Kamis, 16 April 2015

Ketika Dakwah Bermuhasabah Bag.3 : Kala Murabbi Tak Sesuai Keinginan

September silam, sebuah pesan whatsapp dari nomor asing masuk ke handphone saya. Isi pesan itu berisi curahan hati seorang murabbi tentang binaan yang “lebih berkualitas” dari dirinya. Binaan itu baru menyelesaikan studi di kota besar, berpendidikan tinggi, lebih paham syariah pula. Sebagai murabbi tentu ia bangga punya binaan berkualitas luar biasa, ia berharap sang binaan dapat membantunya membenarkan apa yang keliru, meluruskan apa yang bengkok, membersihkan yang masih bernoda.

Namun harapan tinggal harapan. Yang kemudian terjadi adalah tiap kali majelis halaqah digelar, binaan tersebut tampil lebih dominan daripada Murabbi, sehingga acap memunculkan ketidakharmonisan dengan binaan lain.

Mendapat pesan itu, saya jadi teringat cerita murabbi saya dulu dengan kisah yang nyaris serupa. Beliau adalah sarjana ilmu agama Islam, jurusan Aqidah di Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tak berbeda dengan mahasiswa fakultas Ushuluddin lainnya, murabbi saya ini adalah alumni pondok pesantren, dengan penguasaan bahasa Arab dan kemampuan membaca kitab kuning atau turats yang tak diragukan. Dengan kemampuan seperti itu, beliau diterima bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah Islam.

Karena harus pindah rumah, suatu hari beliau punya murabbi baru. Dibanding dirinya yang sarjana ilmu agama dan seorang wartawan, murabbi barunya ini hanya tamatan SMA, bekerja sebagai buruh pabrik, dan tidak pula menguasai ilmu-ilmu syariah. Namun tak ada yang berbeda sama sekali dengan jalannya halaqah, karena beliau paham beginilah jalan dakwah mengajarkan kita: siapapun yang ditunjuk untuk menjadi murabbinya, ia akan taruh ihtiram, mahabbah, dan ketaatan sebagaimana seharusnya. Ia pahami siapa jundi siapa qa’id. Sesekali ia membetulkan tulisan Arab sang murabbi yang keliru, kurang alif dan lam, misalnya, dan seterusnya. Pun, sang murabbi tak merasa tersinggung ketika dibetulkan, dengan kerendahatian ia syukuri punya binaan yang memang lebih paham bahasa Arab.

Dari kasus ini, ada mutiara yang dapat kita petik. Kita perlu garisbawahi bahwa Murabbi adalah pemimpin dalam halaqah, kebanggaan terhadap binaan tidak boleh menjadikan murabbi merasa minder dengan kualitas yang tak sebaik binaan. Halaqah adalah majelis tarbawi, setiap anggota dapat berbagi ilmu dan pandangan-pandangan pribadi, tetapi otoritas mengendalikan halaqah tetap ada pada murabbi. Kondisi tersebut selayaknya menjadikan murabbi terpacu untuk berupaya lebih keras dalam meningkatkan kualitas ilmu dan amal. Setiap kita tak pernah terlalu tua untuk terus belajar.
Sebaliknya bagi binaan, hendaknya tumbuh kesadaran di dalam dirinya bahwa pemahaman terhadap gerakan tak hanya ditentukan oleh ketinggian ilmu syariah semata-mata, tapi juga oleh pengalaman yang lebih panjang. Pun, kebijaksanaan atau hikmah dalam menjalani kehidupan berharakah sejatinya selain erat dengan ilmu pengetahuan, juga oleh usia dalam berjamaah, meski dalam beberapa kasus tentu tak selalu sama.

Tentu tidak semua murabbi memiliki kualitas ilmu syariah yang tinggi, hendaklah kita memahami itu, seraya meyakini bahwa ia terus berbenah tingkatkan kualitas keilmuan dan kedalaman ibadahnya. Jangan sampai, karena memahami kompetensi syariah murabbi yang dirasa kurang, lalu menjadikan kita malas hadir dalam halaqah. Kehadiran kita dalam majelis halaqah adalah karena kita yakin bahwa kita merupakan bagian dari sebuah gerakan yang teratur, dan halaqah adalah basis terkecil dari gerakan besar itu. Jika kita ingin terlibat di dalamnya maka semestinya kita kuatkan komitmen untuk hadir sehingga tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya.

Sekalipun seseorang lebih memiliki wawasan keislaman, lebih memiliki keutamaan di hadapan kaum Muslimin, hendaklah ia pahami bahwa jika keputusan telah diambil dan ia ditempatkan menjadi mutarabbi, hendaklah ia memiliki kerendahatian untuk taat, bahwa murabbi adalah panglima. Kita semua sadari bahwa majelis halaqah bukan semata-mata majelis ilmu, kita bisa peroleh itu dalam majelis lain, seperti kajian tatsqif, mabit, atau jalasah ruhiyah. Bukankah Usamah bin Zaid, yang demikian masih hijau, pernah diperintah Nabi untuk menjadi panglima sementara di antara pasukannya terdapat sahabat-sahabat senior dan pemuka kaum Muhajirin dan Anshar? Tak ada yang menolak dan membangkang dengan perintah Usamah sebagai panglima perang, bahkan pasukan itu, sebagaimana digambarkan oleh Khalid Muhammad Khalid, sukses dan kembali tanpa meninggalkan seorangpun korban.

Demikianlah, kerendahatian para sahabat, yang sekalipun memiliki ilmu lebih tinggi, tapi pemahaman terhadap al-qiyadah wal jundiyah demikian meresap erat, bahwa pada satu masa kita menjadi jundi, dan akan ada masanya menjasi qa’id. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar