Sebetulnya saya sangat berharap mantan Ketua MK, Mahfud MD dan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra ikut konvensi penjaringan Capres dari Partai Demokrat. Namun rupanya kedua tokoh besar itu menyatakan ketidakikutsertaannya.
Mahfud MD mundur dari
konvensi setelah melakukan perenungan, konsultasi dengan para Ulama,
dan shalat istikharah memohon petunjuk pada Tuhan Sang Pemberi
Petunjuk. Tokoh Nahdhatul Ulama yang sangat paham konstitusi itu
menyimpan keraguan mengenai hak dan kewajiban peserta konvensi,
terutama setelah konvensi selesai dan pemenangnya sudah ditetapkan,
serta hasil pemilu legislatif sudah selesai. Menurut Mahfud, selama ini
dirinya hanya mendengar penjelasan mengenai mekanisme konvensi secara
lisan. Penjelasan yang diterimanya pun kerap berganti-ganti dan tidak
konsisten. Plus tidak ada jaminan tertulis, sementara AD/ART Partai
Demokrat menentukan mekanisme yang berbeda dengan berbagai penjelasan
daripada jaminan lisan itu. Tentu tidak lucu jadinya, jika setelah
memenangkan konvensi, Partai Demokrat justru mendukungnya hanya dengan
setengah hati.
Sedangkan Yusril Ihza Mahendra, sebagaimana
ditulisnya di Kompasiana, akhirnya tidak ikut konvensi karena merasa
berat jika harus meninggalkan partai yang selama ini berjuang
bersamanya, Partai Bulan Bintang. “Laksamana Cheng Ho” yang nyaris
tidak pernah kalah dalam Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi itu tidak mungkin meninggalkan partai pewaris Masyumi itu
dimana ia adalah pendiri, pernah menjadi Ketua Umum, dan sekarang
sebagai Ketua Majelis Syuronya.
Padahal jika dua tokoh
intelektual muslim tersebut maju, tentu perhelatan akan semakin menarik
karena kita kemudian disuguhkan tontonan bagaimana orang hebat akan
maju capres di antara orang yang hebat-hebat. Dengan mundurnya Mahfud
dan Yusril, konvensi itu akhirnya terasa kurang greget, karena
kebanyakan peserta lainnya hanya “biasa-biasa” saja.
Hanya
ada empat peserta yang tidak “biasa-biasa”. Mereka adalah Rektor
Paramadina Anies Baswedan, Meneg BUMN yang cerdas dan eksentrik Dahlan
Iskan, pemasar andal jebolan Harvard Gita Wirjawan, dan Dubes RI utk AS,
Dino Patti Djalal. Saya berharap di antara empat tokoh tersebut,
Rektor Paramadina Anies Baswedan keluar jadi pemenang, sekalipun Dahlan
Iskan, Konon tidak terbendung.
Tentang Anies Baswedan
Sewaktu
kuliah dulu, saya dan teman-teman di fakultas dan labpol—yang gandrung
dengan buku-buku pemikiran itu—dibuat tercenung dengan masuknya nama
orang Indonesia dalam daftar 100 Tokoh Intelektual Dunia yang dirilis
Majalah Foreign Policy terbitan Amerika Serikat 2008 silam. Dan
Anies Baswedan adalah satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam
daftar tokoh intelektual dunia itu. Anies menjadi satu di antara
tokoh-tokoh dunia dan tokoh perdamaian, seperti Noam Chomsky, para
penerima penghargaan Nobel, seperti Al Gore, Muhammad Yunus, Amartya
Sen, dll.
Sementara, World Economic Forum yang berpusat di Davos, pada Februari 2009, memilih Anies sebagai salah satu Young Global Leaders.
Tahun berikutnya, pada April 2010, Anies Baswedan juga terpilih
sebagai satu dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun
mendatang versi majalah Foresight yang terbit di Jepang.
