Jumat, 22 Maret 2013

Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir

Catatan atas grup, "Indonesia, Harapan Itu Masih Ada!"
--------
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


saya sengaja mengawali diskusi ini tanpa menyingkat salam, karena saya ingin menyampaikan ungkapan cinta ahli surga itu secara utuh kepada rekan2 sekalian, baik syabab HT, ikhwah tarbiyah, maupun dari beberapa harakah lain yg ikut terlibat dalam grup ini. tanpa tendensi dan pretensi apapun.

hari ini kerjaan saya sudah selesai sebelum waktu makan siang, di waktu makan siang ini, sambil menikmati gorengan favorit di meja kantor, saya sempatkan membuka grup ini. grup dimana saya diminta untuk menjadi admin (saya ingin bilang bahwa yg meminta saya menjadi admin adalah ikhwah dari tarbiyah, dan juga syabab HT), namun saya sendiri juga kurang mengikuti semua status rekan2 karena akselerasi update yg begitu cepat tak mungkin saya baca seluruhnya disela2 kerjaan kantor yang menumpuk.

sebelum menumpahkan curhat saya disini, saya ingin mengatakan bahwa prinsip hidup saya adalah menilai sesuatu secara objektif tanpa tendesi. prinsip ini saya pegang sebagai impelementasi dari sebuah ayat dalam al-Quran, surah al-Maidah:8 yang berbunyi:

... ÙˆَÙ„َا ÙŠَجْرِÙ…َÙ†َّÙƒُÙ…ْ Ø´َÙ†َØ¢َÙ†ُ Ù‚َÙˆْÙ…ٍ عَÙ„َÙ‰ Ø£َÙ„َّا تَعْدِÙ„ُوا اعْدِÙ„ُوا Ù‡ُÙˆَ Ø£َÙ‚ْرَبُ Ù„ِلتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ ÙˆَاتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ø®َبِيرٌ بِÙ…َا تَعْÙ…َÙ„ُونَ

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

dari prinsip ini saya belajar bahwa untuk mengenal sebuah konsep, haruslah mendalami konsep tersebut langsung dari sumbernya. karena jika kita menilai sesuatu dari sumber sekunder (sumber yg ditulis oleh orang lain), maka kemungkinan terjadinya reduksi menjadi amat jelas sekali.

itulah mengapa untuk menilai gerakan Jaringan Islam Liberal, misalnya, saya membaca langsung dari website mereka, dan membaca buku yg ditulis oleh orang2 JIL. demikian pula jika ingin menilai HT ataupun tarbiyah, saya akan bertanya, membaca buku, atau hal lain yg langsung berkaitan dengan sumbernya. jika saya misalnya, membaca buku2 tentang jama'ah tabligh yg ditulis oleh rekan2 salafy, maka hal itu hanya saya simpan dalam otak untuk kemudian saya meminta klarifikasi kepada kalangan JT-nya langsung. karena dikahwatirkan adanya tendensi dari salafy kepada JT misalnya. sebaliknya saya juga tak akan menilai gerakan salafy, dari buku yg ditulis oleh orang JIL. kita juga tak ingin kan, jika orang2 menilai Islam dari buku yg ditulis oleh orang kristen? demikian pula utk menilai harakah2 ini.

itulah pula mengapa ketika saya membaca buku yg diterbitkan oleh WAMY (World Assembly of Muslim Youth, --kalo ga salah singkatannya begitu--) dimana pembahasan ttg Hizbut Tahrir cenderung negatif, saya langsung bertanya kepada rekan saya di HT, bagaimana tanggapan antum atas buku tersebut, karena saya sekali lagi, tak ingin memberikan judge terhadap suatu konsep, sebelum saya meminta klarifikasi dari golongan yg sesuai dgn konsep tersebut. setelah mendapatkan klarifikasi dari rekan HT itu, saya tak menggunakan buku WAmY utk menilai Hizbut Tahrir.

alhamdulillah hingga hari ini saya masih memiliki banyak rekan baik di kalangan tarbiyah, HT, Tabligh maupun Salafy (include di dalamnya NU, MUhammadiyah, Persis, dsb)

