By Sigit Kamseno
--------------------------
Sewaktu masih berkuliah di program studi Pemikiran Poltik Islam dulu,
saya termasuk yang paling getol membela gerakan dan pemikiran politik
Hizbut Tahrir. Rekan-rekan kuliah saya di jagad facebok bisa menjadi
saksi untuk itu. Pembelaan saya ini lebih disebabkan karena dalam
perkuliahan, ada begitu banyak mahasiswa ilmu politik yang meragukan
konsep politik Hizbut Tahrir. Saya, mengapresiasi HT karena keberanian
Hizbut Tahrir yang memposisikan diri sebagai antitesa dari hagemoni
sistem demokrasi di dunia. Tapi kekaguman saya hanya sebatas itu.
Sebatas kagum atas semangat heroik mereka, sebagaimana kekaguman saya
kepada minoritas creative yang 'menentang' hagemoni.
Ketika
saya membaca buku Taqiyuddin an-Nabhani tersebut (lihat part 1 dari
notes ini), berikut cita-cita mulianya akan penegakkan Khilafah 'ala
Minhajin Nubuwwah di akhir zaman sebagaimana sering dipropagandakan
lewat berbagai media Hizbut Tahrir, saya jadi teringat dengan seorang
pemikir politik Islam klasik (w. 339 H) bernama Abu Nashar ibn Muhammad
ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Unzalagh atau lebih dikenal sebagai
al-Farabi.
Al Farabi dikenal dengan konsepnya tentang
Madinatul Fadhilah (Negara Keutamaan). Sebuah negara dimana terbentang
disana kesejahteraan, terhampar padanya kepedulian pada sesama dalam
diri penduduknya, tegaknya keadilan, dan seribu keutamaan lain yang
menjadi cita-cita kebanyakan manusia tentang sebuah negara yang ideal.
Namun al-Farabi hanya berhenti sampai disana. ia, tidak memformulasikan
secara konkrit bagaimana Madinatul Fadhilah yang dicita-citakannya itu
bisa mewujud secara empirik. Sehingga kemudian ia dikritik sebagai
pemikir politik Islam yang utopis. bukunya Araa Ahl al-Madinatul
Fadhilah itu dipandang hanya sebentuk harapan yang muncul dari
kekecewaan terhadap pemberontakan dan kekacauan politik dinasty
Abbasiyyah kala itu, yang kemudian menjadikan ia berhayal tentang sebuah
negara ideal dimasa depan yang penuh dengan kedamaian.
Menarik memang jika kita melihat bahwa ada kemiripan antara konsep
an-Nabhani dengan pemikiran al-Farabi. Tidak mustahil, apa yang
diangan-angankan oleh al Farabi berupa Madinatul Fadhilah itu sebetulnya
merujuk pada konsep Khilafah 'ala Minhajin Nubuwah yang akan tegak di
akhir zaman sebagaimana haditsnya sering kita dengar.
Namun
berbeda dengan an-Nabhani, al-Farabi tidak mengaktualisasikan
pemikirannya tersebut dengan membentuk pergerakan dakwah. Hal ini
mungkin disebabkan konteks sosio-politis pada waktu itu yg tidak
memungkiknkan untuk membentuk harakah. (Sebagaimana kita tahu, munculnya
harakah-harakah Islam yang terorganisasi dan terstruktur baru muncul
menjelang atau pasca keruntuhan khilafah Islamiyyah bagi seluruh dunia.)
Meskipun berbeda dengan al-Farabi yang tidak mendirikan harakah sebagai
metode perjuangan, saya tidak serta merta berifikir bahwa konsep
harakah Hizbut Tahrir yang dibentuk oleh an-Nabhani akan sampai pada
cita-cita perjuangannya. tampaknya hal ini disebabkan karena metode
penegakkan khilafah sebagaimana diidamkan oleh Hizbut Tahrir adalah
melakukan Coup D'Etat terhadap pemerintahan. Melakukan revolusi yang
disebut sebagai revolusi damai sebagai puncak perjuangan yang sebelumnya
telah diawali dengan pembentukan opini publik termasuk ahlul
quwwah/militer. itulah mengapa Hizbut Tahrir menjadi "musuh pemerintah"
di banyak negara, dan mereka tak mengambil pelajaran dari realitas itu.
Bagaimana mungkin ada pemerintahan yang membiarkan terjadinya
"pembusukan" yang akan mengambil alih pemerintahannya.
Sejujurnya saya merasa sulit untuk membayangkan bahwa sebuah propaganda
tentang khilafah Islamiyyah kemudian diterima oleh publik dan militer,
kemudian mereka melakukan kudeta terhadap pemerintah dan mendeklarasikan
berdirinya khilafah 'ala minhajin nubuwah, sementara sejauh ini
akselerasi pertumbuhan kader HT pun "tidak pesat-pesat amat."
