Jumat, 22 Maret 2013

UTOPIA KHILAFAH HIZBUT TAHRIR (part2)

By Sigit Kamseno
---------------------------------------

Sewaktu masih berkuliah di program studi Pemikiran Poltik Islam dulu, saya termasuk yang paling getol membela gerakan dan pemikiran politik Hizbut Tahrir. Rekan-rekan kuliah saya di jagad facebok bisa menjadi saksi untuk itu. Pembelaan saya ini lebih disebabkan karena dalam perkuliahan, ada begitu banyak mahasiswa ilmu politik yang meragukan konsep politik Hizbut Tahrir. Saya, mengapresiasi HT karena keberanian Hizbut Tahrir yang memposisikan diri sebagai antitesa dari hagemoni sistem demokrasi di dunia. Tapi kekaguman saya hanya sebatas itu. Sebatas kagum atas semangat heroik mereka, sebagaimana kekaguman saya kepada minoritas creative yang 'menentang' hagemoni.

Ketika saya membaca buku Taqiyuddin an-Nabhani tersebut (lihat part 1 dari notes ini), berikut cita-cita mulianya akan penegakkan Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah di akhir zaman sebagaimana sering dipropagandakan lewat berbagai media Hizbut Tahrir, saya jadi teringat dengan seorang pemikir politik Islam klasik (w. 339 H) bernama Abu Nashar ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Unzalagh atau lebih dikenal sebagai al-Farabi.

Al Farabi dikenal dengan konsepnya tentang Madinatul Fadhilah (Negara Keutamaan). Sebuah negara dimana terbentang disana kesejahteraan, terhampar padanya kepedulian pada sesama dalam diri penduduknya, tegaknya keadilan, dan seribu keutamaan lain yang menjadi cita-cita kebanyakan manusia tentang sebuah negara yang ideal.

Namun al-Farabi hanya berhenti sampai disana. ia, tidak memformulasikan secara konkrit bagaimana Madinatul Fadhilah yang dicita-citakannya itu bisa mewujud secara empirik. Sehingga kemudian ia dikritik sebagai pemikir politik Islam yang utopis. bukunya Araa Ahl al-Madinatul Fadhilah itu dipandang hanya sebentuk harapan yang muncul dari kekecewaan terhadap pemberontakan dan kekacauan politik dinasty Abbasiyyah kala itu, yang kemudian menjadikan ia berhayal tentang sebuah negara ideal dimasa depan yang penuh dengan kedamaian.

Menarik memang jika kita melihat bahwa ada kemiripan antara konsep an-Nabhani dengan pemikiran al-Farabi. Tidak mustahil, apa yang diangan-angankan oleh al Farabi berupa Madinatul Fadhilah itu sebetulnya merujuk pada konsep Khilafah 'ala Minhajin Nubuwah yang akan tegak di akhir zaman sebagaimana haditsnya sering kita dengar.

Namun berbeda dengan an-Nabhani, al-Farabi tidak mengaktualisasikan pemikirannya tersebut dengan membentuk pergerakan dakwah. Hal ini mungkin disebabkan konteks sosio-politis pada waktu itu yg tidak memungkiknkan untuk membentuk harakah. (Sebagaimana kita tahu, munculnya harakah-harakah Islam yang terorganisasi dan terstruktur baru muncul menjelang atau pasca keruntuhan khilafah Islamiyyah bagi seluruh dunia.)

Meskipun berbeda dengan al-Farabi yang tidak mendirikan harakah sebagai metode perjuangan, saya tidak serta merta berifikir bahwa konsep harakah Hizbut Tahrir yang dibentuk oleh an-Nabhani akan sampai pada cita-cita perjuangannya. tampaknya hal ini disebabkan karena metode penegakkan khilafah sebagaimana diidamkan oleh Hizbut Tahrir adalah melakukan Coup D'Etat terhadap pemerintahan. Melakukan revolusi yang disebut sebagai revolusi damai sebagai puncak perjuangan yang sebelumnya telah diawali dengan pembentukan opini publik termasuk ahlul quwwah/militer. itulah mengapa Hizbut Tahrir menjadi "musuh pemerintah" di banyak negara, dan mereka tak mengambil pelajaran dari realitas itu. Bagaimana mungkin ada pemerintahan yang membiarkan terjadinya "pembusukan" yang akan mengambil alih pemerintahannya.

Sejujurnya saya merasa sulit untuk membayangkan bahwa sebuah propaganda tentang khilafah Islamiyyah kemudian diterima oleh publik dan militer, kemudian mereka melakukan kudeta terhadap pemerintah dan mendeklarasikan berdirinya khilafah 'ala minhajin nubuwah, sementara sejauh ini akselerasi pertumbuhan kader HT pun "tidak pesat-pesat amat." (korelasinya lihat di part 1 notes ini)

Yang lebih mudah dibayangkan oleh saya adalah, bahwa jauh sebelum HT berhasil mendirikan cita-citanya, pemerintah negara setempat membentuk Undang-Undang untuk menyelamatkan negara dari gerakan separatis dan memrintahkan untuk menangkapi aktivis-aktivis Hizbut Tahrir itu. Maka cita-cita mulia itu akan berakhir sebagai utopia belaka sebagai akibat dari metode mereka itu.


Memang benar jika kita berpandangan bahwa "urusan tegaknya khilafah adalah urusan Allah, dan tugas kita adalah berikhtiar mewujudkannya." tak ada yang salah dengan kalimat itu, dan semua harakah yang merindukan khilafah akan berpegang pada aksioma itu. Akan tetapi perlu kiranya kita mengetahui bahwa Allah telah memberikan kepada kita akal yang menjadikan kita makhluk mulia karenanya. Dengan akal itulah kita bisa melakukan analisa bagaimana cara yang terbaik utk berjuang menerapkan sistem Allah sebagai sistem pemerintahan.

Semoga tak ada yg memandang saya sebagai bagian dari kaum liberal, hanya karena saya mengatakan bahwa metode Hizbut Tahrir dalam memperjuangakan konsep politiknya sebagai metode yang amat dekat dengan utopia. (sebagaimana tidak tepat jika menyamakan Hizbut Tahrir dengan gerakan sosialisme semata karena sama-sama membenci demokrasi mislanya)

Saya, terus terang termasuk dalam kelompok mereka yang merindukan tegaknya khilafah di akhir zaman, rekan2 bisa membaca kalimat penutup pada pict-notes saya ini bagaimana saya merindukan kejayaan Islam itu kembali. :

Bahkan di kamar saya, ada poster yang saya print sendiri dan saya beri figura, dengan bendera tauhid yang berkibar-kibar itu, disertai ucapan Syaikh Al-Qardhawi di bawahnya yang mengatakan:

"kejayaan Islam yang sempat kita rasakan seribu tahun yang lalu, akan kita dapatkan kembali. dan saya berharap Indonesia menjadi pelopor kebangkitan itu!"

***

Kemiripan an-Nabhani dan gerakan Hizbut Tahrirnya dengan al-Farabi semakin nampak ketika kita berhadapan dengan kenyataan bahwa sejauh ini, sebagaimana al-Farabi, Hizbut Tahrir tidak pernah menduduki satu jabatan pemerintahanpun. Di satu pihak hal ini merupakan keuntungan karena Hizbut Tahrir tak akan terjebak dalam pilihan-pilihan sulit ketika harus berkontestasi dalam politik, seperti sulitnya bargaining politics ketika harus berkoalisi misalnya, namun disisinya yang lain juga merugikan karena Hizbut tahrir tidak mempunyai peluang untuk menguji kebenaran teorinya pada ranah empiris sehingga bisa lebih meyakinkan publik.

Hal ini memang konsekuensi logis dari pemahaman Hizbut Tahrir yang mengharamkan sekaligus mengkufurkan demokrasi. Sebuah kondisi yang "menguntungkan" saya kira, karena dengan itu Hizbut Tahrir dapat dengan leluasa mengkritik kesalahan sekecil apapun terhadap noda pemerintahan dengan mengaitkannya dengan "kebusukan demokrasi" dan "kemuliaan khilafah": mulai dari korupsi, aliran sesat, perzinahan, riba, pilkada, AIDS, hingga salamannya tifatul dengan Michelle Obama, semuanya adalah akibat buruk dari demokrasi yang busuk itu, Kemudian pada saat yang sama Hizbut Tahrir menutupi keburukan dan noda hitam khilafah Islamiyyah dimasa lalu.

Sebuah pemahaan yang 'aneh' karena HIzbut Tahrir akhirnya dengan leluasa mengkiritk penguasa tanpa perlu untuk menunjukkan kompetenesi mereka dalam mengelola negara dengan alasan menunggu khilafah tegak. Saya kira ini merupakan problem berfikir yang serius.

Cara pandang yang tidak realistis dan tidak menjawab realitas tuntutan zaman yang terus berubah inilah yang kemudian menjadikan Hizbut Tahrir sejauh ini masih GAGAL dalam menggapai cita-cita mereka sejak didirikan pada 1953.

--
Sigit Kamseno
oh iya, untuk mengetahui model khilafah yang saya pegang, bisa dicek ke link ini

0 komentar:

Posting Komentar