Dalam edisi khususnya yang berjudul “20 Orang 20 Tahun”, Majalah Foresight
menampilkan 20 tokoh yang diperkirakan akan menjadi perhatian dunia
dimana mereka akan berperan dalam perubahan dunia pada dua dekade
mendatang. Nama Anies berada sebagai satu-satunya yang berasal dari Asia
Tenggara di antara 19 tokoh dunia lain seperti Perdana Menteri Rusia
Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu Inggris David
Miliband, dan lain-lain. Sementara Lembaga Royal Islamic Strategic
Studies Centre yang bermarkas di Yordania menyebut Anies sebagai ‘500
Muslim Paling Berpengaruh di Dunia’. Luarbiasa Hebat, bukan?
Anies
Baswedan sukses menyabet gelar Master dari School of Public Policy,
University of Maryland, dan gelar Doktor dalam Ilmu Politik dari
Northern Illinois University, AS pada usia 36 tahun. Sebagai seorang
intelektual yang tidak memihak kepada satu kekuatan politik manapun,
Anies dipandang sebagai tokoh intelektual yang netral. Itulah mengapa
panitia Debat Capres 2009 silam sangat tepat memilih cucu pejuang
kemerdekaan ini sebagai moderator saat itu.
Yang unik adalah, kemampuan tokoh yang diangkat menjadi rektor pada usia 38 tahun (sekaligus menjadi rektor termuda se-Indonesia—wow dulu)
itu dalam menjalin komunikasi. Maksud saya begini, hampir dalam semua
konteks, kalangan pemikir-pemikir beraliran moderat selalu berada pada
posisi dilematis: dipandang konservatif oleh kelompok liberal, namun dipandang liberal oleh kelompok konservatif.
Anies Baswedan, tidak mengalami dilema tersebut. Kalangan pemikir
liberal bisa dengan nyaman berdiskusi dengannya, dan kelompok
konservatif pun menaruh hormat pada pendiri Gerakan Indonesia Mengajar
ini. Jika bukan karena kemampuannya yang baik dalam berkomunikasi, tentu
sulit mengikis dilema seperti itu.
Tapi justru malah
saya yang dilematis. Satu sisi saya berharap tokoh bangsa ini melaju
sebagai capres, tapi di sisi lain saya khawatir tokoh yang saya kagumi
tersebut kehilangan citra netralnya setelah ikut konvensi Partai
Demokrat. Karena selama ini, Mengutip foresight, Anies disebut
sebagai seorang muslim moderat yang hingga kini tetap konsisten pada
pendiriannya untuk tidak memihak pada kekuatan (politik) tertentu. Saya
juga khawatir jika Anies kalah dalam konvensi, apakah ada partai lain
yang akan mencalonkan sang intelektual dunia itu menuju kursi
kepresidenan? ataukah ia kembali ke perpustakaan, menjadi peneliti,
pemikir dengan serakan buku di mejanya, kembali mengajar sampai menua?
Gerakan Indonesia Mengajar, Apa Namanya jika Bukan Ketulusan?
Anda
boleh tidak bersetuju, tapi saya ingin katakan bahwa gerakan ini
didirikan oleh Anies Baswedan sebagai bentuk kecintaan sekaligus
keprihatinannya pada bangsa Indonesia. Banyak anak-anak muda jebolan
kampus-kampus kenamaan seperti UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unpad, dll
dengan IP rata-rata di atas 3, bergabung dengan gerakan ini.
Tidak
sedikit di antara mereka yang rela meninggalkan pekerjaannya yang
cukup menjanjikan dengan satu tujuan: menjadi inspirasi dan cahaya bagi
siswa-siswa yang kurang beruntung di daerah terpencil.
Anak-anak
muda berusia di bawah 25 tahun yang bergerak di bawah naungan Yayasan
Indonesia Mengajar ini bahkan telah siap dengan kemungkinan bahwa
mereka akan berhadapan dengan warga dan murid-murid yang belum tahu
berbahasa Indonesia, menginap di desa-desa yang hanya sekadarnya,
transportasi dan listrik yang belum ada, maupun makanan yang seadanya.
Anies
sampaikan kepada anak-anak muda yang semangat dan ketulusannya
benderang ini, bahwa lokasi sebagian besar SD terpencil ini tidak ada
listrik, tidak ada sinyal HP. Meski begitu masih banyak saja anak-anak
Indonesia yang terdidik baik, dari keluarga mapan, dan berbagai strata
siap mendidik saudara-saudaranya.
Gerakan Indonesia mengajar ini
menurut Anies merupakan bagian dari upaya untuk mengisi kekurangan guru
di tingkat sekolah dasar di pelosok Indonesia. Sejak awal mula
digagas, Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar telah mengirimkan Pengajar
Muda ke berbagai daerah di pelosok-pelosok negeri.
Saya
sendiri, yang lumayan sering ke luar kota dan melihat pelosok-pelosok
daerah untuk berbagi buku gratis dan fasilitas penunjang pendidikan
lainnya, cukup tahu bagaimana sulitnya medan di pelosok-pelosok itu.
Bagaimana sulitnya mencari sinyal hand phone, malam yang gelap tanpa listrik, menyeberang danau untuk tiba ke kampung seberang, dan seterusnya… dan seterusnya..
Namun,
mari kita liat bagaimana ketulusan mereka yang bergabung dengan
Gerakan Indonesia Mengajar yang didirikan oleh Anies Baswedan ini
sebagaimana saya dengan senang hati merangkumnya dari
tokohindonesia.com:
Adeline Magdalena, seorang sarjana
sains yang cerdas alumnus ITB, mengaku ikut program ini karena ingin
berbagi mimpi dengan anak-anak yang mungkin tidak dapat mengenyam
pendidikan tinggi seperti dirinya. “Secara pribadi saya tidak berencana
menjadi guru tapi saya ingin berbagi pengalaman dan mimpi dengan
anak-anak di daerah terpencil,” katanya.
Ayu Kartika
Dewi, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya yang
sudah bekerja di perusahaan multinasional di Singapura bahkan rela
meninggalkan pekerjaannya demi program “Indonesia Mengajar”.
Erwin
Puspaningtyas Irjayanti (24 tahun), jebolan IPB Bogor yang sebelumnya
sudah bekerja di sebuah bank terkemuka di Jakarta juga rela
meninggalkan pekerjaannya untuk mengabdi menjadi guru sekolah dasar nun
jauh di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. “Ini kesempatan emas berbuat
untuk negeri sekaligus memenuhi panggilan hati,” kata wanita penulis
novel The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba ini.
Begitu
juga dengan Bagus Arya, pemuda yang gagasannya mengenai Proklamator,
Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) tentang koperasi
pemuda diakui World Bank sebagai salah satu ide terbaik, meninggalkan
pekerjaannya di Bank Indonesia karena tertarik untuk memajukan
pendidikan dan ingin membaktikan diri bagi Indonesia secara langsung
melalui pengajaran.
Dan Anda tahu? dari empat gelombang
yang sudah dilakukan, sebanyak 241 generasi muda terpilih telah
ditempatkan di 134 desa di 16 kabupaten di Indonesia. Mereka tertarik
bergabung dengan Anies Baswedan, karena apa yang dimulai dari hati akan
diterima oleh hati. Semoga lolos konvensi, Pak Anies.
Jika
pun, akhirnya Anies Baswedan tidak melaju memenangkan konvensi, semoga
yg terpilih adalah tokoh yang “tidak biasa”. Kemudian partai-partai
lain juga mencalonkan presiden yang “tidak biasa”. Sehingga kita
dihadapkan pada preferensi yang semuanya baik. Pilihan kita tidak lagi
memilih yang baik di antara yang buruk, tetapi memilih orang baik di
antara pilihan yang semuanya baik. Seorang Philosopher King yang dirindukan Plato, filosof kenamaan dari Yunani Kuno itu
***
Sigit Kamseno