Subhanallah

Maha Suci Allah

Alhamdulillah

Segala Puji bagi Allah

laa ilaaha illaLlah

tiada tuhan selain Allah

Allahu Akbar

Allah Maha Besar

Astaghfirullah

aku mohon ampun kepada Allah

Senin, 28 Oktober 2013

Jagoan Saya di Konvensi Demokrat



Sebetulnya saya sangat berharap mantan Ketua MK, Mahfud MD dan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra ikut konvensi penjaringan Capres dari Partai Demokrat. Namun rupanya kedua tokoh besar itu menyatakan ketidakikutsertaannya.

Mahfud MD mundur dari konvensi setelah melakukan perenungan, konsultasi dengan para Ulama, dan shalat istikharah memohon petunjuk pada Tuhan Sang Pemberi Petunjuk. Tokoh Nahdhatul Ulama yang sangat paham konstitusi itu menyimpan keraguan mengenai hak dan kewajiban peserta konvensi, terutama setelah konvensi selesai dan pemenangnya sudah ditetapkan, serta hasil pemilu legislatif sudah selesai. Menurut Mahfud, selama ini dirinya hanya mendengar penjelasan mengenai mekanisme konvensi secara lisan. Penjelasan yang diterimanya pun kerap berganti-ganti dan tidak konsisten. Plus tidak ada jaminan tertulis, sementara AD/ART Partai Demokrat menentukan mekanisme yang berbeda dengan berbagai penjelasan daripada jaminan lisan itu. Tentu tidak lucu jadinya, jika setelah memenangkan konvensi, Partai Demokrat justru mendukungnya hanya dengan setengah hati.

Sedangkan Yusril Ihza Mahendra, sebagaimana ditulisnya di Kompasiana, akhirnya tidak ikut konvensi karena merasa berat jika harus meninggalkan partai yang selama ini berjuang bersamanya, Partai Bulan Bintang. “Laksamana Cheng Ho” yang nyaris tidak pernah kalah dalam Judicial Review di Mahkamah Konstitusi itu tidak mungkin meninggalkan partai pewaris Masyumi itu dimana ia adalah pendiri, pernah menjadi Ketua Umum, dan sekarang sebagai Ketua Majelis Syuronya.

Padahal jika dua tokoh intelektual muslim tersebut maju, tentu perhelatan akan semakin menarik karena kita kemudian disuguhkan tontonan bagaimana orang hebat akan maju capres di antara orang yang hebat-hebat. Dengan mundurnya Mahfud dan Yusril, konvensi itu akhirnya terasa kurang greget, karena kebanyakan peserta lainnya hanya “biasa-biasa” saja.

Hanya ada empat peserta yang tidak “biasa-biasa”. Mereka adalah Rektor Paramadina Anies Baswedan, Meneg BUMN yang cerdas dan eksentrik Dahlan Iskan, pemasar andal jebolan Harvard Gita Wirjawan, dan Dubes RI utk AS, Dino Patti Djalal. Saya berharap di antara empat tokoh tersebut, Rektor Paramadina Anies Baswedan keluar jadi pemenang, sekalipun Dahlan Iskan, Konon tidak terbendung.

Tentang Anies Baswedan
Sewaktu kuliah dulu, saya dan teman-teman di fakultas dan labpol—yang gandrung dengan buku-buku pemikiran itu—dibuat tercenung dengan masuknya nama orang Indonesia dalam daftar 100 Tokoh Intelektual Dunia yang dirilis Majalah Foreign Policy terbitan Amerika Serikat 2008 silam. Dan Anies Baswedan adalah satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam daftar tokoh intelektual dunia itu. Anies menjadi satu di antara tokoh-tokoh dunia dan tokoh perdamaian, seperti Noam Chomsky, para penerima penghargaan Nobel, seperti Al Gore, Muhammad Yunus, Amartya Sen, dll.

