Jumat, 22 Maret 2013

UTOPIA KHILAFAH HIZBUT TAHRIR (part1)

By Sigit Kamseno

Prolog


Membaca thread demi thread di grup “Indonesia, Harapan itu Masih Ada”, baik postingan dari kalangan ikhwah Tarbiyah maupun syabab Hizbut Tahrir, saya tertarik untuk membuat sebuah catatan kecil dengan judul ini. Setelah sebelumnya notes saya yg berjudul “Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir” mendapatkan cukup perhatian dari rekan2 pergerakan. (Saya katakan mendapatkan cukup perhatian karena gara-gara notes itu kemudian akun FB saya kabanjiran notif request pertemanan, bahkan beberapa orang baik dari tarbiyah maupun syabab menyampaikan pesan khusus via PM berupa link, ataupun memberikan e-book via email) oleh karena itu rasanya tidak ada salahnya jika notes kedua ini saya posisikan sebagai kelanjutan dari kritik saya terhadap harakah Islam internasional Hizbut tahrir tersebut.

Saya percaya rekan-rekan hizbut tahrir tak akan cepat-cepat reaktif memberikan penilaian terhadap notes ini hanya dari judulnya belaka sebelum membaca notes ini secara keseluruhan. Toh kita meyakini bahwa harakah trans-nasional apapun itu, baik hizbut tahrir, ikhwanul Muslimin, Jama’ah tabligh, salafiyyun, dan sebagainya adalah harakah buatan manusia yang tentu tak lepas dari perlunya kritik.

Tentu kritik yang dimaksud adalah kritik yang disampaikan secara baik, bukan kritik yang disampaikan dengan celaan-celaan tak pantas yg hanya bisa dinilai sebagai luapan emosional semata. Dan saya berusaha untuk menyampaikan notes ini sebaik yang saya bisa.
***

Membaca argumentasi yang disampaikan oleh rekan-rekan HT, saya teringat sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang saya baca sewaktu kuliah semester V dulu pada mata kuliah Gerakan Politik Islam Modern. Kalau tidak salah judul aslinya Nizhamil Hukmi fil Islam, di terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Sistem Pemerintahan dalam Islam.

Sekarang saya baru ‘ngeh’ bahwa sebetulnya merupakan sebuah kehormatan jika Hizbut Tahrir dimasukan sebagai salah satu tema pembahasan dalam mata kuliah itu. Hal ini disebabkan karena Hizbut tahrir sesungguhnya merupakan gerakan Islam yang secara kuantitas tidak terlalu besar, sehingga tak perlu terlalu diperhitungkan secara akademis. Mungkin karena itulah Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara yang mengupas pemikiran tokoh politik Islam sejak masa "klasik" hingga "kontemporer" sama sekali tak menyertakan pemikiran politik an-Nabhani dan gerakan Hizbut Tahrir-nya.

Dalam buku itu, Munawir Sjadzali membedah pemikiran Ibnu Abi Rabi', al Mawardi, Maududi, Ibn Khaldun, hingga yg Al-Afghani, Aly Abd Raziq, Ikhwanul Muslimin, hingga pemikiran politik Islam di Indonesia, namun sekali lagi, ia luput dalam membedah pemikiran politik Hizbut Tahrir. Saya jadi teringat statusnya Intan Menggugat—sebuah akun yang baru saya kenal setelah rame2 di grup “Jika 2014 Internet Masih Porno, Dukung HTI ikut Pemilu”, [sudah ditutup]— dalam statusnya itu Intan menuliskan bahwa dia berencana menerbitkan buku yang berisi kritik terhadap HT dengan judul Hizbut Tahrir antara Solusi dan Polusi namun ditolak oleh penerbit karena dipandang tak marketable lantaran HT hanyalah gerakan kecil yg tak diperhitungkan).

Saya kira, memang tak sepadan rasanya jika kita membandingkan gerakan Hizbut Tahrir dengan gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab misalnya, yang berhasil memainkan perannya di sebuah negara besar, yakni kerajaan Saudi Arabia. Atau membandingkan HT dengan Nahdhatul 'Ulama yang memiliki peran besar sebagai gerakan Kultural Islam di sebuah negara Islam terbesar di dunia: Indonesia, dengan basis pesantren-pesantren ‘tradisional’nya yang memasyarakat itu.

Pun tak sejajar jika membandingkan Hizbut Tahrir dengan gerakan islam internasional Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang setidaknya telah berperan dalam perpolitikan di dunia Islam melalui sayap-sayap gerakannya di berbagai Negara baik di Aljazair, Palestina, Sudan, dan sebagainya. Hizbut Tahrir sejauh ini belum memiliki pengaruh yang signifikan di dunia Islam kecuali konflik-konflik di beberapa negara yang memang dirasakan pula oleh semua gerakan Islam.

Saya, sejujurnya tak mengetahui berapa jumlah kader hizbut tahrir di Indonesia, namun tampaknya gerakan ini memang termasuk gerakan islam yang akselerasi pertumbuhannya lambat. Jika kader hizbut tahrir di Indonesia sudah mencapai satu juta orang saja, itu belumlah setara dengan satu persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah hampir 240 juta ini, bahkan setengah persen pun tidak sampai.

Itu kalau sudah mencapai satu juta kader ya,--kader, bukan simpatisan--. (saya amat berterimakasih seandainya ada syabab HT yg memberikan informasi berapa jumlah kadernya di Indonesia berdasarkan sensus internal di tubuh HT, dan kemudian memasukannya ke dalam format persentase dari total keseluruhan penduduk Indonesia. Kira2 sudah cukup signifikan belum ya untuk memainkan perannya di Negara Indonesia ini? Demikian pula dengan akselerasi pertumbuhan kader HT setiap tahun, apakah sepadan dengan persentase pertumbuhan penduduk di Indonesia atau justru lebih kecil. Maksud saya, meskipun secara kuantitas jumlah kader HT naik dari tahun ke tahun, tetapi jika secara persentase pertumbuhannya lebih kecil dari pertumbuhan penduduk indonesia, maka sesungguhnya ‘secara nilai’, jumlah HT semakin kecil karena kian terjepit oleh pertumbuhan penduduk indonesia yang semakin besar itu. (kalau ada yg berbaik hati memberikan info yg bermanfaat tentang jumlah kader HT, saya tunggu ya! ini hanya sekadar evaluasi saja koq)

Kecilnya jumlah syabab HT ini sejauh yang saya ketahui dari interaksi saya dengan mereka, disebabkan pola dakwah Hizbut Tahrir yang memang cenderung ekslusif dan ‘terpisah’ dari masyarakat. Syabab HT terlalu menonjolkan identitas ideologisnya sebagai seorang ‘pejuang’ khilafah dan lupa untuk berakrab-akrab dengan kebutuhan real masyarakat kita.

Dalam jagad maya facebook misalnya, mari kita lihat beberapa wall dari akun-akun milik Hizbut Tahrir. Mereka menggunakan nama-nama yang amat revolusioner, seperti penggunaan nama ‘revolusi', 'ideologis,’ dan sebagainya. Sebuah implementasi ideologis yang sepadan dengan karakter aktivis-aktivis kiri yg juga ideologis, hanya berseberangan sisinya saja saya kira. Plus dengan update status yang melulu ideologis (saya amat mengapresiasi semangat rekan2 HT dalam mengkampanyekan khilafah ini, sebatas apresiasi saja ya).

Sementara masyarakat kita pada umumnya, tak terlalu akrab bahkan tak memperdulikan slogan-slogan khilafah yang diusung Hizbut tahrir itu. Masyarakat kita di kampung-kampung , lebih membutuhkan kepastian harga bahan pokok sebagai kebutuhan sehari-hari, mereka lebih berharap pada kondisi keamanan dan rasa nyaman dalam kehidupan ketimbang berfikir apa itu Khilafah Islamiyah. Jika anda bertanya pada saya “masyarakat yang mana? Silahkan melakukan survey seberapa mengerti mereka pada istilah ‘khilafah islamiyyah?”

Sementara itu, hizbut tahrir juga cenderung offensif dalam menyerang pihak-pihak yang mereka angap ‘berdosa’. Celaan dengan menggunakan kata PEMERINTAHAN SETAN, ANJ*NG PENJILAT, ANTEK THAGHUT, dan sebagainya ternyata cukup familiar digunakan oleh syabab. (saya mohon rekan syabab berhenti dari celaan dan makian kasar yang tak dicontohkan Rasulullah ini, apalagi ditujukan kepada saudara sesama muslim).


Lebih ironis lagi, serangan offensive ini juga mereka lakukan kepada harakah-harakah yang berbeda pandangan dengan HT. Sebuah akun milik seorang syabab HT menuliskan dalam “pandangan politiknya” dengan kalimat yg amat eksplisit “ANTI PKS”. Adapula sebuah blog milik seorang syabab lain yang memiliki link khusus di sebelah kanannya yang terkoneksi ke blog ‘PKS Watch’ dan situs resmi PKS.

Pertanyaannya untuk apa syabab tersebut menuliskan pandangan politiknya sedemikian eksplisit sebagai “anti PKS” ? sebagai seorang aktivis Muslim yang ideologis, mengapa tak menuliskan pandangan politik tersebut secara lebih general, misalnya ANTI SEKULARISME yang karenanya akan mengena pula kepada partai-partai lain yang beraroma sekular yg amat dibenci HT itu. Mungkinkah syabab tersebut justru memandang PKS lebih berbahaya dari partai pengusung sekularisme sehingga dirasa perlu menuliskannya secara eksplisit sedemikian rupa? semoga saja tidak.

Belum lagi akun FB lain yang membuat notes berupa kritikan terhadap etika kampanye PKS namun menggunakan foto rekayasa yang tak relevan dengan notesnya, sehingga terkesan mengarahkan pembaca pada persepsi amat negatif thd citra PKS itu. Saya kira postingan semacam ini merupakan propaganda yang jauh dari hikmah daripada sebagai kritik. dan yang membuat saya berfikir ulang tentang HT adalah, mengapa banyak sekali akun-akun milik HTI yang isinya beraroma propaganda semacam ini? sehingga agak sulit untuk mengatakan bahwa hal ini hanyalah merupakan 'oknum'.

Saya jadi teringat, mungin itulah mengapa di kalangan ikhwah tarbiyah ada selentingan joke yang mengatakan, “PKS Sibuk memikirkan ummat dan bangsa, HTI sibuk memikirkan PKS”, rupanya joke itu ada benarnya juga..

Sikap 'keras' dan 'kasar' ini pula yang tampaknya menjadikan akselerasi pertumbuhan Hizbut Tahrir berjalan lambat jika dibandingkan dengan pergerakan Islam lain, karena sikap ini menjadikan akseptabilitas masyarakat terhadap eksistensi Hizbut Tahrir menjadi kecil. Jika banyak aktivis mengatakan bahwa beberapa kota menjadi 'basis' Hizbut Tahrir misalnya, saya kira persepsi itu perlu ditujukan dengan data yang valid. Dikalangan para aktivis misalnya diketahui bahwa Kota Bogor adalah basis HT, penggunaan kata 'basis' itu sejatinya hanyalah perbandingan angka kuantitatif Syabab HT di Kota Bogor yang memang lebih banyak jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun pada faktanya jumlah syabab HT di Kota Bogor juga 'belum seberapa' (kesaksian orang Bogor asli nih). Bahkan istilah 'Hizbut Tahrir' bagi masyarakat Bogor pada umumnya pun merupakan istilah yang hingga kini tidak familiar.

Jika Syabab Hizbut Tahrir masih mempertahankan sikap "kasar" dan mudah mencela itu, saya kira cita-cita mulia untuk mendirikan Khilafah Islamiyah hanya akan menjadi hal yang utopis belaka.

Walahu A'lam

0 komentar:

Posting Komentar