Jumat, 22 Maret 2013

Islam dan Sekularisme (part 1)

by: Sigit Kamseno

Wacana Umum seputar Islam dan Sekularisme

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,[1] secara etimologis, secular berasal dari bahasa latin, saeculum yang memiliki arti dalam konotasi time (masa) dan location (tempat). Al-Attas menerangkan bahwa saeculum memiliki makna “masa kini,” dan “disini.” “Masa kini” berarti zaman sekarang ini (this present age) sedangkan “di sini” merujuk kepada di dunia ini.

Jadi, paham secular berdasarkan definisi dari al-Attas, merujuk kepada, “kedisini-kinian” atau peristiwa-peristiwa masa kini, dan peristiwa-peristiwa di dunia ini.

Adapun secara historis, sekularisme berasal dari pergolakan pemikiran dan pertarungan gagasan seperti yang tercermin dalam kasus Nicolaus Coppernicus (1473-1543 M), Galileo Galilei (1564-1642 M), dan para ilmuwan lain yang memiliki teori yang bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo Galilei adalah seorang Astronom yang mendapatkan hukuman dari pihak Gereja karena mengeluarkan teori heliosentric pada 19 Januari 1616. Teori ini menyatakan bahwa pusat Tata Surya bukanlah Bumi, tetapi Matahari. Teori ini, oleh pakar yang dibentuk oleh Tahta Suci Vatikan, dianggap bertentangan dengan Bible, oleh karena itu, Paus Paul V meminta Cardinal Bellarmine untuk mengingatkan Galileo. Tetapi pada 1632, Galileo kembali mengajarkan teorinya tersebut. Oleh Mahkamah Inquisisi, Galileo dipaksa untuk bertobat dan mengakui kesalahan teorinya.[2]

Sebelum Galileo, Nicollaus Coppernicus seorang Astronom dan ahli matematika menyembunyikan penemuan teori heliosentic-nya, karena khawatir akan menimbulkan kontroversi dengan doktrin gereja. Namun pada 1543, atas desakan rekannya, Coppernicus mempublikasikan teorinya. Pada tahun 1616, otoritas Vatikan menetapkan buku Coppernicus sebagai buku yang terlarang.[3]

Faktor lain yang mendukung munculnya sekularisme adalah Gerakan Reformasi Protestan yang dipimpin oleh Martin Luther pada abad XV-XVI di Eropa. Gerakan ini menuntut dipisahkannya otoritas agama, sebagai reaksi terhadap maraknya korupsi dan politisasi agama oleh penguasa Katholik Roma.[4] Gerakan ini kemudian berhasil melahirkan Sekularisme, yaitu upaya untuk memisahkan kekuasaan agama dan kekuasaan politik.[5]

Menurut ‘Abdul Karîm Soroush, sekularisme adalah upaya untuk mengeluarkan agama dari unsur-unsur dunia. Menurutnya, terdapat dua kemungkinan motivasi desakan sekularisme terhadap pemisahan agama dan pemerintahan, yaitu keyakinan terhadap ketidakberdayaan agama dibarengi ketakutan akan pengaruhnya yang merusak terhadap politik. Atau, keyakinan terhadap kebenaran agama dibarengi kecemasan terhadap kontaminasi dan profanasi dari kepentingan politik terhadap agama.[6]

Dalam konteks Islam, sekularisme mulai dikenal seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada 1924 dan melahirkan Negara Turki modern dibawah Mustafa Kamal Pasha. Turki modern ini melakukan sekularisasi secara radikal dengan mengubah sistem pemerintahan, kebudayaan, undang-undang dan sebagainya dari pengaruh Islam. Runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah ini kemudin melahirkan negara-negara dalam format kebangsaan yang melandaskan negaranya tidak kepada Islam, tapi kepada paham kebangsaan.

Dalam konsepsi Islam, sekularisme seperti yang diterapkan di Turki merupakan hal yang ahistoris. Hal ini disebabkan karena, mengutip Carl Brown,[7] dalam tradisi Islam sebetulnya tidak dikenal pemisahan antara agama dan negara. Bahkan menurut Ian Adams,[8] semenjak kelahirannya, Islam merupakan agama yang paling politis.

Menurut Yudi Latif, manghalau agama dari basis legitimasi politik jauh lebih problematik dalam agama yang menganut monoteisme yang kuat seperti Islam. Menurutnya, komunitas-komunitas Muslim dari madzhab dan tradisi apapun menyetujui bahwa tauhid merupakan inti keyakinan, tradisi dan amalan Islam. Konsepsi tauhid ini kemudian membawa pada satu keyakinan, bahwa Tuhan serba hadir dalam setiap aspek dan praktek kehidupan Muslim.

--------------------

[1] Syed Muhammad Naquib al-Atas, Islam dan Sekularisme. Pemerjemah Karsidjo Djojosoewarno (Bandung : Penerbit Pustaka, 1981), h. 15.

[2] Adian Hussaini, “Problem Teks Bible dan Hermeneutika,” dalam Islamia, no. 1 Vol. I (Maret 2004): h. 13.

[3] Ibid., h. 13.

[4] Desakralisasi lembaga kependetaan ini disebabkan karena penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam banyak bentuk antara lain penyuapan seperti yang terjadi pada kasus Paus Leo X, atau skandal seksual seperti yang dilakukan oleh Paus Alexander VI, pembayaran pajak kepada lembaga keagamaan yang mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi antara Vatikan dan daerah-daerah lain, juga penjualan surat-surat pengampunan dosa dalam pengertian semakin besar uang yang dibayarkan maka akan semakin besar dosa yang diampuni Tuhan. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 144-147.

[5] Ibid., h. 155.

[6]‘Abd al-Karîm Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Penerjemah Abdullah Ali (Bandung: Mizan 2002), h. 79.


[7] Carl Brown, Wajah Islam Politik. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2003), h. 48.

[8] Ian Adams, Ideologi, Politik Mutakhir, h. 426

0 komentar:

Posting Komentar