Jumat, 22 Maret 2013

Hassan Mubarak…Hassan Mubarak


(serial annaml society ke-8)

Majelis ini berjalan haru biru. Aroma kepahlawanan tercium amat kental. Betapa tidak, Pangeran Diponegoro yang memimpin pertemuan ini sedang membagi wilayah pertahanan. Sebagian prajurit mendapat tugas di Kedu. Sebagian lagi di Sukowati dan Gunung Kidul. Terlihat kedua alis Pangeran menukik tajam, mempertegas sorot matanya yang laksana elang. Rahangnya yang kokoh menegaskan sukma pendekar yang bersemayam di dalamnya. Pangeran memperhatikan dengan seksama setiap prajurit. Memandang majelis ini dari satu sisi ke sisi yang lain.

Tampak beliau sedang menerawang. Apakah gerangan yang sedang berputar dalam benaknya? aku menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan berat. Aku tahu, yang sedang mencengkeram benak pangeran adalah nestapa yang tengah diderita rakyat. Kerja paksa, juga tekanan pajak yang tinggi. O, penderitaan berkepanjangan yang sampai kini belum bertemu dengan jalan keluar.

Agh, seandainya Baginda Sri Sultan Hamengku Buwono IV tidak mangkat secara mendadak dengan meninggalkan Panegeran Menol yang baru berusia tiga tahun itu, tentulah Patih Danurejo IV tidak akan memiliki kesempatan untuk menyingkirkan kuasa Dewan Perwalian.[1] Tetapi aku tak boleh berandai-andai! Begitu kata Pangeran Diponegoro. Segala sesuatu yang berlangsung di atas hamparan bumi tentu terjadi dengan izin Gusti Allah. Sedang waktu tak bisa diputar ulang. Begitu selalu Pangeran menasihati kami, para prajurit.

Sungguh, setiap kali aku teringat derita rakyat, dadaku serasa dibakar. Tanganku mengepal! Dan tiap kali aku teringat ibuku yang dipopor senapan di pinggir jalan pasar itu, mataku selalu merah menahan marah!! Sayang sekali aku masih enam tahun kala itu.


“Menyingkir dan jangan menghalangi jalan!!” sesumbar budak-budak penjajah itu dengan popor senapan yang mendorong bahu ibu pagi itu….

Kembali tanganku mengepal! Menahan amarah yang bergejolak di dalam dada, hingga tiba-tiba Kyai Mojo, ulama besar sahabat pangeran memandang dengan teduh dan menenangkanku.

“Hasan Mubarak, tenang dan bersabarlah.”

Apakah kiranya kyai mengetahui selaksa amarah yang tengah bergolak dalam dadaku? Tentu, ia ulama besar. Barangkali ini yang disebut dengan firasat orang Mukmin seperti diceritakan Pangeran Diponegoro dalam majelis pengajiannya kemarin. Pandangan Kyai Mojo amat teduh, seteduh angin yang berhembus dari sela-sela dinding gedhek[2] ini. Baju jubah putihnya melambai-lambai tertiup angin sore. Pandangannya jauh. Jauh. Melampaui jarak yang tak mampu kami jangkau.

Menjelang Maghrib ini, Kyai Mojo memberikan wejangan kepada prajurit tentang ilmu ikhlas. Agar semua jerih payah, semua darah yang tumpah, agar tubuh ini, semua untuk perang jihad melawan penjajah Belanda. Niatnya harus lurus selurus pedang; karena Gusti Allah! Bukan karena dendam. Kata Kyai, kalau kita mati di medan jihad, Gusti Allah akan membalas kita dengan Swarga yang indah tiada tara, beserta bidadari-bidadarinya nan jelita.

Bidadari….

Aku jadi teringat Sarinem, gadis Tegal Rejo itu. Masihkah ia menungguku dengan segenap rindu? Ah, Kyai Mojo, bolehkah aku meneteskan airmata ini ketika aku teringat padanya…?

***


Di sudut eskalator ini aku melarikan diri.

Mall ini, terasa begitu sepi.

Dentum musik, Hiruk pikuk manusia. Tetap saja sunyi….

(Bumifana 5 Januari 2008)

Aku terpaku di Mall ini. Dadaku terasa hampa. Masih kuingat SMS Syahrini tadi malam. Kalimat demi kalimatnya terus mengiang menyiksaku.

