Kamis, 16 April 2015

Ofensif di Sosial Media, Seberapa Perlu?

Pagi rekan2,

Saya punya sahabat2 luar biasa, mereka adalah para penulis dan admin di balik sejumlah situs Islam online yg cukup populer di kalangan "Aktivis Dakwah".

Dalam sebuah obrolan bersama beliau2, saya sempat urun rembug:

"Nampaknya perlu dilakukan survei, utk mencari korelasi antara sikap ofensif sebagian kader dakwah terhadap "rival politik" dengan raihan suara kafilah dakwah dalam Pemilu. Apakah benar sikap ofensif itu berpengaruh positif thd suara dakwah atau justru sebaliknya?

Perlu dilakukan evaluasi atau muhasabah, karena saya khawatir, sikap keras dan ofensif sebagaimana dipertontonkan sebagian "kader dakwah" di sosial media itu alih2 membuat orang simpatik terhadap dakwah, yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat malah menjadi antipati terhadap dakwah.

Maksud saya, mereka yang acap kali menyerang lawan politik di sosial media itu, merasa dirinya berjasa besar dalam pesta pemilu, padahal justru kalangan seperti ini memberi kontribusi negatif terhadap raihan suara partai. Banyak orang merasa berbuat baik, padahal bisajadi hal tsb justru melahirkan kebencian krn memang salah.

Saya mengamati sebuah fans page dan akun twitter milik seorang penulis yang cukup populer di kalangan aktivis Islam, Timelinenya penuh dengan provokasi, sebagian tanpa data, penuh dengan apriori dan pada beberapa hal kebencian, sebagian malah menjadi blunder.

Pada beberapa hal sikap ofensif tentu bermanfaat sebagai sebuah counter opinion, tetapi jika dilakukan berlebihan, sangat mungkin reaksi yang muncul justru sebaliknya.

Ada sebuah masukan menarik dari salahsatu sahabat di waktu berbeda, yaitu, "jangan sinis terhadap lawan. tunjukan saja prestasi yang kita punya."

Sebuah sikap yang bijak. Krn nanti juga orang akan menilai sendiri. Tidak perlu diarahkan seperti anak2 TK belajar berdoa. Memang, orang yang tidak punya prestasi pada dirinya, cenderung mempublish keburukan orang lain agar ia terlihat lebih tinggi, hal ini krn tak ada yang bisa ia banggakan dari dirinya sendiri.

Ah, mari amati dan belajar banyak pada fenomena. Hilangkan apriori yang membuat kita tak adil dalam menilai sesuatu.

Dukunglah apa yang baik, kritiklah dengan santun apa yg tak sesuai. Fitnah tak perlu dibalas fitnah. Jika fitnah dibalas serupa, apa bedanya kita dengan mereka?
...

Terakhir, di antara sahabat2 nan luar biasa itu, saya ibarat anak kecil yang menengadah ke atas, meminta dituntun oleh orang dewasa..

Mari, belajar lebih banyak..
we are never too old to learn
@mistersigit

0 komentar:

Posting Komentar