan dengan cara yang santun. Sebagai perlawanan terhadap hagemoni demokrasi yg melingkupi sistem politik dunia hari ini.

Saya katakan “patut diapresiasi jika disampaikan ‘dengan cara yang santun’” karena tak jarang, rekan2 HT menyampaikan sumpah serapah yang tak layak diucapkan seorang Muslim kepada muslim lainnya. Saya tetap berbaik sangka bahwa ini hanyalah oknum2 yang terdorong oleh panggilan ideologis mereka.

Dalam grup “Indonesia Harapan Itu Masih Ada” yang baru berumur beberapa minggu saja, amat ramai ucapan rekan-rekan HT yang tak layak diucapkan, yg membuat saya sebagai admin meremove topik tersebut karena keluar dari adab-adab diskusi Islami, apalagi dari mereka yang mengklaim dirinya sebagai aktivis Muslim.

Dari sebuah akun milik seorang syabab Hizbut Tahrir, (tak perlu saya sampaikan linknya), beliau mencaci pemerintahan SBY dengan sebutan “Pemerintahan Setan”, sebelumnya pemilik akun yang sama melontarkan kalimat ANJ**G SBY. (sebanyak dua kali karena merasa tak puas topik kasar sebelumnya dihapus oleh admin). Lihatlah pula dari sebuah akun lain (yg akhirnya meminta maaf) juga melempar sebuah topik panas dengan menyerang pribadi member lain dengan sebutan ANJ**G BODOH.

Tak hanya kalangan ikhwan dari syabab HT yang rajin mencela, kalangan akhwatnya juga tak ketinggalan dengan cacian yang sama. Seorang akhwat aktivis HT dari Institut Pertanian Bogor juga melemparkan sebuah topik panas di grup dengan menulis “ANJ**G PENJILAT”.

La haula wala quwwata illa billah…

Saya tetap menilai bahwa ini memang karakter pribadi yang bersangkutan, akan tetapi penilaian saya rupanya terkesan kurang akurat karena amat mengherankan bahwa postingan2 yg berisi cacian sejenis bertebaran di banyak sekali akun FB milik rekan2 HT. Tak cukup postingan dengan kata-kata, cacian juga disampaikan lewat gambar2 yang mencela harakah lain yang berbeda paham dengan mereka.

Sehingga menimbulkan sebuah penilaian bahwa Hizbut Tahrir sejatinya sedang membuat propaganda tentang kemuliaan khilafah dan kebusukan demokrasi versi mereka, dengan cara menyerang aktivis dakwah yang berpaham bahwa demokrasi pada beberapa konteks memiliki relevansi dengan Islam.

Celaan-celaan ini tampaknya bukan lahir dari karakter yg bersangkutan, tetapi lebih merupakan tuntutan ideologis yg diimplementasikan secara radikal dan ofensif, persis sebagaimana dalam catatan yg sebelumnya saya kutip, bahwa hal ini menggambarkan apa yang diungkapkan oleh Rolland Barthes, seorang teoritisi budaya asal prancis, bahwa ideology selalu meniscayakan penganutnya untuk "menaturalkan hal-hal yg pada faktanya kultural, dan me-universalkan hal-hal yg pada faktanya particular. Dalam hal ini. Hizbut Tahrir tampak telah memainkan propaganda ideologisnya secara radikal.
***

Dalam tanggapannya, akh Adi Victory memulai dengan mengatakan bahwa pandangan saya yg melihat Perdebatan seputar relasi antara demokrasi dan Islam merupakan perdebatan panjang yang tak akan pernah berujung pangkal, berasal dari ketidak tahuan saya mengenai fakta demokrasi.

Akh Adi Victory mengatakan,

“saya kira titik persoalannya adalah ketidaktahuan antum tentang apa itu demokrasi, sehingga bagi antum hal ini seolah masuk pada ranah ijtihadiy, yang berarti para ‘ulama juga masih memperdebatkannya. Benarkah hanya hizbut Tahrir yang berpandangan bahwa mengadopsi ide demokrasi adalah haram?”

Dalam hal ini Adi Victory mengatakan bahwa pendapat tentang keharaman demokrasi bukanlah ranah ijtihady. Kalimat “sehingga bagi antum hal ini seolah masuk pada ranah ijtihadiy, yang berarti para ‘ulama juga masih memperdebatkannya.” Menegaskan pandangan akh Adi Victory tersebut.

Saya ingin mengatakan kepada Akhi Adi Victory bahwa ranah ini memang ranah ijtihady. Memang pada faktanya para ulama berbeda pendapat dalam hal penerimaan terhadap demokrasi. Sehingga tak eloklah kiranya jika Hizbut Tahrir mengingkari fakta ini dan “memaksakan” kaum Muslimin, termasuk para ulama di dalamnya, untuk menerima pandangan HT. Kecuali jika mereka yang setuju terhadap demokrasi dikecualikan dari predikat Ulama, dan hanya para ulama yg sependapat dengan HT lah yg berhak menyandang gelar Ulama. Barulah ranah tersebut hbukan lagi ranah ijtihadi lagi karena semuanya tak lagi berbeda pendapat.

Tetapi faktanya, para ulama berbeda pendapat mengenai relevansi Islam dan demokrasi. Jika yang antum kutip adalah mereka yang menolak demokrasi, tentu ya. namun mengapa tak antum kutip pandangan para ulama yang menerima demokrasi sehingga antum tahu bahwa masalah ini berada pada ranah ijtihady/ikhtilaf di kalangan para ulama?

Syaikh Yusuf Qardhawi membolehkannya, semikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan, dan lain-lain. Apakah menurut antum mereka bukan ulama sehingga pendapat mereka sama sekali tak diperhitungkan? Akhi fillah, sadarilah bahwa masalah ini pada faktanya memang masalah ijtihady. Tak perlu lari dari kenyataan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

saya kira akan lebih baik jika berlaku bijaksana dalam memahaminya, seraya memberikan argumentasi bagi pandangan kita, tanpa melupakan fakta akan ikhtilaf ini. Saya kira kedewasaan dalam menerima perbedaan pendapat merupakan sikap seorang Muslim yang sejati. Jika hujjah telah bertemu dengan hujjah, maka yang diperlukan adalah kedewasaan, bukan mengkufurkan yang lain. (fatwa seputar ulama yang memperbolehkan pernah saya posting di komentar saya pada notes yg lain, sebagai tanggapan atas diskusi dengan syabab HT, sayangnya saya diblokir sama dia, entah dengan alasan apa, lihat:

***

Pertanyaan yg muncul kemudian adalah, apakah penerimaan saya terhadap ikhtilaf di kalangan para ulama tentang demokrasi tersebut merupakan akibat dari ketidaktahuan saya terhadap demokrasi? Ataukah bahwa saya memahami bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hal itu? Atau justru pandangan akh Adi Victory tersebut mencerminkan apa yg saya sebut sebagai “pandangan premature” terhadap demokrasi?

Sebagaimana pada notes sebelumnya saya katakan, bahwa kalangan Hizbut tahrir cenderung memandang demokrasi hanya dari satu wajah. Melihat demokrasi dari sejarahnya, kemudian membedahnya, menyertakan pendapat para ahli yang menentangnya, untuk kemudian mempertentangkannya dengan Islam. (saya tak perlu menjelaskan demokrasi secara panjang lebar, utk jelasnya antum bisa baca notes saya ttg demokrasi disini  dan disini

Hal demikian memang mudah dipahami karena pola pemahaman doktriner pada mentoring pekanan Hizbut Tahrir pada Bab “Pelaksanaan Syariat Islam” diawali dengan fakta2 kegagalan dan kekacauan system selain Islam. {saya masih punya buku lama, Kumpulan Materi Dasar Islam, (Bogor, al-Ummah, 1994), buku yang menjadi bahan kajian awal rekan2 yg mulai mengikuti Hizbut Tahrir. Masih ingat neh waktu dulu masih ngaji di HT tahun 2000, mungkin sekarang bukunya sudah ganti kali..}

Sehingga ketika menilai demokrasi, rekan2 syabab mengalami apa yang oleh Aaron T Beck, penggagas cognitive-behavioral therapy, sebagai distorsi kognitif. misalnya, Pandangan saya bahwa jalan kaki itu melelahkan dan tidak akan pernah menyenangkan adalah contoh pemikiran dikotomis. sehingga pandangan ke depannya pun akan tetap memandang jalan kaki amat melelahkan. Persis seperti rekan HT yang menilai bahwa demokrasi itu buruk dan Islam itu baik, kemudian mempertentangannya secara dkotomis.

Lita Hadiati Wulandari dalam skripsi pada program psikologinya di Universitas Sumatera Utara memaparkan 'distorsi kognitif' ini secara lebih detail menurut Burns (1988). Saya kutip point pertamanya yg saya kira amat relevan bahwa Pemikiran "Segalanva atau Tidak Sama Sekali". Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori 'hitam atau putih' secara ekstrim. Pemikiran 'bila saya tidak begini maka saya bukan apa-apa sama sekali" merupakan dasar dari perfeksionisme yang menuntut kesempumaan.
(Lita Hadiati Wulandari, Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif Untuk Mengurangi Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi, Skripsi pada Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

Beginilah pandangan HT terhadap Khilafah dan demokrasi. Penilaian awal yang pada akhirnya merembet pada penilaian-penilaian selanjutnya. Memandang sesuatu dengan cara mempertentangkannya atau vis a vis.

Hendaknya akh Adi Victory melihat bahwa demokrasi pada faktanya tidak memiliki satu definisi. Karena dalam perkembangannya, Setiap Negara berhak mengklaim sebagai Negara penganut demokrasi meskipun pada faktanya penerapan sistem politik di Negara tersebut amat jauh dari nilai2 demokrasi itu sendiri. Bahkan Menurut Ian Adams, setelah Perang Dunia II, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), UNESCO ketika berusaha menjelaskan cita-cita demokrasi, menugaskan sejumlah sarjana untuk mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991), para sarjana itu mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat begitu banyak definisi demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk dicapai kesepakatan. Miriam Budiardjo dalam buku darasnya yg menjadi buku paling dasar utk memahami politik, “Dasar2 Ilmu Politik” juga mengatakan hal tersebut. Bahkan di Negara berpaham komunis sekalipun, predikat demokrasi bisa saja digunakan. (lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Bab Demokrasi).

Ketidak sepakatan terhadap makna demokrasi ini tidak lantas menjadikan demokrasi itu sebagai sesuatu yang tidak ada. Justru ketidaksepakatan para ilmuwan terhadap demokrasi ini terjadi karena demokrasi memiliki banyak versi dan memiliki banyak wajah. Oleh karena itulah kita bisa memilah, demokrasi yang seperti apa yang sesuai dengan Islam.

Kalangan Tarbiyah, tidak seperti yang akh Adi Victory sampaikan, “Inilah kesalahan fatal yang dialami oleh teman-teman tarbiyah, salah dan keliru dalam menghukumi sebuah fakta, kesalahan ini kiranya terjadi mungkin karena proses penelaahan terhadap sebuah fakta yang tidak tepat, sehingga keliru dalam menerapkan hokum syara’nya.” Justru melihat demokrasi secara lebih luas, tidak hanya dari sejarahnya yang semata-mata dari barat, tetapi juga dari perkembangan dan ragam demokrasi, serta peluang-peluang yg bisa diambil didalamnya.

Kalangan tarbiyah memahami demokrasi seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Ma’mun al-Hudhaibi,

"jika dikatakan demokrasi berarti rakyat yang menentukan siapa yang akan memimpin mereka, maka Ikhwan menerima demokrasi. Namun jika demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum2 Allah, dan megikuti kehendak mereka, maka ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam system yg memungkinkan syariat Islam di berlakukan dan kemungkaran dihapuskan." (Farid Nu’man, Al Ikhwan alMuslimun, Augerah Allah yang terzalimi, p.67-68)

Pada faktanya keterlibatan aktivis tarbiyah dalam ranah demokrasi adalah bentuk strategi agar regulasi yang lahir sbg keputusan politik pemerintah mencerminkan hukum2 Allah tegak dimuka bumi meskipun tidak mesti disebut sebagai UU Islam. Anis Matta mengatakan, “jika subtansi telah cukup mewakili nama, maka tak perlu nama mewakili substansi tanpa menafikan nama”

