Jumat, 22 Maret 2013

Piagam Madinah, Civil Society, dan Masyarakat Madani (part 1)

by: Sigit Kameno

Wacana seputar Piagam Madinah, Civil Society, dan Masyarakat Madani

Civil society adalah produk sejarah masyarakat barat. Karena itu untuk memaknai civil society, harus merunut kepada konteks latar belakang kelahirannya. Dalam sejarahnya yang panjang, menurut Asrori S. Karim,[1] terdapat lima model pemaknaan civil society.

Pertama, civil society dipahami sebagai sebuah sistem kenegaraan. Dalam konteks ini, civil society sama dengan state. Pemaknaan ini dikembangkan oleh Aristoteles (384-322 SM), Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M), dan John Locke (1632-1704 M). Istilah civil society sendiri diambil dari istilah latin, yaitu societas civilis, yang pertama kali digunakan oleh Marcus Tullius Cicero, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Cicero menggunakan istilah ini dengan merujuk pada masyarakat politik. Masyarakat ini memiliki kode-kode hukum dalam mengatur kehidupan mereka. Konsep ini mengacu pada konteks masyarakat Romawi yang tinggal di kota-kota yang mempunyai hukum yang menunjukkan keberadaban masyarakat, dalam pengertian masyarakat Romawi adalah masyarakat yang memiliki nilai-nilai kesopanan dan tata hukum. Hal ini dianggap sebagai hal yang membedakan mereka dari masyarakat pra-kota yang masih barbar yang hidup berpindah-pindah.[2]

Pada masa Aristoteles, istilah civil society belum dikenal. Aristoteles menyebut istilah koinonie politike yakni merujuk pada komunitas politik dimana warga dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.[3]

Thomas Hobbes memaknai civil society sebagai konsep yang dimaksudkan untuk meredam konflik dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak jatuh dalam chaos. Karena itu bagi Hobbes, kekuasaan negara harus mutlak dan tidak boleh terbagi-bagi. Kekuasaan yang terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil, atau perang agama dalam negara.[4] Civil society ini harus memiliki kekuasaan absolut agar mampu sepenuhnya mengontrol pola-pola interaksi warga negara.

Sementara John Locke memaknai civil society untuk melindungi kebebasan dan hak warga negara. Civil society menurutnya adalah masyarakat politik hasil dari kontrak sosial. Locke memaknai civil society sebagai negara yang mempunyai kekuatan politik untuk mengatur kehidupan masyarakat.[5] Karenanya civil society tidak boleh absolut. Ia harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak dapat dikelola oleh masyarakat dan memberi ruang yang wajar bagi warga negara untuk memperoleh hak-haknya. Dominasi negara yang terlampau dominan hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapi kekuasaan Negara.[6]

Kedua, pada abad ke-18, Adam Ferguson (1723-1816 M),[7] memaknai civil society sebagai konsep etis dalam kehidupan bermasyarakat untuk memelihara kehidupan sosial, yang bercirikan solidaritas sosial yang lahir dari sentimen moral serta sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah. Pemaknaan civil society ini merupakan refleksi dari kekhawatiran Ferguson terhadap konteks sosial politik Skotlandia yang tengah menghadapi kemunculan kapitalisme dan pasar bebas sebagai ekses dari revolusi industri, yang akan menumbuhkan individualisme dan lunturnya tanggung jawab sosial masyarakat. Dalam konteks ini, civil society dimaknai sebagai kebalikan dari masyarakat primitif atau barbar.

Ketiga, Thomas Pain (1822-1882 M) mendefinisikan civil society sebagai anti tesis bagi negara dalam posisi yang berbeda secara diametral. Peran negara menurutnya, harus dibatasi seminimal mungkin, karena eksistensinya hanyalah merupakan keniscayaan buruk belaka. Bagi Thomas Pain, civil society harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi keperluannya.[8]

Model pemaknaan civil society semacam ini ditentang oleh George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831 M) dengan mengembangkan makna civil society sebagai bagian subordinatif dari negara. Menurut Hegel, struktur sosial terbagi atas tiga entitas, yaitu keluarga yang merupakan ruang sosialisasi pribadi yang harmonis, civil society sebagai tempat berlangsungnya konflik pemenuhan kebutuhan pribadi atau kelompok, terutama sentimen ekonomi, dan negara yang merupakan representasi dari ide universal yang merupakan sintesa dari dialektika masyarakat. Negara memiliki tugas untuk melindungi kepentingan politik warganya oleh karena itu berhak untuk mengintervensi civil society. Dalam hal ini, Hegel memaknai civil society sebagai entitas yang cenderung melumpuhkan diri sendiri sehingga memerlukan peran serta negara melalui kontrol hukum, administrasi, dan politik.[9]

Hegel mengajukan alasan mengapa negara berhak untuk mengintervensi masyarakat, yaitu ketika terjadi ketidak-adilan atau ketidak-sederajatan dalam masyarakat, atau ketika terjadi ancaman terhadap kepentingan universal masyarakat. Dalam hal ini, sebagai absolut idea yang merupakan hasil dari dialektika masyarakat itu sendiri, negaralah yang berhak menentukan kriteria kepentingan universal tersebut. Hegel memaknai negara sebagai entitas untuk melindungi kepentingan umum, sementara aktivitas masyarakat adalah untuk memenuhi kepentingan individu atau kelompok. Inilah pemaknaan keempat dari civil society.

