Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Kamis, 20 November 2014

Nasaruddin Umar yang Saya Kenal






Prolog
Dua hari belakangan, beredar broadcast  di dunia maya mengenai kunjungan mantan Wakil Menteri Agama, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, ke negeri para mullah, Iran. Kunjungan itu kemudian dikaitkan dengan perhelatan muktamar sebuah ormas Syiah, Ahlul Bait Indonesia, yang kebetulan digelar di Auditorium H.M. Rasjidi, Gd. Kementerian Agama, Jakarta, Jumat (14/11).

Broadcast itu diakhiri dengan kesedihan atas ketidakpedulian umat atas kehancuran agama. Singkatnya, isi broadcast tersebut seperti ingin menunjukkan bahwa ada talian sistematis antara kunjungan Prof.Nasar ke Iran dengan Muktamar Syiah di Kemenag sebagai sebuah kebangkitan syiah di Indonesia dan ketidakpedulian umat Islam atas hancurnya agama.

Karena membawa tendensi agama, pesan  viral itu menyebar demikian cepat. Bahkan, di “handphone layak pakai” saya, pesan serupa menyebar di sejumlah grup whatsapp. Sebagian meminta klarifikasi, sebagian menuding, lainnya menjapri saya utk meminta penjelasan.


Dua Hal Berbeda

Tulisan ini saya buat untuk semua rekan dari kelompok manapun, baik yang (barangkali) membela syiah, maupun menentangnya.  Saya ingin mengatakan begini, 

Pertama, Muktamar Ahlul Bait Indonesia (ABI) di Gd.Kemenag itu tidak ada kaitannya dengan kunjungan Prof.Nasar ke Iran. Kegiatan ABI tersebut adalah kegiatan insidental, sementara jadwal perjalanan Prof.Nasar ke Iran sudah diagendakan jauh2 hari. Itu dua hal  yang tidak saling berkaitan.

Kedua, terkait acara penganut syiah di Kemenag, perlu diketahui bahwa Kementerian Agama memang mengakomodasi semua agama dan aliran kepercayaan. Tugas Kementerian Agama adalah menjaga kerukunan intra dan inter penganut agama2. Untuk itulah regulasi2 mengenai kehidupan keberagamaan ditelurkan guna memfasilitasi dan menjaga keharmonian dan kerukunan antar umat beragama. Selain penganut syi’ah, penganut Baha’i, Konghucu, Islam wetutelu, Kristen, Hindu, Buddha, Rahayu, dll., merupakan warga yang berkepentingan dengan Kemenag. Urusan pinjam meminjam tempat tidak mesti diangap sebagai justifikasi, terkadang alasannya bersifat teknis karena ruangan yang dianggap representatif, seperti penggunaan auditorium Kemenag pada "Sidang Kode Etik Pemilu" lalu, atau alasan2 lain dimana Kemenag sebagai pemerintah perlu memberikan fasilitas bagi warga negara.

Ketiga, perjalanan Prof.Nasar ke Iran adalah sebagai peserta aktif sekaligus menjadi narasumber dalam Konferensi Thabataba’i. Bagi para cendekiawan, menjadi narasumber dalam dialog lintas agama atau madzhab adalah hal yang sangat lazim. Jika rekan-rekan sempat berkunjung ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau kampus2 Islam lain, maka dialog antar madzhab atau agama merupakan hal yang tidak sulit dijumpai. Prof.Nasaruddin Umar dan Prof. Din Syamsuddin adalah dua dari sekian tokoh yang  rutin menjadi narasumber dalam international interfaith dialogue di sejumlah negara.

Keempat, selain ke Iran, beliau juga kerap menjadi narasumber di negara2 lain, seperti Turki, Amerika, Negara2 Eropa, dan seterusnya. Saat ini (20/11) beliau sedang berada di Mesir, apakah akan diisukan pula bahwa kunjungan itu merupakan dukungan Prof.Nasar terhadap rezim kudeta As-Sissy? Beberapa waktu lalu beliau lakukan kunjungan ke Hongkong, menjadi tamu kehormatan Master Chin Kung, apakah akan dikatakan pula  bahwa beliau adalah pendukung  salahsatu aliran Agama Buddha tersebut? Tentu saja tidak. Hanya saja, sebagian orang yang memosisikan dirinya sebagai “analis” terkadang mengaitkan dua hal tak relevan seolah2 saling berkaitan. Rekan tentu tahu bagaimana cara pengamat mengait2kan hal yang tidak relevan menjadi nampak saling berkait.

