Jumat, 22 Maret 2013

Rethinking Khilafah, Reinventing Democracy Jawaban atas Tanggapan Adi Victory thd notes saya: Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir 

----
Bismillahirrahmanirrahim..

Pada Allah SWT, kepada-Nya kita memuji dengan hati yang lirih. Mengadu dengan jiwa yang luluh, saat menyadari betapa besar nikmat dari-Nya yang tidak kita syukuri. Ketika menyadari betapa besar dosa yang kita perbuat. Bertasbihlah memuji-Nya apa-apa yang ada di langit, di bumi, dan apa-apa yang berada di antara keduanya.

Shalawat dan salam atas kecintaan kita, Rasul mulia, Baginda Rasulullah Saw, beserta para keluarga, shahabat, dan ummat beliau yang tetap istiqamah dalam da’wah, hingga tiba hari yang dijanjikan.
*****

Saya merasa amat senang ketika mengetahui bahwa notes saya, “Paradoks Pemikiran Hizbut Tahrir”  mendapatkan tanggapan dari seorang syabab Hizbut Tahrir, akhina Adi Victory.

Saya memang menginginkan agar kalangan yang berminat memberikan tanggapan thd notes saya tsb menuliskannya dalam bentuk artikel agar lebih komprehenshif. Sehingga dengan demikian akan terjadi, kalo boleh meminjam istilah seorang filosof Jerman, George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831), adanya 'Dialektika,'yaitu sebuah proses bertemunya tesis dan anti tesis untuk melahirkan sintesis. Dalam konteks ini mungkin lebih tapat kita sebut, Dialektika Pemikiran Islam.

Sebelumnya saya ingin memulai jawaban ini dengan mengutip tulisan Adi Victory yg mengatakan bahwa “rupanya sangat ingin sekali niat antum ingin membuat karya ilmiah terhadap gerakan dakwah hizbut tahrir dengan judul “Paradoks Pemikiran Politik Hizbut Tahrir”.

Saya ingin bilang bahwa saya sebetulnya tak berminat untuk menulis notes tersebut dalam konteks “tulisan ilmiah”, oleh karena itulah dari awal saya mengatakan:

“….sebetulnya saya ingin menulis artikel berikut ini, itu juga kalo pantes disebut sebagai artikel, hehe.. setelah tadi pagi di bus kota mayasari cibinong-tn.abang, sambil menunggu macet di tol jagorawi, saya membaca tulisan Ust. Farid Wajdi, seorang ustadz di HTI yg jebolan Austria itu, dan tulisan Shiddiq al-Jawi…”

Namun saya amat menghargai jika notes tersebut terkesan ilmiah. Terimakasih atas apresiasinya. :-)

Saya sudah membaca tanggapan Adi Victory tersebut, saya baca lebih dari satu kali dan baru sempat membuat jawabannya sore ini karena awal pekan ini saya punya sedikit waktu luang disela2 kerjaan kantor.
***

Jawaban ini saya beri judul:
RETHINKING KHILAFAH, REINVENTING DEMOCRACY

Judul diatas saya kutip dari makalah kajian politik Islam yg ditulis oleh AM Furqon dan Edwin Arifin dari judul aslinya, “Rethinking Islam Reinventing Democracy” yang dibedah bersama Jakarta Secret Society, dan Laboratorium Politik Islam UIN Jakarta tahun 2005, berkaitan dengan kebangkitan gerakan anak muda Islam yang bergerak dalam ranah politik praktis dan penerimaannya terhadap demokrasi. Makalah tersebut adalah hasil penelitian selama lima bulan dan isinya membahas tentang Partai Keadilan Sejahtera.