*** ini baru pendahuluan ya, sebetulnya saya ingin menulis artikel berikut ini, itu juga kalo pantes disebut sebagai artikel, hehe.. setelah tadi pagi di bus kota mayasari cibinong-tn.abang, sambil menunggu macet di tol jagorawi, saya membaca tulisan Ust. Farid Wajdi, seorang ustadz di HTI yg jebolan Austria itu, dan tulisan Shiddiq al-Jawi, seorang pengurus DPP HTI ya kalo ga salah (tolong ingatkan saya kalo salah ya...), setelah membaca kertas sebanyak 8 halaman dengan ukuran font 8, itu saya terpikir utk membuat sebuah catatan kecil... tanggapan ini saya beri judul:

PARADOKS PEMIKIRAN POLITIK HIZBUT TAHRIR ---


perdebatan seputar relasi antara demokrasi dan Islam merupakan perdebatan panjang yang saya kira tak akan pernah berujung pangkal. hal ini karena kalangan yag menolak demokrasi, seperti gerakan Hizbut Tahrir, memandang demokrasi dalam perpesktif perlawanan. Demokrasi dalam pandangan HT adalah satu anak panah dunia Barat, untuk menjajah dunia Islam melalui isu2 ideal yang meninabobokan ummat. membaca banyak sekali tulisan rekan2 HT mengenai demokrasi, saya teringat dengan tesis terkenal yg ditulis oleh Samuel Huntington, The Clash of Civilizations, dimana huntington menempatkan Islam sebagai musuh berikutnya bagi AS pasca runtuhnya rezim komunisme di uni sovyet.

selain aksioma "kedaulatan di tangan Rakyat" yg menjadi doktrin demokrasi, HT juga memandang demokrasi dalam perpektif sejarah dimana demokrasi lahir dari rahim dunia Barat yang tidak Islami, maka meniru, mengaplikasikan, atau menerima demokrasi, hukumnya Haram dalam pandangan Hizbut Tahrir. sengaja saya tulis "dalam pandangan Hizbut Tahrir" karena harus diakui, sekali lagi harus diakui, ada banyak ulama masyhur yg tidak sependapat dengan pandangan HT ini.

dari sudut pandang inilah, rekan2 Syabab Hizbut Tahrir melalui berbagai media, mengkampanyekan demokrasi sbg sistem yg kufur, syirik, sekaligus tak jarang dalam beberapa status FB yg saya temui, rekan2 HT mengkritik, atau tepatnya mencela pula para da'i yang berjuang lewat jalur parlemen.

sebuah sikap yang menurut Rolland Barthes, seorang teoritisi budaya asal prancis, merupakan implementasi dari ideologi yg dianut. ideologi menurut Barthes, memang meniscayakan penganutnya untuk "menaturalkan hal-hal yg pada faktanya kultural, dan me-universalkan hal-hal yg pada faktanya partikular (lihat pengantar pada buku Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2007), --maksudnya memaksa penganut ideologi lain utk mengakui bahwa hanya ideologi dialah yg sesuai dengan natur, dan universal bagi seluruh manusia.--

saya melihat pandangan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi adalah pandangan yang terlalu prematur dan cenderung paradoks. hizbut tahrir memahami demokrasi hanya sebatas "satu wajah". yaitu wajahnya yg buruk dalam tataran yg real dan praktis. dalam pandangan ini, HT memposisikan demokrasi vis a vis (berhadapan) terhadap Islam. Abdul Qadir Zallum, seorang ulama dari kalangan HT), mengatakan dalam bukunya yg diterjemahkan dengan judul "Demokrasi Sistem Kufur" (1994) :

"demokrasi 100% bertentangan dengan Islam, sistem ini tidak lain merupakan sistem kufur"

apakah memang 100% demokrasi bertentangan Islam, ataukah hanya beberapa persennya saja? disinilah letak perbedaan pandangan antara HT dengan gerakan Islam lain, dalam hal ini katakanlah gerakan tarbiyah yg memiliki sayap politik bernama Partai Keadilan (Sejahtera). yang aktivisnya banyak puladi forum ini.

gerakan semacam tarbiyah ini memandang demokrasi dalam "wajahnya yg lain" bahwa demokrasi pada beberapa hal, memang bertentangan dengan islam, dan pada lain hal bisa pula bersesuaian dgn Islam.

kalangan tarbiyah misalnya memahami bahwa prinsip persamaan, kebebasan mengemukakan pendapat, konsep suara mayoritas, adalah bersesuaian dengan Islam. sehingga demokrasi, apabila dijalankan oleh kalangan yang taat kepada Tuhan, tak akan menghasilkan hukum yang bertentangan dengan Islam, bahkan demokrasi bisa dan sangat bisa, "dimanfaatkan" untuk melahirkan regulasi yang justru mencerminkan kedaulatan di tangan Allah. kalangan tarbiyah ini berpandangan bahwa suara terbanyak dalam sistem demokrasi, justru peluang utk menerjemahkan hukum Allah dalam ranah hukum positif. sebagai gerakan Islam, aktivis tarbiyah tentu tak akan membuat regulasi yang bertentangan dengan syariah, yg diperjuangkan justru sebaliknya.

