Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Rabu, 01 Juli 2015

Kalau Sudah Begini, Sebaiknya Komunitas ODOJ Ditiadakan Saja



Bulan puasa gini, kalo naik Commuter Line udah ga asing liat orang baca Qur’an di dalem gerbong. Sebagian baca kitab suci itu lewat mushaf kecil ukuran saku, sebagian pake program Qur’an digital dari android. Malah pernah gw liat orang tilawah di dalem kereta, pake mushaf segede gambreng, sumfah itu mushaf ukuran yang biasa dipake anak2 tetangga gw kalo ngaji di mushalla belakang rumah. Itu mah show off-nya mantappkn! anak2 ODOJ ngaos di dalem kereta aja gada nyang berani pake mushaf segede gitu. Pokoknya mantapenjaskes!

Sebagian tilawahnya pake suara sirri (pelan), tak jarang juga di-jahar-kan (dikeraskan), gw rasa gada yang terganggu dengan suara lantunan tilawah Qur’an sedikit dijaharkan di dalem gerbong, kecuali kalo pake toa musola kali ya, nanti bisa disindir ama pejabat Negara alnya dianggap polusi suara :p. Lah yang becanda berisik aja banyak di KRL, masa baca Qur’an dikit jahar keganggu. 

Kemaren, waktu kultum Zhuhur di Masjid Kantor, seorang pejabat Kementerian Agama ada yang bilang gini, “Alhamdulillah, tradisi mengaji kini ramai dilakukan dimanapun. Di kereta dan di tempat2 lain, tak jarang saya lihat orang membaca Quran memanfaatkan waktu luang.” walhamdulillah. efek positif ini udah melebar kemana-mana.

Oe jadi inget program ‘Ngaos’ anak2 ODOJ. Ngaos itu bahasa Sunda, artinya ngaji. istilah ini dipake para ODOJers sebagai singkatan: “Ngaji on the Street/Ngaos,”  mereka baca Qur’an di tempat2 umum. Di mobil, di mall, di stasiun, di kereta, di buskota, di bioskop (tepuk jidat), dan lain2, pokoknya tempat yang ramai lalu lalang orang.

Tujuannya, agar publik tau bahwa kebaikan bisa dilakukan dimana saja. Sebab, kebaikan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. waspadalah! waspadalah! Daripada di dalem kereta cuman maen tetris (et dah..  tetris. ketauan banget gw kudet urusan games), atau buka2 facebook, atau sejaman diabisin cuma baca laman berita2 bombastis yang kadang2 ga jelas mana fakta mana fitnah, mending dipake buat baca Qur’an. Insya Allah dengan baca Qur’an hidup jadi lebih damai. Bayangpun, kalo 10 tahun dipake cuma buat fesbukan doang, udah berapa kali khatam jika dimanfaatkan dengan tilawah al-Qur’an. Insya Allah udah dapet pahala segede alaihim, waktu2 kita jadi bermanfaat. baca Quran, lebih adil dan menentramkan. Btw sepuluh tahun naik kereta terus apa ga ga ada perkembangan ,--“

Gw ga mau masuk ke ranah niat mereka2, niat itu urusan yang sangat privacy, that’s not my business! niat ikhlas baca Qur’annya karena Allah itu urusan masing2, daripada menuding2 mereka telah melakukan riya atau apalah apalah, sementara pada saat yang sama gw cuma twitteran di angkot, lebih baik gw husnuzhan: “Siapa tau mereka bersengaja menunjukkan membaca Qur’an di tempat publik agar orang lain terinspirasi melakukan hal serupa. Banyak peluang utk berbuat baik, waktu senggang sebaiknya dipakai untuk berdekat2 dengan Allah dengan membaca kalam-Nya.” nah, begitu kan lebih baik dari pada su’uzhan. Baik sangka itu menjalin persatuan dan kesatuan.

Sehingga nanti, tak kan jarang kita liat orang baca Qur’an di halte, di stasiun, di bandara, di kereta, di bus, dan lain2, inilah negeri Muslim! jadi foto yg beredar dengan objek orang yang lagi baca Quran di dalem kerta ga lagi kita ambil dari foto orang Turki atau Mesir, tapi asli di Indonesia, the largest Muslim Population in the world! sudah sepantasnya.

Temen gw pernah bilang, “Aku agak gimana gitu sama ODOJ, tapi aku salut sama mereka.” ya memang bagaimana. Gw paham apa yang ada di balik benaknya, yaitu Quran koq dibaca di sembarang tempat. apa ga mengurangi sakralitas al-Quran? tapi jangan ragu jangan bimbang, jangan khawatir hal tersebut akan mengurangi sakralitas al-Qur’an. Justru mungkin sebab kita salah memahami kata ‘sakral’ itu sampe2 kita jadi jarang membacanya dengan alasan al-Qur’an ga boleh dibaca di sembarang tempat. Akhirnya kita malah jadi umat yang jarang baca Qur’an. Jangan2 kita ditipu oleh setan si terkutuk.

Lagipula, frasa ‘di sembarang tempat’nya perlu kita tengok ulang. Sebab tempat yang dikamsud bukanlah tempat2 jorok, bukan tempat kotor. Itu tempat yang –bahkan—sah kita gunakan utk Shalat. Justru dengan cara seperti ini waktu2 luang terisi dengan hal yang paling bermanfaat buat lisan kita: baca Qur’an, sebaik2 dzikir. Malah insya Allah, yang jauh akan mendekat, yang dekat merapat, dipillih dipillih…!

Nah, suatu saat kalo setiap orang udah istiqomah baca Qur’an satu juz sehari, udah akrab tilawah tanpa perlu dikejar2 admin yang udah kayak provider nge-SMS gw tiap malem (btw itu beneran, admin grup, rajin bener kirim SMS ma watsap kalo tilawah gw  lagi angot2an, ‘ksian juga pulsanya abis, moga2 diganti ma Allah dengan pahala yang banyak), yang bikin SMS2 di HP gw isiya cuma dua jenis: Iklan dari telkomsel yang segambreng beibeh, sama reminder dari admin ODOJ :p 

Lanjut, nah suatu saat kalo member ODOJ bahkan udah naik sabuk ke dua juz sehari, penduduk Negara kita udah pada rajin tilawah semua, ibu-ibu arisan udah rutin baca Qur’an. Pak RT dan pak RW nyontohin warganya buat rajin-rajin baca Qur’an, pak lurah, sekdes, pak camat, hansip kelurahan dan hansip kecamatan, tukang cimol depan kantor kelurahan, tukang cuanki depan sekolah SD 5, tukang seblak deket kantor kecamatan, tokoh masyarakat, almarhum mang ading, dan wali kelas gw udah pada rajin baca Qur’an sejuz sehari, kalau sudah begini, Komunitas ODOJ boleh ditiadakan. Cita-cita membumikan al-Quran udah terhampar…

Tapi sekarang, di saat batu akik masih lebih dipentingin daripada kitab suci, saat buka puasa menunya masih bubur kecubung, cendol pancawarna, kolak sisik naga, kue jilat samarinda, goreng bacan, sama asinan kalimaya, komunitas ini harus tetep melebar, harus tetap eksis buat melebarkan kebiasaan baik ke tengah2 masyarakat.

Bagaimana mau ditiadakan, sedangkan saat ini aja, kalo jam 21.00 ada SMS masuk, gw tahu itu pasti sms reminder dari admin ODOJ ngingetin “ngapa belun laporan?”
hmmmm.. sudah kuduga..[]

Kamis, 16 April 2015

Ofensif di Sosial Media, Seberapa Perlu?