Judul makalah tersebut menginsiprasi saya untuk membuat catatan ini karena saya pikir relevan dengan realitas pemikiran Hizbut Tahrir (HT) yang tak bosan mengkufurkan demokrasi dan mencela mereka yang tengah berdakwah di dalamnya, disertai dengan kampanye penegakkan kembali khilafah Islamiyah di tengah hagemoni system demokrasi dewasa ini. Sebuah semangat heroik yang saya kira patut kita apresiasi jika disampaikan dengan cara yang santun. Sebagai perlawanan terhadap hagemoni demokrasi yg melingkupi sistem politik dunia hari ini.

Saya katakan “patut diapresiasi jika disampaikan ‘dengan cara yang santun’” karena tak jarang, rekan2 HT menyampaikan sumpah serapah yang tak layak diucapkan seorang Muslim kepada muslim lainnya. Saya tetap berbaik sangka bahwa ini hanyalah oknum2 yang terdorong oleh panggilan ideologis mereka.

Dalam grup “Indonesia Harapan Itu Masih Ada” yang baru berumur beberapa minggu saja, amat ramai ucapan rekan-rekan HT yang tak layak diucapkan, yg membuat saya sebagai admin meremove topik tersebut karena keluar dari adab-adab diskusi Islami, apalagi dari mereka yang mengklaim dirinya sebagai aktivis Muslim.

Dari sebuah akun milik seorang syabab Hizbut Tahrir, (tak perlu saya sampaikan linknya), beliau mencaci pemerintahan SBY dengan sebutan “Pemerintahan Setan”, sebelumnya pemilik akun yang sama melontarkan kalimat ANJ**G SBY. (sebanyak dua kali karena merasa tak puas topik kasar sebelumnya dihapus oleh admin). Lihatlah pula dari sebuah akun lain (yg akhirnya meminta maaf) juga melempar sebuah topik panas dengan menyerang pribadi member lain dengan sebutan ANJ**G BODOH.

Tak hanya kalangan ikhwan dari syabab HT yang rajin mencela, kalangan akhwatnya juga tak ketinggalan dengan cacian yang sama. Seorang akhwat aktivis HT dari Institut Pertanian Bogor juga melemparkan sebuah topik panas di grup dengan menulis “ANJ**G PENJILAT”.

La haula wala quwwata illa billah…

Saya tetap menilai bahwa ini memang karakter pribadi yang bersangkutan, akan tetapi penilaian saya rupanya terkesan kurang akurat karena amat mengherankan bahwa postingan2 yg berisi cacian sejenis bertebaran di banyak sekali akun FB milik rekan2 HT. Tak cukup postingan dengan kata-kata, cacian juga disampaikan lewat gambar2 yang mencela harakah lain yang berbeda paham dengan mereka.

Sehingga menimbulkan sebuah penilaian bahwa Hizbut Tahrir sejatinya sedang membuat propaganda tentang kemuliaan khilafah dan kebusukan demokrasi versi mereka, dengan cara menyerang aktivis dakwah yang berpaham bahwa demokrasi pada beberapa konteks memiliki relevansi dengan Islam.

Celaan-celaan ini tampaknya bukan lahir dari karakter yg bersangkutan, tetapi lebih merupakan tuntutan ideologis yg diimplementasikan secara radikal dan ofensif, persis sebagaimana dalam catatan yg sebelumnya saya kutip, bahwa hal ini menggambarkan apa yang diungkapkan oleh Rolland Barthes, seorang teoritisi budaya asal prancis, bahwa ideology selalu meniscayakan penganutnya untuk "menaturalkan hal-hal yg pada faktanya kultural, dan me-universalkan hal-hal yg pada faktanya particular. Dalam hal ini. Hizbut Tahrir tampak telah memainkan propaganda ideologisnya secara radikal.
***

Dalam tanggapannya, akh Adi Victory memulai dengan mengatakan bahwa pandangan saya yg melihat Perdebatan seputar relasi antara demokrasi dan Islam merupakan perdebatan panjang yang tak akan pernah berujung pangkal, berasal dari ketidak tahuan saya mengenai fakta demokrasi.