(korelasinya lihat di part 1 notes ini)
Yang lebih mudah
dibayangkan oleh saya adalah, bahwa jauh sebelum HT berhasil mendirikan
cita-citanya, pemerintah negara setempat membentuk Undang-Undang untuk
menyelamatkan negara dari gerakan separatis dan memrintahkan untuk
menangkapi aktivis-aktivis Hizbut Tahrir itu. Maka cita-cita mulia itu
akan berakhir sebagai utopia belaka sebagai akibat dari metode mereka
itu.
Memang benar jika kita berpandangan bahwa "urusan
tegaknya khilafah adalah urusan Allah, dan tugas kita adalah berikhtiar
mewujudkannya." tak ada yang salah dengan kalimat itu, dan semua harakah
yang merindukan khilafah akan berpegang pada aksioma itu. Akan tetapi
perlu kiranya kita mengetahui bahwa Allah telah memberikan kepada kita
akal yang menjadikan kita makhluk mulia karenanya. Dengan akal itulah
kita bisa melakukan analisa bagaimana cara yang terbaik utk berjuang
menerapkan sistem Allah sebagai sistem pemerintahan.
Semoga
tak ada yg memandang saya sebagai bagian dari kaum liberal, hanya karena
saya mengatakan bahwa metode Hizbut Tahrir dalam memperjuangakan konsep
politiknya sebagai metode yang amat dekat dengan utopia. (sebagaimana
tidak tepat jika menyamakan Hizbut Tahrir dengan gerakan sosialisme
semata karena sama-sama membenci demokrasi mislanya)
Saya,
terus terang termasuk dalam kelompok mereka yang merindukan tegaknya
khilafah di akhir zaman, rekan2 bisa membaca kalimat penutup pada
pict-notes saya ini bagaimana saya merindukan kejayaan Islam itu
kembali. :
Bahkan di kamar saya, ada poster yang saya print sendiri dan saya beri
figura, dengan bendera tauhid yang berkibar-kibar itu, disertai ucapan
Syaikh Al-Qardhawi di bawahnya yang mengatakan:
"kejayaan
Islam yang sempat kita rasakan seribu tahun yang lalu, akan kita
dapatkan kembali. dan saya berharap Indonesia menjadi pelopor
kebangkitan itu!"
***
Kemiripan an-Nabhani dan
gerakan Hizbut Tahrirnya dengan al-Farabi semakin nampak ketika kita
berhadapan dengan kenyataan bahwa sejauh ini, sebagaimana al-Farabi,
Hizbut Tahrir tidak pernah menduduki satu jabatan pemerintahanpun. Di
satu pihak hal ini merupakan keuntungan karena Hizbut Tahrir tak akan
terjebak dalam pilihan-pilihan sulit ketika harus berkontestasi dalam
politik, seperti sulitnya bargaining politics ketika harus berkoalisi
misalnya, namun disisinya yang lain juga merugikan karena Hizbut tahrir
tidak mempunyai peluang untuk menguji kebenaran teorinya pada ranah
empiris sehingga bisa lebih meyakinkan publik.
Hal ini memang
konsekuensi logis dari pemahaman Hizbut Tahrir yang mengharamkan
sekaligus mengkufurkan demokrasi. Sebuah kondisi yang "menguntungkan"
saya kira, karena dengan itu Hizbut Tahrir dapat dengan leluasa
mengkritik kesalahan sekecil apapun terhadap noda pemerintahan dengan
mengaitkannya dengan "kebusukan demokrasi" dan "kemuliaan khilafah":
mulai dari korupsi, aliran sesat, perzinahan, riba, pilkada, AIDS,
hingga salamannya tifatul dengan Michelle Obama, semuanya adalah akibat
buruk dari demokrasi yang busuk itu, Kemudian pada saat yang sama Hizbut
Tahrir menutupi keburukan dan noda hitam khilafah Islamiyyah dimasa
lalu.
Sebuah pemahaan yang 'aneh' karena HIzbut Tahrir
akhirnya dengan leluasa mengkiritk penguasa tanpa perlu untuk
menunjukkan kompetenesi mereka dalam mengelola negara dengan alasan
menunggu khilafah tegak. Saya kira ini merupakan problem berfikir yang
serius.
Cara pandang yang tidak realistis dan tidak menjawab
realitas tuntutan zaman yang terus berubah inilah yang kemudian
menjadikan Hizbut Tahrir sejauh ini masih GAGAL dalam menggapai
cita-cita mereka sejak didirikan pada 1953.
--
Sigit Kamseno
oh iya, untuk mengetahui model khilafah yang saya pegang, bisa dicek ke link ini
Jumat, 22 Maret 2013
UTOPIA KHILAFAH HIZBUT TAHRIR (part2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar