Jumat, 22 Maret 2013

An-Naml Society: Satu Hari

Semilir angin berhembus perlahan, rerimbunan pohon mangga menjadikan suasana taman Masjid Riyadhus Shalihin ini terasa dingin. Sekolah sudah tampak sepi, hanya beberapa anak paskibra yang terlihat sedang latihan di lapangan basket. Sementara beberapa aktivis Rohis tampak duduk membentuk sebuah lingkaran, serius. Tampaknya sedang asyik mendengarkan taujih murabbi mereka yang masih semester lima filsafat politik di Universitas Islam Negeri Jakarta itu.
---


“kak Sigit, Padu Voice dapet undangan lomba nasyid di Bandung, gimana nih?” Tanya Arvi sang mas’ul meminta pendapat. Seperti biasa, dalam hal strategi dan problematika da’wah, halaqah an-Naml selalu meminta pandangan sang mentor yang dianggap lebih senior.

Orang yang dipanggil kak Sigit tersenyum, lalu, “tergantung kondisi antum, lagi sibuk belajar apa nggak. Jangan sampai nasyid mengganggu prestasi akademis antum. Yang pasti, antum mesti dapet izin dari keluarga masing2. Kalo semuanya beres, ber’azzamlah…” suara lembut kak Sigit (..ehm..ehmm) terasa menyejukkan bagi annaml. Alhamdulillah.

---


Kayaknya seluruh kru Padu Voice dapet izin dari ortu neh untuk ikutan “Festival Peradaban Islam se-Jabar” di Sasana Budaya Ganesha Bandung. Mereka, Bayu, Arvi, Refi, Yatna, Fahrul, Surahman, Darud, dan Iyan, bersepakat untuk mengajak sang murabbi plus Asep untuk nganter mereka ke Bandung. “yang penting, seluruh kru Annaml Society harus ngikut semua. Mobilnya kita minjem Danang aja. Kak Sigit bisa nyopir kan??” (beuu..jadi ngajakin kak Sigit untuk jadi sopir neh?)
“iya, bisa. Insya Allah.”

---

“yup, semua dah kumpul, kan? Moga2 selamet.” Demikian sang sopir, eh..sang murabbi maksudnya..
“amiiiin” kompak Annaml.. “subhanalladzi sakhkharalana hadza wamaa kunna lahu muqrinin, wa inna ila Rabbina lamunqalibun.” Kak Sigit menyalakan Suzuki APV itu dengan hati2 dan cermat. Mobil orang neh. “bismillah,” mobil pun melaju perlahan dengan nyaman.

Barisan pohon sepanjang tol jagorawi seolah berlari mengejar, namun tertinggal oleh kecepatan 90 KM/jam. Dari awal berangkat sampe Cibubur, nggak henti2nya Padu Voice mengatur strategi agar bisa tampil maksimal dalam acara. Berisik banget! Ngalahin Ramadhan-nya Justice Voice yang mengalun pelan dari tape mobil.

“jangan cemberut, ya. Senyum aja. Gerakannya musti bagus, jangan kaku. Cuek aja, jarak mikrofon dijaga biar suaranya stabil…bla..bla..” doktrin Arvi nasyid berulang2 sambil meluncurkan “hujan lokal” disertai busa2 nan indah bercipratan. Yang lain serius mendengarkan. Cuma Asep yang dari tadi asik dengan Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Nashiruddin al-Albani. Ck..ck..ck.. serius banget baca bukunyanya. Tumben. Eh subhanallah…

“terus jangan lupa, yang penting tuh kata kak Sigit, jaga hati jangan sampe tergoda. Apalagi kalo banyak akhwat di depan kita. Bisa berabe nih hati….” Suara ringan Bayu nambahin ‘petuah’ Arvi.
“tul, ntar disana kita muhasabah bentar ya seperti biasa. Akh Sigit bisa, kan? Mumpung ada akhi niih..?” Surahman ikutan ngasih sepatah dua patah kata.

Namun, Sigit lagi serius bawa mobil. Lupa2 inget neh jalannya.. ke tol cipularang liwat mana yak?..

“akh Sigit BISA, KAN??!!”
“eh, iya..iya..bisa.”

---

Padu Voice ngelanjuin gossip show-nya. Mulai deh, tebak-tebakan. Bosen! ‘kenapa ular nggak dikasih kaki?” Tanya Darud.

“kenapa ya?” Supriyatna garuk2 kepalanya yang nggak gatel. “kalau dikasih kaki mah namanya kadal atuh, atau ular berkaki empat.” Jawab Yatna jayuz namun PeDe abiez.

“salah! Sebab kalo dikasih kaki dia matok.”

“hua..ha..ha..” serentak Annaml ketawa ngakak. Ribut buangget! Di pintu tol lagi. Kecuali satu orang—seperti biasa—yang masih mikir kebingungan. "ular nggak dikasih kaki. Kalo dikasih kaki dia matok… apa maksudnya?” gumamnya sambil garot2 kepala..(banyak kutunya kale)

Padu Voice melanjutkan gossip show-nya, “begini..bgitu..kenapa begini, kenapa begitu? Eh.. iya.. bla..bla..”

---

Sampe juga neh di tol Cipularang. Jalannya masih terasa mulus, maklum baru diresmiin 2004 lalu. Pemandangan di luar sungguh Ruarrr Biasa!! yang paling konyol Fahrul, lihat ke depan, nengok ke kiri, muter ke kanan, balik ke belakang, (bingung, kan gimana bentuk lehernya?) sambil nggak berhenti2 komentarin segala yg dia lihat. Semangat sendiri! Bikin yang lain jadi pada manyun.

“berisik banget nih bocah. Nggak pernah ke Bandung apa ya? Dasar Patrick” gendek anNaml dalam hati.. astaghfirullah, istighfar dong (istighfar dongnya ke Fahrul maksudnya..hehe..)

Lagi bete2-nya, tiba2, “hua..ha..ha..” Supriyatna ketawa sendiri. Roman2nya baru connect neh tebakan yang tadi. Jadi maksudnya uler kalo dikasih kaki, dia matok??..hi..hi…hi..” deeuu.. dia asik sendiri. Bikin yg lain tambah manyun.

“yee.., ksian deh. Dere tede kemene eje??” gumam Refi sambil melahap roti mocca-nya yg ke delapan. “nyam..nyam..mudah2an tambah kurus..” (??).

“AMIIEENN!!” do’a An-Naml khusyu’ penuh harap!!

Semuanya tertawa. Renyah dan akrab sekali. Hanya Kak Sigit yang tersenyum khas. Begitu manis (jangan sirik ya..mentang2 yg nulis skenario nih, kalau pengin dipuji, bikin cerpen aja ndiri..).

Kelihatannya perjalanan masih cukup jauh. Garis tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang membentang lurus ke depan. Jaauuh..jaauuh.. (pake nada Slank). Memang harus diakui pemandangan sepanjang jalan mempesona setiap mata. Pemandangan yg tidak biasa jika tersanding dengan Wanaherang. Barisan gunung yg lebam membiru di kejauhan (abis di’cipol kali), membentang. Hamparan hijau pesawahan laksana kasur springbed abis diwantek (sumpah nggak nyastra banget metaforanya…). Sesekali burung2 elang menari di atasnya. Sorot tajam matanya seolah siap menerkam mangsa tanpa ampun. (sotoy, emank siapa yg bisa lihat sorot mata elang yg lagi terbang?). sejauh mata memandang yg terlihat hanyalah kesempurnaan alam yang penuh pesona. Duhai,Rabbana maa khalaqTa hadza bathila. Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia…. dalam tape mobil, Di Pematang-nya Gradasi mengalun menemani akrabnya nuansa. Namun sayang, sesekali Fahrul ikut2an bernasyid..sayang sekali. Sungguh!

---


“Siap2 ya sodara2, Bentar lagi sampe neh.” Seru kak Sigit membuat kandas lamunan. Keluar pintu tol, lalu menyusuri jalanan kota Bandung. Kota yg dulu sempat dibakar oleh rakyat Indonesia lantaran tidak rela belanda menguasainya. Lebih baik Bandung menjelma lautan api daripada dikuasai penjajah Belanda. Tekad baja warga Bandung kala itu. Sebuah semangat heroik yang menggelora.

Toko2 berjajar sepanjang jalan. Mall demi mall, perkantoran. Bandung padat sekali. Ia sudah maju laksana megapolitan yang menyaingi Jakarta. apalagi Bandung lebih sejuk sehingga lebih menarik daripada ibukota. Sederet artis berasal dari sini. Sebutlah Peterpan, sampe Bimbo, Gradasi, dan Aa Gym. Semua dari Bandung. Ruarrr biasa!!

“Eh, udah nyampe mana neh? Koq bisa kelewatan yak??”

---

Sasana Ganesha sudah ramai pengunjung. Rata2 anak-anak SMU dengan dominasi akhwat dengan jilbab2nya yg lebar, anggun. Berbaris di koridor akhwat dengan rapi menuju pintu utama. Sementara para ikhwan wajib pake koko putih, rapi.

Menatap mereka, rasanya peradaban sudah ditangan umat Islam. Layaknya ratusan tahun lalu ketika kaum Muslimin memimpin peradaban dunia. Begitu intelektual, cerdas, enejik, dan takwa. Di saat Eropa masih tenggelam dalam mistik dan barbarianisme.

Inilah generasi yang akan menggantikan peradaban orang2 yg lebih dahulu dari mereka. Menerangi gelap peradaban dengan pancaran cahaya Islam hingga terang benderang.

---

“widiii..'et dahh, subhanallah, jamilah banget tuh akhwat.” Si Asep nyang dari tadi diem mulai melakukan penampakan. (atau emank dari tadi diem karena mikirin akhwat ya , Sep? nggak dunk ya Sep. ga salah lagi..)

“ssttt!! Ghadhul bashar dunk! Tundukan pandangan” nasehat kalem khas el-Darud untuk saudaranya tercinta. (padahal mah perasaan Darut juga udah ga menentu kayak kompor meleduk. Itu akhwat mani geulis pisan. T-O-P-B-G-T)
ehm2!! GHADUL BASHAR!!! Tekadnya membaja! Sambil sesekali menengok pengin lihat akhwat tadi (ancur..!) lho, kemana perginya yak??

Di dalam gedung sudah berjejal para penonton. Orasi budaya Islam, apresiasi puisi. Oratornya gaul lagi, ustadz Jefry al-Bukhary, pokoknya Cuma dua kata: meriah, man!

Kalo boleh dikira2, kayaknya ruangan ini masih kurang luas untuk menampung jejalan peserta yang sebagian masih berdiri amat manis mengantri di enam pintu masuk utama. Di atas tribun sudah penuh dengan akhwat yg antusias menatap panggung dengan lekat. Rasanya belum pernah Padu Voice tampil di panggung yg se-glamour ini. dekorasi, sound system, dan lighting yg betul2 perfect.

Sementara itu, di sudut mushala kecil, sepuluh orang pemuda membentuk halaqah. Mereka ber’azzam untuk memulainya dengan muhasabah hati, agar segalanya menjadi suci.

“ikhwati, terus terang ana nggak menyangka acaranya seramai ini. nasyid antum sudah eksis sekarang. Antum sudah dikenal. Namun tetaplah tawadhu karena segalanya dari Allah. Nasyid ini harus menjadi cermin diri kita. Cobalah untuk berusaha konsekuen dgn nasyid yg antum lantunkan. Jangan menodai acara hari ini dengan debu2 riya. Ikhlaskan niat karena Alah. Karena seandainya Allah berkehendak, niscaya dijadikan-Nya gagal penampilan nasyid yg antum gelar. Sunguh, kebaikan dan kesuksesan hanya dari Allah. Istighfarkah saudaraku…”

Taushiyyah sang murabbi sesaat menjelang penampilan Padu Voice. Semua wajah tertunduk. Kerdil dan hina di hadapan Allah. Jangan sampai riya menodai hati ini, sekecil apapun. Ya, sekecil apapun.

Tantangan berat memang. Mengingat Padu Voice sudah cukup survive di Jabodetabek. Karena alasan itulah mereka diundang hadir disini. Mewakili Bogor. Memang dalam bentangan peradaban, popularitas dan kejayaan telah menenggelamkan martabat manusia pada lembah paling hina. Duh Allah, lindungilah…

---

Lautan manusia di depan mata. Meski semuanya duduk rapi cukup membuat Padu Voice nervous juga. kak Sigit tampak berada di antara ramainya penonton. Memperhatikan Padu Voice dengan tenang. Berharap mampu memberi semangat dengan senyuman dan acungan jempol pada mereka. Kehadiran murabbi di pentas nasyid glamour ini terasa cukup menjaga performance Padu Voice sehingga tidak terkesan over confidence.

Sampai disini semua beres. Namun ketika tiba2 seluruh peserta berdiri menyambut nasyid haraki yg tampil kemudian, ditambah desakan dari bagian belakang, kak Sigit terbawa arus dalam gelombang manusia. Untung ada bodyguard-nya, Asep yg badannya atletis menarik kak Sigit ke luar arena. Asep ghetto lohh!

Hmmbwaahhh..segarnya udara di luar membuat kak Sigit mulai merasa lega. Bandung selalu lebih sejuk. Berbeda dgn Bogor yg membara akibat industrialisasi yg tak terbendung. Asep dan kak Sigit tetap duduk2 di luar, menunggu Padu Voice yg selesai tampil justru malah menggabungkan diri dengan penonton untuk memperhatikan satu persatu penampilan nasyid dari berbagai kota. Ada yg luar biasa harmonis layaknya gradasi. Ada yg biasa saja, ada juga yg parah. Suaranya sember bo! kayak ember. Koreo-nya nggak ada. Ancur bangget, sambil nunduk lagi. Kacau banget tuh. Mo' nasyid apa pantomim? Ups! Ghibah nih..

Jam empat sore acara selesai. Meski hanya dapet juara tiga, kita bersyukur. Bisa belajar banyak dari tim lain, bisa ta’aruf (wew..TA’ARUF man!), nambah pengalaman. Wah, seru deh.

---


Malam ini lelah sekali. Seiko di tangan kak Sigit udah nunjuk jam delapan. Suzuki APV itu melaju dengan kecepatan sedang, 80KM/jam, seperti biasa. Menuju Bogor.

Melelahkan. Semuanya sudah tidur, kecuali sopir, eh murabbi. Hanya Iyan,yg sesekali terlihat membuka mata. Menegok sebentar ke luar jendela, memandang Jakarta di waktu malam. Indah. Gemerlap lampu2 kota yang megah. Sinar dari papan reklame seolah memberontak dalam keangkuhan malam yg mencengkeramkan gelapnya. Barisan cahaya dari lampu2 mobil yg seakan menyatu membentuk siluet panjang berwarna warni. Ah, dunia. Batinnya.

Perlahan Iyan mengantuk lagi. Menarik resleting jaketnya tinggi2 hingga menutupi leher, menutup rapat jendela. Lalu, terlelap tidur.

Selepas keluar tol Gunungputri, seberang danau pojok nan indah, kak Sigit meminggirkan mobilnya (iya deh..iya..mobil Danang…ga bakal di aku2 koq). Menengok sebentar ke belakang. Ia ingin memandang wajah mad’unya yg masih larut dalam lelap. Satu demi satu, Darut, Refi, Surahman, Bayu, Yatna, Asep, Fahrul, Iyan, dan Arvi. Wajah2 damai dalam da’wah. Wajah para pemuda Islam harapan umat. Wajah yg senantiasa istiqamah melanjutkan estafeta perjuangan generasi pendahulu, untuk memperbaiki diri dan umat ini. meski lelah, meski lemah.

Kak Sigit memandangnya, lekat. Tak terasa air matanya menetes. Duhai Allah, saksikanlah..sesungguhnya hamba telah menyampaikan da’wah ini.
Dari tape mobil, murattal Syaikh al-Mathrud mengalun pelan,“ud’u ila sabili rabbika bil hikmah, wa mau izhatil hasanah…”

“serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yg baik…”

Ikhwati, andai antum mengetahui betapa besar cinta ini….

---

“halloo mas, gopar yuk! Alias goceng ngampar…! suara dari luar jendela, genit!
“hwaaa!!! Astaghfirullah!!: histeris Sigit membangunkan semuanya.
“toloong ada banci…!”


--
Bersambung ke serial annaml society edisi 2
Rental Komputer, 25 Januari 2006
For my mutarabbi, “keep on the jeehad!”
Libur panjang mahasiswa, ditemani uang Rp.4.000 saja…

0 komentar:

Posting Komentar