Senin, 18 Maret 2013

Hidayat Nur Wahid

Hidayat Nur Wahid adalah “produk” reformasi. Sebagai politisi, ia mulai dikenal ketika memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di bawah kepemimpinannnya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, PKS berhasil melipatgandakan perolehan suara PKS hingga 600% pada Pemilihan Umum 2004. Perolehan suara ini menjadi menarik, karena pada saat yang bersamaan, perolehan suara partai-partai Islam, baik yang berasas Islam maupun yang berbasis massa Islam, seluruhnya mengalami penurunan.
Dibawah kepemimpinan Hidayat Nur Wahid, PKS tumbuh menjadi partai yang diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Perolehan suara yang mencapai 7,34% dari suara sah nasional itu telah membawa PKS sebagai partai “papan tengah” yang memiliki bargaining position yang cukup kuat. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan partai ini membawa Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada tahun 2004 mengalahkan calon dari partai lain.

Mencermati arah serta perilaku politik Hidayat Nur Wahid memiliki daya tarik tersendiri. Selain keberhasilannya dalam memimpin PKS, perilaku politik Hidayat Nur Wahid cukup menyita perhatian publik dan media massa. Selang lima hari setelah terpilih sebagai Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid telah melakukan aksi politik yang tidak biasa dilakukan oleh para politisi, yakni menolak fasilitas mobil dinas mewah bermerk Volvo dengan alasan bahwa Volvo adalah simbol kemewahan, jika dirinya tetap menggunakan Volvo, walaupun bukan mobil baru, sama artinya bahwa ia tidak memiliki sence of crisis, mengingat 210 juta rakyat Indonesia saat ini tengah termiskinkan oleh kebijakan-kebijakan pemimpin masa lalu.


Tidak sampai disitu, Hidayat Nurwahid menolak tinggal di hotel kelas Presidential Suite Room di Hotel Mulia saat Sidang Istimewa MPR, serta fasilitas mewah lain dan saat ke luar kota. Hidayat Nur Wahid juga merupakan contoh dari pemimpin politik yang dapat membedakan posisi dirinya antara pejabat Pemerintahan dengan tugas kepartaian, hal ini dibuktikan dengan penolakannya terhadap fasilitas kamar tidur berkelas Princess Suite Room di Hotel Bumi Minang ketika berkunjung ke Kota Padang dalam acara halâl bi halâl Keluarga Partai Keadilan Sejahtera se-Sumatera Barat pada 26 Desember 2004. Hidayat Nur Wahid meminta agar hadiah dari Wali Kota Padang itu ditukar dengan kelas standar.



Langkah politik lain yang dilakukan Hidayat Nur Wahid adalah pelepasan jabatannya sebagai Presiden PKS. Satu aksi politik yang tidak pernah dilakukan oleh tokoh politik nasional manapun. Demikian pula pada tahun 2004 Hidayat Nur Wahid selaku Ketua MPR mengembalikan sisa anggaran MPR RI masa kepemimpinan awalnya yang merupakan hasil efisiensi yang dilakukan bersama anggota, para pejabat serta staf MPR RI lainnya. Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh para pemimpin MPR terdahulu. Ketika Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terkena bencana gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, tidak seperti pejabat negara lainnya, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid terlibat langsung melakukan pertolongan pertama. Mulai dari evakuasi mayat, memimpin shalat jenazah dan pemakamannya, kemudian membersihkan lokasi bencana, menyalurkan bantuan, serta membangun posko-posko darurat. Menurut Hidayat Nur Wahid, “Sebagai pimpinan MPR, maupun sebagai pribadi dan kader PKS, saya ingin merasakan, menunjukkan simpati dan empati kepada rakyat Aceh. Bahwa kami bersama mereka. Empati dari saudara sebangsa sangat kuat, jangan lagi berpikir separatis untuk berpisah dari pangkuan NKRI.”


Langkah-langkah politik yang dilakukan Hidayat Nur Wahid membuat banyak kalangan menaruh simpati, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution memisalkan Hidayat Nur Wahid seperti Recep Tayib Erdogan, Perdana Menteri Turki, konsisten dan lugas. Meski besar dari kalangan Islam konservatif, namun Hidayat Nur Wahid dapat diterima oleh semua kalangan. Anwar Nasution mengaku terkesan dengan gerakan moral Hidayat Nur Wahid memberantas korupsi, serta contoh gaya hidup sederhana yang dijalaninya.

Pengamat hukum dan perbankan Pradjoto memiliki kesan bahwa Hidayat Nur Wahid adalah pejuang yang kesepian, karena hampir tidak ada tokoh yang sebersih, sesederhana, dan seberani dia dalam hal meneriakkan dan mempraktekkan langsung slogan anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Mantan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Nathan Setiabudi mengatakan bahwa Hidayat Nur Wahid merupakan tokoh yang sederhana dan konsisten, meski (PKS) mendapat suara signifkan, namun (Hidayat Nur Wahid) tidak mau dicalonkan sebagai presiden. Hidayat Nur Wahid telah menunjukkan sikap kenegarawanannya, menolak fasilitas mewah dengan tulus, sikap yang tidak dimiliki oleh partai lain. Pengamat politik JJ. Kristiadi bahkan menyetarakan Hidayat Nur Wahid dengan Ki Hajar Dewantara dan Muhammad Natsir.


Mengamati langkah-langkah politik Hidayat Nur Wahid di atas, menjadi menarik untuk kemudian mengkaji secara lebih mendalam pandangan-pandangan politik seperti apa yang melatarbelakangi aksi-aksi politik Hidayat Nur Wahid tersebut.


Dalam pengamatan saya, pandangan serta aksi politik yang dilakukan oleh Hidayat Nur Wahid memiliki keunikan tersendiri. Hal ini disebabkan karena Hidayat Nur Wahid tampak keluar dari mainstream artikulasi politik Islam yang biasanya dibagi ke dalam dua kelompok: Islam kultural, atau Islam struktural. Dalam kancah politik, Hidayat Nur Wahid tampak mengintegrasikan kedua peran ini sekaligus.


Perilaku politik Hidayat Nur Wahid inilah yang kemudian menjadikan dikotomi antara Islam kultural dan struktural menjadi tidak relevan. Dalam hal ini, Hidayat Nur Wahid merupakan varian baru politik Islam Indonesia yang penulis sebut dengan istilah “Islam integral”. Paham integralisme Islam inilah yang tampaknya relevan untuk mewakili corak dari pandangan-pandangan dan aksi politik Hidayat Nur Wahid.

0 komentar:

Posting Komentar