Kelima, Prof.Nasar saat ini bukan lagi Wakil Menteri Agama. Kapasitas Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu dalam kunjungan ke Iran hanyalah sebagai cendekiawan. Oleh karena itu mengaitkan Muktamar Ahlul Bait Indonesia di Kemenag dengan kunjungan beliau sebagai akademisi yang tidak punya otoritas apa2 lagi di Kemenag adalah pandangan yang terlalu dipaksakan.  


Nasaruddin Umar yang Saya Kenal

Perlu sahabat sekalian ketahui,  Prof. Nasaruddin Umar terlibat sangat aktif dalam berbagai kegiatan dakwah Islam. Saya seringkali mendampingi beliau dalam berbagai acara, bahkan saya makan di rumah beliau, juga kerap ditawarkan menginap di rumahnya jika pulang terlalu malam.

Selama di mobil sepanjang perjalanan untuk mengisi ceramah atau agenda2 di berbagai tempat, rutinitas pimpinan pondok pesantren al –Ikhlash di Bone, Sulawesi Selatan, dan Kendari, Sulawesi Tenggara, itu hanya hanya empat:

Membaca al-Quran sepanjang perjalanan dengan mushaf ukuran saku, mendengarkan murattal As-Sudais di TV mobil, berdizkir sambil memilin biji2 tasbih (ada sekitar tiga untai tasbih di mobil), atau menerima telepon. Kitab2 turats di rumahnya lengkap dari berbagai golongan dan madzhab menjadikan pemikiran beliau amat kaya. Belum lagi kitab2 kontemporer.


        
(Satu Sisi Kamar Prof. Nasar yang dipenuhi kitab2 berbahasa Arab)




Saya ingin gambarkan Rutinitas keseharian beliau seperti ini:

Beliau bangun sekira pkl 02.00 untuk shalat tahajjud, dan hanya tidur tiga jam setiap harinya. Selepas Shalat Tahajjud menjelang Shubuh, ia sempatkan menulis sekitar 10 halaman di kamar depan yang dindingnya tak terlihat karena dipenuhi buku. Jika sedang  bermalam di kediaman, beliau selalu memipin Shalat Shubuh yang dilanjutkan dengan Kultum Shubuh di Masjid Baitul Makmur, 500m dari kediamannya di Ampera, Jakarta Selatan.

Jamaah kajian rutinnya di Masjid Sunda Kelapa ribuan orang setiap Senin dan Kamis malam. Belum lagi jamaahnya di Masjid at-Tin, Jakarta Timur, Masjid Raya Bintaro, Masjid Bintaro Jaya, dan sejumlah masjid lain.

Beliau adalah sosok yg sangat sabar. Tidak banyak bicara. Jika tidak menyukai sesuatu beliau diam sehingga kami tahu jika beliau sedang tidak berkenan terhadap sesuatu. Satu hal yang perlu sahabat ketahui, beliau senantiasa shaum Senin Kamis sekalipun dalam perjalanan yg sangat jauh, ke Eropa, misalnya.

Sebagai atasan, beliau selalu menasihati kami agar selalu membiasakan shalat berjamaah, jangan sampai menomorduakan Shalat hanya karena pekerjaan, begitu selalu. Beliau yang juga menjabat sebagai Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran itu juga selalu  menyeru kami untuk dekat kepada al-Quran, mendirikan shalat malam, dan juga merutinkan shaum Senin Kamis.

Pernah dalam sebuah kesempatan ceramah, beliau bilang: "saya disebut2 sebagai bagian dari Jaringan Islam Liberal (JIL), padahal saya sama sekali tak punya kaitan dengan kelompok tsb".

Tapi beliau tak pernah memusingkan hal yg remeh. Biarkan tudingan itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Doktor terbaik UIN Jakarta  yang masuk dalam 500 Most Influental Muslims in the World itu tak pernah fikirkan pandangan manusia terhadap dirinya.

Dalam beberapa kesempatan saya mendengarkan ceramah beliau, seringkali mengkritik JIL yg dianggapnya terlalu berfikir bebas. Belum lama, di hadapan enam ribuan mahasiswa IAIN Palembang beliau ulang kembali, bahwa umat ini lemah karena terpecah, dan beliau tak  bersetuju dengan liberalisme dalam pemikiran Islam. Katanya, Islam lemah karena terpecah dalam titik2 ekstrem. Baik yang liberal maupun yang jumud dalam memahami agama.




 
                          (sisi lain kamar depan rumah beliau yang dipenuh buku)


Rekan2, perlu diketahui bahwa beliau memang ulama tasawuf, dan tidak banyak orang memahami alur berfikir kalangan sufi. Orang yg tak memahaminya kerap menuding sesat tanpa landasan yg kokoh. Padahal ia dekat dengan seluruh ulama. Baik dengan Ulama Timur Tengah seperti Wahbah Zuhaili, Yusuf al Qaradhawy, dst.. maupun ulama Nusantara.



