Kamis, 21 Maret 2013

wajah pendidikan kita


Aku pernah diminta ceramah di salah satu sekolah (MTs), acara Maulid Nabi katanya. Kondisi sekolah itu sangat memprihatinkan. Bangunan sekolah yg sudah amat tua, fasilitas sekolah yang amat minim, plus kualitas belajar yang secara logis juga tidak akan berkualitas sebagai akibat dari kondisi seperti ini.
Acara “Peringatan maulid Nabi” itu disusun dengan amat bersahaja kalau tidak boleh dibilang “miskin fasilitas dan konsep”: Panggung yang terdiri dari meja2 kecil ditutup pake karpet kumal. Sound system yg bermasalah, serta susunan acara yg amat sederhana. Dibimbing oleh guru2 yg juga amat sederhana.

melihat realitas ini hatiku miris….

Aku teringat pada Bina Bangsa, tempat aku mengajar dulu, aku sempat kecewa dengan kondisi sekolah itu karena fasilitasnya kurang lengkap dan guru2 yg tidak berkualitas disana. Tapi jika tersanding dengan MTs ini, Bina Bangsa tiba-tiba menjadi mewah. Apatah lagi SKIL, sekolahku dulu, dengan fasilitas yg amat cukup.

Murid2 di sekolah2 semacam MTs ini kebanyakan dari keluarga yg tidak mampu. Itulah alasan mengapa sekolah2 seperti ini akselerasinya sangat lambat bahkan cenderung stagnan kalau tidak mundur. Bagaimana akan maju kalau uang SPP saja banyak yg menunggak??
Bandingkan dengan sekolah2 standar nasional saja—tidak usah yang berstandar internasional— dengan fasilitas yg amat lebih dari cukup, fasilitas guru yang tercukupi, menjadikan sekolah ini melaju dengan akselerasi yg cepat.
Murid2 di sekolah2 seperti ini memang tidak semuanya berasal dari keluarga berada. Murid yg berasal dari keluarga kurang mampu juga Ada, Tapi persentasenya tidak sebesar seperti yg terdapat di sekolah2 semacam MTs tadi, yg selepas dari MTs saja belum tentu melanjutkan sekolah.

Aku membayangkan kondisi ini 20 tahun ke depan: Dimana anak2 dari keluarga berada kemudian berhasil menjadi orang2 sukses dengan beragam profesinya sebagai buah dari fasilitas pendidikan yg selama ini mereka ikuti. Sementara anak2 dari keluarga MISKIN, menjadi buruh2 kasar yang bekerja di bawah tekanan dengan gaji UMR saja, sudah lumayan. Tidak menutup kemungkinan mereka akan menambah lagi jumlah penduduk miskin di negeri ini.
Kemudian orang2 miskin itu beranak pinak lagi yg juga bernasib sama dengan mereka karena dengan gaji UMR, mereka hanya mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah2 yg “parah” juga. Sementara anak2 orang kaya yg sudah sukses itu menyekolahkan anak2 mereka pada sekolah2 berstandar internasional karena mereka punya cukup uang untuk itu.
Dari sini kemudian, sejarah akan tetap berjalan dalam skema yg sama: yang miskin tetap miskin, yg kaya akan semakin kaya!”
Berlebihan? Tidak juga. Kalau ada anak keluarga miskin yg mendapat beasiswa karena kecerdasannya, dan bersekolah di sekolah2 favorit, mereka itu dapat dihitung dengan jari! Persentasenya amat kecil! Sebagian besar dari mereka tidak akan mendapat beasiswa karena sudah miskin, bodoh pula! Bagaimana mau cerdas kalau asupan gizi saja kurang, kalau waktu untuk belajar saja dipakai untuk kerja serabutan. Mereka akan tetap miskin, (dan sekali lagi: terpaksa menjadi bodoh!)
Ini nyata! Di depan mata!

Inilah kemiskinan terstruktur! Apa yg harus aku lakukan untuk merubah ini semua!
Masyarakat dengan kondisi ekonomi yg serba kekurangan ini cenderung berpikir praktis-pragmatis. Asal ada duit, mereka rela melakukan apapun untuk mempertahankan hidup! Mereka cenderung tetap pada paradigma seperti itu. Paradigma yg tidak progressif. Bagaimana mungkin mereka berminat untuk merubah paradigma dan konsep hidup kalau untuk kebutuhan hidup saja susah? Orang2 semacam ini sukanya nonton dangdutan, sinetron, film india, film2 tahayul, khurafat dan berbau syirik. Hampir tak ada yg suka nonton Mario Teguh, Kick Andy, Oprah, atau Perfect Number di O’Channel. Ah… Allahu Akbar!

Benar kata TVOne: Seandainya setiap keluarga yg berpunya bersedia membiayai satu orang saja dari keluarga yg tidak berpunya itu, barangkali problematika dan realitas sosial akan lebih baik.

Entah kapan kesadaran seperti itu akan muncul!
Sementara ini kita harus sadar bahwa kita hidup di tengah realitas sosial yg dipenuhi disparitas2 yg lebar!

Aku harus membentuk generasi yg sadar untuk merubah kenyataan ini. Generasi yg berparadigma benar dalam memandang kehidupan dunia yg fana ini.
Allah, kabulkanlah…
070609. 14:06

0 komentar:

Posting Komentar