Hidayat Nur Wahid adalah “produk” reformasi. Sebagai politisi, ia mulai
dikenal ketika memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di bawah
kepemimpinannnya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, PKS
berhasil melipatgandakan perolehan suara PKS hingga 600% pada Pemilihan
Umum 2004. Perolehan suara ini menjadi menarik, karena pada saat yang
bersamaan, perolehan suara partai-partai Islam, baik yang berasas Islam
maupun yang berbasis massa Islam, seluruhnya mengalami penurunan.
Dibawah
kepemimpinan Hidayat Nur Wahid, PKS tumbuh menjadi partai yang
diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Perolehan suara
yang mencapai 7,34% dari suara sah nasional itu telah membawa PKS
sebagai partai “papan tengah” yang memiliki bargaining position yang
cukup kuat. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan partai ini membawa
Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) pada tahun 2004 mengalahkan calon dari partai lain.
Mencermati
arah serta perilaku politik Hidayat Nur Wahid memiliki daya tarik
tersendiri. Selain keberhasilannya dalam memimpin PKS, perilaku politik
Hidayat Nur Wahid cukup menyita perhatian publik dan media massa.
Selang lima hari setelah terpilih sebagai Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid
telah melakukan aksi politik yang tidak biasa dilakukan oleh para
politisi, yakni menolak fasilitas mobil dinas mewah bermerk Volvo dengan
alasan bahwa Volvo adalah simbol kemewahan, jika dirinya tetap
menggunakan Volvo, walaupun bukan mobil baru, sama artinya bahwa ia
tidak memiliki sence of crisis, mengingat 210 juta rakyat Indonesia saat
ini tengah termiskinkan oleh kebijakan-kebijakan pemimpin masa lalu.
Tidak
sampai disitu, Hidayat Nurwahid menolak tinggal di hotel kelas
Presidential Suite Room di Hotel Mulia saat Sidang Istimewa MPR, serta
fasilitas mewah lain dan saat ke luar kota. Hidayat Nur Wahid juga
merupakan contoh dari pemimpin politik yang dapat membedakan posisi
dirinya antara pejabat Pemerintahan dengan tugas kepartaian, hal ini
dibuktikan dengan penolakannya terhadap fasilitas kamar tidur berkelas
Princess Suite Room di Hotel Bumi Minang ketika berkunjung ke Kota
Padang dalam acara halâl bi halâl Keluarga Partai Keadilan Sejahtera
se-Sumatera Barat pada 26 Desember 2004. Hidayat Nur Wahid meminta agar
hadiah dari Wali Kota Padang itu ditukar dengan kelas standar.
Langkah
politik lain yang dilakukan Hidayat Nur Wahid adalah pelepasan
jabatannya sebagai Presiden PKS. Satu aksi politik yang tidak pernah
dilakukan oleh tokoh politik nasional manapun. Demikian pula pada tahun
2004 Hidayat Nur Wahid selaku Ketua MPR mengembalikan sisa anggaran MPR
RI masa kepemimpinan awalnya yang merupakan hasil efisiensi yang
dilakukan bersama anggota, para pejabat serta staf MPR RI lainnya. Suatu
hal yang tidak pernah dilakukan oleh para pemimpin MPR terdahulu.
Ketika Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terkena bencana gempa bumi dan
gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, tidak seperti pejabat negara
lainnya, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid terlibat langsung melakukan
pertolongan pertama. Mulai dari evakuasi mayat, memimpin shalat jenazah
dan pemakamannya, kemudian membersihkan lokasi bencana, menyalurkan
bantuan, serta membangun posko-posko darurat. Menurut Hidayat Nur
Wahid, “Sebagai pimpinan MPR, maupun sebagai pribadi dan kader PKS, saya
ingin merasakan, menunjukkan simpati dan empati kepada rakyat Aceh.
Bahwa kami bersama mereka. Empati dari saudara sebangsa sangat kuat,
jangan lagi berpikir separatis untuk berpisah dari pangkuan NKRI.”
Langkah-langkah
politik yang dilakukan Hidayat Nur Wahid membuat banyak kalangan
menaruh simpati, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution
memisalkan Hidayat Nur Wahid seperti Recep Tayib Erdogan, Perdana
Menteri Turki, konsisten dan lugas. Meski besar dari kalangan Islam
konservatif, namun Hidayat Nur Wahid dapat diterima oleh semua kalangan.
Anwar Nasution mengaku terkesan dengan gerakan moral Hidayat Nur Wahid
memberantas korupsi, serta contoh gaya hidup sederhana yang dijalaninya.
Pengamat hukum dan perbankan Pradjoto memiliki kesan bahwa
Hidayat Nur Wahid adalah pejuang yang kesepian, karena hampir tidak ada
tokoh yang sebersih, sesederhana, dan seberani dia dalam hal meneriakkan
dan mempraktekkan langsung slogan anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN).
Mantan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Nathan
Setiabudi mengatakan bahwa Hidayat Nur Wahid merupakan tokoh yang
sederhana dan konsisten, meski (PKS) mendapat suara signifkan, namun
(Hidayat Nur Wahid) tidak mau dicalonkan sebagai presiden. Hidayat Nur
Wahid telah menunjukkan sikap kenegarawanannya, menolak fasilitas mewah
dengan tulus, sikap yang tidak dimiliki oleh partai lain. Pengamat
politik JJ. Kristiadi bahkan menyetarakan Hidayat Nur Wahid dengan Ki
Hajar Dewantara dan Muhammad Natsir.
Mengamati
langkah-langkah politik Hidayat Nur Wahid di atas, menjadi menarik untuk
kemudian mengkaji secara lebih mendalam pandangan-pandangan politik
seperti apa yang melatarbelakangi aksi-aksi politik Hidayat Nur Wahid
tersebut.
Dalam pengamatan saya, pandangan serta aksi
politik yang dilakukan oleh Hidayat Nur Wahid memiliki keunikan
tersendiri. Hal ini disebabkan karena Hidayat Nur Wahid tampak keluar
dari mainstream artikulasi politik Islam yang biasanya dibagi ke dalam
dua kelompok: Islam kultural, atau Islam struktural. Dalam kancah
politik, Hidayat Nur Wahid tampak mengintegrasikan kedua peran ini
sekaligus.
Perilaku politik Hidayat Nur Wahid inilah yang
kemudian menjadikan dikotomi antara Islam kultural dan struktural
menjadi tidak relevan. Dalam hal ini, Hidayat Nur Wahid merupakan varian
baru politik Islam Indonesia yang penulis sebut dengan istilah “Islam
integral”. Paham integralisme Islam inilah yang tampaknya relevan untuk
mewakili corak dari pandangan-pandangan dan aksi politik Hidayat Nur
Wahid.
Senin, 18 Maret 2013
Hidayat Nur Wahid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)