Apakah rekan2 cinta kepada KH.Ali Mustafa Yaqub, KH.Hasyim Muzadi, ust.Hidayat Nurwahid, KH.Syukran Makmun, jika iya, saya ingin sampaikan beliau seringkali bertemu mereka, mereka sangat akrab dan kerap berbicara dalam forum2 keagamaan, atau dalam undangan2 di kedutaan negara timur tengah. Belum lama beliau juga menerima dengan akrab ketua LPPI, Ustadz Amin Djamaluddin, yang dikenal cukup keras. Demikian pula dengan Pelajar Islam Indonesia, Syarikat Islam, dll. Bahkan, Ormas Gerakan Reformis Islam yang dikenal “keras” (mohon perhatikan tanda kutip) pun bertamu kepada beliau.

Beliau adalah sosok sahaja yg sangat cinta kepada ulama. Pernah dalam satu agenda yg berbenturan, beliau amat berat meninggalkan acara bersama ulama2 sepuh di Jawa Tengah karena berbenturan dengan agenda kedinasan.

Beliau yg merendah mengatakan: "para ulama, para sesepuh, bimbinglah kami yg dhaif ini", padahal siapa yg meragukan kapasitas keilmuan beliau yg oleh ketua Umum MUI, Prof.  Din Syamsuddin disebut "sangat paham agama"?

Dalam sebuah acara di Madinah, beliau diundang sebagai tamu kehormatan kerajaan karena keimuannya di mata ulama dan penguasa Saudi, beliau juga mendapat secara khusus potongan kain Kiswah dari Pemerintah Arab sebagai sebentuk ihtiram.

Apakah antum cinta kepada Ust.Amir Faishal Fath dan Ust.Adian Husaini, saya menjadi saksi betapa beliau dihormati oleh ust.Amir, berpelukan ketika bertemu dan saling bertanya kabar dalam bahasa arab. Beliau juga acap dijadwalkan sebagai  penceramah bareng dengan ustadz Firanda Andirja di Masjid Kementerian Pertanian, bersama Ust.Syafiq Riza Basalamah.





                                                   Menerima Penghargaan dari Presiden SBY

Dengan Ust.Adian Husaini juga tak berbeda. Kedua tokoh itu terlibat sebagai juri pada perhelatan Islamic Book Fair 2014. Mantan Dirjen Bimas Islam itu memang selalu menjadi Dewan Pembina IBF dari tahun ke tahun. Sebuah pagelaran yang sangat bermanfaat dan dinanti2kan ummat termasuk kalangan aktivis Islam, yg ironisnya karena ketidaktahuan kerap menstigmatisasi beliau sebagai bagian dari kelompok JIL. Padahal waktu2 beliau terpakai untuk rapat demi rapat IBF. Beliau juga merupakan penggagas dan kontibutor pembangunan Masjid Ground Zero, bekas reruntuhan menara WTC di Amerika sana. 

Beliaulah yang berdarah2 memperjuangkan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) sejak masih menjabat Dirjen Bimas Islam, sebuah RUU yang pembahasannya sangat panjang dan alot bahkan sampai menghabiskan dua kali masa sidang. Ada baiknya rekan2 ketahui, satu hari sebelum RUU JPH itu diundangkan, tak seperti biasa beliau terlihat sangat gelisah di kantor karena mendengar ada upaya penjegalan lagi terhadap UU yang melindungi ratusan juta umat Islam itu. Penebar Broadcast kemarin sudah melakukan apa?

Jika kebencian dan apriori sudah menguasai hati, maka celah sekecil apapun yang bisa dimanfaatkan untuk ditebar sembari merasa telah membela agama. Padahal ia tak tahu hal tersebut bisa menjadi sandunganbaginya di akhirat kelak.

Beliau pula yang berjuang sangat keras untuk diundangakannya UU Perbankan Syariah, hingga pulang demikian larut malam dan lelah, demi payung hukum bernama UU yang melindungi kehidupan ekonomi ummat atas dasar Islam itu. Saat ini pun beliau masih aktif dalam Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS), dan  masih aktif sebagai narasumber dalam kajian2 yang diadakan oleh MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Selain itu beliau juga duduk sebagai Dewan di BAZNAS dan Badan Wakaf Indonesia.



Akankah perjuangan yang sedemikian rupa akan dilakukan oleh orang2 JIL yang acapkali nyinyir terhadap segala sesuatu yang berbau syariah? 