Sementara, World Economic Forum yang berpusat di Davos, pada Februari 2009, memilih Anies sebagai salah satu Young Global Leaders. Tahun berikutnya, pada April 2010, Anies Baswedan juga terpilih sebagai satu dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi majalah Foresight yang terbit di Jepang.
Dalam edisi khususnya yang berjudul “20 Orang 20 Tahun”, Majalah Foresight menampilkan 20 tokoh yang diperkirakan akan menjadi perhatian dunia dimana mereka akan berperan dalam perubahan dunia pada dua dekade mendatang. Nama Anies berada sebagai satu-satunya yang berasal dari Asia Tenggara di antara 19 tokoh dunia lain seperti Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu Inggris David Miliband, dan lain-lain. Sementara Lembaga Royal Islamic Strategic Studies Centre yang bermarkas di Yordania menyebut Anies sebagai ‘500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia’. Luarbiasa Hebat, bukan?
Anies Baswedan sukses menyabet gelar Master dari School of Public Policy, University of Maryland, dan gelar Doktor dalam Ilmu Politik dari Northern Illinois University, AS pada usia 36 tahun. Sebagai seorang intelektual yang tidak memihak kepada satu kekuatan politik manapun, Anies dipandang sebagai tokoh intelektual yang netral. Itulah mengapa panitia Debat Capres 2009 silam sangat tepat memilih cucu pejuang kemerdekaan ini sebagai moderator saat itu.

Yang unik adalah, kemampuan tokoh yang diangkat menjadi rektor pada usia 38 tahun (sekaligus menjadi rektor termuda se-Indonesia—wow dulu) itu dalam menjalin komunikasi. Maksud saya begini, hampir dalam semua konteks, kalangan pemikir-pemikir beraliran moderat selalu berada pada posisi dilematis: dipandang konservatif oleh kelompok liberal, namun dipandang liberal oleh kelompok konservatif. Anies Baswedan, tidak mengalami dilema tersebut. Kalangan pemikir liberal bisa dengan nyaman berdiskusi dengannya, dan kelompok konservatif pun menaruh hormat pada pendiri Gerakan Indonesia Mengajar ini. Jika bukan karena kemampuannya yang baik dalam berkomunikasi, tentu sulit mengikis dilema seperti itu.

Tapi justru malah saya yang dilematis. Satu sisi saya berharap tokoh bangsa ini melaju sebagai capres, tapi di sisi lain saya khawatir tokoh yang saya kagumi tersebut kehilangan citra netralnya setelah ikut konvensi Partai Demokrat. Karena selama ini, Mengutip foresight, Anies disebut sebagai seorang muslim moderat yang hingga kini tetap konsisten pada pendiriannya untuk tidak memihak pada kekuatan (politik) tertentu. Saya juga khawatir jika Anies kalah dalam konvensi, apakah ada partai lain yang akan mencalonkan sang intelektual dunia itu menuju kursi kepresidenan? ataukah ia kembali ke perpustakaan, menjadi peneliti, pemikir dengan serakan buku di mejanya, kembali mengajar sampai menua?

Gerakan Indonesia Mengajar, Apa Namanya jika Bukan Ketulusan?
Anda boleh tidak bersetuju, tapi saya ingin katakan bahwa gerakan ini didirikan oleh Anies Baswedan sebagai bentuk kecintaan sekaligus keprihatinannya pada bangsa Indonesia. Banyak anak-anak muda jebolan kampus-kampus kenamaan seperti UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unpad, dll dengan IP rata-rata di atas 3, bergabung dengan gerakan ini.

Tidak sedikit di antara mereka yang rela meninggalkan pekerjaannya yang cukup menjanjikan dengan satu tujuan: menjadi inspirasi dan cahaya bagi siswa-siswa yang kurang beruntung di daerah terpencil.
Anak-anak muda berusia di bawah 25 tahun yang bergerak di bawah naungan Yayasan Indonesia Mengajar ini bahkan telah siap dengan kemungkinan bahwa mereka akan berhadapan dengan warga dan murid-murid yang belum tahu berbahasa Indonesia, menginap di desa-desa yang hanya sekadarnya, transportasi dan listrik yang belum ada, maupun makanan yang seadanya.

Anies sampaikan kepada anak-anak muda yang semangat dan ketulusannya benderang ini, bahwa lokasi sebagian besar SD terpencil ini tidak ada listrik, tidak ada sinyal HP. Meski begitu masih banyak saja anak-anak Indonesia yang terdidik baik, dari keluarga mapan, dan berbagai strata siap mendidik saudara-saudaranya.
Gerakan Indonesia mengajar ini menurut Anies merupakan bagian dari upaya untuk mengisi kekurangan guru di tingkat sekolah dasar di pelosok Indonesia. Sejak awal mula digagas, Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar telah mengirimkan Pengajar Muda ke berbagai daerah di pelosok-pelosok negeri.

