Seingatku ini kali ketiga mataku berkaca-kaca karena cinta. Terlepas
dari spekulasi beberapa orang bahwa cinta bukanlah sesuatu yang
spektakuler, aku memandang cinta sebagai sesuatu yang spektakuler.
Disebut spektakuler karena tangisku ini lahir sebagai ekspresi yang
“cengeng” sebagai seorang lelaki. Dia membuatku menangis, mungkin
terlalu berlebihan kalau aku mengatakan bahwa aku tak berarti tanpa dia,
namun setiap kali riak rindu ini muncul, aku tak mampu bertahan.
Tiba-tiba aku menjadi sangat lemah. Berat.
Luruh.
Aku
menyadari cinta sebagai anugerah terindah dari Allah untukku. Dengannya
aku bisa menangis, karenanya aku gelisah. Karenanya aku tersekap.
Karenanya aku tercekat…
Sungguh egois ketika aku menyatakan
bahwa: “tidak semua cowok merasakan cinta sedemikian dalam sebagaimana
yang aku rasakan.” Namun aku pelihara egoisme itu. Karena kuyakin,
memang tidak semua cowok memendam rasa cinta begitu keras seperti aku.
Terpenjara oleh cinta dalam kesendiriannya, menjadi manusia yang begitu
lemah dan takluk ketika cinta berbicara. Seorang teman coba
menyadarkanku untuk memperlakukan cinta sebagaimana para sufi:
“manajemanlah cinta hingga tidak ada lagi cinta dalam dadamu selain
pada-Nya.” Namun dalam kelakar kujawab bahwa semua sufi yang lo maksud
dapat berbuat demikian karena mereka belum pernah menemui cewek yang
kucintai…(he..keterlaluan memang…dan ini menggambarkan betapa keras aku
menyimpan cinta itu dalam dadaku…). Kemudian mereka mencoba menghiburku,
bahwa masih banyak cewek lain di belantara dunia ini, namun lagi-lagi
kujawab, meski banyak cewek dalam belantara dunia, dan bertebaran cewek
yang mencintaiku, namun yang dapat mengisi hatiku hanyalah dia.
Satu-satunya…
–5 Juni 2007]
Senin, 18 Maret 2013
tentang Cinta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar