Jumat, 22 Maret 2013

ENDING ANDAI-ANDAI


Wanita tua itu sibuk mencari kaos terbaikku. Dibolak-baliknya tumpukan pakaian hasil setrikaannya tadi siang. Diacak-acak pakaian basah dalam ember di kamar mandiku yang kecil dan bau itu. Ah, sia-sia saja. Kaos itu tetap tidak ada. Aku duduk lemas. Akupun telah mencarinya kesana kemari, tapi kaos seharga dua puluh ribu itu tetap saja tidak kutemukan.

Aku membuang nafas, berat. Seandainya aku menjadi orang berada seperti Rudi, anak Pak Lurah yang selalu mencibir keluarga kami itu, tentu aku dan ibu tak perlu repot mencari baju untuk sekedar pergi ke Jakarta. Baju yang sampai sekarang belum kutemukan itu. Mungkin dicuri Tukang Sampah sewaktu dijemur di belakang rumah. Pasti Tukang Sampah itu tergoda untuk memiliki kaos termahalku itu. Ya, meski hanya dua puluh ribu, bagiku yang orang miskin ini, baju itu adalah kaos terbaik yang masih utuh satu-satunya milikku. Itupun dibelikan oleh sepupuku yang pulang dari Jakarta beberapa bulan lalu. Waktu itu, ia mengajakku ke Pasar Murah di alun-alun untuk sekedar membeli kaos ini. Sungguh aku senang sekali karena biasanya aku membeli baju hanya dua tahun sekali, setiap dua kali lebaran. Aku susah payah menjaga kaos itu agar tidak tampak kusam. Aku hanya akan memakai kaos itu jika hendak pergi ke kota.

Seperti besok pagi, aku akan pergi ke Jakarta bersama sepupuku yang baik hati itu. Ia menjanjikan pekerjaan di Jakarta, aku diminta ikut bantu-bantu dia. Katanya, penampilanku cocok dengan pekerjaan yang akan aku tekuni nanti. Meski aku sendiri tidak tahu apa pekerjaannya di Jakarta. Yang jelas, setiap dia pulang ke Kampung Leuwi Warna, Tasikmalaya ini, ia selalu membawakan aku sesuatu. Kadang beras, kadang minyak, atau seperti beberapa bulan lau, ia memberiku kaos mahal yang kini hilang itu.

***
Cukup lama aku mematut diri di depan cermin, serius. Kupandangi wajahku yang kata orang, cukup tampan ini. Wajah oval tanpa jerawat. Lintangan alis mata yang tajam bak sorot mata elang. Bibir merah muda yang mengesankan. Kulit sawomatang nan macho. yup! Aku harus tampil rapi jika hendak pergi ke kota. Jakarta!! Kata orang Kota Metropolitan. Di sana banyak orang-orang kantoran. Dengan penampilan rapi kuharap tidak ada yang memandangku sebagai anak kampung.

Aku pandangi wajahku sekali lagi dengan seksama. Ah, cermin ini sudah terlalu tua, beberapa bagiannya sudah menghitam sehingga merusak bayangan wajahku. Aku yakin, wajahku yang sesungguhnya jauh lebih tampan dari bayangan dalam cermin tua ini. Tapi tenanglah, sepulang dari Jakarta nanti aku akan membelikan cermin untuk rumah kecilku ini. Aku ingin cermin yang cukup untuk seluruh tubuh 175 sentimeter ku. Siapa tahu selama di Jakarta nanti, ada yang mengajakku kerja dengan gaji yang lumayan. Aku akan renovasi rumah bilik ini. Lantai rumah ini akan aku ganti dengan lantai kramik seperti rumah Pak Lurah. Rumah ini juga harus dipasangi listrik, agar jika malam menjelang tiba, ibuku yang sudah tua itu tidak perlu repot-repot menyalakan lampu minyak di sudut-sudut ruangan. Aku akan membeli berhektar-hektar sawah, agar ayah dan kedua kakakku tersenyum di alam sana. Agar ibuku yang keras hidupnya itu bangga padaku, anaknya yang tinggal semata wayang. Aku sudah muak dengan segala cibiran Rudi, yang selalu mencemooh kemiskinan kami. Sejak aku masih kecil, hanya dia satu-satunya orang yang paling ku benci. Dasar anak manja! Sekarang tepat di usiaku yang ke delapan belas ini, akan kubuktikan bahwa aku mampu. Ya, aku mampu meski hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah! Tanganku terkepal!