Pagi rekan2,

Saya punya sahabat2 luar biasa, mereka adalah para penulis dan admin di balik sejumlah situs Islam online yg cukup populer di kalangan "Aktivis Dakwah".

Dalam sebuah obrolan bersama beliau2, saya sempat urun rembug:

"Nampaknya perlu dilakukan survei, utk mencari korelasi antara sikap ofensif sebagian kader dakwah terhadap "rival politik" dengan raihan suara kafilah dakwah dalam Pemilu. Apakah benar sikap ofensif itu berpengaruh positif thd suara dakwah atau justru sebaliknya?

Perlu dilakukan evaluasi atau muhasabah, karena saya khawatir, sikap keras dan ofensif sebagaimana dipertontonkan sebagian "kader dakwah" di sosial media itu alih2 membuat orang simpatik terhadap dakwah, yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat malah menjadi antipati terhadap dakwah.

Maksud saya, mereka yang acap kali menyerang lawan politik di sosial media itu, merasa dirinya berjasa besar dalam pesta pemilu, padahal justru kalangan seperti ini memberi kontribusi negatif terhadap raihan suara partai. Banyak orang merasa berbuat baik, padahal bisajadi hal tsb justru melahirkan kebencian krn memang salah.

Saya mengamati sebuah fans page dan akun twitter milik seorang penulis yang cukup populer di kalangan aktivis Islam, Timelinenya penuh dengan provokasi, sebagian tanpa data, penuh dengan apriori dan pada beberapa hal kebencian, sebagian malah menjadi blunder.

Pada beberapa hal sikap ofensif tentu bermanfaat sebagai sebuah counter opinion, tetapi jika dilakukan berlebihan, sangat mungkin reaksi yang muncul justru sebaliknya.

Ada sebuah masukan menarik dari salahsatu sahabat di waktu berbeda, yaitu, "jangan sinis terhadap lawan. tunjukan saja prestasi yang kita punya."

Sebuah sikap yang bijak. Krn nanti juga orang akan menilai sendiri. Tidak perlu diarahkan seperti anak2 TK belajar berdoa. Memang, orang yang tidak punya prestasi pada dirinya, cenderung mempublish keburukan orang lain agar ia terlihat lebih tinggi, hal ini krn tak ada yang bisa ia banggakan dari dirinya sendiri.

Ah, mari amati dan belajar banyak pada fenomena. Hilangkan apriori yang membuat kita tak adil dalam menilai sesuatu.

Dukunglah apa yang baik, kritiklah dengan santun apa yg tak sesuai. Fitnah tak perlu dibalas fitnah. Jika fitnah dibalas serupa, apa bedanya kita dengan mereka?
...

Terakhir, di antara sahabat2 nan luar biasa itu, saya ibarat anak kecil yang menengadah ke atas, meminta dituntun oleh orang dewasa..

Mari, belajar lebih banyak..
we are never too old to learn
@mistersigit

Merenungi Ihtiram Kita terhadap Ulama ..

Khutbah Jumat di Istiqlal siang tadi membedah toleransi, ia adalah sikap saling hargai dan hormati atas pandangan berbeda.

Saya jadi termenung betapa kata itu sudah demikian jarang kita jumpai.

Pada aras dunia maya ini, tak jarang saya temui serapah pemuda2 penuntut ilmu kepada para ulama. Mereka kehilangan ihtiram pada pewaris para nabi itu hanya karena sang ulama berbeda pandangan dengan ustadz mereka.

Hanya karena seorang ulama ingin damaikan Sunni dan Syi'ah, jangan serta merta menuding ia sebagai orang Syiah tanpa bukti melainkan krn kecurigaan2 semata, atau hanya krn testimoni satu dua orang.

Hanya karena sedikit berbeda tentang tafsir, jangan serta merta menuding sang Ulama sebagai Tokoh JIL. Mengapa persamaannya yg lebih banyak tdk dilihat.

Kita boleh tak sepaham, tetapi berhati2lah menyebut ulama dengan gelar2 buruk.
Mari tunaikan hak para ulama, kita berkewajiban menaruh ihtiram kepada mereka sekalipun tak sepemandangan dengan pendapatnya.

Sebelum menuding ulama, berkacalah pada hati: "siapakah diri yang dhaif ini dibanding mereka? ilmu saya dan beliau ibarat tetes air dan danau nan luas"

Jauhi apriori yang membatasi kita menilai adil. Merendah hati dan bersopan santun kpd Ulama adalah kewajiban kita (atau tepatnya saya) selaku thullab yang faqir ilmu.

Jauhi sikap kita dari istilah, "air beriak tanda tak dalam, tong kosong nyaring bunyinya," seperti orang yang berlaku selayak sudah menyelam ke lautan dalam, padahal ia masihlah di tepian pantai. Merasa sudah cukup ilmu utk menghakimi ulama.

Belajarlah bahwa hanya orang besar yang bisa menghargai orang besar.
Sejauh ia tak terang2an ajak pada kemaksiatan, kita berkewajiban merendah hati di hadapan mereka

Mari merenungi Sabda Baginda Nabi yang begitu dalam:

“Keberkahan itu ada bersama para ulama.” (HR Ath-Thabrani)

"Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak-haknya para ulama.” (HR Al-Hakim)

Kekasih Allah di sekitar kita..



Dulu, sekitar tahun 2010, saya baru pulang dari Palabuhan Ratu, sebentar mampir ke Mushalla kecil di terminal Baranang Siang untuk sejenak Shalat Zhuhur

Saya bermakmum pada seorang pria yg jika kita taksir dari penampilannya, rasanya ia adalah pekerja kasar di Terminal tersebut.

Bajunya lusuh dan kusam… kulitnya keriput, kumal, dan bekas-bekas kerja keras tampak jelas..

Kami shalat berdua saja. Di tengah rasa lelah yang saya rasakan sepanjang perjalanan, saat-saat shalat adalah saat yang indah dan meneduhkan.

Dan yang menginsafkan diri adalah, pada waktu itu saya sungguh merasa malu pada Allah.

Sepertinya saat itu Allah mengajarkan pada saya tentang cara yang lebih hikmah dalam memandang kehidupan…

Betapa pria kotor itu, yang kulitnya kusam dan pakaiannya amat lusuh..
yang terlihat begitu lelah dan keras dalam mencari nafkah..
Ternyata menunaikan shalat dan berpasrah pada Allah dalam sujud-sujudnya yang begitu dalam dan panjang…

.. Shalatnya lama sekali,

Hingga saya merasa malu betapa selama ini barangkali shalat saya masih belum sebanding dengan kualitas dia…

Saya, yang barangkali secara ekonomi sedikit lebih baik daripadanya,

yang berpakaian dan menutup raga ini dengan pakaian yang lebih baik dari pakaiannya…

ternyata belum mampu berpasrah dalam shalat yang berlama–lama bersama Allah seperti dirinya..

ah, sungguh Allah tak akan menilai dari fisik kita...

***

Terlepas dari kelemahan saya untuk khusyu' dalam shalat..
dan terlepas dari pemaknaan kita atas definisi khusyu' itu..