Pandangan Ma’mun Hudhaibi ini sejatinya sebangun dengan pandangan Abul A’la al-Maududi yang secara tidak tepat oleh akh Adi Victory disebut menolak mentah2 demokrasi. Dengan mengatakan:

“Antum kenal Abul A’la Al-Maududi ?, ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Beliau menolak mentah-mentah ide demokrasi. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Dst…”

Faktanya adalah Abul A’la al Maududi, sebagaimana yg akhirnya akh Adi sampaikan (aneh juga bahwa paragraph pertama mengatakan “menolak mentah2, yg artinya menolak sama sekali, tetapi akhirnya membahas pula penerimaan al-maududi terhadap ‘sebagian’ konsep demokrasi, dua buah paragraph yg kontradiktif saya kira) menerima demokrasi dengan Syarat ia berjalan dalam spirit ketuhanan, sehingga keputusan politik yang lahir dari demokrasi TIDAK bertentangan dengan hukum syara’. Tidak lagi melakukan voting atas hukum zina, misalnya, dsb.

Itulah mengapa al-Mawdudi membuat konsep gabungan antara demokrasi dengan Islam yang ia istilahkan dengan “Theo-Demokrasi” atau demokrasi yang berketuhanan. (saya ingat dari buku beliau yg diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Khilafah dan Kerajaan” terbitan Bulan BIntang, sebuah buku yg saya baca ketika kuliah Pemikiran Politik Islam Modern semester 5)

Justru taqiyuddin an-Nabhani tidak sependapat dengan al-Maududi, karena an-nabhani tidak sepakat dengan penggunaan istilah2 non Islam ke dalam khazanah politik Islam. Sebuah pandangan yg keliru saya kira, karena pengunaan istilah demokrasi ke dalam Islam sama sekali tak akan membuat rancu pemikiran politik Islam kecuali jika politik Islam dimaknai secara sempit sebatas format khilafah seperti yg diyakini oleh Hizbut Tahrir.

Saya, memahami bahwa penggunaan istilah2 asing bukanlah hal yg diinginkan, tetapi istilah demokrasi adalah istilah yg popular, seperti misalnya ketika kita mengatakan “pemilihan yg demokratis dengan musyawarah atau persetujuan warga.” Meskipun pada faktanya musyawarah dan persetujuan warga itu berjalan secara Islami, namun toh pada akhirnya warga cenderung mengatakan, “pemilihannya amat ‘demokratis’.” Syaikh Ash-Shabuni mengatakan, “kaum muslimin diperbolehkan menggunakan istilah yng kurang baik, utk makna yg baik. Seperti Rasulullah Saw mengatakan “Kerahiban ummatku adalah jihad fi sabilillah” meskipun pada dasarnya Al-Quran mencela makna rahbaniyyah (QS. Al-hadiid:27).
***

Amat melelahkan memaknai demokrasi dalam perspektif sempit seperti yg dipahami hizbut Tahrir. Pemahaman ini pada akhirnya hanya menjadikan para penganutnya sebagai para ‘pencela zaman’ dengan segala predikat tak layak yg disandang oleh zaman seperti “pemerintahan Setan, atau ANJ**G seperti yg saya terangkan di muka. Seraya berlepas diri dari tanggung jawab karena merasa tak tak terlibat di dalam pemerintahan.

Padahal pilihan utk golput pun sejatinya merupakan pilihan yg memiliki konsekuensi politik dengan terpilihnya pemimpin yg dicela oleh mereka itu. Sebuah sikap tak ksatria, dengan tidak memilih dalam pemilu, lalu jika pemerintah melakukan kebijakan tak popular dicelanya sebagai produk demokrasi sementara HT tak berperan sedikitpun di dalamnya kecuali melakukan demonstrasi dan seruan2 belaka.

