Jumat, 15 Maret 2013

Antara Keamanan Finansial dan Kenyamanan Emosional


Beberapa waktu terakhir ini saya dihadapkan pada pilihan yang sebetulnya tidak terlalu berat, tapi cukup membuat gamang untuk mengambil keputusan.

Ceritanya begini, sebagai lajang yang ingin segera memenuhi tuntutan separuh dari agama, saya berusaha untuk mencapai sudut yang aman secara finansial, hal ini sebagai logika rasional utk menyambung hidup setelah menikah. Untuk bisa bertahan hidup dengan istri dan anak-anak kelak.

Saya tidak ingin terjebak pada pola pikir fatalistik yang menyerahkan masa depan pada sesuatu yang masih mengambang. Bukan tak yakin bahwa Allah-lah yang Maha Mengatur Rizki, tetapi justru karena meyakininya, seraya berpandangan bahwa rizki yang Allah berikan itu memiliki jalan rasional, orang sunda bilang, “sagala rupa oge aya sare’atnya, teu ujug-ujug dongkap nyalira!”. Segala sesuatu itu ada jalannya, tidak datang secara tiba-tiba. Entahlah, apakah ini sebuah apologi untuk menutupi iman yang kurang atau bukan, anda boleh tidak setuju dengan cara pandang saya tentang hal ini.

Masalahnya, saya merasa kurang comfort dengan lingkungan kerja saat ini. Zona nyaman saya adalah bergaul dengan para ustadz, karena semenjak sekolah hingga kuliah, lingkungan saya adalah “lingkungan orang2 ‘alim”. Zona nyaman ini kemudian menjebak karena secara psikologis saya merasa kurang dapat menyatu dengan “dunia luar” yang real. Bahwa di dunia yang jauh lebih luas, ada jauh lebih banyak orang 2 yang memiliki paradigm yang berbeda dengan saya. Kelemahan saya adalah pada level interaksi.

Saya cukup akrab dengan rekan kerja, terbiasa becanda dan kerjasama. Namun “nuansa ukhuwah bersama rekan2 dakwah” itulah yang membuat saya membandingkan bahwa interaksi saya di kantor menjadi hampa karena hubungannya memang semata hubungan professional, bukan emosional layaknya sesama aktivis.

Sementara disisi yang lain, secara financial saya merasa cukup aman bekerja disini. Meskipun tidak terlalu besar, tapi cukuplah untuk sekadar menyambung hidup sebagai keluarga kecil di awal-awal pernikahan.

Kalau saya melepas pekerjaan saya saat ini karena ketidaknyamanan secara emosional, berarti saya akan berhadapan dengan dunia financial yang tak pasti pasca menikah. Meskipun calon istri sudah bekerja dan bergaji cukup seperti saya. Saya tidak akan membiarkan dia bekerja selamanya. Bagi saya, pasca melahirkan, istri cukup di rumah dan tidak melewatkan masa-masa emas pertumbuhan anak. Artinya, financial saya sebagai suamilah yang harus aman.

Apakah dengan menjadi guru nyaman secara emosional? Ya! Berdasarkan pengalaman, saya merasa sangat nyaman menjadi guru. Tetapi secara financial tidak aman. Keadaannya akan berbanding terbalik dengan pekerjaan saya saat ini.

Ah..saya pikir, saya telah mempersulit diri sendiri dalam dunia konseptual! Terlalu banyak berteori, padahal ambil keputusan! Dan semuanya selesai! Hadapi resiko!
Jika demikian saya menjadi seorang fatalis bukan? ^_^

13 April 2010. 11:48

0 komentar:

Posting Komentar