Saya sendiri, yang lumayan sering ke luar kota dan melihat pelosok-pelosok daerah untuk berbagi buku gratis dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya, cukup tahu bagaimana sulitnya medan di pelosok-pelosok itu. Bagaimana sulitnya mencari sinyal hand phone, malam yang gelap tanpa listrik, menyeberang danau untuk tiba ke kampung seberang, dan seterusnya… dan seterusnya..

Namun, mari kita liat bagaimana ketulusan mereka yang bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar yang didirikan oleh Anies Baswedan ini sebagaimana saya dengan senang hati merangkumnya dari tokohindonesia.com:

Adeline Magdalena, seorang sarjana sains yang cerdas alumnus ITB, mengaku ikut program ini karena ingin berbagi mimpi dengan anak-anak yang mungkin tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi seperti dirinya. “Secara pribadi saya tidak berencana menjadi guru tapi saya ingin berbagi pengalaman dan mimpi dengan anak-anak di daerah terpencil,” katanya.

Ayu Kartika Dewi, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya yang sudah bekerja di perusahaan multinasional di Singapura bahkan rela meninggalkan pekerjaannya demi program “Indonesia Mengajar”.
Erwin Puspaningtyas Irjayanti (24 tahun), jebolan IPB Bogor yang sebelumnya sudah bekerja di sebuah bank terkemuka di Jakarta juga rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengabdi menjadi guru sekolah dasar nun jauh di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. “Ini kesempatan emas berbuat untuk negeri sekaligus memenuhi panggilan hati,” kata wanita penulis novel The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba ini.

Begitu juga dengan Bagus Arya, pemuda yang gagasannya mengenai Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) tentang koperasi pemuda diakui World Bank sebagai salah satu ide terbaik, meninggalkan pekerjaannya di Bank Indonesia karena tertarik untuk memajukan pendidikan dan ingin membaktikan diri bagi Indonesia secara langsung melalui pengajaran.

Dan Anda tahu? dari empat gelombang yang sudah dilakukan, sebanyak 241 generasi muda terpilih telah ditempatkan di 134 desa di 16 kabupaten di Indonesia. Mereka tertarik bergabung dengan Anies Baswedan, karena apa yang dimulai dari hati akan diterima oleh hati. Semoga lolos konvensi, Pak Anies.


Jika pun, akhirnya Anies Baswedan tidak melaju memenangkan konvensi, semoga yg terpilih adalah tokoh yang “tidak biasa”. Kemudian partai-partai lain juga mencalonkan presiden yang “tidak biasa”. Sehingga kita dihadapkan pada preferensi yang semuanya baik. Pilihan kita tidak lagi memilih yang baik di antara yang buruk, tetapi memilih orang baik di antara pilihan yang semuanya baik. Seorang Philosopher King yang dirindukan Plato, filosof kenamaan dari Yunani Kuno itu
***
Sigit Kamseno


Kenapa Kita Harus Curiga Pada PKS?




Selepas pembantaian rakyat sipil oleh rezim kudeta militer di Mesir beberapa waktu lalu, kalangan aktivis Islam Indonesia dibuat geger oleh kicauan dua tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) di jagad Twitter. Dua intelektual muda JIL itu, Ulil Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi berkicau tentang bahaya kaum islamis bagi negara dan bangsa Indonesia.

Zuhairi Misrawi mengatakan dalam akun twitternya, “kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan”. Kontan saja kicauan yang berbau fasisme itu mengundang kritikan di sosial media.

Twit Ulil Abshar Abdalla menjelaskan siapa ‘kaum Islamis’ yang dimaksud. Dalam twitternya, mantan koordinator JIL itu mengatakan: “Tak mau Indonesia mengalami problem Mesir? Jangan biarkan kekuatan Islamis membesar di Indonesia. Itu kata kuncinya,” di waktu berbeda Ulil sampaikan, “Tugas kita adalah melakukan kritik terus-menerus agar ideologi Islamis di Indonesia yang dibawa PKS tak meluas pengaruhnya,” kicau @ulil.

Kita tidak akan bahas bagaimana reaksi kelompok-kelompok gerakan Islam terhadap kicauan dua tokoh paling moncer di Jaringan Islam Liberal itu, tanggapan Fahri Hamzah, wakil Sekjen PKS, cukup mewakili bagaimana PKS menghadapi kicauan tokoh muda yang pemikirannya tidak populer di kalangan Nahdhatul Ulama tersebut.
Dalam akunnya, @Fahrihamzah katakan: “ulil dan kawan-kawan gak usah khawatir dengan PKS, sebab prosedur menjatuhkannya ada dalam jadwal demokrasi kita..,” kicaunya.

Dari ‘perang maya’ tersebut menarik memang melihat fakta bagaimana seorang Fahri Hamzah dari kalangan Islamis mengedepankan sistem demokrasi untuk menerima peralihan kekuasaan, “prosedurnya ada dalam jadwal demokrasi kita” katanya., namun pada saat yang sama seorang liberalis dan pembela asas-asas demokrasi seperti Zuhairi dan Ulil justru terkesan mencari-cari celah untuk membenarkan kudeta terhadap pemerintah yang dipilih secara sah dan konstitusional melalui prosedur-prosedur demokrasi. Kicauan Ulil dan Misrawi ini berbanding terbalik dengan apa yang kerap mereka presentasikan dalam seminar-seminar mengenai penerimaan terhadap demokrasi, prinsip-prinsip egalitarianisme, humanisme, dst. Padahal pada zaman modern dan manusiawi ini, kita semua tahu, jika boleh mengutip fahri hamzah, “untuk atau atas nama apapun kepemimpinan sipil haram dijatuhkan secara militer apalagi dengan alasan kepuasan publik. Survey boleh menunjukkan kepuasan di bawah 50% kepada presiden @SBYudhoyono tapi dia haram dijatuhkan secara kudeta. Presiden di negara demokrasi hanya bisa dijatuhkan via pemilu atau karena melakukan pelanggaran hukum berat.”

Ketakutan terhadap PKS

Saya mencoba memahami ketakutan Ulil, Misrawi, dan kalangan yang satu madzhab dengan mereka secara pemikiran terhadap kekuatan islamis-terutama PKS. Tampaknya PKS dalam pandangan kelompok liberal adalah gerakan Islam yang hanya memanfaatkan prosedur-prosedur demokrasi untuk kemudian menghilangkan demokrasi itu sendiri ketika sudah mendapatkan kekuasaan. Ketakutan kalangan liberal terhadap PKS bisa kita lihat dalam banyak artikel, misalnya tulisan Ahmad Najib Burhani ”Piagam Jakarta, dan Piagam Madinah” yang dimuat di salah satu koran Nasional tahun 2004. Juga artikel “Memahami Realitas PKS” karya Happy Susanto (2008) di situs Jaringan Islam Liberal yang mengatakan bahwa PKS secara pure hanya mengadopsi ideologi timur tengah tanpa adanya “indigenisasi” dengan konteks “kekinian dan kedisinian” Indonesia.

Memang disinilah kelemahan demokrasi. Sistem politik dari Yunani kuno tersebut tidak memiliki ‘self defence mechanism’ atau mekanisme pertahanan diri. Demokrasi akan membiarkan siapapun mengikuti kontestasi pemilu, bahkan kepada kelompok yang paling tidak demokratis sekalipun. Demokrasi secara sah akan—dan harus—mengakuinya secara konsitusional. Dan ketika pemenang pemilu justru membunuh demokrasi itu sendiri di parlemen mealui voting untuk mengganti konsitusi negara dengan sistem selainnya, maka pada waktu itu demokrasi tidak bisa menolong dirinya sendiri.

Hal inilah yang ditakutkan oleh kelompok liberal. Tetapi cara pandang “anak-anak JIL” ini menjadi absurd, ketika pada saat yang sama kelompok kecil ini justru mengakui rezim kudeta Mesir yang terang benderang menodai kanvas demokrasi kita dimana militer melakukan coup d’etat terhadap Presiden Mursi, pemenang sah Pemilu Mesir. Sungguh anomali ketika kita melihat, Fahri Hamzah yang berasal dari kalangan Islamis, justru lebih demokratis daripada Ulil dan Misrawi dari kelompok JIL. anomali karena selama ini kalangan liberal acapkali menuding kalangan Islamis sebagai kelompok yang tidak demokratis. Terang sudah mana yang betul-betul demokratis, dan mana yang sekadar lips service.