( Bersama puluhan ribu anggota komunitas One Day One Juz)


Selain itu...
Beliau sebetulnya mendapatkan fasilitas rumah dinas, tapi beliau tidak mau mengisi rumah dinas itu karena, sebagaimana disampaikan pada kami dalam sebuah obrolan, beliau khawatir ada aset negara digunakan utk kepentingan pribadi. Baginya, lebih baik rumah pribadinya yg digunakan untuk kepentingan negara. Rumah Dinas itu pun akhirnya digunakan oleh seorang pejabat eselon satu di Kemenag.

Saat pengarahan rutin bulanan kepada para staff, beliau katakan: "jika waktu makan siang, jangan terlalu menyediakan makanan yg mewah. Saya ini santri. Cukup makanan sederhana saja." Bahkan pernah beliau makan nasi kotak di dalam mobil ketika hendak ke istana. Sebuah episode langka yg sangat jarang kita dapati di kalangan para pejabat.

Rekan2, percayalah hanya orang besar yg bisa menghormati orang besar. Jangankan seorang Nasaruddin Umar, Yusuf Qaradhawy saja disebut sebagai agen Islam liberal oleh Charles Kurzman, silakan rekan2 baca bukunya "Liberal Islam" yg tebal itu dan lihat pada urutan berapa Qardhawy disebut sebagai ulama Islam liberal.

Sahabat sekalian, orang2 besar tak pernah tanggapi berlebihan tudingan2 thd mereka. Bukan karena sesuai dengan apa yang dituduhkan, tetapi karena tugas mereka terlalu banyak dari sekadar menanggapi hal2 yg remeh temeh.  Ummat yg punya bashirah yg akan memahaminya.

Bukankah yg nyaring bunyinya adalah tong yang kosong, yg hanya krn membaca buku "50 tokoh Islam liberal di indonesia" lantas menjadikan buku itu selayak 'kitab suci', lalu merasa sudah bisa memvonis seorang ulama yg waktunya dihabiskan utk khidmat kpd ummat. Yang hanya karena membaca wawancara di islib.com sertamerta menuding tokoh ini JIL tokoh itu JIL?

Mereka merasa sudah menyelam ke lautan dalam, padahal sebetulnya mereka masihlah di tepian pantai. Uang receh memang berisik bunyinya.

Biarkan saya yg menjelaskan, karena saya yg punya waktu lebih banyak. Beliau bukan lagi Wakil Menteri, sehingga rekan2 tak perlu ragu akan ketulusan saya menulis artikel ini. Sementara Prof.Nasaruddin waktunya terlalu sibuk. Senin dan kamis malam beliau mengisi pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa. Beberapa waktu di Jumat malam mengisi kajian Tanwirul Qulub di kantor Kemenag. Tiap Ahad Shubuh beliau rutin kajian Shubuh di Masjid Bintaro, Sabtu pekan kedua ceramah di Masjid at-Tin dan PW Muslimat NU DKI. Belum lagi ceramah2 rutin lain di sekolah2, kampus, masjid pasar, hingga majlis taklim kaum ibu. Selama ada waktu masih tersisa beliau tak pernah bedakan jamaah kaum elit maupun pengajian di kampung2. Dan beliau tak pernah tanyakan honor ceramah, karena sebagaimana yg beliau sering katakan, dirinya sudah ia wakafkan untuk umat. Tulisan2 tasawufnya di media massa bahkan tanpa bayaran sebab beliau ikhlaskan utk pegawai yang bekerja di perusahaan media itu.



Satu hari ust.Yusuf Mansur melihat Prof.Nasar di bandara, lalu segeralah ust.YM bergegas menghampiri, ucapkan salam dan dan merendah selayaknya santri kpd kyai. pertanyaannya: "Apakah mungkin seorang Ust.YM berlaku sedemikian kepada seorang tokoh Liberal?"


Ust.Arifin Ilham pernah meminta Prof.Nasar utk sampaikan taushiyah bagi ribuan jamaah dzikir rutin bulanan adz Dzikra di Sentul. Saya sendiri yg mengonfirmasi utk make sure waktu dan tempat ke ust.Arifin Ilham. Apakah tega kita katakan: "ust.Arifin Ilham pernah meminta tokoh Liberal agar memberi nasihat kepada ribuan umat Islam di jamaah dzikirnya?