Sebetulnya ada perasaan menyayangkan kenapa kamu tidak mengungkapkan cinta ini dari dulu, ketika aku masih berharap. Waktu itu kau hanya diam. Kini setelah aku bersama Refi, kamu baru terus terang padaku. Sejujurnya, aku masih sayang kamu. Tapi semuanya sudah terlambat. Tak mungkin aku Menyakiti Refi, dia sudah banyak berkorban untukku. Maafkan aku….

Rini, andai kamu tahu betapa tersiksa aku karena penjara cinta ini.

Dentum musik masih bergema. 11 Januari Gigi terdengar keras dari sebuah toko kaset. Beradu mencari mangsa dengan Sang Penghibur dari Padi di toko yang lain. Sore ini menjadi waktu yang paling melelahkan bagiku. Orang-orang berlalu lalang sibuk dengan urusan masing-masing. Sebagian terlihat sedang transaksi. Sebagian tampak sedang menunjuk-nunjuk barang. Sekelompok ABG tertawa cekikikan di atas eskalator. Sepasang muda-mudi berjalan bergandengan tangan menuju sebuah toko boneka. Menambah muak emosiku petang ini. Aku menarik nafas, lalu membuangnya dengan berat.

Andai waktu dapat kuputar ulang,

Aku ingin berteriak, dan mengatakan pada semua orang:

“Riniii…aku sayang sama kamu!!!”

Mataku terus berkaca seiring isak dalam dadaku. Jam delapan malam baru aku putuskan untuk pulang. Jenuh. Kutarik Thunder 125cc ku. Gas penuh. Melaju dalam keramaian malam Minggu. Lagu-lagu Ska berteriak dari earphone yang menyempil di dua telingaku. Tetap saja sepi! Jalanan ramai. Gegap gempita malam tampak mewakili suasana yang semestinya. Rombongan sebuah klub motor berteriak sombong menyalipku. Ingar bingar musik dari tape mobil terdengar bergantian dari satu mobi ke mobil lain yang saling salip menyalip. Musik-musik itu berkelahi dengan irama Ska di gendang telinga. Lampu-lampu hias berkilauan di sisi jalan. Begini seharusnya malam Minggu! Langit cerah. Angin malam mendesau. Bulan tengah Purnama. Namun awan tetap berarak dalam gelap malam. Saksi bisu peradaban dari zaman ke zaman. Tumben malam ini tidak turun hujan. Mungkin airnya sudah habis terkuras dalam tumpah di hatiku yang seumpama badai.

Sampai di rumah aku langsung beranjak tidur. Lelah. Fotoku dan Rini yang terpampang di dinding kamar tersenyum meledekku. Di bawah foto itu tertulis, Hassan Mubarak and Rini Ardianti.

Lagi-lagi airmataku mengalir….

...

Biarkanlah aku pergi….

Arungi kelam gersang bumi,

Dalam gelap cintaku.

***

Di pimpin Kyai Mojo, seluruh pasukan menunaikan shalat Isya di sebuah Langgar[4].

Khusyu’.

Ketika kuselami taman-taman ruku’ dan sujud.

Maka hilanglah segalanya,

Kecuali Kau, dan aku….[5]

Hembusan angin malam menusuk tulang. Desauannya terdengar berhembus di luar Langgar tempat kami mendirikan Shalat Isya. Gesekan pepohon bambu terdengar menderit-derit. Bulan tengah Purnama. Tak seperti kemarin, malam ini tak turun hujan. Yang hujan adalah hati kami, para prajurit Pangeran Diponegoro.

Sehabis Shalat Isya ini, kami siap dilepas oleh Pangeran Erucokro[6] ke lima wilayah pertahanan. Pangeran tampak tegas! Lagi-lagi sorot mata pendekarnya tajam mengecutkan semua mata yang berani memandangnya. Malam ini seluruh pajurit berpelukan. Berpisah penuh haru. Juga kepada Kyai Mojo dan Pengeran Diponegoro.

“Moga-moga Gusti Allah memberikan barokah kepadamu, Hassan Mubarak. Sebagaimana namamu.”