***


akibat dari pemahamannya terhadap demokrasi inilah, dalam beberapa diskusi bersama syabab HT, saya melihat sebuah "pemaksaan" (maaf kalau terlalu 'kasar') pendapat kepada harakah Islam lain. bagaimana para aktivis HT misalnya dalam beberapa status FBnya, seringkali memberikan kritik yg tak relevan dengan demokrasi itu sendiri. contoh yang masih amat hangat adalah kasus "jabat tangan" antara ust.Tifatul Sembiring (yg oleh The Washington Post disebut sebagai golongan konservatif muslim) dengan Michelle Obama, seorang aktivis HT menyebut hal ini sebagai penyimpangan idealisme akibat dari demokrasi sistem kufur.

pertanyaannya adalah, apa relevansi antara berjabattangannya Tifatul-Michelle dengan sistem demokrasi? (jabat tangan ini sebetulnya telah dikalrifikasi oleh ust. Tifatul melalui akun Twitter dan FBnya, bukankah lebih baik kita meminta klarifikasi kepada YBS, alaisa kadzalik?),

kalaulah rekan2 syabab memandang "jabat tangan" itu sebagai penyimpangan akibat mengikuti sistem demokrasi, maka pandangan tersebut adalah pandangan yg sama sekali keliru. disebut keliru karena sebetulnya "penyimpangan" bisa terjadi dalam sistem politik manapun, baik demokrasi, sosialisme, teokrasi, bahkan khilafah sekalipun. lihat bagaimana Yazid Ibn Muawiyah bertindak zalim dalam sistem khilafahnya? hal ini sebetulnya menggambarkan pada kita bahwa sistem politik apapun, selama personalnya tidak baik, maka sistem tersebut tak akan berjalan baik. -- (temen saya bilang: sistem yg baik+personal yg baik=negara yg baik) -- pandangan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi ini, pada akhirnya juga "terpaksa" harus berbenturan dengan pendapat mayoritas Ulama yang membolehkan berdakwah dalam alam demokrasi. pendapat para ulama terkenal seperti Syaikh bin Baz, Syaikh al-Utsaimin, Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh Abdullah bin Qu'ud, dan lain2 rahimahumullah)--sengaja saya tak memasukkan Syaikh Yusuf al-Qardhawi karena syabab HT memang jelas berseberangan dengan 'alim tersebut (lihat tulisan ust. Shiddiq al-Jawi yg membedah bukunya Abdul QAdir Zallum di jagad maya) --terpakasa harus dimentahkan oleh Hizbut tahrir yang mengikuti pendapat ulama kalangannya sendiri seperti Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani atau Syaikh Abdul Qadir Zallum (rahumahumallah) yg mengkufurkan demokrasi. para aktivis HT terpaksa harus bertentangan dengan pendapat para ulama yg mejadi rujukan itu untuk memenuhi pandangan haramnya demokrasi yg sesuai dengan perspektif mereka itu.

bahkan yg terkesan ironis adalah, seorang syabab (saya katakan seorang agar kita tak menjudge sebuah gerakan dari ucapan seorang aktivis-nya) berkomentar bahwa pandangan Syaikh Utsaimin --yg membolehkan demokrasi--harus direvisi karena pandangan tersebut mungkin sesuai dengan zamannya dan tak sesuai dengan zaman ini. sebuah komentar yg ironis, karena masa hidup Syaikh al-Utsaimin jutsru lebih dekat kepada zaman kita ketimbang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. bukankah semestinya logika ini justru dibalik?

***

pandangan HT terhadap demokrasi ini juga pada akhirnya melahirkan paradoks-paradoks lain pada tataran praktis. bagaimana gerakan internasional Hizbut Tahrir misalnya, justru tumbuh subur di negara2 yg menerapkan sistem demokrasi yg dicela oleh HT itu sendiri. di negara2 Muslim sekalipun, seperti Saudi atau Pakistan, Hizbut Tahrir justru kesulitan melebarkan sayapnya karena tak seperti demokrasi yang memberikan kebebasan berekspressi, negara2 tidak demokratis semacam Saudi dan Pakistan, amat membatasi ide2 rakyat yg bertentangan dengan negara.

terlebih kemudian, paham keharaman demokrasi ini mejadi kontardiktif dalam tataran praktis, dimana HTI mendaftarakan ormasnya pada institusi pemerintah.

Di Indonesia, HTI terdaftar di Depdagri dengan nomor 44.D.III.2/6/2006. dimana dalam Surat Keterangan Terdaftar tersebut tertulis, bahwa HT "telah terdaftar sebagai ormas dan dalam melaksanakan kegiatannya agar tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku"

kalimat "dalam melaksanakan kegiatannya agar tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku" inilah yang melahirkan inkonsistensi gerakan Hizbut Tahrir. disatu sisi mengharamkan demokrasi, bahkan mengatakannya sbg sistem kufur, thaghut, syirik, dan semacamnya, namun disisinya yang lain dalam tataran praktis justru melaksanakan kegiatan yang Tidak Bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangahn yang berlaku.

apa yang dimaksud dengan kegiatan perundang2an yg tercantum diatas?, tentunya sebagai negara hukum, ketentuan perundang-undangan di Indonesia seluruhnya berdasarkan kepada Pancasila dan UUD'45. artinya, dalam hal ini HT sama sekali Tidak bertentangan dgn Pancasila dan UUD'45. Tidak bertentangan artinya adalah ta'at pada konstitusi, dimana konstitusi kita berjalan dalam sistem demokrasi. jika HT melanggar ketentuan ini, konseksuensinya HTI akan dilarang di Indonesia.

bagaimana melogikakan sebuah gerakan Islam yg mengatakan "demokrasi sistem kufur" namun disisi lain "taat pada ketentuan per-UU-an yg berlaku?

***

berikutnya yang ingin saya garis bawahi adalah, konten dari Rancangan Undang2 (RUU) Khilafah yg disusun oleh Hizbut Tahrir, dimana dalam Bab Sistem Pemerintahan pasal 21 dikatakan:

"Kaum Muslim berhak mendirikan partai politik untuk mengkritik penguasa; atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat, dengan syarat asasnya adalah akidah Islam dan hukum-hukum yang diadopsi adalah hukum-hukum syara’. Pendirian partai tidak memerlukan izin negara. Dan negara melarang setiap perkumpulan yang tidak berasaskan Islam."

pertanyaan yang kemudian muncul adalah, "darimana Hizbut Tahrir mendapatkan ide dibolehkannya mendirikan partai politik dalam konsep Khilafah Islamiyah? adakah sejarah Khilafah ala minhajin nubuwah mencontohkan demikian? jika HT konsisten dengan prinsip "khilafah" nya, semestinya tidak ada sistem kepartaian dalam negara Khilafah.

sistem kepartaian jelas2 mengadopsi sistem dari Barat. karena sistem politik kepartaian tidak dikenal kecuali dari luar sistem khilafah.

dalam hal ini terjadi inkonsistensi dalam pandangan gerakan politik hizbut tahrir.

menurut saya, sebetulnya jika kita merujuk kepada sejarah politik Islam masa khulafa al-Rasyidun hingga masa dinasti Umawi, kita --atau tepatnya saya-- bisa memberikan kesimpulan bahwa sistem politik Islam lebih bernilai substantif ketimbang formalis dalam bentuk kenegaraannya.

mari kita lihat sistem suksesi keempat khalifah pada masa khulafa al-rasyidun, para khalifah tersebut diangkat melalui cara2 yang berbeda. Abu Bakar (Ra) diangkat sebagai khalifah melalui kesepakatan kaum Muslimin pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw.

sementara itu 'Umar Ibn Khattab ditunjuk langsung oleh Abu Bakar utk menjadi khalifah (bayangkan jika pada masa sekarang ini, pengangkatan seorang khalifah ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya), 'Utsman ibn 'Affan diangkat melalui tim formatur yang dibentuk oleh 'Umar Ibn Khattab, sementara imam 'Ali diangkat setelah pemilihan diserahkan sepenuhnya kepada para 'ulama ahlul halli wal aqdi.

kemudian jika kita melihat sistem khilafah pasca khulafa al-rasyidun, dimulai dari zaman umayyah, abbasiyyah, hingga ustmani, maka sistem pemerintahan khilafah berubah total menjadi sistem monarki yang mengadopsi sistem diluar Islam.

dalam hal ini, jika Hizbut Tahrir mengakui kekhalifahan masa umayyah hingga utmaniyyah yg mengadopsi sistem monarki yg merupakan warisan romawi dan persia ini, semestinya Hizbut Tahrir tidak berkeberatan jika sistem politik sekarang mengadopsi sistem demokrasi.

sistem kerajaan yg dianut oleh dinasti umayyah dan abbasiyah relevan dengan konsep kekhilafahan Islam pada masa itu sesuai dengan kondisi zamannya. sementara itu demokrasi bisa saja relevan dengan konsep kekhilafahan islam, untuk masa ini, sesuai logika zaman ini. disinilah perlunya memahami realitas zaman.

jadi menurut saya, sistem pemerintahan Isalm sesungguhnya bisa relevan dengan sistem pemerintahan apapun, jika regulasi yg berlaku di negara tersebut mencerminkan penerapan hukum Allah.

jika permasalahannya ada pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat yg amat memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam legislasi UU, maka sesungguhnya sistem kerajaan yg dianut oleh dinasti umayyah hingga utsmaniyyah juga amat sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan. bahkan sistem monarki itu sendiri jika dipandang dari sudut keadilan adalah penyimpangan itu sendiri, karena ia menghalangi rakyat yg berkompeten, utk menjadi khalifah krn terganjal oleh Trah yg bukan Trah Raja.

noda hitam dalam sejarah khilafah menunjukan bahwa sistem monarki, sebagaimana sistem politik yg lain, amat memungkinkan terjadinya penyimpangan.

inkonsistensi ini dapat dikecualikan, jika HT tidak mengakui dinasty Umayyah dan Abbasiyah sbg sebuah khilafah Islamiyyah, sehingga mereka terlepas dari pandangan bahwa sistem politik apapun, baik monarki maupun sistem lain, sesungguhnya bisa bersesuaian dgn Islam.

tetapi faktanya, HT mengakui dinasti umayyah dan abbasiyah yg mengadopsi sistem kerajaan ala Romawi dan Persia itu sbg sebuah kekhilafahan Islam. berarti sistem apapun, sekali lagi, baik monarki maupun demokrasi, bisa bersesuaian dengan Islam, selama regulasi yg lahir dari sistem itu mencerminkan kedaulatan di tangan Allah.

***

'ala kulli hal, saya tetap menghormati prinsip pemikiran politik hizbut tahrir, sebagai sebuah khazanah pemikiran politik Islam. namun demikian alangkah bijak, jika para pemuda, syabab Hizbut Tahrir, tidak mudah mencela golongan lain yg tak sepemikiran dengan kelompoknya. apatah lagi dengan mengatakan bahwa mereka yg berdakwah dui parlemen itu sebagai orang2 yg "berkubang dalam lumpur demokrasi" mengatakannya menikmati kekufuran, sistem syirik, antek thaghut, dsb.

agar terjadi harmonisasi antar harakah, ibarat Gir pada Roda, biarkan harakah yg berbeda pandangan itu saling mengisi.

saya amat mempersilahkan koreksi dari rekan2 Hizbut tahrir atas catatan ini, dan amat lebih senang seandainya tanggapan atas catatan ini berupa artikel pula, sehingga terjadi dialektika pemikiran Islam, agar kita, para aktivis yg bergabung dalam grup ini, memiliki wawasan yg kian bertambah seiring dengan postingan ttg wacana2 politik Islam.

sehingga kultur intelektualisme lebih dominan di grup ini ketimbang umpatan atau cacian yg memperuncing ukhuwah di antara kita.

agar iklim intelektualisme seperti yang dicontohkan dalam perdebatan antara Imam Ghazali dengan Ibnu Rusyd dapat kita lestarikan.

ingatkah rekan2 bagaimana Imam al-Ghazali mengkritik para filosof, termasuk Ibnu Rusyd di dalamnya, lewat bukunya "tahafut al-Falasifah?/kerancuan para filosof"

kemudian Ibnu Rusyd membalasnya kritikan itu dengan sebuah kritikan pula dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut (kerancuan buku "kerancuan"nya al-Ghazali).

alangkah indah jika nalar intelektual lebih dominan daripada nalar emosional.

Hadanallah wa iyyakum ajma'in diiringi harapan, semoga Jaya, Islam dan Kaum Muslimin.

wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

21 Desember 2010

0 komentar:

Posting Komentar