Tentu saja tidak.. Baik ust.YM maupun Ust.Arifin, tahu bahwa beliau bukan tokoh liberal. Maka beliau berdua simpan ihtiram kpd Prof.Nasar

 
Rekan2  kenal Prof.Dr.KH.Didin Hafidhuddin? Prof.Nasaruddin Umar bersahabat dekat dengan ulama Bogor tsb. Bersama Ketua MUI KH.Ma'ruf Amin, kedua tokoh itu duduk bersama sebagai Dewan Pembina Lembaga Training ESQ 165

Sedemikian dekatnya, sampai2 Ketua Umum Baznas itu jauh2 hari meminta Prof. Nasaruddin Umar agar berkenan menyampaikan  taushiyah pada pernikahan putri beliau. Mungkinkah  seorang Pimpinan Pondok  Pesantren Ulul Albaab Bogor, KH.Didin Hafidhuddin, mantan calon presiden Partai Keadilan, meminta seorang tokoh JIL utk menyampaikan taushiyah pada pernikahan putri tercintanya?

Mungkinkah Ketua MUI, KH.Ma’ruf Amin yg menfatwakan sesat atas liberalisme Islam duduk satu meja dalam sebuah Dewan Pembina dengan Prof.Nasaruddin Umar seandainya beliau adalah tokoh JIL?

Sahabat, kita boleh berbeda pemikiran dalam berislam, tapi jangan mudah menuding. Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali juga berdebat soal agama, tapi sama sekali tak mengurangi nama besar mereka di hadapan ummat.

Imam Bukhari bahkan tak meriwayatkan satu pun hadits dari Imam Syafi'i karena dipandang tak penuhi syarat. Tapi keduanya tetap besar di mata ummat.

Syaikh bin baz pernah berdebat dg Syaikh Alwi al-Maliki tapi keduanya tetaplah ulama..

Lalu siapa kita di antara mutiara dan lautan ilmu mereka2?

Kebanyakan kita adalah para Thalib yg dhaif. Selayaknya kita merendah hati, membeningkan jiwa. Bahwa perbedaan pandangan di kalangan para ulama adalah lumrah dari zaman ke zaman. Kita memang tak perlu selalu sependapat dengan seorang ulama, tapi bukan berarti hal tersebut membolehkan kita berlaku lancang kepada mereka.

Mari buka mata, buka hati, hikmah itu tersebar dan terhampar dimana2.. alhikmatu dallatul mukmin.. fa aina wajadaha, fa hua ahaqqu biha..

Wallahu a'lam 
twitter: @mistersigit
Staf Wakil Menteri Agama RI













Rabu, 19 November 2014

Laporan Kegiatan Bas Belia MABIMS 2014

 
Prolog

Tanggal 22 hingga 28 Oktober lalu, saya ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perhelatan Bas Belia MABIMS 2014 yang berlangsung dari Kota Pahlawan, Surabaya, hingga berakhir di Pulau Dewata, Bali. Acara ini adalah program tahunan kerjasama empat negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki Kementerian Agama. Mabims sendiri, adalah akronim dari Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.


Program Bas Belia Mabims ditujukan sebagai sarana perekat persaudaraan di kalangan pemuda empat negara serumpun yang “kebetulan” memiliki akar  budaya yang serupa meski tak sama: yakni berakar pada budaya Melayu. Saya sebut “kebetulan” karena jika Timor Leste, misalnya, memiliki Kementerian Agama, tentu akar budaya Bas Belia MABIMS jadi tak serupa. 


Tahun 2014 adalah giliran Indonesia menjadi tuan rumah setelah tahun lalu kegiatan yang sama digelar di Malaysia. Sebagai tuan rumah, banyak hal yang saya sampaikan pada rekan-rekan mengenai Indonesia, baik secara sosial, budaya, hingga toleransi agama.

Menyusuri Khazanah Islam di Pesisir Jawa

Sesuai namanya, ‘Bas Belia’ yang berarti ‘Bis Anak-anak Muda’, perjalanan ini terutama ditopang oleh mobil bis yang mengantar seluruh peserta sejak dari Surabaya hingga Denpasar melalui jalur darat dan selat Bali. Seluruh delegasi –masing-masing sepuluh orang dari Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura, dan dua belas dari Indonesia—diajak untuk menyusuri kekayaan khazanah Islam di pesisir Jawa, yang secara sosio-kultural memiliki perbedaan dengan model Islam di pedalaman.


Dalam kerangka itu, selain mengunjungi sejumlah masjid dan madrasah, kami diantar menuju pondok-pondok pesantren ternama di Jawa Timur, mula dari Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Surabaya, Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah, Situbondo, Pondok Pesantren Darussalam, Banyuwangi, hingga Pondok Pesantren di daerah minoritas Muslim, yakni Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Denpasar.