Suara pangeran terdengar amat berwibawa. Menggetarkan hatiku yang mendengarnya dengan pilu. Hassan Mubarak adalah nama yang diberikan Kyai Mojo untukku ketika aku memeluk agama Islam. Nama kecilku sebetulnya Saridi, namun aku lebih senang dipanggil Hassan Mubarak. Kata kyai, artinya kebaikan yang diberkahi. Nama itu sama dengan nama cucu kesayangan Kanjeng Nabi.

Selepas mendoakanku Pangeran memacu kuda putihnya bersama beberapa pasukan. Pangeran tampak sangat gagah. Jubah putihnya yang berurai terlihat makin menjauh dari pandanganku, hingga akhirnya hilang ditelan gulita malam. Derap kudanya masih terdengar di kejauhan. Entahlah, apakah aku akan berkesempatan memandang pangeran lagi atau tidak. Aku tidak tahu.

Aku bersama sepasukan prajurit pun berpamitan pada Kyai Mojo, mohon pamit untuk pergi menuju lereng Gunung Merapi guna mempertahankan kampung tersebut dari penjajahan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock.

Pamitku mengharubiru pada kyai, disertai ucapan terimakasih atas pengajian yang selama ini kyai berikan. Kucium tangannya dengan selaksa syahdu seumpama santri yang berpamitan pada kyainya. Kukencangkan sarung kerisku, dan memacu kuda bersama rekan-rekan Prajurit. Kyai Sentot Alibasya Prawirodirdjo, bangsawan nan dermawan, kini menjadi panglima yang memimpin kami di depan. Menyusuri aliran Kali Progo menuju ke hulu. Bulan purnama menerangi perjalanan, menambah jelas ilalang dan ranting-ranting yang menghalangi pandangan. Terdengar dengan jelas tebasan golok-golok prajurit yang beradu dengan ranting-ranting untuk merambah jalan yang masih dibalut hutan ini. Angin malam masih mendesau, suara jeritan binatang malam sayup-sayup melolong di kejauhan. Langit sepi dari bintang gemintang. Awan terlihat bergumpal-gumpal dalam kegelapan langit yang kelam. Namun purnama tetap tersenyum. Melihat purnama ini, agh! Sarinem, Aku masih saja merindukanmu….

***
...

Cinta itu indah,

Ia menjadi indah bukan hanya karena mampu membuat kita tertawa,

Tetapi justru, juga karena mampu membuat kita menangis….


Cinta itu indah,

Sayang kalau kita belum merasakan tawa dan tangisnya.

Bahkan,

lebih baik kita pernah jatuh cinta, lalu patah hati….

Daripada belum pernah merasakan cinta sama sekali.


(SMA Pelita Bangsa, Catatan Harian Hassan Mubarak, 2008)

“Oi, Rok! Gi pain lo?” Zakky menepuk bahuku dari belakang, lalu dengan cepat mengambil buku harian itu dari mejaku. Reflek aku berusaha merebutnya kembali. Namun tak berhasil. Ia langsung membaca catatan itu, sejenak terdiam. Tiba-tiba roman wajahnya berubah menjadi serius.

“eh, Barok. Elo lagi patah hati, ya? Sama siapa? Rini?”

Aku menundukkan kepalaku. Barok adalah panggilan akrab Zakky untukku, Hassan Mubarak. Aku memang lebih senang dipanggil Barok daripada Hassan, lebih gaul dan tidak kampungan.

Zakky terus saja menatapku, tangan kanannya menyentuh pundakku.

“elo yang sabar, ya. Tar kalo jodoh juga ga bakal kemana.”

Aku semakin menunduk. Zakky yang teman akrabku sudah tahu betul bahwa cinta adalah sisi hidupku yang paling melankolis. Aku bisa saja sedikit sombong dalam pertandingan basket melawan tim sekolah lain. Aku bisa saja merasa berwibawa dengan seragam Pramuka Penegak Laksana yang kukenakan di depan junior-juniorku. Tapi untuk urusan cinta, aku lemah dan tak berdaya.

Aku dan Zakky memandang keluar jendela. Udara pagi masih terasa dingin. Jam masuk sekolah belum tiba. Pagi ini aku memang berangkat sekolah lebih awal. Matahari di balik gunung Merapi bersinar hangat. Persawahan tetap hijau menghampar. Gemericik aliran Kali Progo di samping sekolah membuat suasana pagi benar-benar sempurna. Sekolahku yang terletak di Lereng Gunung Merapi ini memang kondusif untuk belajar. Tenang.