Sewaktu saya mengikutinya ruku’, hati saya seperti berbisik:

“duhai Allah… betapa lama ruku’ orang ini..

sewaktu saya mengikutinya bersujud menghamba .. hati saya seperti berdesir:

“duhai Allah.. betapa ikhlash dan pasrah pria sederhana ini pada ke-Maha-an Engkau..

pasrah pada-Mu atas segala lelah dan keringat yang tumpah ketika bekerja menjemput rizki yang telah Engkau tetapkan atas dirinya..

Demikian pula dengan berdirinya, duduk tahiyat dan dzikirnya..
pria sederhana dan amat sahaja itu berlama-lama dalam ibadah pada Allah…

***

Sepulang dari pengalaman itu, seringkali saya sampaikan kepada binaan-binaan saya, begini:

“ikhwah, ketika kita berada di atas kendaraan misalnya.. kemudian kita menengok ke jendela dan tampaklah oleh kita manusia-manusia sederhana yang terbalut dalam pakaian-pakaiannya yang bersahaja.. sesunguhnya bisa jadi mereka lebih mulia di sisi Allah dari pada kita…
Bisa jadi mereka tahajjud lebih sering dari pada kita dalam malam-malamnya yang panjang, bisa jadi ia berdzikir lebih tunduk dari pada kita..

Bisa jadi, Allah lebih mencintainya daripada kita…

Ketika kita berjalan di tepi-tepi pasar misalnya, kemudian kita melihat seorang tukang pemungut sampah yang mengais rizkinya di tempat-tempat yang dihindari banyak orang itu.. dengan karung robek berisi sampah yang ia bawa kemana-mana itu dibalik punggungnya..
Bisa jadi, ia lebih dekat kepada Allah daripada kita…

bisa jadi airmatanya lebih sering menetes dalam dzikir-dzikir panjang untuk tunduk pada Dia Yang Maha Kuasa..

Hanya saja ia tak menampakkan keshalihannya pada manusia..
meski tak ada yang memanggilnya dengan gelar aktivis dakwah..
meski tak ada yang menyebutnya dengan panggilan ustadz..

ikhwah fillah,

Bayangkan jika kita diuji oleh Allah dalam keadaan ekonomi seperti mereka,
akankah kita memiliki kesabaran dalam menjalani hidup, sebagaimana mereka memiliki kesabaran untuk menjalaninya?
Sementara selama ini fasilitas-fasilitas dakwah telah Allah berikan cukup untuk kita

Entah karena kesederhanaan, entah karena ketulusan,
Bisa jadi, kekasih-kekasih Allah itu dekat di sekitar kita..
dia ada di samping kita dalam majelis-majelis halaqah,
atau ada di depan kita ketika kita ada di jalan,
hanya saja mereka tak menampakkan keshalihannya…

bisa jadi..
...

Gebyah Uyah dan ‘Demam Panggung’, BNPT dan Kominfo bisa Dipidana

Tolak Terorisme (http://initeroris.blogspot.com)
Tolak Terorisme (http://initeroris.blogspot.com)


Saya lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam tradisi Nahdhatul Ulama (NU) yang kuat. Kakek, ayah, paman, sepupu, semua adalah alumni pondok NU. Saya sendiri, sekalipun tak sempat mondok ala santri-santri NU yang tradisional itu, sempat mencicipi ma’had yang diasuh alumni pondok NU di Bogor selama lebih dari satu tahun. Sisanya jadi “santri kalong” yang hanya pulang dan pergi ke pesantren.

Dari pihak istri, ayah mertua adalah orang yang ditokohkan di kampung sebagai tokoh agama, sementara ibu mertua aktif di Muslimat NU. Tiga kakak ipar saya aktif sebagai pengurus Fatayat NU di Brebes, Jawa Tengah. Saat ini keponakan pun masih mondok di Pesantren Benda, Bumiayu, Jawa Tengah. Istri saya sendiri adalah alumni madrasah NU. Oleh karena itu, tradisi NU seperti tahlilan, tawasul, ziarah, dan sebagainya kental di keluarga saya. Saya pernah berziarah ke makam Sunan Giri, Sunan Gresik, dan seterusnya, sekadar merenung dan menapaktilasi perjuangan mereka menyebarkan Islam di Nusantara yang tentu tak mudah sehingga kini Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Saya ingin mengikuti jejak tokoh besar NU, almarhum KH. Idham Khalid yang sangat luwes dan menghormati perbedaan. Syahdan saat memimpin shalat Shubuh di atas kapal dalam perjalanannya ke tanah suci, kyai yang memimpin NU selama 28 tahun itu tak bacakan Qunut karena menghormati tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka yang bermakmum di belakangnya. “Saya tak ingin” katanya arif saat ditanya, “memaksa mereka yang tak berqunut untuk berqunut”. Pun demikian keesokan harinya saat Buya Hamka mengimami shalat Shubuh, penulis Kitab Tafsir al-Azhar itu membacakan qunut dengan fashih dan panjang karena menghormati KH.Idham Khalid yang bermakmum di belakangnya. Ketika di tanya mengapa ia membaca qunut, beliau menjawab: “Saya tak ingin memaksa mereka yang berqunut, untuk tidak berqunut”. Jawaban dari kedua tokoh besar ini membuat jama’ah di atas kapal itu haru dan meneteskan airmata. Demikianlah sikap orang-orang besar hadapi perbedaan. Perbedaan semestinya menjadi rahmat, bukan menjadi masalah.

Dalam perkembangannya, meski sebagai warga NU, saya banyak berkenalan dengan teman-teman dari pergerakan Islam. Saya ikuti majelis Jamaah Tabligh dalam agenda khuruj-nya di masjid-masjid dan mushalla. Mendengarkan dengan seksama pembacaan kitab Fadhailul amal (Fadhilah Amal) Karya Maulana Zakariyya al-Kandahlawy, sambil pundak saya dipijit sebelum makan siang bersama mereka. Saya akrab dengan teman di Muhammadiyah, menginap di rumah teman yang berpaham Salafy, mengikuti pengajian Hizbut Tahrir, ikut gerakan Tarbiyah (Ikhwan), akrab dengan teman di Majelis Rasulullah, menjadi jamaah dalam dzikir bulanan ustadz Arifin Ilham, karib dengan teman di Front Pembela Islam (FPI), mengikuti pengajian habib Luthfie bin Yahya, diskusi dengan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), ngobrol-ngobrol dengan rekan keturunan Bahrain yang menganut Syiah, dan seterusnya. Dari pergaulan itu, di tengah kedhaifan dan kefaqiran ilmu ini, saya sedikit memahami bagaimana peta kelompok-kelompok Islam di Indonesia.

Akhir tahun lalu, saya merasa beruntung bisa hadir sebagai pendengar dalam forum cendekiawan yang membahas radikalisme agama dan pemetaannya di Indonesia. Dalam forum diskusi terbatas itu, hadir cendekiawan Azyumardi Azra, Buya Syafii Maarif, Alwi Shihab, Hassan Wirajudha, Emil Salim, Paul Marshall, Jacob Tobing, dan sejumlah cendekiawan lintas agama lainnya. Dari diskusi itu saya memahami bagaimana beliau-beliau memetakan kelompok-kelompok radikal di Indonesia, mencerahkan. Bahwasanya semua memiliki kecintaan terhadap NKRI, Negara yang –semestinya—gemah ripah loh djinawi, tata tengtrem kerto rahardjo ini. Kita semua, cinta Indonesia, kita ingin negara ini aman, damai, makmur, sejahtera, dan seribu keutamaan lain yang barangkali tak mesti sama dengan utopianisme al-Farabi dalam Madinatul Fadhilah-nya.

Hanya saja, para cendekiawan itu memetakan gerakan-gerakan Islam dari kejauhan. Akibatnya, karena melihat “dari satelit”, differensiasi antar gerakan Islam kemudian menjadi bias. Batas-batas antar gerakan jadi tak nampak karena mereka melihatnya dari kejauhan. Bagaimana misalnya, terma wahabi kerap digebyah uyah untuk semua gerakan Islam trans-nasional, sekalipun antar mereka sebetulnya acap saling tahzir.

Lakukan pemetaan secara benar

Kesalahan akademik yang kerap terjadi dalam memetakan gerakan-gerakan Islam di Indonesia adalah keliru memakai kacamata dalam lakukan pendekatan. Dari sejumlah buku yang membedah tentang gerakan-gerakan Islam trans-nasional di Indonesia, misalnya, saya melihat beberapa kekeliruan. Pertama, Gerakan Islam dijadikan sebagai objek penelitian tetapi si peneliti cenderung jatuh pada distoris kognitif dimana ia sudah memliki pandangan awal terlebih dahulu terhadap objek yang akan ditelitinya. Hal ini kemudian memengaruhi penilaian-penilalian dia berikutnya. Distorsi kognitif ini utamanya mengandung stereotype negative sejak mula, sehingga konklusi yang dihasilkan menjadi bias karena semangat penelitian diawali dengan nafas curiga.

Kedua¸ sebagaimana saya katakan di muka, tak jarang si peneliti menuliskan analisisnya dengan memandang gerakan Islam dari kejauhan. Hal ini menyebabkan batas antara gerakan-gerakan islam menjadi bias. Contoh paling naif adalah bagaimana pada 2012 silam, lembaga negara sempat memasukan gerakan HASMI (Harakah Sunniyah untuk Masyakat Islami) sebagai oranisasi teroris. Padahal, Hasmi, dikenal sebagai kelompok moderat di kalangan aktivis Muslim. Buku-buku yang dikaji HASMI juga direkomendasikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengarkanlah radio Fajri FM milik Hasmi, anda tak akan menemukan satu pun pemikiran radilkal dari kelompok itu. Yang paling keras dari kajian Fiqh Hasmi di Fajri FM hanyalah mengatakan wanita hendaknya mengenakan cadar, tentu saja bukan karena ini mereka dianggap radikal. Setelah dilakukan klarifikasi menyusul derasnya pertanyaan, Negara kemudian mengatakan itu adalah Hasmi yang berbeda. HASMI yang dimasukan dalam gerakan teroris adalah “Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Indonesia”. Serta merta beirta itu kemudian senyap dan hilang dari media massa.

Nampaknya BNPT dan Kepolisian perlu memahami gerakan-gerakan Islam dari dalam, agar paham bagaimana cara mereka berparadigma, jadikan mereka sebagai subjek agar dapat dipahami, bukan hanya sebagai objek peneilitian yang dilihat dari kejauhan. Ini yang nampaknya khilaf dilakukan oleh BNPT dan Densus 88.

Situs Dakwatuna, Korban Gebyah Uyah

Contoh berikutnya adalah dimasukannya dakwatuna sebagai situs yang menyebarkan faham radikalisme, sehingga dengan alasan itu BNPT meminta Kemenkominfo menutup situs tersebut (bukan sekadar memblokir). Ini jelas kelirunya. Tunjukkan pada saya satu link saja dari situs dakwatuna, mana yang mengindikasikan bahwa situs Islam paling popular itu menebarkan paham radikal, jika Anda tak temukan, segeralah minta maaf, rehabilitasi namanya, dan beri ganti rugi karena penayangan iklan di situs tersebut terganggu akibat pemblokiran.

Akhirnya pertanyaan kita jadi terfokus pada satu hal, “Apa sebetulnya makna radikal yang dipahami oleh BNPT?” Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh juru bicara BNPT Irfan Idris dalam konferensi Pers di Gedung Kemenkominfo, Selasa (31/03) kemarin. Dalam konferensi persnya, Professor di UIN Alauddin Makassar itu mengatakan bahwa kriteria radikal menurut BNPT adalah “Pertama, ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama, Kedua, mengkafirkan orang lain (takfiri). Ketiga, mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara terbatas. (sumber: Republika.co.id),

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah dakwatuna memenuhi satu saja dari empat kriteria tersebut?

Apakah dakwatuna menginginkan perubahan secara cepat dengan menggunakan kekerasan? Atau apakah ia mengkafirkan kelompok yang berbeda dengannya? Atau mendukung ISIS? Atau memaknai jihad secara terbatas? 

Sejauh yang saya tahu, tidak ada satu pun dari empat kriteria itu yang sesuai dengan model pemberitaan di dakwatuna. Bukan sebab saya merupakan salah satu kontributor di media islam tersebut, jika dakwatuna benar-benar radikal dan ekstrem, saya setuju situs tersebut ditutup. Bagaimanapun terorisme harus kita perangi, tetapi serampangan menutup situs-situs berbau agama “hanya karena ketakutan berlebihan terhadap ideology kererasan”, adalah kesalahan.

Jangan sampai misalnya, penutupan dakwatuna disebabkan hanya karena situs tersebut sering mengkritik pemerintah sebagaimana disampaikan Irfan Idris dalam konferensi persnya. “Judulnya memang tolak ISIS, tapi belakangnya demokrasi buruk. Jokowi bla bla bla. Ini kan sama saja mendiskriminasi,” demikian Irfan sebagaimana dimuat di laman Republika.co.id kemarin. Jika hanya karena anti terhadap jokowi, apakah ia memenuhi kriteria radikalisme ? jika tidak, maka ini kekeliruan, BNPT telah melampaui kewenangannya dengan masuk ke ranah politik.

Lagi pula, kemerdekaan pers dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, jika pun dakwatuna misalnya, tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ‘pers’, kemerdekaan menyuarakan pendapat sesungguhnya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Mengutip pandangan Mantan Ketua MK, Prof.Jimly Ash-Shiiddiqie Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, memberikan jaminan konstitusional secara tegas untuk mengemukakan pendapat sebagaimana dimuat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia. (www.jimlyschool.com).

Jika penutupan situs dakwatuna hanya karena anti terhadap Jokowi, maka selamat, kita telah kembali ke zaman orde baru dimana masyarakat yang mengkritik pemerintah akan dibredel penguasa.

Sebagai lembaga Negara, permintaan penutupan situs sebagai media informasi yang dilindungi UU bahkan UUD mestilah mengacu kepada landasan legal formal. Pertanyaannya adalah, “landasan legal formal mana yang dilanggar oleh dakwatuna?”

Jika, permintaan BNPT kepada Kominfo untuk menutup situs-situs itu adalah berdasarkan kepada UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme”, atau Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang”, Pasal mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Bukankah dakwatuna patut tahu alasan pemblokirannya?

Atau, jika alasan penutupan itu mengacu kepada Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mari bertanya pasal mana yang dilanggar oleh dakwatuna? Apakah pasal 28 ayat (1) dan (2)? Jika iya, kita patut bertanya berita mana di laman dakwatuna yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, atau merugikan konsumen (pasal 1)? Atau bagian mana dari laman dakwatuna yang menimbulkan kebencian dan permusuhan individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA (pasal 2)?

Jika tidak ada satu pun pemberitaan di laman dakwatuna yang memenuhi kriteria pada pasal tersebut, maka situs dakwatuna bisa memidanakan BNPT dan Kemenkominfo ke pengadilan jika benar permintaan penutupan itu mengacu pada pasal 28 UU ITE.

Pemetaan Kelompok Islam di Indonesia
Radikalisme dalam beragama, bisa kita bagi ke dalam dua aspek. Radikal dalam pemikiran, dan radikal dalam aksi. Tidak semua gerakan Islam yang radikal secara pemikiran otomatis radikal pula secara aksi. Hizbut Tahrir misalnya, ia radikal secara pemikiran, anti Pancasila dan NKRI. Pemerintah disebutnya sebagai thaghut dan sistem demokrasi kita dianggap sebagai sampah dan kubangan lumpur, tetapi secara aksi, doktrin Hizbut Tahrir sama sekali menghindari kekerasan. Adapula, gerakan yang mendukung Pancasila dan NKRI tapi mudah melakukan kekerasan ketika melawan kemaksiatan, ideologinya mendukung NKRI dan Pancasila, tetapi dalam aksi-aksinya kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Gabungan dari keduanya, ada gerakan yang menentang NKRI sekaligus melakukan kekerasan, kelompok JI di Indonesia adalah salah satunya. Sebaliknya, ada gerakan Islam yang mendukung NKRI plus anti kekerasan.

Fragmentasi gerakan-gerakan Islam ini perlu dipahami oleh Negara sehingga Negara tidak gebyah uyah dalam mengambil keputusan. Negara harus paham mengapa misalnya, Muhammad al-Khaththath, salah satu pendiri Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dikeluarkan dari Organisasi HTI ‘alamy kemudian mendirikan Hizbud Dakwah Indonesia. Negara harus memahami mengapa Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) berpisah dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengapa lahir Lembaga Dakwah Kemuliaan Islam (LDKI) yang basis massanya beririsan dengan aktivis Gerakan Tarbiyah, mengapa sesama gerakan Salafy (Middle East oriented) saling men-tahzir satu dengan yang lain, dan seterusnya.

Epilog
Yang perlu dipahami adalah, Negara tidak boleh memandang rakyatnya sendiri sebagai musuh. Bagaimanapun “kelompok yang keras-keras itu adalah bagian tak terpisahkan sebagai warga Negara , sebagai bagian dari civil society, sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat kita. Bukankah kita sering mengatakan alangkah indahnya menerima perbedaan secara bijak? Mengapa kalangan yang acapkali mengampanyekan “mari rayakan perbedaan” kerap tak bijak menerima kelompok yang berbeda dengan mereka?

Dua minggu silam, saat menjadi salahsatu narasumber dalam dialog dengan pemimpin-pemimpin mahasiswa di Malaysia, saya terharu ketika salahsatu penanya mengatakan, “Kami cemburu dengan Indonesia. Anda di sana dapat berbicara jauh lebih bebas daripada kami di Malaysia, di sini kami tak memiliki kebebasan dalam menyuarakan pendapat”.

Benar. Kelebihan Indonesia adalah demokrasi. Bersama Tukri, kita adalah Negara yang secara sejuk berhasil menjadi representasi Negara Muslim yang menerapkan demokrasi secara fair dan konstitusional. Lalu apakah kita akan mundur ke belakang dengan melakukan penutupan media-media tanpa memilahnya secara tepat?
Salam
Sigit Kamseno
Twitter: @mistersigit

Lapor Komandan! Konsep Politik Syiah itu Berbahaya bagi NKRI!

14242268211693249550
Umat Syiah peringati Karbala (www.bersamadakwah.com)


Satu minggu ini, kita dibuat geger oleh penyerangan sekelompok preman ke perumahan Bukit Adz-Dzikra, Sentul, Bogor. Menurut pimpinan Majelis Dzikir Adz-Dzikra, al-Ustadz Muhammad Arifin Ilham, semoga Allah menjaga beliau selalu, penyerang tersebut berasal dari kelompok syiah yang merasa tersinggung akibat pemasangan spanduk anti syiah di kompleks perumahan Muslim itu. Tak cukup disitu, pidato seruan jihad ulama ahli dzikir itu menyebar di media sosial. Seruan itu demikian menggelegar, membuat pendengarnya merinding sebab beririsan langsung dengan semangat membela agama. Dukungan terhadap ustadz Arifin pun menjamur, mulai dari sokongan pimpinan ormas-ormas Islam, hingga kalangan masyarakat di akar rumput. Status yang menjadi awal berita di laman facebook ustadz kelahiran Kalimantan itu dikomentari ribuan orang, tak sedikit di antaranya mengatakan “Siap Menunggu Perintah!”

Selama ini, ustadz Arifin Ilham dikenal sangat lembut, bertutur santun, selalu menyebutkan nama pribadi sebagai kata ganti aku, dan tawadhu’. Pun, beliau menggunakan kata sapa ‘abang’ atau ‘ayahanda’ kepada sesiapa yang lebih tua sebagai sebentuk ihtiram atau penghormatan. Majelis dizkirnya di berbagai kota dihadiri ribuan umat yang larut dan khusyu’ dalam lautan dzikir. Tangisan jamaah ketika hanyut dalam alunan dzikir dengan berbagai macam penyesalan dosa dan harapan terdengar bersahutan, begitu selalu.

Namun memang, berhati-hatilah dengan marahnya mukmin yang sabar, sebab ia marah karena panggilan iman. Bahkan seorang yang sangat sufistik dan berbudi luhur semoncer al-Syaikh Baiduzzaman Said Nursi pun, marah ketika harga diri dan kehormatan agamanya dilanggar. Pun demikian Hadhratu al-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama,  yang tak tunduk pada siapapun yang menantang agamanya. Sekadar informasi, cucu KH.Hasyim Asy’ari, KH.Shalahuddin Wahid atau Gus Sholah—yang juga guru kami semua sebagai warga yang dibesarkan dalam tradisi NU—juga berkomentar saat ditanya bahwa pemasangan “spanduk menyesatkan dan rasis” anti syiah itulah yang menjadi penyebab penyerangan, serta merta kyai pimpinan pondok Pesantren Tebuireng itu menjawab,  “itu bukan Rasis, jika tak setuju bisa dilawan dengan spanduk.” Kicaunya di akun twitter.

Tahun 1997, sebetulnya PBNU dalam surat yang ditandatangani oleh Rais Am KH.M.Ilyas Ruhiyat dan Katib Am KH.Dawam Anwar telah menginisiasi penerbitan buku tentang syiah agar umat tidak terkecoh propaganda syiah yang menyamakan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan syiah. Jauh sebelumnya, Hadhratu al-Syaikh KH.Hasyim Asy’ari (1875-1947) mengatakan “semoga Allah melindungi kita dan umat Islam dari aliran (syiah) ini.” Saat membahas syiah, kyai Hasyim menukil fatwa Imam Qadhi Iyadh dalam kitab al-Syifa yang menjelaskan sesat dan kafirnya kaum syiah.
Saya, justru tak habis pikir dengan kicauan aktivis berpemikiran Islam liberal seperti Zuhairi Misrawi yang menyindir ustadz Arifin Ilham pasca kasus itu dengan sebutan “ustadz penjaja dzikir yang menebarkan kebencian”.  “penjaja dzikir”, dapatkah engkau fahami kalimat sarkastik yang merendahkan itu? Melihat Zuhairi merendahkan tokoh agama, saya teringat Tan Malaka merendahkan Diponegoro. Tokoh agama, siapapun yang tak sejalan dengan pandangannya, dikritiknya penuh sarkasme.

Konsep Politik Syiah Berbahaya bagi NKRI
Segera saja, kumandang Jihad sang ustadz itu mengundang respon tokoh-tokoh yang selama ini dikenal kerap membela Syiah. Dina Sulaiman, ibu rumah  tangga yang tulisan-tulisannya acap membela syiah menulis surat terbuka kepada ustadz Arifin Ilham dengan bahasa mendayu dan sentimentil. Alumnus program S2 di Tehran University, Iran, ini meminta agar ustadz Arifin tak “kerahkan pasukan” karena akan berbahaya bagi negara Indonesia, jangan sampai Indonesia luluh lantak selayak Libya dan Suriah, pesannya. Dina nampak cinta Indonesia, sayangnya istri dari Otong Sulaeman –seorang yang juga mengecap studi di Qom, Iran– ini sama sekali “luput” untuk menyinggung atau menyalahkan penyerangan yang dilakukan preman syiah tersebut, ia justru berpesan agar Arifin Ilham bijak dan tak serukan kumandang jihad karena akan berakibat buruk bagi NKRI, semacam ancaman halus?

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Dina lupa bahwa konsep politik syiah sebetulnya justru tak kalah berbahaya bagi NKRI?

Kita tahu, syiah bukan sekadar sekte dalam aliran teologi, ia adalah persenyawaan paham teologi dan konsep politik. Kelahiran madzhab syiah, jika boleh disebut madzhab, tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik pada zaman awal Islam. Dalam berbagai literatur kita tahu bahwa syiah, yang kemudian berkembang dalam puluhan sub-sekte itu, tak bisa dilepaskan dari faktor politis, baik saat penentuan siapa pemimpin pengganti selepas wafatnya Nabi, atau saat perang Jamal dan Shiffin.  Dari sejarah yang politis itu, konsep politik syiah hingga kini terus mengalami perkembangan.
Di era modern, yang paling mencolok dari konsep “theo-politis” khas syiah terutama terletak pada kuasa Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin tertinggi yang dipilih oleh Majelis Khubregan pada konsep vilayatul faqih)  sebagai pemegang kendali yang “lebih berkuasa” dari kepala negara.
Tokoh kharismatik yang duduk sebagai Rahbar ini memegang otoritas kepatuhan yang lebih diimani penganut syiah ketimbang siapapun yang ada di dunia ini, termasuk kepala negara. Bagaimanapun, vilayatul faqih diyakini sebagai penerus imamah selama imam masih ghaib, dimana imamah itu sendiri bagi kaum syiah merupakan bagian dari inti agama, yakni aqidah. Dhiauddin Rais menggambarkan posisi imamah dalam doktrin syiah sebagai pokok Islam yang tumbuh dan cabang-cabangnya meninggi.

Berbeda dengan kaum sunni yang lebih dinamis dalam menafsir relasi agama- negara, syiah kukuh pada prinsip teokrasi, yakni negara syiah. Iran adalah contoh terbaik tentang konsep negara agama versi syiah di era kontemporer sebagai hasil dari revolusi khumaini pada 1979. Khumaini mengatakan, selama ghaibnya imam al-Mahdi, kepemimpinan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Oleh karena itu, sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya karena ia memiliki kekuasaan dan otoritas sebagaimana yang dimiliki Nabi dan para imam terdahulu.  Doktrin syiah, menempatkan imam mereka dalam posisi suci, Carl Brown (2000) menyebut doktrin imam mahdi syiah ini sejajar dengan peran messiah dalam agama Yahudi atau Kristus di dalam kepercayaan Kristen.

Saya teringat tulisan dari Khamami Zada, seorang intelektual muda NU dalam Jurnal Tashwirul Afkar medio 2007.  Ia menuangkan kekhawatirannya akan ancaman gerakan Islam trans-nasional seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir yang dianggap berbahaya karena dianggap membawa pandangan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia dengan watak yang secara politik dan doktrin agama memengaruhi pandangan keagamaan masyarakat lokal di Nusantara.

Sebangun dengan alam pikiran Khamami Zada, selayaknya gerakan syiah dimasukan sebagai ancaman yang lebih serius. Ancaman berbahaya syiah bagi NKRI adalah apabila mereka berhasrat menerapkan konsep politik beraroma imamahnya itu di Indonesia. Tidakkah, konsep teokrasi versi syiah yang diimani sebagai “negara yang dijaga oleh penerus para imam yang suci dari dosa” ini berbahaya bagi NKRI?

Ikhwanul Muslimin (IM), bahkan sebetulnya tidak berbahaya karena gerakan asal Mesir itu memandang politik hanya sebagai bagian dari ranah muamalah, bukan perkara aqidah. IM perlu ditempatkan sebagai gerakan yang cukup moderat untuk menerima demokrasi, belakangan kelompok ini malah semakin moderat dengan melakukan “indigenisasi” gagasan-gagasannya terhadap tradisi dan kearifan lokal Nusantara. Dibanding Hizbut Tahrir (HT), syiah juga jauh lebih mengancam. Sekalipun berhasrat untuk mendirikan khilafah atau pemerintahan Islam, doktrin Hizbut Tahrir melarang anggotanya menempuh jalan kekerasan dalam meraih tujuan, hal ini berbeda dengan syiah yang revolusioner dan radikal, saya harap kita tidak lupa dengan revolusi syiah 1979 yang menggulingkan pemerintahan Reza Shah Pahlevi.

Terkait revolusionerisme syiah itu, ketika membedah tentang fundamentalisme Agama, Ian Adams (1993) dalam bukunya Political Ideology Today, mengatakan bahwa sekalipun minoritas, fundamentalisme syiah mampu menghasilkan fundamentalisme yang paling besar dan agresif. Pada saat yang sama, bedah Adams, ulama syiah juga memiliki peran lebih penting daripada lembaga negara. Ian Adams juga mencatat doktrin Khumaini yang melancarkan fatwa bahwa para ulama wajib meruntuhkan pemerintahan yang represif, ulama tidak boleh hanya memberi saran tentang hukum dan tindakan pemerintah.

Nampaknya, semangat yang samalah yang mendorong  empat orang pemuda Iran mengunjungi Buya Hamka di kamar hotelnya untuk mengajarkan revolusi syiah di Nusantara. Saat itu dengan tegas Hamka menjawab, “Kami adalah bangsa merdeka dan tidak menganut syiah!”
Radikalisme syiah juga digambarkan oleh Olivier Roy , yang mengatakan bahwa kendati syiah merupakan agama kontemplatif, mistis, dan politis seperti dilakukan Ali Syariati, namun ada beberapa tema dalam “imajinasi syiah” yang bersebangun dengan semangat-semangat revolusioner, yakni kesadaran sejarah, milenarisme –keyakinan munculnya masyarakat ideal lewat tindakan revolusioner, gagasan keadilan sosial—devaluasi kekuasaan temporal, dan sebagainya. Tema-tema ini dilukiskan sebagai teladan oleh para tokoh syiah sehingga melahirkan semangat revolusi yang menggebu-gebu.