Akh Adi Victory mengatakan,

“saya kira titik persoalannya adalah ketidaktahuan antum tentang apa itu demokrasi, sehingga bagi antum hal ini seolah masuk pada ranah ijtihadiy, yang berarti para ‘ulama juga masih memperdebatkannya. Benarkah hanya hizbut Tahrir yang berpandangan bahwa mengadopsi ide demokrasi adalah haram?”

Dalam hal ini Adi Victory mengatakan bahwa pendapat tentang keharaman demokrasi bukanlah ranah ijtihady. Kalimat “sehingga bagi antum hal ini seolah masuk pada ranah ijtihadiy, yang berarti para ‘ulama juga masih memperdebatkannya.” Menegaskan pandangan akh Adi Victory tersebut.

Saya ingin mengatakan kepada Akhi Adi Victory bahwa ranah ini memang ranah ijtihady. Memang pada faktanya para ulama berbeda pendapat dalam hal penerimaan terhadap demokrasi. Sehingga tak eloklah kiranya jika Hizbut Tahrir mengingkari fakta ini dan “memaksakan” kaum Muslimin, termasuk para ulama di dalamnya, untuk menerima pandangan HT. Kecuali jika mereka yang setuju terhadap demokrasi dikecualikan dari predikat Ulama, dan hanya para ulama yg sependapat dengan HT lah yg berhak menyandang gelar Ulama. Barulah ranah tersebut hbukan lagi ranah ijtihadi lagi karena semuanya tak lagi berbeda pendapat.

Tetapi faktanya, para ulama berbeda pendapat mengenai relevansi Islam dan demokrasi. Jika yang antum kutip adalah mereka yang menolak demokrasi, tentu ya. namun mengapa tak antum kutip pandangan para ulama yang menerima demokrasi sehingga antum tahu bahwa masalah ini berada pada ranah ijtihady/ikhtilaf di kalangan para ulama?

Syaikh Yusuf Qardhawi membolehkannya, semikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan, dan lain-lain. Apakah menurut antum mereka bukan ulama sehingga pendapat mereka sama sekali tak diperhitungkan? Akhi fillah, sadarilah bahwa masalah ini pada faktanya memang masalah ijtihady. Tak perlu lari dari kenyataan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

saya kira akan lebih baik jika berlaku bijaksana dalam memahaminya, seraya memberikan argumentasi bagi pandangan kita, tanpa melupakan fakta akan ikhtilaf ini. Saya kira kedewasaan dalam menerima perbedaan pendapat merupakan sikap seorang Muslim yang sejati. Jika hujjah telah bertemu dengan hujjah, maka yang diperlukan adalah kedewasaan, bukan mengkufurkan yang lain. (fatwa seputar ulama yang memperbolehkan pernah saya posting di komentar saya pada notes yg lain, sebagai tanggapan atas diskusi dengan syabab HT, sayangnya saya diblokir sama dia, entah dengan alasan apa, lihat:

***

Pertanyaan yg muncul kemudian adalah, apakah penerimaan saya terhadap ikhtilaf di kalangan para ulama tentang demokrasi tersebut merupakan akibat dari ketidaktahuan saya terhadap demokrasi? Ataukah bahwa saya memahami bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hal itu? Atau justru pandangan akh Adi Victory tersebut mencerminkan apa yg saya sebut sebagai “pandangan premature” terhadap demokrasi?

Sebagaimana pada notes sebelumnya saya katakan, bahwa kalangan Hizbut tahrir cenderung memandang demokrasi hanya dari satu wajah. Melihat demokrasi dari sejarahnya, kemudian membedahnya, menyertakan pendapat para ahli yang menentangnya, untuk kemudian mempertentangkannya dengan Islam. (saya tak perlu menjelaskan demokrasi secara panjang lebar, utk jelasnya antum bisa baca notes saya ttg demokrasi disini  dan disini

Hal demikian memang mudah dipahami karena pola pemahaman doktriner pada mentoring pekanan Hizbut Tahrir pada Bab “Pelaksanaan Syariat Islam” diawali dengan fakta2 kegagalan dan kekacauan system selain Islam. {saya masih punya buku lama, Kumpulan Materi Dasar Islam, (Bogor, al-Ummah, 1994), buku yang menjadi bahan kajian awal rekan2 yg mulai mengikuti Hizbut Tahrir. Masih ingat neh waktu dulu masih ngaji di HT tahun 2000, mungkin sekarang bukunya sudah ganti kali..}

Sehingga ketika menilai demokrasi, rekan2 syabab mengalami apa yang oleh Aaron T Beck, penggagas cognitive-behavioral therapy, sebagai distorsi kognitif. misalnya, Pandangan saya bahwa jalan kaki itu melelahkan dan tidak akan pernah menyenangkan adalah contoh pemikiran dikotomis. sehingga pandangan ke depannya pun akan tetap memandang jalan kaki amat melelahkan. Persis seperti rekan HT yang menilai bahwa demokrasi itu buruk dan Islam itu baik, kemudian mempertentangannya secara dkotomis.

Lita Hadiati Wulandari dalam skripsi pada program psikologinya di Universitas Sumatera Utara memaparkan 'distorsi kognitif' ini secara lebih detail menurut Burns (1988). Saya kutip point pertamanya yg saya kira amat relevan bahwa Pemikiran "Segalanva atau Tidak Sama Sekali". Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori 'hitam atau putih' secara ekstrim. Pemikiran 'bila saya tidak begini maka saya bukan apa-apa sama sekali" merupakan dasar dari perfeksionisme yang menuntut kesempumaan.
(Lita Hadiati Wulandari, Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif Untuk Mengurangi Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi, Skripsi pada Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

Beginilah pandangan HT terhadap Khilafah dan demokrasi. Penilaian awal yang pada akhirnya merembet pada penilaian-penilaian selanjutnya. Memandang sesuatu dengan cara mempertentangkannya atau vis a vis.

Hendaknya akh Adi Victory melihat bahwa demokrasi pada faktanya tidak memiliki satu definisi. Karena dalam perkembangannya, Setiap Negara berhak mengklaim sebagai Negara penganut demokrasi meskipun pada faktanya penerapan sistem politik di Negara tersebut amat jauh dari nilai2 demokrasi itu sendiri. Bahkan Menurut Ian Adams, setelah Perang Dunia II, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), UNESCO ketika berusaha menjelaskan cita-cita demokrasi, menugaskan sejumlah sarjana untuk mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun dalam laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991), para sarjana itu mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat begitu banyak definisi demokrasi yang saling bertentangan dan mustahil untuk dicapai kesepakatan. Miriam Budiardjo dalam buku darasnya yg menjadi buku paling dasar utk memahami politik, “Dasar2 Ilmu Politik” juga mengatakan hal tersebut. Bahkan di Negara berpaham komunis sekalipun, predikat demokrasi bisa saja digunakan. (lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Bab Demokrasi).

Ketidak sepakatan terhadap makna demokrasi ini tidak lantas menjadikan demokrasi itu sebagai sesuatu yang tidak ada. Justru ketidaksepakatan para ilmuwan terhadap demokrasi ini terjadi karena demokrasi memiliki banyak versi dan memiliki banyak wajah. Oleh karena itulah kita bisa memilah, demokrasi yang seperti apa yang sesuai dengan Islam.

Kalangan Tarbiyah, tidak seperti yang akh Adi Victory sampaikan, “Inilah kesalahan fatal yang dialami oleh teman-teman tarbiyah, salah dan keliru dalam menghukumi sebuah fakta, kesalahan ini kiranya terjadi mungkin karena proses penelaahan terhadap sebuah fakta yang tidak tepat, sehingga keliru dalam menerapkan hokum syara’nya.” Justru melihat demokrasi secara lebih luas, tidak hanya dari sejarahnya yang semata-mata dari barat, tetapi juga dari perkembangan dan ragam demokrasi, serta peluang-peluang yg bisa diambil didalamnya.

Kalangan tarbiyah memahami demokrasi seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Ma’mun al-Hudhaibi,

"jika dikatakan demokrasi berarti rakyat yang menentukan siapa yang akan memimpin mereka, maka Ikhwan menerima demokrasi. Namun jika demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum2 Allah, dan megikuti kehendak mereka, maka ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam system yg memungkinkan syariat Islam di berlakukan dan kemungkaran dihapuskan." (Farid Nu’man, Al Ikhwan alMuslimun, Augerah Allah yang terzalimi, p.67-68)

Pada faktanya keterlibatan aktivis tarbiyah dalam ranah demokrasi adalah bentuk strategi agar regulasi yang lahir sbg keputusan politik pemerintah mencerminkan hukum2 Allah tegak dimuka bumi meskipun tidak mesti disebut sebagai UU Islam. Anis Matta mengatakan, “jika subtansi telah cukup mewakili nama, maka tak perlu nama mewakili substansi tanpa menafikan nama”

Pandangan Ma’mun Hudhaibi ini sejatinya sebangun dengan pandangan Abul A’la al-Maududi yang secara tidak tepat oleh akh Adi Victory disebut menolak mentah2 demokrasi. Dengan mengatakan:

“Antum kenal Abul A’la Al-Maududi ?, ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Beliau menolak mentah-mentah ide demokrasi. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Dst…”

Faktanya adalah Abul A’la al Maududi, sebagaimana yg akhirnya akh Adi sampaikan (aneh juga bahwa paragraph pertama mengatakan “menolak mentah2, yg artinya menolak sama sekali, tetapi akhirnya membahas pula penerimaan al-maududi terhadap ‘sebagian’ konsep demokrasi, dua buah paragraph yg kontradiktif saya kira) menerima demokrasi dengan Syarat ia berjalan dalam spirit ketuhanan, sehingga keputusan politik yang lahir dari demokrasi TIDAK bertentangan dengan hukum syara’. Tidak lagi melakukan voting atas hukum zina, misalnya, dsb.

Itulah mengapa al-Mawdudi membuat konsep gabungan antara demokrasi dengan Islam yang ia istilahkan dengan “Theo-Demokrasi” atau demokrasi yang berketuhanan. (saya ingat dari buku beliau yg diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Khilafah dan Kerajaan” terbitan Bulan BIntang, sebuah buku yg saya baca ketika kuliah Pemikiran Politik Islam Modern semester 5)

Justru taqiyuddin an-Nabhani tidak sependapat dengan al-Maududi, karena an-nabhani tidak sepakat dengan penggunaan istilah2 non Islam ke dalam khazanah politik Islam. Sebuah pandangan yg keliru saya kira, karena pengunaan istilah demokrasi ke dalam Islam sama sekali tak akan membuat rancu pemikiran politik Islam kecuali jika politik Islam dimaknai secara sempit sebatas format khilafah seperti yg diyakini oleh Hizbut Tahrir.

Saya, memahami bahwa penggunaan istilah2 asing bukanlah hal yg diinginkan, tetapi istilah demokrasi adalah istilah yg popular, seperti misalnya ketika kita mengatakan “pemilihan yg demokratis dengan musyawarah atau persetujuan warga.” Meskipun pada faktanya musyawarah dan persetujuan warga itu berjalan secara Islami, namun toh pada akhirnya warga cenderung mengatakan, “pemilihannya amat ‘demokratis’.” Syaikh Ash-Shabuni mengatakan, “kaum muslimin diperbolehkan menggunakan istilah yng kurang baik, utk makna yg baik. Seperti Rasulullah Saw mengatakan “Kerahiban ummatku adalah jihad fi sabilillah” meskipun pada dasarnya Al-Quran mencela makna rahbaniyyah (QS. Al-hadiid:27).
***