Penjelasan akh Adi Victory tentang pendaftaran HTI sebagai Ormas di Depdagri dengan syarat mentaati UU yg berlaku, pun akhirnya terkesan hanya sebagai apologi untuk menutupi kenyataan bahwa HTI bisa dan memang hanya bisa hidup di negeri yang menerapkan demokrasi ini. kita bertanya, apa tujuan HTI mendaftarkan lembaganya di Depdagri yg merupakan perpanjangan tangan pemerintah pada sistem demokrasi ini?

Seandainya Indonesia tidak menerapkan demokrasi seperti Pakistan dan Saudi, rasanya HT akan terhambat. Maka dari itulah HT bisa berkembang di USA, Australia, Indonesia yg memang menerapkan demokrasi.

Demikian pula pejelasan mengenai eksitensi partai politik dalam RUU Khilafah versi HT. saya kira sebetulnya tidak sulit utk memahami bahwa partai politik yang dimaksud dalam RUU tersebut adalah Partai Politik Peserta Pemilu, karena digunakan utk menduduki kekuasaan. lihat lagi kalimat fungsi parpol dalam RUU tsb; “atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat,” Sebuah konsep barat yg tak ditemukan landasannya dalam sejarah khilafah. sehingga tak perlu berputar pada makna partai politik non peserta pemilu seperti format HT sekarang ini. Kemudian utk menutupi RUU ini digunakanlah kaidah ushul kullu asya’al ibahah illa ma warada ‘annis syari’ tahrimuhu (segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalilnya dari pembuat syari’at yang melarangnya) yg mana kaidah ushul ini sebetulnya bisa pula digunakan utk demokrasi yg berketuhanan.
***

Selanjutnya sebagai bagian dari notes ini, saya bersyukur jika akhirnya an-nabhani mengatakan bahwa:

“Kesalahan-kesalahan dalam praktik penunjukan dan baiat tersebut tidak bisa mengubah status sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan atau yang lain. Juga harus dipahami, bahwa kesalahan-kesalahan seperti ini juga lazim terjadi dalam praktik sistem apapun, tetapi tetap tidak mengubah status sistem itu. Sebab, di sana ada faktor manusia; pelaksana sistem tersebut adalah manusia, bukan malaikat.”

Sebuah pemahaman yg hendaknya dyakini pula oleh syabab HT, bahwa konsep khilafah bukanlah konsep yg sempurna. Bahwa penyimpangan bisa terjadi dalam sistem politik apapun, bahkan khilafah sekalipun.

Meskipun pada prinsipnya saya meyakini bahwa konsep khilafah, sebetulnya bisa saja berbentuk dalam format demokrasi. Seperti pernah saya tulis dalam notes saya ini

Pandangan Hidayat Nur Wahid tentang Islam dan Sekularisme


by Sigit Kamseno

Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, secara eksplisit Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa paradigma sekularisme yang menyatakan perlunya agama dijauhkan dari politik adalah paradigma yang harus diubah. “Teori pertama yang harus kita ubah adalah paradigma yang menyatakan perlunya agama dijauhkan dari politik. Alasannya bahwa politik itu kotor sehingga bila agama dibawa dalam aktivitas perpolitikan maka itu akan mengotori kesucian agama.”[1]


Lebih lanjut, ketika menerangkan tentang makna sûrah Yâsin/36:4, “al-Sirât al-Mustaqîm,” (jalan lurus) Hidayat Nur Wahid mengatakan,

“Nabi Muhammad adalah bagian dari silsilah kenabian, baik dari sisi tugas yang diemban, maupun dari sejarah yang dihayati. Ia juga secara esensi adalah kelanjutan para Rasul dalam risalah yang dibawakan, maupun sikap istiqâmah terhadap al-haq (kebenaran) yang sedang diperjuangkan. Tentu saja informasi ini mengindikasikan agar mata rantai semacam itu tidak hanya berhenti pada penutup para Rasul, yaitu Nabi Muhammad, melainkan dapat terus diikuti dan diperjuangkan, oleh para pewaris nabi, baik itu ulama, dâ‘i, umarâ’ maupun kalangan profesional Muslim lainnya.”[2]

Menyebutkan Umarâ’ (pemerintah) sebagai pewaris nabi, menunjukan bahwa pandangan ini berasal dari pemaknaan Islam yang luas yang dipahami oleh Hidayat Nur Wahid, yang tidak memisahkan antara agama dengan politik. Lebih lanjut, Hidayat mengatakan,

“Jalan lurus” ini ini sekaligus mencakup berbagai bentuk ‘amal (kreasi) yang keseluruhannya berkonotasi ‘amal sâlih (yang baik) dan Mushlih (yang memperbaiki) baik itu dilakukan oleh dan atau untuk Qolb (hati nurani), jasmani, masalah duniawi dan ukhrawi… ‘jalan lurus’ inilah yang merupakan salah satu karakter dasar Rasulullah beserta agama Islam yang dibawakannya.”[3]

Menurut Hidayat Nur Wahid, deskripsi Muhammad dan agama yang dibawanya menegaskan bahwa arti kebenaran nabi adalah jalan lurus yang tidak mengandung tipu muslihat, tipu daya, dan ketidakjelasan, yang bisa berujung pada keraguan akan jaminan kebenaran nabi. Dalam hal ini, lurus adalah jalan yang memiliki moralitas yang tinggi.

Oleh karena itulah menurut Hidayat Nur Wahid,[4] aktivitas berpolitik yang dilakukannya merupakan aktivitas politik dengan moralitas. Pandangan politik semacam ini, merupakan implementasi dari konsep politik yang sebagaimana dikatakannya, bereferensi pada al-Qur’ân dan sunnah.[5] yang berarti menujukkan pula bahwa sekularisme dipandang sebagai sesuatu yang tidak compatible dengan Islam.


Namun demikian, dengan menolak sekularisme, bukan berarti bahwa Hidayat Nur Wahid berpandangan hitam putih, dengan menempatkan negara Islam sebagai antitesa dari sekularisme.


Menurut Hidayat Nur Wahid, kata-kata negara Islam bukan sesuatu yang diutamakan. Pada masa pemerintahan Rasulullah atau masa al-Khulafâ al-Râsyidûn, Khilâfah Umayyah, dan ‘Abbâsiyyah, juga tidak menyebut negara Islam.[6]

Dari sini, menurut Hidayat, yang dipentingkan adalah bagaimana kemudian nilai-nilai Islam hadir dalam kaidah kehidupan, dan kemudian publik mengarahkan potensinya untuk tidak melakukan kezaliman pada apapun dan siapapun, dan tidak menghabisan waktu dengan perdebatan yang tiada berujung pangkal.[7]


Bagi Hidayat Nur Wahid, didirikannya Partai Keadilan memiliki tujuan yang sudah sangat jelas, dalam rangka mewujudkan bangsa dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Dengan kata lain, Partai Keadilan yang merupakan wadah politik Hidayat Nur Wahid ingin menciptakan negara yang berkeadilan dan berkesejahteraan (justice and welfare state). [8]


Ketidaksetujuan Hidayat Nur Wahid terhadap sekularisme, tidak ditunjukan dengan tuntutan penegakkan syariat Islam yang dimaknai dengan penangkapan penjudi, potong tangan bagi pencuri, dan semacamnya, tetapi bagaimana semangat Islam itu di buktikan lewat perilaku para pemimpin dengan tidak melakukan korupsi, dan tetap santun serta modern dengan koridor norma-norma. Melalui perilaku, menurut Hidayat Nur Wahid, Islam dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah kemajemukan masyarakat.[9] Menurut Hidayat Nur Wahid,


“Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah adalah 'iqrâ', atau membaca. Nah, seberapa besar dana yang sudah dialokasikan pemerintah Islam untuk pendidikan? Sudahkah sepadan dengan perintah pertama Islam itu? Lalu, dalam surat al-Quraisy ada ayat fal ya‘budû Rabb hâdza al-bait, alladzi at'amahum min jû'in wa âmanahum min khauf, (dan berimanlah kepada Tuhan Pemilik Rumah Ini (Ka‘bah), Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan). Pemerintah Islam berkewajiban untuk membebaskan rakyat dari kelaparan dan memberi rasa aman kepada rakyat. Syariat Islam seperti inilah yang diperjuangkan oleh PKS dan saya kira, pemikiran ini bisa diterima semua orang dan juga menjadi cita-cita semua bangsa Indonesia.”[10]


Dari seluruh elaborasi di atas, menurut hemat penulis, Hidayat Nur Wahid memiliki idealisme Islam yang lebih realistis. Hidayat tidak sependapat dengan sekularisme karena selain ahistoris, juga dianggap kurang memiliki spirit moral yang kuat untuk membangun negara dengan segala dimensi problematikanya yang kompleks. Namun dalam konteks yang sama, Hidayat Nur Wahid tidak mengeluarkan antitesa bagi sekularisme berupa negara Islam. Tuntutan-tuntutan yang lebih aplikatif seperti menghadirkan politik yang bermoral, menjauhkan diri dari korupsi, mengatasi pengangguran, meningkatkan mutu pendidikan, merupakan hal yang lebih realistis dan memiliki urgensi tinggi, serta pada saat yang sama merupakan pengejawantahan aktivitas politik berdasarkan Islam.


------------------------------

[1] Hidayat, Membangun Masa Transisi, h. 178-179.


[2] Hidayat Nur Wahid, Sentuhan Qalbu al-Quran, Tadabbur Surah Yasin untuk Pencerahan Ruhiyah. (Jakarta: Pustaka Ikadi, 2005), h. 11-12.

[3] Ibid., h. 12

[4] “Save Our Nation,” Metro TV, 14 Januari 2009.

[5] Haryo Setyoko,“Masalah yang Kita Khawatirkan, Justru Peluang yang Menjanjikan,” Tarbawi, 31 Maret 2005, h. 28.

[6] Furqon, Partai Keadilan Sejahtera, h. 234.

[7] Dalam konteks PKS, Sekjen PKS Anis Matta mengatakan bahwa jika substansi telah cukup mewakili nama, tidak perlu nama mewakili substansi, meski tidak menafikan nama. Begitu Rasulullah berkuasa di Madinah, Negara itu tidak diberi nama al-Madînah al-Islâmiyyah al-Munawwarah. Saudi Arabia dikenal sebagai Negara Islam, tapi namanya al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah. Oleh karena itu menurut Anis, apa gunanya negara sebesar Indonesia ini, yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, perlu mendeklarasikan diri untuk menjadi Negara Islam. Bagi PKS, tidaklah penting mewacanakan Negara Islam atau bukan Negara Islam. Tetapi intinya bahwa negara ini pernah dikelola secara sekular, PKS menginginkan agar negara ini dikelola dengan cara Islami.

Yang penting bagi PKS, adalah menghadirkan Islam dalam seluruh sektor kehidupan. Cara politik yang dibangun oleh PKS menurut Anis adalah cara politik yang dibangun oleh semangat yang lebih substansial. Misalnya bagaimana mengelola sistem pendidikan dengan cara Islami, bagaimana mengelola sistem pertahanan secara Islami, bagaimana mengelola perekonomian secara Islami, itu yang penting. Dan untuk menuju itu semua, tidak cukup hanya melalui wacana dan pemikiran, tetapi justru di tingkat aplikasi.

Dalam konteks ini, PKS sedang membangun pandangan Islam yang jauh lebih luas, tidak berorientasi tekstual.“sebelum kita menggunakan nama Syariat Islam, Republik Islam, dan seterusnya, buktikan saja dulu di tingkat kenyataan, kita memang capable, bahwa orang enjoy kalau kita berkuasa. Ini jauh lebih penting daripada ketika kita menggunakan nama Islam, lalu Negara ini bangkut di tangan kita. Dengan kata lain, mau disebut Negara Islam atau komuntas Islam yang bernegara, intinya bukan wadahnya, tapi amaliah dan visi misinya.” Ibid., h. 234-235.

[8] Ibid.,h. 234.

[9] “Syariat Islam dalam Bingkai NKRI,” artikel diakses pada 9 Februari 2009 dari http:/smsplus.bllogspot.com/2007/08/syariat-islam-dalam-bingkai-nkri.html.

[10] “Dina, “Bertemu Hidayat Nur Wahid di Iran,” artikel diakses pada 9 Februari 2009 dari http://bundakirana.multiply.com/journal/item/120?&item_id=120&view%3Areplies=threaded&page_start=50