Kamis, 16 April 2015

Soal KPK vs Polri, Saya ingin Jadi Penonton Saja

Soal konflik KPK dan Polri, saya ingin jadi penonton saja. Menonton sambil muak menahan muntah. Ada banyak puzzle yang nampak berkaitan satu sama lain sekalipun tidak mudah dicari sambungannya. Anda masih ingat pertemuan politisi PDIP Trimedya Panjaitan dengan komisioner KPU, Haidar Nafis Gumay, menjelang pilpres lalu? Rupanya waktu itu Trimedya sedang duduk makan dengan Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan. Menurut sang Jenderal, pertemuan itu murni urusan makan. Anda percaya ada seorang jenderal bintang tiga melakukan pertemuan dengan politisi dari partai  besar penyokong capres kemudian bersapa dengan komisioner KPU adalah murni urusan makan? Its ok untuk Hadar Nafis Gumay yang  katanya hanya bersapa beberapa detik karena kebetulan berpapasan, dan Dewan Etik KPU pun membebaskan ia dari tuduhan konspirasi, baiklah saya terima itu, tapi pertanyaan dalam kerangka apa seorang Komisaris Jenderal Polisi yang setara dengan Letjen pada militer itu, bertemu dengan politisi PDIP yang waktu itu sedang menyokong calon presiden? Sulit rasanya menerima bahwa itu “sekadar urusan makan”.

Selepas Jokowi terpilih sebagai presiden, Komjen Budi Gunawan inilah yang belakangan diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo. Calon tunggal, pemirsa! Padahal ia sudah mendapat kartu merah dari KPK. Kompolnas pun, sebagai sebuah lembaga yang memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian kapolri, baru menyampaikan draft calon-calon Kapolri pengganti Jenderal Sutarman kepada Jokowi, dan belum finish karena belum sampai pada tahap wawancara. Tapi “cerdas”nya, Jokowi bersegera mengajukan nama Budi Gunawan ke DPR, ada kepentingan apa demikian tergesa?

“Padahal yang kami serahkan baru draft, kami belum lakukan wawancara semua kandidat. Eh tapi Jokowi sudah kirim surat ke DPR. ‘Cerdas’ Jokowi itu,” sindir komisioner Kompolnas Adrianus Meliala sebagaimana dikutip Kompas.com (25/01).

Pertanyaannya kemudian kenapa Jokowi hanya ajukan calon tunggal? Kenapa harus Budi Gunawan yang merupakan mantan Ajudan Megawati itu? rakyat akhirnya menaruh curiga bahwa Budi Gunawan hanyalah perpanjangan tangan Megawati untuk kepentingan dirinya. Dalam hal ini nampak Jokowi telah gagal menjalankan fatsun politik Manuel Luis Quezon yang paling terkenal di dunia: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”

Dalam akun twitter-nya, Denny JA, penyokong Jokowi pra pilpres lalu  bahkan mengunggah sejumlah foto meme yang menyindir Megawati dan Jokowi.  Denny menggambarkan bahwa mantan Gubernur DKI itu hanyalah boneka ketua umum PDIP.

Pun, ekonom Rizal Ramli juga lakukan hal serupa. Dua jam sebelum Jokowi memberhentikan  Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, ia mengirim pesan di akun twitternya, @RizalRamli. Ia mengingatkan  Jokowi untuk tetap di jalur konstitusi.

“Mas Jokowi, you are the President, act like one! Tugas presiden adalah menegakkan undang-undang, tegakkan hukum, termasuk anti korupsi,” pesannya.

Ia juga menulis begini: “Saya dekat dengan Bang TK dan Mbak Mega. Saya sayang Mbak Mega. Perlu saya ingatkan, wis lah, jangan dipaksakan, jangan kebablasan,”  pesan Menko Perekonomian era Gus Dur itu.

Semua menaruh curiga yang sama, dan punya kegemasan yang sama. Ingin rasanya berkata “Jokowi, You are the real President! Presidennya itu Anda! Kewenangan ada di tangan Anda! act like one!”
Dus, pertanyaan selanjutnya muncul mengikuti, ada apa dibalik pemberhentian Jenderal Sutarman dari jabatannya sebaga Kapolri? Bahkan pemberhentian tersebut dipaksakan hingga melanggar undang-undang kepolisian? Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra  yang merupakan penyusun UU tersebut, Jokowi melanggar pasal 11 UU No.2/2012 tentang Kepolisian yang mengamanatkan bahwa  “Pemberhentian dan Pengangkatan Kapolri harus satu paket dan melalui persetujuan Dewan”, Jokowi melanggar UU itu.