Kelima, sebagai reaksi atas civil society a la Hegel, Alexis de Tocqueville (1805-1859 M), memaknai civil society sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Dalam hal ini, Tocqueville merujuk pada pengalaman demokrasi di Amerika yang diawali dari civil society berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi professional, yang kerap membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindar dari intervensi negara. Civil society dalam hal ini tidak sub-ordinatif dari negara, tetapi bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik sebagai pengimbang dari intervensi Negara.[10] Civil society model Tocquiville sebagai rekonstruksi pengalaman Amerika di Eropa inilah yang kemudian menjadi basis kehidupan demokrasi modern yang berlandaskan prinsip toleransi, desentralisasi, kewarganegaraan, aktivisme dalam ruang publik, sukarela, swasembada, swadaya, otonom, dan konstitusionalisme.[11]

Secara institusional, instrumen penegak civil society ini dapat mewujud dalam berbagai asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara, antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, paguyuban, organisasi keagamaan, partai politik, dan perguruan tinggi. Menurut AS. Hikam,[12] karakter dari civil society adalah menolak partikularisme dan sektarianisme, namun pada saat yang sama juga menentang totalisme dan uniformisme; Menghargai kebebasan individu namun menolak anarki; memperjuangkan kebebasan berekspresi tetapi juga menuntut tanggung jawab etik; menolak intervensi negara, tetapi juga memerlukan negara sebagai pelindung dan penengah konfilk baik internal maupun eksternal. Negara memang tidak mesti dilihat sebagai lawan, karena negara juga memiliki elemen signifikan bagi pertumbuhan civil society, seperti pranata hukum. Pengertian civil society inilah yang menjadi cita-cita dan harapan dari negara modern yang berlandaskan sistem demokrasi.

Di Indonesia, istilah civil society ini kerap dipadankan dengan istilah “masyarakat madani.” Sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim dalam ceramahnya di Festival Istiqlal pada 1991. Istilah masyarakat madani ini merujuk pada bahasa arab, madînah yang berarti kota.

Masyarakat kota yang dimaksud, menurut Mulyadi Kartanegara,[13] bukan dalam konotasi secara geografis, tetapi dalam arti “karakter yang cocok untuk penduduk sebuah kota” yang memiliki sifat/adab atau kesopanan yang tinggi. Semakin tinggi suatu kota, semakin tinggi pula nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku. Dalam hal ini secara bahasa, masyarakat madani menjadi relevan dengan civil society, terutama pemaknaan yang digunakan oleh Cicero.

Gagasan masyarakat madani yang diperkenalkan Anwar Ibrahim ini, merujuk pada Negara Kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad pada tahun 622 Masehi, dimana Nabi membuat perjanjian antara Muhâjirîn dan Ansâr sebagai komunitas Islam di satu pihak, dan antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak yang lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan keamanan di wilayah Madinah.

Perjanjian ini juga disebut sebagai “konstitusi” atau undang-undang karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk.[14] Disebut juga sebagai “piagam” karena perjanjian tersebut berisi pengakuan terhadap hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, mengatur kewajiban-kewajiban semua golongan, menetapkan persatuan dan kesatuan semua warga, dan menghapus peraturan kesukuan yang tidak baik.[15]

Piagam Madinah ini menjadi landasan persatuan masyarakat Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur yang heterogen. Piagam Madinah inilah yang merupakan dasar terbentuknya Negara Madinah (butir-butir dalam Piagam Madinah dapat dilihat dalam komentar di bawah)

Piagam Madinah ini, menurut Sayuti Pulungan, mencakup 14 prinsip yang yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintahan, yaitu 1) prinsip umat; 2) persatuan dan persaudaraan; 3) persamaan; 4) kebebasan; 5) hubungan antar pemeluk agama; 6) tolong-menolong dan membela yang teraniaya; 7) hidup bertetangga; 8) perdamaian; 9) pertahanan; 10) musyawarah; 11) keadilan; 12) penegakan hukum; 13) kepemimpinan; 14) ketakwaan.[16]

-----------------

[1]Asrori S. Karim, Civil Society dan Ummah, Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 21.

[2] Haryono, “Pemikiran Robert F. Hefner tentang Civil Society dalam Negara Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Unversitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 12.

[3] Asrori, Civil Society dan Ummah. h. 23.
[4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 177.
[5] Haryono, “Pemikiran Robert F. Hefner,” h. 13.
[6] Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 198.
[7] Asrori, Civil Society dan Ummah, h. 23.
[8] Ibid., h. 24.
[9] Ibid., h. 24-26.
[10] Ibid., h. 28-31.
[11] Ibid., h. 31.
[12] Ibid., h. 36.


[13] Mulyadi Kartanegara, “ Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam,” artikel di akses pada 9 Februari 2009 dari http://psikparamadina.blogspot.com/2006/06/masyarakat-madani-dalam-perspektif.html

[14] J. Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 114. Konstitusi adalah peraturan-paraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, sementara undang-undang adalah peraturan tertulis yang merupakan bagian dari konstitusi. Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 95.

[15] Piagam adalah suatu dokumen yang menjamin hak-hak, kekuasaan, dan kewajiban-kewajiban tertentu, baik piagam yang memerintah suatu negara, piagam universitas, piagam badan hukum, maupun piagam yang memberikan kekuasaan kepada suatu masyarakat. William Harris dan Judith S. Levey, “Charter,” The New Columbia Ensiklopaedia, Columbia University Press, New York & London, 1975. H, 514. Dikutip dari Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 113.

[16] Ibid., h. 121.

0 komentar:

Posting Komentar