Yang kemudian menumbuhkan keinsafan di dalam diri adalah, apa yang kami lihat di pesantren tersebut nampak berbanding terbalik dengan citra lembaga pesantren yang acap digambarkan tertinggal, kolot, dan ketinggalan zaman. Yang nampak justru sebaliknya, kami disuguhi deretan prestasi pondok pesantren yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan umum. Banyak sekali alumni pondok pesantren tersebut yang melanjutkan pendidikan ke universitas favorit baik dalam maupun luar negeri. Bahkan, sejatinya pesantren justru memiliki nilai lebih, karena selain menerima mata pelajaran umum, para santri dididik dengan materi keagamaan yang sangat memadai sehingga worldview yang tertanam dalam benak mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tetap dibingkai dalam pagar islami, sebuah doktrin yang tidak bisa dilepaskan oleh para santri, sejauh apapun mereka mengembara selepas dari pesantren itu.


Pihak panitia bukan tanpa sebab mengajak kami menyusui khazanah Islam pesisir. Sebagaimana disampaikan dalam sambutan acara, program Bas Belia Mabims yang menyusur garis pantai utara Jawa Timur hingga Bali adalah untuk memperkenalkan para peserta pada corak keislaman model pesisir. Sejumlah studi memang memberitahu kita, bahwa corak Islam Pesisir dan Islam Pedalaman memiliki sejumlah perbedaan, bahkan pada masa lalu, perbedaan ini tak jarang berimplikasi negatif berupa konflik antar kerajaan.


Sebuah studi yang ditulis oleh Mudjahirin Thohir (2006) berjudul Orang-Orang Islam Jawa Pesisiran misalnya, menggambarkan bahwa masyarakat pesisir (yakni penduduk yang tinggal di wilayah garis pantai), memiliki kepribadian yang lebih terbuka, lugas, dan egaliter. Masyarakat pesisir secara geopolitik juga jauh dari kerajan di pedalaman yang feodal, namun justru dekat dalam hal perniagaan dengan pedagang-pedagang mancanegara semisal dari Timur Tengah, Tiongkok, India, dan seterusnya. Interaksi ini juga memengaruhi bagaimana mereka menerima Islam, termasuk kemudian, pada bagaimana mereka bertindak dalam nafas keislamannya yang khas.


Berbeda dengan corak Islam pesisir, model Islam pedalaman secara antropologis dipandang lebih tertutup, juga lebih menekankan pada kerukunan dan keselarasan sebagaimana kita kenal dalam falsafah-falsafah Jawa seumpama gemah ripah loh djinawi tata tengtrem kerta rahardja, dan sebagainya (Franz Magnes: 2003). Corak seperti ini, dalam hal tertentu, dipandang sebagai hambatan bagi demokratisasi yang memestikan egalitarianisme pada seluruh rakyat. 


 
Untuk melihat satu corak keberislaman di tanah Jawa itulah kemudian seluruh peserta diajak berkunjung ke pusat-pusat pendidikan Islam tradisional di daerah pesisir sebagaimana disebutkan di muka. Adapun model Islam pedalaman pernah disusuri oleh senior kami pada Program Bas Belia Mabims tiga tahun lalu yang juga digelar di Indonesia. Dalam kegiatan yang serupa dengan “rihlah edukatif” ini, antusiasme peserta terlihat demikian besar, terutama ketika mengunjungi pesantren. Seorang sahabat dari Singapura di sebelah saya berdecak kagum melihat ribuan santri yang berkumpul menyambut kedatangan delegasi, dan semakin kagum ketika diinformasikan bahwa jumlah santri di pondok pesantren tersebut mencapai dua belas ribu orang. Tentu ini sebuah angka yang sangat besar jika dibandingkan populasi umat Islam di Singapura.


Saya menyampaikan kepadanya bahwa model pendidikan a la pesantren semacam ini telah berlangsung berabad-abad lamanya di Indonesia, ribuan santri itulah, yang nanti akan kembali ke kampung halaman masing-masing untuk menjadi guru ngaji, ustadz, imam masjid, di seluruh penjuru Nusantara. Secara umum, mereka akan dihormati di kampung masing-masing karena dipandang telah memiliki ilmu agama yang baik. Saya katakan, “insya Allah, Islam di Indonesia akan tetap berjaya selama masih ada ribuan santri yang tekun mempelajari agama seperti yang saat ini kita lihat”. Matanya terlihat berbinar waktu itu.



Belajar Toleransi dari Bali

Hal yang tak kalah menarik adalah ketika seluruh peserta diajak ke pusat studi Islam di Bali, juga mengikuti seminar bertajuk “Titik Temu Islam dan Budaya Bali”, tema yang menarik mengingat Bali merupakan sebuah “pulau minoritas Muslim”. Penganut agama Islam di Bali adalah minoritas terbesar yakni 520.244 jiwa atau 13,37% dari total penduduk Bali. Sementara lebih dari tiga juta lainnya beragama Hindu.