Yusril menambahkan bahwa pemberhentian Kapolri memang bisa dilakukan oleh presiden dalam keadaan mendesak hanya dan hanya jika kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keselamatan negara. Bagian mana dari dua faktor  ini yang dilakukan oleh Jenderal Sutarman? Jika Pak Sutarman tak lakukan pelanggaran tersebut, patut kita bertanya ada kepentingan sangat besar apa dibalik “pemaksaan” pengangkatan  Budi  Gunawan oleh Jokowi itu?

Saya Ingin Menonton Saja
Pasca kasus KPK vs Polri ini, ramai-ramai publik mengganti foto profil dengan gambar #saveKPK, tagar itu jadi trending topic di twitter berhari hari lamanya. Broadcast untuk mengganti foto pofil akun medsos kita menyebar cepat. Pada prinsipnya kita semua mendukung pemberantasan korupsi, itu harga mati. Tapi dibalik euphoria dukung mendukung KPK versus Polri itu saya ingin masalah Budi Gunawan (BG) dan Bambang Widjojanto (BW),  yang keduanya sama-sama tersangka itu, kiranya dipersonifikasi saja, jangan dibawa ke ranah institusi masing-masing.

Kita dukung KPK untuk berantas korupsi, tetapi kita juga perlu mendukung kepolisian untuk menegakkan hukum. Kedua institusi itu tetap penting bagi negara kita sebagai negara hukum. Jangan terjebak pada dukung mendukung salah satunya. Jika Anda berfikir bahwa penetapan tersangka kepada Bambang Widjojanto adalah cara Polri untuk memandulkan KPK, mengapa Anda tidak berfikir bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK juga merupakan cara lembaga anti rasuah itu untuk tampil superior dengan memandulkan Polri?

Jika Anda menaruh curiga mengapa penetapan tersangka atas Komisioner KPK Bambang Widjojanto baru dilakukan pasca Komjen Budi Gunawan ditersangkakan oleh KPK –padahal kasus BW terjadi pada 2010 sehingga sangat terlihat seperti balas dendam— lantas kenapa Anda tak berikan pertanyaan serupa kepada KPK: “mengapa KPK baru menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, saat Jenderal Bintang Tiga itu diajukan sebagai Kapolri, kenapa tidak dari dulu, sehingga terkesan KPK ingin menjegal karir, atau mencari  momentum agar dapat liputan media lebih luas?
Saya ingin katakan bahwa, jika apa yang dituduhkan kepada BW itu terbukti  benar, maka BW pun wajib dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai UU.

Tidak boleh ada warga negara di republik ini yang kebal hukum sekalipun ia adalah pimpinan lembaga negara semacam KPK. Adalah Fahri HAmzah, mantan aktivis Mahasiswa eksponen 98 yang kini menjabat sebagai wakil ketua DPR sudah mengingatkan itu jauh-jauh hari. Tak boleh ada lembaga di negara ini yang menjadi superbody, kebal hukum, Katanya.

Kasus BW ini harus diusut secara adil. Akan berbahaya jika di negara ini ada orang  per-orang atau lembaga yang superbody, kebal hukum, karena hal itu sangat rawan pada penyelewangan kekuasaan. Sejatinya, Fahri Hamzah hanya menerjemahkan doktrin terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”  Kekuasaan absolute, superbody, kuasa penuh, itu rawan penyelewengan!

sebagaimana Budi Gunawan, Bambang Widjojanto pun jika ia bersalah maka patut dijatuhi hukuman. Jangan hanya karena ia dipuja sebagai pemberantas korupsi lantas ia dibebaskan dari kesalahan yang fatal: “sebagai pengacara ia disangkakan mengarahkan saksi untuk memberikan kesaksian palsu di persidangan dalam kasus Pilkada”, kita tentu tak ingin ada jutaan rakyat di satu kabupaten dipimpin oleh kepala daerah yang sebetulnya kalah tapi dimenangkan lantaran kecurangan pengacara, jutaan rakyat dipimpin oleh pemimpin yang tak mereka pilih!

Abi-Ummi, Janggut dan peci
Menyusuli kasus ini, belakangan kemudian muncul broadcast tentang keindahan keluarga Bambang Widjojanto. Ketegaran keluarganya, juga sapaan di keluarganya yang menggunakan frasa-frasa “Abi, Ummi,” dan seterusnya. Islami sekali, indah dan merupakan prototype keluarga sakinah. Kita kenal Bambang Widjojanto adalah aktivis, pun demikian dengan Abraham Samad, keduanya rajin shalat, memelihara sunnah dengan memanjangkan janggut, kerap tampil berkopiah, dan seterusnya. Tapi hal tersebut tentu saja tak boleh menjadikan kita berlaku tidak adil. Tak ada urusan dengan kata sapaan Abi –Ummi, janggut dan peci, jika ia terbukti bersalah ia  patut dijatuhi sanksi dan tak boleh dimenangkan. Dalam sejarah Islam, jangankan yang berjanggut dan berpeci, Khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib bahkan pernah dikalahkan dalam sidang, dalam kapasitasnya sebagai pendakwa baju zirah waktu itu.

Sebagian pihak menduga perkara broadcast frasa “Abi-Ummi” dan keluarga nan Islami Bambang Widjojanto yang beredar belakangan adalah upaya untuk menyeret aktivis sosmed PKS agar ikut turun meramaikan lapangan pertandingan cicak vs buaya jilid II itu. Sebagaimana kita tahu kader PKS termasuk segmen masyarakat paling aktif di sosmed. Bahkan, demikian ramainya aktivis partai dakwah itu di media sosial, mereka memiliki kekuataan merubah paradigma para netizen dalam isu-isu aktual via broadcast. Dengan memunculkan pesan berantai “Abi-Ummi” itu diharapkan aktivis PKS terjun membantu #saveKPK lantaran frasa itu relatif akrab di kalangan kader PKS.
Tapi rupanya tidak. Kader PKS bergeming. Mereka tidak terlibat dalam dukung mendukung KPK atau Polri. Hal ini mungkin karena kader PKS punya pengalaman tak menyenangkan dengan KPK sejak penggeledehan kantor mereka oleh lembaga anti rasuah itu lantaran kasus impor sapi. Pun dengan vonis maksimal kepada Luthfie Hassan Ishaq (LHI), Presiden PKS, yang bahkan tidak merugikan negara meski hanya 100 rupiah, uang dari Fathanah tidak sampai ke tangannya, pun Fathanah mengakui uang yang diterimanya saat penangkapan itu bukan untuk LHI. Tapi apa lacur, dengan segala kejanggalan kasus itu, LHI sudah dihukum maksimal untuk kesalahan yang tak ia lakukan. KPK melakukan festivalisasi kasus ini dengan menggiring opini publik pada hal-hal yang tidak relevan dengan kasus, sehingga PKS disidang oleh persepsi publik sementara fakta persidangan sangat lemah. Jika penuntut melakukan festivalisasi dan mengangkat sisi-sisi personal terdakwa yag tak berkaitan dengan kasus, itu artinya kasus tersebut memang lemah!

Aku ingin menonton saja
KPK memang penting, sebagaimana Polri juga merupakan lembaga yang penting. Tetapi penting pula  untuk meletakan orang-orang bersih di sana. Orang yang independen, fokus pada penegakan hukum, pemberantasan korupsi, bukan atas pesanan sebagian pihak. Ingat kasus Anas, ia ditersangkakan oleh KPK hanya beberapa hari setelah presiden menanyakan bagaimana status mantan ketua HMI itu, sebelumnya Anas tak berstatus apa pun dalam kasus Nazaruddin. Harap kita ingat pula apa yang diungkapkan oleh plt.Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bahwa ketua KPK Abraham Samad pernah bertemu dengannya dengan mengenakan masker dan topi untuk menghindari publik. Tak ada yang salah jika ia ingin jadi wakil presdien waktu itu, tetapi kepentingan politik ini rawan dengan “politik balas dendam” jika ia gagal melaju sebagai cawapres, persis seperti yang ditudingkan oleh Hasto.
Bukankah Abraham Samad yang terburu-buru pulang lebih awal sebagai narasumber sebuah kuliah Umum di Universitas Gajah Mada, kemudian bertemu Jokowi secara “tak sengaja” di ruang VIP Bandara Adi Soetjipto, Yogyakarta?

Sebagai rakyat kecil, saya tak ingin mendukung Polri atau pun KPK, siapapun yang bersalah harus dijatuhi sanksi sesuai undang-undang. Saya tak ingin dukung Polri atau KPK, saya hanya ingin mendukung kebenaran!
Salam

0 komentar:

Posting Komentar