Sedemikian radikalnya, di kalangan internalnya sendiri sebetulnya kelompok syiah tidak akur satu sama lain. Misalnya pada kasus pendirian Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) oleh para habaib syiah sebagai protes atas diangkatnya Jalaludin Rahmat sebagai ketua IJABI. Pembentukan LKAB yang kemudian berkembang menjadi Ahlul Bait Indonesia (ABI) ini didasari oleh ketidakpuasan kelompok keturunan Arab Alawiyin karena Jalaludin Rahmat adalah orang sunda dan bukan keturunan bangsa Arab Alawiyin sehingga tidak layak menjadi pimpinan lembaga syiah di Indonesia .

Epilog

Kita perlu memahami dan mendudukan syiah tak hanya sebagai faham teologi an sich, tetapi sebagai doktrin politik yang akan berimplikasi pada stabilitas politik nasional. Ketika doktrin imamah syiah menemukan ruangnya dalam konstelasi politik kita, perjuangan berdarah-darah para pahlawan dalam membangun Indonesia yang humanis, nasionalistik, demokratis, dan menjaga ketinggian tradisi nampaknya perlu dimulai kembali dari angka nol.

Salam
Twitter: @mistersigi
Referensi:
Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UIPRess, 2002
John L.Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Khamami Zada, “Agama dan Tradisi Kultural: Pertarungan Islam Lokal dan Islam Kaffah” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No.23/2007, “Agama Tradisi dan Tradisi Agama: Pertarungan, Negosiasi, dan Akomodasi”
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993
Mahfudz Shiddiq,  Pemikiran dan Manhaj Politik Ikhwanul Muslimin, Jakarta, Tarbiatuna: 2003
Majelis Ulama Indonesia, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, ttt, Formas, tt
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, tt
Reslawati, “Menelusuri Jaringan Syiah di Jabodetabek”, dalam Jurnal Harmoni, Vol IX No.36/2010, “Hubungan Antarumat dan Kebebasan Beragama”
Tan Malaka, Aksi Massa, Jakarta: Narasi, 2013


Bimuat di bersamadakwah.com

Soal KPK vs Polri, Saya ingin Jadi Penonton Saja

Soal konflik KPK dan Polri, saya ingin jadi penonton saja. Menonton sambil muak menahan muntah. Ada banyak puzzle yang nampak berkaitan satu sama lain sekalipun tidak mudah dicari sambungannya. Anda masih ingat pertemuan politisi PDIP Trimedya Panjaitan dengan komisioner KPU, Haidar Nafis Gumay, menjelang pilpres lalu? Rupanya waktu itu Trimedya sedang duduk makan dengan Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan. Menurut sang Jenderal, pertemuan itu murni urusan makan. Anda percaya ada seorang jenderal bintang tiga melakukan pertemuan dengan politisi dari partai  besar penyokong capres kemudian bersapa dengan komisioner KPU adalah murni urusan makan? Its ok untuk Hadar Nafis Gumay yang  katanya hanya bersapa beberapa detik karena kebetulan berpapasan, dan Dewan Etik KPU pun membebaskan ia dari tuduhan konspirasi, baiklah saya terima itu, tapi pertanyaan dalam kerangka apa seorang Komisaris Jenderal Polisi yang setara dengan Letjen pada militer itu, bertemu dengan politisi PDIP yang waktu itu sedang menyokong calon presiden? Sulit rasanya menerima bahwa itu “sekadar urusan makan”.

Selepas Jokowi terpilih sebagai presiden, Komjen Budi Gunawan inilah yang belakangan diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo. Calon tunggal, pemirsa! Padahal ia sudah mendapat kartu merah dari KPK. Kompolnas pun, sebagai sebuah lembaga yang memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian kapolri, baru menyampaikan draft calon-calon Kapolri pengganti Jenderal Sutarman kepada Jokowi, dan belum finish karena belum sampai pada tahap wawancara. Tapi “cerdas”nya, Jokowi bersegera mengajukan nama Budi Gunawan ke DPR, ada kepentingan apa demikian tergesa?

“Padahal yang kami serahkan baru draft, kami belum lakukan wawancara semua kandidat. Eh tapi Jokowi sudah kirim surat ke DPR. ‘Cerdas’ Jokowi itu,” sindir komisioner Kompolnas Adrianus Meliala sebagaimana dikutip Kompas.com (25/01).

Pertanyaannya kemudian kenapa Jokowi hanya ajukan calon tunggal? Kenapa harus Budi Gunawan yang merupakan mantan Ajudan Megawati itu? rakyat akhirnya menaruh curiga bahwa Budi Gunawan hanyalah perpanjangan tangan Megawati untuk kepentingan dirinya. Dalam hal ini nampak Jokowi telah gagal menjalankan fatsun politik Manuel Luis Quezon yang paling terkenal di dunia: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”

Dalam akun twitter-nya, Denny JA, penyokong Jokowi pra pilpres lalu  bahkan mengunggah sejumlah foto meme yang menyindir Megawati dan Jokowi.  Denny menggambarkan bahwa mantan Gubernur DKI itu hanyalah boneka ketua umum PDIP.

Pun, ekonom Rizal Ramli juga lakukan hal serupa. Dua jam sebelum Jokowi memberhentikan  Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, ia mengirim pesan di akun twitternya, @RizalRamli. Ia mengingatkan  Jokowi untuk tetap di jalur konstitusi.

“Mas Jokowi, you are the President, act like one! Tugas presiden adalah menegakkan undang-undang, tegakkan hukum, termasuk anti korupsi,” pesannya.

Ia juga menulis begini: “Saya dekat dengan Bang TK dan Mbak Mega. Saya sayang Mbak Mega. Perlu saya ingatkan, wis lah, jangan dipaksakan, jangan kebablasan,”  pesan Menko Perekonomian era Gus Dur itu.

Semua menaruh curiga yang sama, dan punya kegemasan yang sama. Ingin rasanya berkata “Jokowi, You are the real President! Presidennya itu Anda! Kewenangan ada di tangan Anda! act like one!”
Dus, pertanyaan selanjutnya muncul mengikuti, ada apa dibalik pemberhentian Jenderal Sutarman dari jabatannya sebaga Kapolri? Bahkan pemberhentian tersebut dipaksakan hingga melanggar undang-undang kepolisian? Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra  yang merupakan penyusun UU tersebut, Jokowi melanggar pasal 11 UU No.2/2012 tentang Kepolisian yang mengamanatkan bahwa  “Pemberhentian dan Pengangkatan Kapolri harus satu paket dan melalui persetujuan Dewan”, Jokowi melanggar UU itu.

Yusril menambahkan bahwa pemberhentian Kapolri memang bisa dilakukan oleh presiden dalam keadaan mendesak hanya dan hanya jika kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keselamatan negara. Bagian mana dari dua faktor  ini yang dilakukan oleh Jenderal Sutarman? Jika Pak Sutarman tak lakukan pelanggaran tersebut, patut kita bertanya ada kepentingan sangat besar apa dibalik “pemaksaan” pengangkatan  Budi  Gunawan oleh Jokowi itu?

Saya Ingin Menonton Saja
Pasca kasus KPK vs Polri ini, ramai-ramai publik mengganti foto profil dengan gambar #saveKPK, tagar itu jadi trending topic di twitter berhari hari lamanya. Broadcast untuk mengganti foto pofil akun medsos kita menyebar cepat. Pada prinsipnya kita semua mendukung pemberantasan korupsi, itu harga mati. Tapi dibalik euphoria dukung mendukung KPK versus Polri itu saya ingin masalah Budi Gunawan (BG) dan Bambang Widjojanto (BW),  yang keduanya sama-sama tersangka itu, kiranya dipersonifikasi saja, jangan dibawa ke ranah institusi masing-masing.

Kita dukung KPK untuk berantas korupsi, tetapi kita juga perlu mendukung kepolisian untuk menegakkan hukum. Kedua institusi itu tetap penting bagi negara kita sebagai negara hukum. Jangan terjebak pada dukung mendukung salah satunya. Jika Anda berfikir bahwa penetapan tersangka kepada Bambang Widjojanto adalah cara Polri untuk memandulkan KPK, mengapa Anda tidak berfikir bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK juga merupakan cara lembaga anti rasuah itu untuk tampil superior dengan memandulkan Polri?

Jika Anda menaruh curiga mengapa penetapan tersangka atas Komisioner KPK Bambang Widjojanto baru dilakukan pasca Komjen Budi Gunawan ditersangkakan oleh KPK –padahal kasus BW terjadi pada 2010 sehingga sangat terlihat seperti balas dendam— lantas kenapa Anda tak berikan pertanyaan serupa kepada KPK: “mengapa KPK baru menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, saat Jenderal Bintang Tiga itu diajukan sebagai Kapolri, kenapa tidak dari dulu, sehingga terkesan KPK ingin menjegal karir, atau mencari  momentum agar dapat liputan media lebih luas?
Saya ingin katakan bahwa, jika apa yang dituduhkan kepada BW itu terbukti  benar, maka BW pun wajib dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai UU.

Tidak boleh ada warga negara di republik ini yang kebal hukum sekalipun ia adalah pimpinan lembaga negara semacam KPK. Adalah Fahri HAmzah, mantan aktivis Mahasiswa eksponen 98 yang kini menjabat sebagai wakil ketua DPR sudah mengingatkan itu jauh-jauh hari. Tak boleh ada lembaga di negara ini yang menjadi superbody, kebal hukum, Katanya.

Kasus BW ini harus diusut secara adil. Akan berbahaya jika di negara ini ada orang  per-orang atau lembaga yang superbody, kebal hukum, karena hal itu sangat rawan pada penyelewangan kekuasaan. Sejatinya, Fahri Hamzah hanya menerjemahkan doktrin terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”  Kekuasaan absolute, superbody, kuasa penuh, itu rawan penyelewengan!

sebagaimana Budi Gunawan, Bambang Widjojanto pun jika ia bersalah maka patut dijatuhi hukuman. Jangan hanya karena ia dipuja sebagai pemberantas korupsi lantas ia dibebaskan dari kesalahan yang fatal: “sebagai pengacara ia disangkakan mengarahkan saksi untuk memberikan kesaksian palsu di persidangan dalam kasus Pilkada”, kita tentu tak ingin ada jutaan rakyat di satu kabupaten dipimpin oleh kepala daerah yang sebetulnya kalah tapi dimenangkan lantaran kecurangan pengacara, jutaan rakyat dipimpin oleh pemimpin yang tak mereka pilih!

Abi-Ummi, Janggut dan peci
Menyusuli kasus ini, belakangan kemudian muncul broadcast tentang keindahan keluarga Bambang Widjojanto. Ketegaran keluarganya, juga sapaan di keluarganya yang menggunakan frasa-frasa “Abi, Ummi,” dan seterusnya. Islami sekali, indah dan merupakan prototype keluarga sakinah. Kita kenal Bambang Widjojanto adalah aktivis, pun demikian dengan Abraham Samad, keduanya rajin shalat, memelihara sunnah dengan memanjangkan janggut, kerap tampil berkopiah, dan seterusnya. Tapi hal tersebut tentu saja tak boleh menjadikan kita berlaku tidak adil. Tak ada urusan dengan kata sapaan Abi –Ummi, janggut dan peci, jika ia terbukti bersalah ia  patut dijatuhi sanksi dan tak boleh dimenangkan. Dalam sejarah Islam, jangankan yang berjanggut dan berpeci, Khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib bahkan pernah dikalahkan dalam sidang, dalam kapasitasnya sebagai pendakwa baju zirah waktu itu.

Sebagian pihak menduga perkara broadcast frasa “Abi-Ummi” dan keluarga nan Islami Bambang Widjojanto yang beredar belakangan adalah upaya untuk menyeret aktivis sosmed PKS agar ikut turun meramaikan lapangan pertandingan cicak vs buaya jilid II itu. Sebagaimana kita tahu kader PKS termasuk segmen masyarakat paling aktif di sosmed. Bahkan, demikian ramainya aktivis partai dakwah itu di media sosial, mereka memiliki kekuataan merubah paradigma para netizen dalam isu-isu aktual via broadcast. Dengan memunculkan pesan berantai “Abi-Ummi” itu diharapkan aktivis PKS terjun membantu #saveKPK lantaran frasa itu relatif akrab di kalangan kader PKS.
Tapi rupanya tidak. Kader PKS bergeming. Mereka tidak terlibat dalam dukung mendukung KPK atau Polri. Hal ini mungkin karena kader PKS punya pengalaman tak menyenangkan dengan KPK sejak penggeledehan kantor mereka oleh lembaga anti rasuah itu lantaran kasus impor sapi. Pun dengan vonis maksimal kepada Luthfie Hassan Ishaq (LHI), Presiden PKS, yang bahkan tidak merugikan negara meski hanya 100 rupiah, uang dari Fathanah tidak sampai ke tangannya, pun Fathanah mengakui uang yang diterimanya saat penangkapan itu bukan untuk LHI. Tapi apa lacur, dengan segala kejanggalan kasus itu, LHI sudah dihukum maksimal untuk kesalahan yang tak ia lakukan. KPK melakukan festivalisasi kasus ini dengan menggiring opini publik pada hal-hal yang tidak relevan dengan kasus, sehingga PKS disidang oleh persepsi publik sementara fakta persidangan sangat lemah. Jika penuntut melakukan festivalisasi dan mengangkat sisi-sisi personal terdakwa yag tak berkaitan dengan kasus, itu artinya kasus tersebut memang lemah!

Aku ingin menonton saja
KPK memang penting, sebagaimana Polri juga merupakan lembaga yang penting. Tetapi penting pula  untuk meletakan orang-orang bersih di sana. Orang yang independen, fokus pada penegakan hukum, pemberantasan korupsi, bukan atas pesanan sebagian pihak. Ingat kasus Anas, ia ditersangkakan oleh KPK hanya beberapa hari setelah presiden menanyakan bagaimana status mantan ketua HMI itu, sebelumnya Anas tak berstatus apa pun dalam kasus Nazaruddin. Harap kita ingat pula apa yang diungkapkan oleh plt.Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bahwa ketua KPK Abraham Samad pernah bertemu dengannya dengan mengenakan masker dan topi untuk menghindari publik. Tak ada yang salah jika ia ingin jadi wakil presdien waktu itu, tetapi kepentingan politik ini rawan dengan “politik balas dendam” jika ia gagal melaju sebagai cawapres, persis seperti yang ditudingkan oleh Hasto.
Bukankah Abraham Samad yang terburu-buru pulang lebih awal sebagai narasumber sebuah kuliah Umum di Universitas Gajah Mada, kemudian bertemu Jokowi secara “tak sengaja” di ruang VIP Bandara Adi Soetjipto, Yogyakarta?

Sebagai rakyat kecil, saya tak ingin mendukung Polri atau pun KPK, siapapun yang bersalah harus dijatuhi sanksi sesuai undang-undang. Saya tak ingin dukung Polri atau KPK, saya hanya ingin mendukung kebenaran!
Salam