***
Semilir angin berhembus perlahan, membelai hatiku dengan cinta. Tidak seperti biasanya, halaman rumah ini terasa hambar bagiku. Rimbun dahan pohon mangga membawa jiwaku sendu. Hari ini aku pamit pada ibu, satu-satunya sosok yang kucinta dalam hidup ini. Kukecup tangannya dengan syahdu. Betapapun berat meninggalkan ibu yang sudah berumur lanjut itu, aku telah bertekad untuk merubah nasib di Jakarta. Hampir saja linangan airmatanya menyurutkan langkahku, namun hatiku berbisik bahwa airmata itu mengalir dari restunya. Terbukti tadi malam ibu panjang lebar menasihatiku tentang kehidupan Jakarta yang keras. Kalau dalam biskota ada pengamen, pura-puralah tidur, mereka itu hanyalah orang-orang malas dan berandalan. Jika ada yang menanyakan alamat, jawab saja tidak tahu dan cepat-cepatlah kamu menjauhinya. Simpanlah uang bekalmu dalam kaos kaki, terlalu riskan kalau harus menyimpannya di dalam dompet atau tas, apalagi di saku. Di Jakarta itu banyak copet yang cerdik, berpura-pura membantulah, pura-pura daganglah. Kamu harus hati-hati. Nasihat ibu panjang lebar. Aku sangat cinta pada ibu. Aku mendengarkannya dengan khidmat. O, Jakarta. Sebegitu menyeramkankah dirimu?! Konon katanya, ibu tiri tak sekejam ibu kota.

***
Bis yang kutumpangi mulai melaju. Aku sangat mengantuk, saudara sepupu yang duduk di sampingku sudah tertidur pulas. Bis Tasikmalaya-Kampung Rambutan ini memang terlalu lama mengetem, membuat para penumpang yang terlalu lama menunggu diserang hawa kantuk. Sebagian penumpang tampak tertidur lelap, sebagian lain terbangun, melihat arloji, menutup jendela rapat-rapat dan menarik resletting jaketnya tinggi-tinggi hingga menutupi leher, lalu kembali pulas. Maklumlah masih pagi. Tapi aku tak mau tidur, bukannya aku tak mengantuk, aku hanya ingat nasehat ibu, aku harus tetap menjaga barang-barangku. Meski tidak banyak pakaian yang kubawa, aku sangat khawatir. Tidak seperti sepupuku, sepertinya dia nyenyak sekali. Padahal setahuku dia membawa barang-barang berharga dalam tasnya, minyak wangi, lipstick, berpotong-potong pakaian yang menurutnya modis, dan macam-macam kosmetik yang aku tak tahu namanya. Terpaksalah aku berinisiatif menjaga barang-barangnya. Aku tak punya siapa-siapa di Jakarta, kalau sampai sepupuku marah karena barangnya hilang, habislah aku. Apalagi ongkosku hanya cukup untuk berangkat saja. Kalau sampai diusir, mau tinggal dimana aku?

Tak ada yang istimewa sepanjang perjalanan dari Tasikmalaya ke Terminal Kampung Rambutan. Aku belum melihat gedung-gedung Jakarta yang menjulang layaknya kulihat dalam sinetron di warung Bi Cicih. Sepanjang jalan yang kulihat hanyalah barisan pegunungan yang lebam membiru di atas hamparan hijau persawahan yang menjelma permadani. Burung-burung elang tampak asyik bercanda di atasnya. Pemandangan sehari-hari yang tidak istimewa bagiku. Namun entah mengapa, hijau sawah ini tiba-tiba membawa anganku melayang. Mengajakku untuk membuka lembaran masa kecilku. Ketika aku bermain kerbau bersama dua orang kakakku, berenang di sungai, menemani ayah mencari rumput untuk makan kerbau-kerbau kami, atau ketika makan bersama di ladang jagung…terbayang canda kakakku, tawa renyah ayah ketika melihat tangisku karena makan singkong pahit. Oh, semuanya terasa cepat berlalu, sampai segalanya habis untuk mengobati penyakit ayah. Semuanya terasa cepat berlalu, hingga kedua kakakku pergi menyusul ayah ke alam entah dimana. Semuanya terasa begitu cepat berlalu, hingga senyum teduh ibu itu tak pernah kulihat lagi…tak sadar aku menitikkan airmataku…ibu….


Aku ingin menyepi, sendiri

Biar tumpah derai tangis di sini,

Biar kuulang segalanya kembali,

dari sini....


Selepas Terminal Kampung Rambutan aku masih harus menumpang bis jurusan Grogol. Manusia berlalu lalang di sana-sini. Sangat resah dan terburu-buru, semuanya sibuk. Terbuai dalam urusan masing-masing. Sepupuku mengajakku berlari mengejar bis, repot sekali. Penumpang bis berjejal penuh sesak. Aku terpaksa berdiri berhimpitan dengan penumpang-penumpang lain. Aku berpikir, dalam kondisi seperti ini bagaimana kalau ada copet? Duh, repotnya. Keringat para penumpang bercampur dengan bau ketiak disana-sini. Belum lagi aroma minyak wangi yang justru amat mengganggu hidung, membuatku ingin muntah. Beberapa penumpang terdengar mendamprat sang kondektur yang dianggap serakah dan tak tahu diri. Mungkin mereka berpikir, bis yang sudah sesak begini masih saja dijejali penumpang baru. Sang kondektur cuek saja meski terlihat kesal denan sumpah serapah mereka.

Di sebelah kananku berdiri seorang ibu yang tampak tua. Dengan susah payah ia harus bertahan dalam himpitan seperti ini, padahal aku lihat cukup banyak anak-anak muda yang duduk nyaman di bangku bis sambil membaca buku-buku tebal, entah komik atau buku apa. Sepertinya mahasiswa. Andai aku di posisi mereka, pasti aku persilakan ibu tua ini untuk duduk menggantikanku seperti diajarkan Pak Herman, guru madrasahku dulu. Tidak seperti para mahasiswa yang tak tahu diri ini. Dasar mahasiswa, di teve saja mereka berteriak-teriak membela rakyat yang lemah. Lha, ini di depan mata ada nenek tua yang sedang kesusahan mereka tidak peduli.

Melihat wanita tua ini aku jadi teringat ibuku. Aku ingin memberikan ruang yang cukup nyaman baginya dalam bis ini. Meski aku harus menahan desakan penumpang dari sebelah kiriku. Aku ingin melindunginya! Rupanya wanita itu menyadari perlindunganku. Ia tersenyum, manis sekali, semanis senyuman ibu yang tak pernah kulihat lagi semenjak kematian ayah dulu. Tetapi tiba-tiba kondektur mendampratku dari balik jendela agar aku lebih merapat. Dasar kondektur tidak berperikemanusiaan! Rutuk hatiku.

Sepanjang jalan, kulihat gedung-gedung mencakar langit. Sungguh menawan pandanganku. Aku tidak tahu siapa yang tinggal di sana, bahkan aku tidak tahu apakah gedung itu memang tempat tinggal, atau tempat kerja? Wah, andai aku dapat bekerja di gedung super besar itu. Gajiku pasti cukup untuk membuatkan rumah bagi ibu di kampung. Membelikannya pakaian dan makanan enak. Ah, ibu. Tunggulah saatnya nanti….

Di perempatan, jalanan macet. Lampu merah. Dari balik jendela kulihat mobil-mobil mewah berjajar. Pengendaranya rapi sekali. Mereka mengenakan kemeja dan dasi. Bahkan banyak pula perempuan-perempuan muda dengan penampilan necis. Mereka kerjanya apa, ya? Pikirku. Jangan-jangan mereka bekerja secara kotor dengan menjual diri. Buktinya mereka meski masih muda tetapi kaya raya. Kata sepupuku, di Jakarta ini banyak para pelacur bertarif mahal, makanya mereka mudah untuk membeli mobil mewah. Aku jadi berpikir, sepupuku itu kerjanya apa, ya? Ah, sudahlah aku tak mau memikirkannya.

Jika aku memiliki harta seperti mereka, tetapi dengan cara yang halal, tentu aku tak perlu bersusah-payah berjejalan dalam bis yang gerah dan bau aneka rupa ini. Aku bisa mengajak ibu jalan-jalan. Membelikannya makanan enak, membelikannya baju bagus. Sekadar untuk membahagiakannya setelah lama ditinggalkkan ayah yang meninggal akibat kolera itu. Sekadar untuk membuktikan bahwa anak bungsu yang dtinggal mati kedua kakaknya ini, mampu membahagiakan sisa umurnya. Sekadar untuk menunjukkan pada Rudi, anak Pak Lurah yang selalu menghina kami itu, bahwa aku mampu. Sekadar untuk melihat ibu tersenyum. Sekadar….

Sepertinya sopir biskota ini tidak sabar. Masih lampu merah begini malah tancap gas. Cocok dengan sifat kondekturnya yang juga serakah. Dasar- orang-orang tak berpendidikan. Merusak lamunanku tentang ibu, satu-satunya sosok yang kucinta dalam hidup ini. Cahaya mata yang selalu ingin kubahagiakan sisa umurnya dengan segenap dayaku. O, ibu…tunggulah saatnya nanti….

Tiba-tiba, sebuah bis dari arah depanku melaju dengan cepat. Gawat! Seluruh penumpang panik, dan….

***

Perlahan kubuka mataku, berat. Kurasakan diriku terasa lemah, seluruh persendianku sakit. Genangan darah tampak becek di aspal jalan. Dalam lemah kulihat sebuah keramaian. Dua biskota bertabrakan di perempatan jalan. Orang-orang berkumpul hiruk pikuk. Dan, samar-samar kulihat saudara sepupuku yang baik hati itu terbaring tanpa daya…tanpa nyawa….

Tiba-tiba aku merasa gamang. Asaku menjadi gelap. Aku bingung. Aku linglung, dan tiba-tiba aku ingin tertawa sendirian….

***

By. Git Seno, Bumifana 2006.
Ket: Bilik (sunda) = dinding rumah tradisional yang terbuat dari anyaman bambu.
Mengetem = menunggu penumpang.

0 komentar:

Posting Komentar