Amat melelahkan memaknai demokrasi dalam perspektif sempit seperti yg dipahami hizbut Tahrir. Pemahaman ini pada akhirnya hanya menjadikan para penganutnya sebagai para ‘pencela zaman’ dengan segala predikat tak layak yg disandang oleh zaman seperti “pemerintahan Setan, atau ANJ**G seperti yg saya terangkan di muka. Seraya berlepas diri dari tanggung jawab karena merasa tak tak terlibat di dalam pemerintahan.

Padahal pilihan utk golput pun sejatinya merupakan pilihan yg memiliki konsekuensi politik dengan terpilihnya pemimpin yg dicela oleh mereka itu. Sebuah sikap tak ksatria, dengan tidak memilih dalam pemilu, lalu jika pemerintah melakukan kebijakan tak popular dicelanya sebagai produk demokrasi sementara HT tak berperan sedikitpun di dalamnya kecuali melakukan demonstrasi dan seruan2 belaka.

Penjelasan akh Adi Victory tentang pendaftaran HTI sebagai Ormas di Depdagri dengan syarat mentaati UU yg berlaku, pun akhirnya terkesan hanya sebagai apologi untuk menutupi kenyataan bahwa HTI bisa dan memang hanya bisa hidup di negeri yang menerapkan demokrasi ini. kita bertanya, apa tujuan HTI mendaftarkan lembaganya di Depdagri yg merupakan perpanjangan tangan pemerintah pada sistem demokrasi ini?

Seandainya Indonesia tidak menerapkan demokrasi seperti Pakistan dan Saudi, rasanya HT akan terhambat. Maka dari itulah HT bisa berkembang di USA, Australia, Indonesia yg memang menerapkan demokrasi.

Demikian pula pejelasan mengenai eksitensi partai politik dalam RUU Khilafah versi HT. saya kira sebetulnya tidak sulit utk memahami bahwa partai politik yang dimaksud dalam RUU tersebut adalah Partai Politik Peserta Pemilu, karena digunakan utk menduduki kekuasaan. lihat lagi kalimat fungsi parpol dalam RUU tsb; “atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat,” Sebuah konsep barat yg tak ditemukan landasannya dalam sejarah khilafah. sehingga tak perlu berputar pada makna partai politik non peserta pemilu seperti format HT sekarang ini. Kemudian utk menutupi RUU ini digunakanlah kaidah ushul kullu asya’al ibahah illa ma warada ‘annis syari’ tahrimuhu (segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalilnya dari pembuat syari’at yang melarangnya) yg mana kaidah ushul ini sebetulnya bisa pula digunakan utk demokrasi yg berketuhanan.
***

Selanjutnya sebagai bagian dari notes ini, saya bersyukur jika akhirnya an-nabhani mengatakan bahwa:

“Kesalahan-kesalahan dalam praktik penunjukan dan baiat tersebut tidak bisa mengubah status sistem Khilafah menjadi sistem kerajaan atau yang lain. Juga harus dipahami, bahwa kesalahan-kesalahan seperti ini juga lazim terjadi dalam praktik sistem apapun, tetapi tetap tidak mengubah status sistem itu. Sebab, di sana ada faktor manusia; pelaksana sistem tersebut adalah manusia, bukan malaikat.”

Sebuah pemahaman yg hendaknya dyakini pula oleh syabab HT, bahwa konsep khilafah bukanlah konsep yg sempurna. Bahwa penyimpangan bisa terjadi dalam sistem politik apapun, bahkan khilafah sekalipun.

Meskipun pada prinsipnya saya meyakini bahwa konsep khilafah, sebetulnya bisa saja berbentuk dalam format demokrasi. Seperti pernah saya tulis dalam notes saya ini

1 komentar: