Jumat, 22 Maret 2013

Hipokrisi Gerakan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia


By: Sigit Kamseno

--
jazakumullah khairan katsiran kepada ust@ernesto Eksentrik, ust@Sur Yadi, dan ust@CPT Ranger atas data dan informasi yang menginsiprasi dan melengkapi notes kecil ini .
--
Menjelang jumlah membernya yang ke 1.500 account beberapa waktu lalu, ada “diskusi” yang menarik di Grup “Indonesia, Harapan itu Masih Ada”, yaitu perdebatan tentang urgensi dan tujuan dari pendaftaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) ke Departemen Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri).

Dalam alam demokrasi dimana masyarakat diberikan kebebasan utk berserikat dan berkumpul, sebetulnya tak ada masalah kelompok masyarakat manapun untuk mendaftarkan dirinya ke Depdagri sebagai jalan untuk melegalkan status organisasinya di Negara hukum Indonesia, termasuk Hizbut Tahrir.

Tetapi menjadi inkonsisten (atau setidaknya ‘terkesan’ inkonsisten), jika organisasi yang mendaftarkan dirinya ke Depdagri itu adalah organisasi yang secara massif menyerang pemerintahan plus prinsip-prinsip dalam organisasi tersebut justru bertentangan dengan syarat2 dari negara yang harus dipatuhi oleh ormas bersangkutan.

Bagi saya, tidak sulit untuk mengetahui bahwa Hizbut Tahrir Indonesia adalah gerakan Islam yang memandang bahwa demokrasi, Pancasila, UUD’45, dan format NKRI sebagai hal yang bertentangan dengan Islam. Kalangan Hizbut Tahrir ini memandang hal-hal tersebut sebagai sistem thaghut, sistem kufur, yang berseberangan dengan pemahaman keislaman sebagaimana yang mereka yakini (sekali lagi, pemahaman keislaman sebagaimana yang mereka yakini)

Konsekuensi logis dari pandangan ini kemudian mengejawantah dalam penentangan syabab HTI terhadap format NKRI, demokrasi , Pancasila, dan UUD’45 dalam status2 Facebook, tulisan2, booklet, dan media lain yang menjadi media propaganda Hizbut Tahrir.


Inkonsistensi HTI dapat diketahui ketika kita melihat bagaimana Hizbut Tahrir berupaya untuk melegalkan organisasinya di Negara Indonesia melalui Departemen Dalam Negeri dengan nomor 44.D.III.2/6/2006. Demi melegalisasi organisasinya di Indonesia ini, Hizbut Tahrir yang menentang Pancasila dan UUD 45 itu dengan ‘sukarela’ tunduk kepada sistem pemerintahan Republik Indonesia meskipun syarat dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah sebetulnya bertentangan dengan ideologi Hizbut Tahrir.

Sebagai contoh misalnya, "Dalam pasal 31 disebutkan kan ada tiga kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Ormas.

1) Menjaga, memelihara, dan mempertahankan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, KEUTUHAN NKRI, dan IDEOLOGI NEGARA PANCASILA;
2) Menjaga dan memelihara ketertiban umum serta mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas; dan
3) Menjunjung tinggi supremasi hukum.

Dengan demikian, Ormas dilarang melakukan kegiatan yang MENGGANGGU KEDAULATAN dan KEUTUHAN NKRI, dilarang MENYEBARLUASKAN IDEOLOGI atau ajaran yang bertentangan dengan PANCASILA dan UUD 1945, (pasal 52)."

Jika kita melihat ketentuan yang ditetapkan pemerintah ini, tentu kita melihat paradoks yang benderang antara doktrin-doktrin HT pada level ideologis via a vis langkah-langkah HTI pada tataran real-praktis yakni ketika HTI mendaftarkan diri di depdagri.

Hal ini disebabkan karena metode penegakan khilafah ala Minhajin Nubuwah versi Hizbut Tahrir adalah dengan cara revolusi, Coup D’Etat, penggulingan pemerintahan yang sah dan menggantinya dengan sistem Islam. Bukankah cara ini bertentangan dengan ketentuan di atas?

Problem yang saya pikir paling menonjol adalah, mengapa HTI mendaftarkan dirinya di Depdagri dengan syarat Menjaga, memelihara, dan mempertahankan …KEUTUHAN NKRI, dan IDEOLOGI NEGARA PANCASILA padahal sejak awal mereka memang bercita-cita untuk mengambil alih kekuasaan melalui revolusi dan berlepas diri dari format NKRI menuju Negara Trans- nasional Khilafah Islamiyah?

Semestinya, jika memang sejak awal HTI berniat utk “memberontak” pada pemerintah, menggantikan sistem demokrasi, pancasila, serta UUD 45 dengan sistem Islam, mereka tak perlu melakukan ‘kepura-puraan” untuk taat pada UU untuk kemudian menggulingkan pemerintahan ketika HTI merasa sudah kuat. Hal ini jelas menunjukkan sebuah hipokrisi dalam dakwah HTI.

Berpura-pura taat pada pemerintah kemudian menghianatinya di suatu saat kelak.
Bahkan definisi dari Organisasi Kemasyarakatan saja sudah bertentangan dengan doktrin HT.

Dalam Undang-undang, yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. [1]

Perhatikan kalimat: Untuk berperan serta dalam pembangunan nasional dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila. Apakah HTI memenuhi syarat ini? Saya pikir tidak. HTI secara ideologi membenci NKRI, pertama karena format nation state/Negara bangsa (NKRI) adalah format kenegaraan yang bertentangan dengan konsep negara trans-nasional Khilafah Islamiyah. Kedua, huruf ‘R’ dari NKRI yang merupakan akronim dari kata Republik merupakan format kenegaraan yang--menurut HT-- bertentangan dengan sistem Islam yakni khilafah Islamiyah sebagai satu2nya sistem pemerintahan.

Oleh karena itu, menjadi sebuah pertanyaan besar, untuk apa HTI merasa perlu mendaftarkan dirinya ke depdagri padahal syarat yang ditetapkan pemerintah bertentangan dengan ideologi HT?


Dalam beberapa kesempatan saya melihat rekan2 syabab HTI merasa kesulitan untuk menjelaskan realitas ini. Sebagian menjawab bahwa hal ini hanyalah perkara administrasi dan tak menyentuh ranah hadhari (peradaban, sistem). Saya pikir, kalaulah kemudian kita memandang bahwa hal ini adalah perkara administratif, apakah HTI memang memperbolehkan sebuah hipokrisi dengan berpura2 patuh dan taat pada UU secara formalitas di depan pemerintah --ketika mendaftarkan dirinya di depdagri itu--, padahal secara ideologi (yang tersembunyi di dalam hatinya), Hizbut Tahrir menentang apa yang mereka patuhi secara formal itu?

Sebuah jawaban yang tidak menjawab paradoksi ini bukan?

Bahkan, seorang syabab mengatakan via postingan di notes saya begini:

“Meskipun, ada UU Ormas, tetapi kenyataannya adalah pemberlakuan UU ormas itu tidak strict diperlakukan oleh Depdagri, tidak seperti pemberlakuan UU Parpol. Bahkan, sekalipun dengan jelas-jelas mereka mengetahui bahwa HT akan menegakkan syari’ah dan Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD, tetapi tetap diperbolehkan terdaftar sebagai Ormas yang resmi. ….

Karena, mereka (pemerintah) sendiri yang menyatakan bahwa HTI adalah resmi, sekalipun mereka tahu dan mengakui bahwa HT akan menegakkan syari'ah dan khilafah dikarenakan mereka sendiri yang tidak konsisten terhadap UU Ormasnya.

Tetapi, ketidak-konsisten mentaati UU Ormas tersebut adalah "BAGUS" dalam pandangan syara', karena konsisten terhadap UU Ormas sama saja dengan "Menta'ati makhluq di dalam bermaksiat kepada Allah". Karena itu, pelaksanaan prosedur pencatatan Ormas di Depdagri yang tidak konsisten terhadap UU Ormas, harus disyukuri. Alhamdulillah. Itu artinya, orang-orang di Depdagri masih memiliki sifat mencintai orang-orang yang (insyaAllah) tulus menegakkan syari'ah dan khilafah.”

Sebetulnya ada syabab lain yang memberikan jawaban hampir serupa. Intinya, bagi syabab HT, ketidak-konsistenan pemerintah dalam menegakkan UU adalah ‘rahmat’ bagi HT, bahwasanya banyak pula ormas yang melanggar UU di Indonesia, bahwasanya UU tidak pernah secara tegas diberlaukan oleh pemerintah. Kalimat, “karena konsisten terhadap UU Ormas sama saja dengan "Menta'ati makhluq di dalam bermaksiat kepada Allah" menjelaskan hal ini.

Saya berfikir bahwa ini merupakan sebuah langkah yang cukup mengherankan, bagaimana mungkin sebuah gerakan dakwah ikut2an melanggar UU yang secara de jure telah mereka sepakati di Depdagri? Sebuah sifat hipokrit dalam dakwah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
[61.2] Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
[61.3] Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.

(QS. Ash-Shaff:2,3)

--
Demikian pula (sedikit bergeser dari tema ini), jika konsisten dengan pemahaman keislamannya yang menurut saya rigid itu, semestinya syabab HTI tidak boleh menjadi PNS karena PNS terikat dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Syarat menjadi PNS adalah warga negara Republik Indonesia.
Sementara kedudukan Warga Negara dalam UUD 45 pasal 27 disebutkan "Warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Sedangkan bagi HTI, menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan RI adalah haram karena ini berarti loyalitas terhadap pemerintahan kufur.

2. Pengangkatan PNS ada sumpah loyalitas kepada negara. Kewajiban ini bisa dilihat di UU Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999. Diantara bunyinya adalah kesetiaan kepada Pancasila. Padahal bagi HTI, haram loyal kepada Pancasila.

Kutipan UU no 43 1999:

Bagian Kelima
Sumpah, Kode Etik, dan Peraturan Disiplin

Pasal 26
(1) Setiap Calon Pegawai Negeri Sipil pada saat pengangkatannya menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengucapkan sumpah/janji.

(2) Susunan kata-kata sumpah/janji adalah sebagai berikut:
Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:

Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pagawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;

Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab;

Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;

Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;

Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara”
--
Apakah HTI tidak akan membaca sumpah ini yang berarti membohongi lembaga tempat dia bekerja (artinya bekerja dengan diawali oleh kedustaan),

Ataukah membacanya sebatas di mulut belaka dan memberontak dalam hati bahwa sebetulnya yang ia baca adalah ‘sumpah palsu’? apakah dibenarkan bersumpah palsu menggunakan nama Allah?

Saya, sebagaimana notes saya sebelumnya, akan merasa senang jika ada rekan HT yang menanggapi notes ini dengan notes pula, sehingga terhindar dari debat kusir sepanjang komen di notes yang mereduksi argumentasi kita karena keterbatasan ruang dan waktu.


Oh iya, notes ini semata kritik yang biasa saja, tak ada kebencian di hati saya terhadap HizbutTahrir. salam ukhuwah.


Hadanallah wa iyyakum ajma’in
Bergeraklah! Karena air yang bergerak itu lebih segar daripada yang diam menggenang!
Wallahu a’lam bi ash-Shawwab

----

[1] (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, Lihat Juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan Dan Lembaga Nirlaba Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa Dan Politik Dalam Negeri Pasal 1 Ayat 2)

0 komentar:

Posting Komentar