Gunung Merapi itu terlihat menjulang dan kokoh. Sekokoh hati Rini yang begitu keras dan tak mampu aku taklukan. Sewaktu kelas satu, dia pernah berharap cinta dariku, namun tak kupedulikan. Sebetulnya waktu itu aku juga suka padanya, namun aku memilih untuk berfokus pada Komunitas Sastraku. Itulah alasan mengapa semua surat darinya tak pernah aku balas. Hingga akhirnya dia putus asa. Hatinya kosong seperti dia gambarkan dalam suratnya. Pada saat itulah Refi mengisi kekosongan hatinya. Setelah sadar semuanya terlambat, barulah aku menyesal dan meratapi diriku. Sudah tiga bulan ini aku melarikan diri dari masalah yang justru makin terasa besar! Pergi ke pusat games untuk sekedar menghilangkan ketegangan syarafku. Atau pergi ke klub malam di Malioboro agar aku bisa melupakannya....

Aku tak bisa.

Teeet…teet….

Bell sekolah membuyarkan lamunanku. Teman-teman sekelasku sudah berdatangan. Kelasku yang selalu ramai. Tawa dan hiruk pikuk mereka membuat dunia terasa padat oleh manusia. Namun papan tulis masih saja mematung di dinding. Seperti aku yang mematung kesepian di sudut kelas.

Sunyi….

Lukisan Pangeran Diponegooro, Pahlawan Nasional dari kotaku, Tegal Rejo menatap entah kemana. Begitu pula dengan dua orang sahabatnya, Sentot Alibasya dan Kyai Mojo, tampak tertegun melihat generasi baru yang lahir ratusan tahun setelah mereka. Generasi yang mereka bela. Pantaskah aku berharap begitu?

Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasya Prawirodirdjo, Kyai Mojo. Pernahkah kau merasakan cinta?

Kehidupan demi kehidupan memang terus berlalu. Ia seperti air Kali Progo ini. Mengalir dari hulu ke hilir. Begitulah hingga sampai ke muara akhir. Beribu zaman beribu generasi. Hingga zaman terakhir….

...

Entah,

Siapakah yang duduk di tempat ini,

1000 tahun yang lalu,

Sebagaimana aku duduk di sini,

Sekarang ini,

Merekalah masa lalu,

Yang tak kembali….

...

Entah,

Siapakah yang duduk di tempat ini,

1000 tahun mendatang,

Sebagaimana aku duduk di sini,

Sekarang ini,

Akulah masa lalu,

Bagi mereka…..


***

Dari kabar yang menyebar dari mulut ke mulut, aku mengetahui bahwa bebarapa waktu lalu Belanda tengah menyelengarakan sayembara. Jenderal De Kock menyediakan 20.000 Gulden bagi siapa saja yang mampu menangkap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati. Namun syukurlah rencana tersebut gagal. Aku yakin rakyat yang sangat mencintai pangeran tidak akan menerima sayembara nista tersebut! Tapi bagaimana pun aku tetap mengkhawatirkan keadaan pangeran. Aku berdoa semoga Gusti Allah melindunginya.

Kyai Sentot Alibasya mengetahui bahwa kegagalan sayembara tersebutlah yang menjadikan Belanda mengubah taktiknya. Taktik inilah yang membuat kami terjepit. Strategi Belanda dengan Benteng Stelselnya menjadikan para prajurit tidak mampu bergerak bebas. Di setiap daerah yang berhasil mereka kuasai didirikan benteng besar yang dihubungkan dengan benteng sebelumnya melalui pembuatan jalan.

Aku bersama dua orang prajurit melakukan penyamaran untuk mengetahui keadaan dengan turun ke kampung-kampung. Benar saja. benteng-benteng itu seperti mengelilingi Jawa. Serdadu melakukan patroli dengan teratur. Senapan mereka siap menembak siapa saja yang bertingkah mencurigakan. Aku dan dua rekanku harus lebih berhati-hati.

Hari sudah sore. Kami berhenti di sebuah kedai kecil. Mencoba mendengarkan kabar yang barangkali bermanfaat untuk kami laporkan pada panglima. Daun pohon-pohon pisang terlihat berkibar-kibar di pinggir kedai. Andai yang berkibar itu adalah panji Islam. Panji kebangsaan dari negeri yang tidak rela dijajah. Panji yang melambangkan kehidupan yang bebas dan merdeka. Apapun warnanya. Apapun simbolnya.

Dua orang serdadu menghampiri kedai. Wajah mereka tampak kelelahan. Matanya tampak awas memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Entah disengaja entah tidak, dua orang serdadu itu duduk di bangku paling dekat dengan kami. Firasatku tidak enak. Dua orang rekanku tampaknya memiliki firasat yang sama. Kami bertiga waspada, khawatir serdadu itu mengetahui penyamaran kami. Namun tak terjadi apa apa setelah kami menghabiskan beberapa potong singkong rebus.


Agh! benar saja.…


Dorrr!!! Dorr!!!Dorrr!!!

Aku terkapar…darah mengalir deras dari lambungku yang disarangi tiga buah peluru… dua orang rekanku langsung melemparkan golok mereka tepat kearah perut kedua budak Belanda itu dan menyerangnya hingga mati. Aku lemas…pandanganku berkunang-kunang. Masih kudengar jeritan si Mbok penjaga warung…mungkin inilah saatnya batas usiaku. Aku hanya menitipkan salam pada Kyai Sentot. Mohon doanya agar aku mendapatkan syahid sebagaimana kudengar dalam pengajian Kyai Mojo dulu. Ah, swarga itu…adakah bidadari yang menungguku di sana lebih cantik dari Sarinem?


***

Matahari tampaknya sudah kelelahan hari ini. Ia lebih memilih untuk lebur bersama langit dalam cahaya kuning keemasan. Barangkali ia lelah karena menemani upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih dalam teriknya tadi pagi. Hari sudah sore. Saatnya meninggalkan sekolah. Hatiku lebih tenang kini. Aku baru saja mengikuti pengajian Rohis di Masjid Sekolah. Aku baru menyadari bagaimana aku harus mencintai Rini dan mencintai Penciptaku. Sekolah sudah tampak sepi. Hanya beberapa aktivis Rohis yang terlihat di Masjid. Aku izin pulang lebih dulu pada mereka karena Zakky sudah menungguku di kamar kost-nya.

Aku langsung duduk di pojok ruang kost sambil menonton teve. Zakky menghampiriku.

“lo pengin permen ga? Nih, permen yang bakal ngilangin patah hati lo. Cobain dah, gue dah nyoba beberapa bulan ini. Pokoknya dijamin sakit hati lo bakalan ilang….”

Aku percaya pada Zakky, teman kecilku. Dia anak baik, teman satu organisasiku di Komunitas Sastra Sekolah. Kumakan permen itu. Satu, dua…tiga…terlalu banyak!! zakky menahanku....dan….


Aku terkapar….

...

Beburung merpati,

Terbang membawa cinta dan canda.

Amoeba membelah diri,

Mencari teman dalam tawa….

Sementara akulah sunyi,

Yang diam dalam selimut kelam dan sepi….


...


mulutku penuh busa, dan aku masih terkapar!

Hmm…apakah di “surga” ini aku akan berjumpa dengan Rini?

***

Sigit Kamseno

Gunungputri, 090108. 11:35

--

[1] Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IV wafat secara mendadak pada tahun 1822, atas persetujuan Belanda ditunjuklah Pangeran Menol yang waktu itu baru berusia tiga tahun sebagai penggantinya. Karena ia belum dewasa maka dibentuklah Dewan Perwalian yang terdiri dari Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III, Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono IV, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro, yang bertugas mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan. Namun secara bertahap Dewan Perwalian itu disingkirkam oleh Patih Danurejo IV yang sangat memihak Belanda. MB. Rachimsyah, Sejarah Nasional, Jakarta: Aprindo, tt. H, 140.

[2] Jawa: dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

[3] Sansekerta: Surga

[4] Mushalla

[5] dikutip dari puisinya ust. Deka Kurniawan.

[6] Gelar Pangeran Diponegoro

0 komentar:

Posting Komentar