Sebuah pelajaran penting yang dapat diambil dari kunjungan ke Bali adalah toleransi agama yang patut menjadi pelajaran bagi daerah lain di Indonesia. Dalam seminar yang menghadirkan narasumber dari tokoh Islam dan Hindu itu, kami mengetahui bahwa di Bali, umat Islam dan Hindu saling menghormati dan bertoleransi tanpa perlu mencampuradukan akidah. Umat Hindu tidak melarang pemeluk agama Islam untuk shalat Jumat, mengumandangkan adzan, keluar rumah, menyalakan lampu, dan sebagainya ketika Hari Raya Nyepi jatuh pada hari Jumat, misalnya. Sebaliknya, Umat Islam menghormati pemeluk Hindu yang sedang melakukan Tapa Brata pada Hari Raya Nyepi itu dengan tidak membunyikan speaker ketika adzan atau khutbah, atau tetap menyalakan lampu kamar namun dibuat sedemikian rupa supaya tak nampak dari luar rumah dengan tujuan agar tak ada penganut agama Hindu yang merasa tersinggung. Hal ini demi menjaga perasaan dan kerukunan sesama pemeluk agama.


Ketika tiba hari Galungan dan Kuningan, umat Hindu merayakannya dengan mengirimkan “hantaran makanan” kepada tetangganya yang Muslim, dan diyakini memenuhi syarat halal  bagi umat Islam. Pun ketika tiba Hari Raya Lebaran atau Idul Adha, umat Islam merayakan kebahagiaan dengan memberikan “hantaran makanan” yang disebut dengan ngejot kepada tetangganya yang beragama Hindu. Bahkan, pada hari Raya Idul Fitri, umat Hindu ikut “memasak lebih banyak” dan mengenakan baju baru selayaknya umat Islam berhari raya. Nilai luhur yang dipahami disini, sebagaimana disampaikan Narasumber I Nyoman Arya, Kepala Kankemenag Kabupaten Badung, adalah bagaimana umat Islam dan Hindu di Bali bisa memisahkan mana ranah akidah, dan mana ranah budaya yang termasuk kategori muamalah, sehingga toleransi dapat berjalan harmonis, kerukunan tetap terjaga, tradisi tetap lestari tanpa harus mencampuradukan akidah dari dua agama berbeda.


Toleransi paling dramatis yang saya dengar dari I Ketut Arya adalah bagaimana tokoh-tokoh agama Hindu dan Islam di Bali melakukan musyawarah pasca peristiwa Bom Bali dimana pelakunya membawa identitas agama. Saat itu, para tokoh agama Islam dan Hindu kemudian bersepakat bahwa aksi bom tersebut bukan merupakan ajaran agama. Kemudian, untuk menghindari aksi intoleransi antar umat beragama, tetua-tetua adat memerintahkan para pecalang (polisi adat Bali), untuk menjaga kampung-kampung Islam dan rumah-rumah umat Muslim agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini adalah sebentuk toleransi yang luar biasa.


Di Bali sendiri ada sejumlah kampung dimana Umat Islam menjadi mayoritas, terutama di Loloan, kemudian di Kecamatan Karangasem (11.729 jiwa),  kecamatan Bebandem (4.438 jiwa), dan lain-lain. Bahkan, di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara, yang berpenduduk 4.821 jiwa, penggunaan nama khas Bali seperti seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua); Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga); dan Ketut (anak keempat), tetap melekat pada pemeluk agama Islam sekalipun di belakang nama mereka acap menggunakan nama Arab yang dipandang sebagai identitas Islam. 


Penduduk Pegayaman adalah penduduk asli Bali, bukan pendatang. Tidak ada perbedaan mencolok dalam kehidupan sosial di antara dua penganut agama tersebut kecuali tidak adanya padmasana  di sudut depan rumah sebagaimana lazimnya pemeluk Hindu di Bali. 


Islam di Bali memang sudah masuk berabad silam sejak zaman Raja Gelgel pada abad XIV, juga zaman Raja Panji Sakti (abad XV) di Buleleng yang mendapatkan hadiah 80 orang prajurit Muslim dari Jawa  untuk menjaga kerajaannya dari serangan pasukan dari Selatan Bali.


Mensyukuri Indonesia
Dalam kegiatan yang berlangsung selama satu pekan itu, kami banyak berbincang mengenai negara masing-masing. Tentu, setiap negara memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Dalam diskusi mengenai pendidikan, kesehatan, perkembangan ekonomi, dan seterusnya di antara empat negara itu, saya memahami bahwa di antara kita boleh berbangga dengan negara masing-masing. Tak terkecuali Indonesia.


Dalam framing kegiatan Bas Belia Mabims bersama sahabat dari Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura itu, kesyukuran saya menjadi orang Indonesia salah satunya karena ia merupakan negara terluas di antara negara peserta lain.


Jika hanya diukur dari luas daratannya saja, Indonesia berada di peringkat 15 negara terluas di dunia. Namun jika diukur dengan luas lautnya, maka total luas wilayah Indonesia adalah 7.9 juta km² yang terdiri dari 1.8 juta km² wilayah daratan dan 3.2 juta km² wilayah laut territorial, serta 2.9 juta km² laut perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Itu adalah wilayah yang sangat luas. 


Untuk mengetahui betapa luasnya Indonesia, kita bisa simulasikan, misalnya jika kita tumpangkan peta Indonesia di atas peta China, maka ia akan membentang dari China Barat hingga ke Kepulauan Jepang. Jika peta Indonesia itu ditumpangkan di atas peta India, maka luas Indonesia akan membentang mulai dari Pakistan di Barat hingga ke laut China Selatan di timur. Negara Indonesia yang membentang dari 6˚08΄ LU hingga 11˚15΄ LS, dan dari 94˚45΄ BT hingga 141˚05΄ BT adalah negara yang sangat luas. Wilayah Indonesia dengan lautnya, hampir sama dengan luas benua Eropa atau dengan luas Amerika Serikat dan Australia. Sebuah wilayah yang setara dengan jarak dari Inggris di Barat Eropa hingga ke Laut Kaspia di Asia Tengah.


Pun dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia (dalam konteks acara Mabims yang concern pada dakwah Islam), estimasi populasi umat Islam Indonesia pada 2013, berdasarkan survey BPS tahun 2010, adalah sekitar 230 juta jiwa. Ketika saya menghitung jumlah penduduk negara-negara Arab melalui data di laman wikipedia, rupanya angka 230 juta ini lebih besar daripada jumlah seluruh penduduk Timur Tengah apabila disatukan, dengan mengecualikan negara Afrika Utara selain Mesir. Selain sebagai tantangan, jumlah ini tentu merupakan sumber daya yang sangat besar sekiranya mampu diberdayakan secara baik. Kekayaan dan luas wilayah Indonesia adalah anugerah yang demikian besar. Dengan pengelolaan yang benar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang juga baik, saya optimis di masa depan, negara kita akan tumbuh menjadi bangsa yang besar.


Dan tentu saja, hal lain yang saya syukuri “menjadi Indonesia”, adalah alam politik Indonesia yang lebih demokratis. Dalam hal ini, Indonesia bisa kita sebut sebagai negara paling demokratis di Asia Tenggara, bahkan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Demokrasi memang tidak menjanjikan kekayaan sekalipun ia kita perlukan, tetapi demokrasi menjamin kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi memberikan jaminan kepada kita untuk bebas bicara secara bertangungjawab, demokrasi memberikan kepada kita hak politik yang adil dan setara. Hal yang sulit kita temukan di negara selainnya.


Epilog

Tentu saja, kecintaan kepada Indonesia itu tidak mengurangi rasa hormat dan kecintaan kepada sahabat dari negara serumpun. Bagaimanapun, interaksi yang hanya satu pekan itu telah memberikan kesan yang mendalam. Hal ini karena persaudaraan sesama manusia, terlebih sesama Muslim, tidak mengenal batas negara. Keakraban yang terjalin di atas diskusi dan canda bersama rekan-rekan dari negara serumpun adalah hal yang tak akan mungkin –dan tentu saja tak ingin—kami lupakan. 


Apa yang kerap muncul di sosial media mengenai “permusuhan” sesama negara serumpun adalah hal yang tidak diperlukan. Yang perlu kita bangun adalah persahabatan antar negara untuk kehidupan dan peradaban yang lebih baik.


Itu sebabnya sekalipun Program Bas Belia Mabims 2014 telah selesai, interaksi di antara kami di dunia maya melalui facebook dan whatsapp masih terjalin untuk saling bertukar informasi mengenai perkembangan banyak hal di negara masing-masing. Menutup artikel sederhana ini, saya ingin sampaikan pantun yang rupanya telah menjadi trade mark  dalam Program Bas Belia Mabims.


Pergi ke hutan melihat rusa
Rusa bersedih sebatang kara
Salam dari kami wakil Indonesia,
Ingat-ingatlah, kita semua bersaudara.

Pesulap berucap ‘sim salabim’
Tongkat diubah menjadi dupa,
Senang hati ikut Bas Belia Mabims
Kenangan bersamamu, takkan kulupa

Ke Bekasi membeli Minyak
Terimakasih banyak 
***