Kenapa Curiga pada PKS?
Melihat keberadaan PKS dalam konteks demokrasi kita memang menarik. Para pengamat politik mengidentifikasi PKS dengan sebutan kaum Islamist democrat (Demokrat Islamis), yakni kelompok Islam yang menjalankan demokrasi, setidaknya demokrasi elektoral, tetapi tetap memperteguh identitas dan agenda-agenda Islam ke dalam kehidupan publik (Mujani, 2004). Istilah islamist democrat ini menurut pengamat politik senior Saiful Mujani, adalah suatu contradictio interminis, atau ungkapan yang mengandung pengertian kontradiktif di dalam dirinya.

Tentu mudah dipahami mengapa fenomena islamis democrat disebut sebagai sebuah kontradiksi, karena selama ini pattern yang terbentuk antara gerakan Islam dan demokrasi adalah dua hal tidak pernah bisa bertemu. Kita bisa melihat pandangan-pandangan tersebeut melalui pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir, Jamaah Ansharut Tauhid, dan kelompok-kelompok anti demokrasi lainnya.

Padahal dalam konteks PKS kita akan menemukan pandangan lain. Membahas bagaimana relasi Islam-Negara dalam kacamata PKS adalah hal yang menarik. Lihat bagaimana Anis Matta, Presiden PKS itu memosisikan demokrasi dalam kacamata yang lebih luas alih-alih sempit pikir seperti Hizbut Tahrir yang menghinadina demokrasi sejak awalnya. Dalam kacamata Anis Matta sebagaimana tertuang dalam bukunya Menikmati Demokrasi, demokrasi adalah sebuah kanvas dimana semua orang boleh melukis.

“Semua individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan individu lain. Semua sama-sama bebas berpikir, berekspresi, bertindak, dan memilih jalan hidup. Tidak boleh ada rasa takut, ada tekanan, terutama dari militer. Kebebasan hanya dibatasi oleh kebebasan yang sama.”

Anis melanjutkan, “Namun kebebasan (dalam demokrasi) ini ada harganya. Para pelaku dakwah memang bebas menjalankan dakwahnya. Tetapi pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku disini bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan sesuatu itu benar tapi tidak legal, adalah salah. Jadi tugas kita adalah bagaimana mempertemukan antara kebenaran dan legalitas. Bagaimana menjadikan sesuatu yang haram dalam pandangan agama, menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif, dan apa yang diperbolehkan oleh agama menjadi legal dalam hukum positif itu.”

Dari pandangan Anis tadi, tampak jelas bagaimana PKS menerima demokrasi sebagai bagian dari cara mereka menyampaikan aspirasi. Sama persis dengan apa yang berada dalam benak kalangan sekuler yang juga menyampaikan aspirasinya lewat demokrasi. Yang berbeda dari keduanya hanya pada tataran ide apa yang diperjuangkan. Dan memang karena itulah demokrasi diperlukan: sebagai melting pot dari ragam ide yang tumbuh di masyarakat. PKS menyampaikan apa yang diinginkannya melalui prosedur demokrasi yang sah dan konsitusional, seraya tetap menghargai keragaman dan multikulturalitas dalam masyarakat. Itulah mengapa PKS menerima demokrasi sebagai sarana perjuangan.

Lihat bagaimana Fahri Hamzah dalam buku tebalnya berjudul, “Negara, Pasar dan Rakyat” (2010) menggambarkan demokrasi, “demokrasi sejalan dengan ide modernisasi yang menuntut adanya perubahan di segala bidang kehidupan. Tradisi Islam bukanlah warisan kaku yang hanya mempertahankan corak klasiknya. Meski pada awalnya Islam tidak mengenal prinsip demokrasi, namun gagasan universal demokrasi sejalan dengan prinsip Islam… tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam prinsip Islam elemen-elemen demokrasi meliputi prinsip-prinsip tertentu seperti syura, musawah, adalah, amanah, masuliyah, dan hurriyah.”

Pandangan realistis dan akomodatif semacam ini terhadap demokrasi sejatinya sejalan dengan pandangan seorang ulama dunia yang cukup dihormati di Indonesia, yaitu Syaikh Yusuf al-Qaradhawy dalam bukunya Fiqh Daulah (Fikih Negara)


Khilafah versus Nation State

Menarik sekali apa yang dikatakan oleh John L.Esposito, dalam bukunya Islam and Politics (1985) Esposito mengatakan bahwa di kalangan kelompok-kelompok Islam terdapat kesamaan mengenai “bukan negara Islam”, tetapi justru terdapat perbedaan mengenai “negara Islam”. Apakah ia harus berbentuk Negara trans-nasional atau bolehkah berbentuk nation-state (Negara bangsa)?

Di kalangan gerakan Islam, terma khilafah paling nyaring disuarakan oleh Hizbut Tahrir (HT) sekalipun tidak tampak jelas mau dibawa kemana arah perjuangan tersebut setelah HT berdiri sejak 1953. Impian tentang khilafah sebagai negara yang adil, makmur, sejahtera, memang membuai sebagian masyarakat. Kejenuhan terhadap realitas yang senjang, kekacauan sosial, dan sebagainya membuat sebagian orang memilih hidup dalam romantisme masa lalu, dan terbuai dalam keindahan masa depan seraya mencela zaman ini.

Jauh sebelumnya, hal serupa sebetulnya telah terimajinasikan dalam benak seorang filosof Muslim, Al-Farabi (870-950) yang memimpikan sebuah negara damai, adil makmur, sejahtera, dan seribu keutamaan lainnya yang ia tuangkan dalam sebuah kitab berjudul Araa Ahl l-Madiinah al-Fadhilah. Sebegitu indahnya Negara tersebut hingga ide al-Farabi itu lebih sering dikritik sebagai sebuah utopia.

Sekalipun sebetulya secara performa luar kader PKS agak mirip dengan Syabab Hizbut Tahrir, namun pandangan dua kelompok dari gerakan Islam ini rupanya berbeda. Mudah untuk memahami bahwa sebagai gerakan ekstra parlemen yang pekerjaannya “hanya mengritik”, tentu mudah bagi HT utk bekerja dan menawarkan solusi2 di ranah wacana semata. Dan kita akan paham bahwa negara trans nasional yang didirikan HT akan menjadi “negara yang menakutkan” karena kelompok ini memiliki pandangan utk membentuk sebuah negara super power “satu negara untuk seluruh dunia Islam” sebagaimana makna khilafah yang dicetuskan oleh pendiri HT, Taqiyuddin an-Nabhani (1909-1979). Artinya selepas kekhilafahan berdiri, maka berikutnya akan terjadi penaklukan-penaklukan ke seluruh dunia utk melebarkan wilayah kekuasaannya.

PKS tidak memahami khilafah dalam definisi sedemikian. Lihat bagaimana seorang pendiri PKS, Hidayat Nur Wahid menjawab ketika ditanya tentang pandangannya mengenai pemerintahan Islam:

“Jangan berpolemik mengamandemen UUD 1945 untuk menghadirkan pemerintahan Islam (khilâfah Islâmiyah). Kita sudah lelah dengan polemik, akan lebih bijak jika berkonsentrasi untuk melaksanakan ajaran agama. lebih penting adalah agar seluruh masyarakat Indonesia melaksanakan ajaran agama seperti dalam pasal 29 UUD 1945. Jika agama dilaksanakan oleh semua umat beragama pada tingkat moral dan etos kerja saya kira akan membawa dampak positif bagi moral bangsa.”

Lebih tegas tentang khilafah, HNW melanjutkan:

“Pada zaman sekarang ini, apakah yang namanya kekhalifahan harus berwujud dengan nama khilâfah, bukankah negara republik atau kerajaan pada skala tertentu bisa disebut khilâfah? Apapun namanya, republik atau kerajaan, kalau disitu terlaksana dengan baik nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, keislaman, pemberdayaan, tidak terjadi praktek-praktek korupsi, penindasan, kezaliman, nepotisme, tirani, dan kemudian terjadi mekanisme kepemimpinan yang islami, bisa disebut sebagai kekhalifahan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia yang sudah berbentuk republik, tidak perlu lagi diubah namanya menjadi kekhalifahan.”

Melihat pandangan HNW ini, tak perlu rasanya kita menaruh curiga bahwa jika PKS berkuasa maka NKRI akan hilang diganti dengan Negara agama. Tentu saja pandangan seorang agamawan jebolan Gontor yang telah menghabiskan masa sarjana hingga doktoralnya di Universitas Islam Madinah itu tentulah bukan tanpa pengetahuan. Dalam beberapa konteks, nation-state (Negara bangsa) dengan khilafah sebetulnya tidak perlu saling menegasikan.

Mari kita lihat bagaimana pada tahun 912 M, di Spanyol ‘Abd al-Rahmân al-Nâsir mulai menggunakan gelar khalîfah. Padahal pada waktu yang sama kekhalifahan Bani ‘Abbâsiyyah masih berlangsung di bawah pengaruh Bani Buwaihi. Bahkan pada periode 912-1013, khilâfah Islâmiyah di Spanyol ini telah mencapai puncak kejayaan dan menyaingi Daulah ‘Abbâsiyyah di Baghdâd. Demikian pula halnya yang terjadi pada masa Dinasti ‘Utsmâniyyah di Turki. Pada masa pemerintahan Turki Utsmani berlangsung, berdiri dua pemerintahan Islam, yakni Dinasti Syafawi di Persia, dan Dinasti Mughal di India. (Badri Yatim, 2001)

Kemunculan Kerajaan Syafawi di Persia dan Dinasti Mughal di India yang menyaingi Dinasti Utsmani ini, memiliki konteks yang sama dengan kekhilafahan Islam di Spanyol, yakni keberlangsungan pemerintahan Islam secara bersamaan pada era yang sama, di tempat yang berbeda. Oleh karena itu, sebagaimana di Spanyol, kedua Dinasti ini juga dapat disebut sebagai “khilâfah Islâmiyyah”. Artinya adalah, pada masa itu terdapat begitu banyak pemerintahan Islam, sehingga jika pada konteks kekinian kekhilafahan dibentuk berdasarkan “kekhilafahan2 kecil”, maka itu tidak bertentangan dengan fakta historis di atas.

Demikian juga jika kita melihat bagaimana pandangan Anis Matta tentag symbol agama sebagai nama Negara. Anis Mengatakan “jika subtansi telah cukup mewakili nama, maka tak perlu nama mewakili substansi tanpa menafikan nama”

PKS Memperjuangkan Masyarakat Madani

Adalah Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah UIN Jakarta yang merasa beruntung mendapat kesempatan mendalami PKS ketika diundang dalam Milad ke-10 sehingga bisa mengetahui apa sebetulnya tujuan PartaiIslam terbesar di Indonesia itu.

Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan begini:

Negara Indonesia bagaimanakah yang dicita-citakan PKS? Jawabannya jelas dalam tujuan pendirian PKS: ”Tujuan didirikannya PKSejahtera adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhai Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. PK Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke”.

‘Masyarakat madani’. Inilah salah satu kata kunci untuk lebih memahami PKS. Apa yang dimaksud PKS dengan ‘masyarakat madani’? Masyarakat madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.

Pengertian genuine dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI”.

Dengan platform ini, sekali lagi, jelas, PKS tidaklah bertujuan membentuk ‘negara Islam’ atau yang semacamnya, melainkan bertujuan membentuk masyarakat madani. Jelas pula, masyarakat madani yang diinginkan PKS adalah masyarakat madani yang berbasiskan agama (religious-based civil society); bukanlah masyarakat sipil atau masyarakat kewargaan yang dalam sejumlah wacana tentang civil society tidak memiliki konotasi apalagi hubungan dengan agama. Konsep masyarakat madani yang akhir ini pada dasarnya merupakan teoretisasi dari pengalaman di Eropa Timur dan Amerika Latin.
--
Jadi, kita perlu paham bahwa yang diperjuangankan PKS adalah msyarakat madani. Sebuah kehidupan sosial bermasyarakat yang merujuk pada kehidupan pada masa Nabi di Madinah. Bukan lagi pada masa khilafah. Masyarakat madinah adalah masyarakat yag plural, terdiri dari beragam suku dan agama namun hidup bersatu dalam sebuah Negara yang konstitusional dalam sebuah konsensus bersama.

Jika masyarakat semacam ini mennjadi inspirasi, tentu saja karena didasari religiusitas masyarakat kita, maka NKRI akan tetap ada, tetap berbhinneka tunggal ika. Jadi tidak perlu paranoid dengan gerakan Islamis democrat.
Partai Islam memperjuangkan idenya, sebagaimana partai selainnya juga memperjuangkan idenya. Semua berkontestasi di dalam pemilu yang sah dan kosntitusional.
Jika sudah begitu, Kenapa kita harus curiga pada PKS?
***

rekan2 sila berkomentar,
Bahasa menunjukkan budaya
“Teko hanya mengeluarkan isi teko”


diposting juga di :
http://www.dakwatuna.com/2013/09/21/39624/kenapa-kita-harus-curiga-pada-pks/#axzz39P3coitl
http://www.pkssumut.or.id/2013/09/kenapa-kita-harus-curiga-pada-pks.html
http://www.pkspiyungan.org/2013/09/ketakutan-liberalis-terhadap-pks.html
http://politik.kompasiana.com/2013/09/20/kenapa-kita-harus-curiga-pada-pks-594388.html

PKS Bukan Benalu, Tanggapan untuk Budi Pasopati





Membaca artikel Budi Pasopati di Kompasiana yang berjudul “PKS Benalu Indonesia” pekan lalu, membuat saya menggeleng kepala. Tulisan yang terkesan arogan dan tendensius itu bertubi-tubi menghakimi kader-kader PKS yang o rang Indonesia itu sebagai orang-orang yang “numpang hidup”di Republik ini.


Saya jadi teringat obrolan beberapa waktu lalu dengan seorang staf anggota dewan dari Partai Hanura. Dia, yang mantan pengurus Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU) Jatim itu bilang bahwa hanya PKS partai yg belum ada orang NU-nya. Sembari bercanda dia bilang PKS masih belum “disusupi” oleh NU. Saya, yang kebetulan berkultur NU dan pernah meneliti tentang PKS mengatakan kepadanya bahwa di PKS juga banyak warga NU dan kalangan tradisionalis muslim lain.
Tampaknya Budi Pasopati harus membaca serakan buku-buku yang ditulis oleh banyak peneliti di berbagai universitas baik dalam dan luar negeri tentang bagaimana PKS sebetulnya merupakan melting pot (titik temu) dari berbagai varian pemahaman Islam di Indonesia. Di PKS ada warga NU, Muhammadiyyah, PII, HMI, Persis, dan seterusnya.


Perlukah saya memberitahu Budi Pasopati bahwa anggota MPP PKS bernama Mushlih Abdul Karim adalah santri pesantren langitan, Tuban. Bahkan Muslih Abdul Karim yang merupakan murid kesayangan Alm. KH. Abdullah Faqih itu terbiasa mentradisikan tahlil setiap malam Jumat di King Ibnu Su’ud University, Saudi Arabia.


Demikian pula, Anggota MPP PKS yg lain yakni Ahzami Samiun jazuli adalah putra Kyai NU Sami’un Jazuli, bahkan Abdul Roqib, (Aleg PK 99-04) adalah Mantan Ketua GP Anshor Lampung. Atau perlukah saya tambahkan lagi bahwa tokoh-tokoh PKS seperti H. Bukhari Yusuf, MA, sekretaris Dewan Syariah PKS, adalah murid kesayangan KH. Noer Ahmad S, ahli Ilmu Falak NU, H. Bakrun Syafi’i, MA alumni Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta adalah murid kesayangan KH Ali Ma’shum. H. Amang Syafruddin, Lc, Msi alumnus Pesantren NU Cipasung, Tasikmalaya yang sering dipuji sebagai murid nomor satu.

Mantan menteri kehutanan dari PKS yang sekarang menjabat walikota Depok, Nurmahmudi Ismail juga adalah santri pondok pesantren salafiyah al-Ishlah, Kediri, dan lain-lain, dan lain-lain…

Demikian pula dari Muhammadiyah, ada Hidayat Nurwahid, ada pula Anis Matta, dan seterusnya.

Jadi, tulisan Budi Pasopati yang secara “tendensius dan arogan” itu keliru jika mengatakan bahwa PKS itu numpang hidup di Indonesia karena tidak memilki akar sejarah pemikiran Islam di dalam negeri.

Apakah penulis artikel tersebut juga ingin mengatakan bahwa Sang Pencerah KH.Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah pemikir Islam yang numpang hidup di Nusantara hanya karena pemikirannya terinspirasi dari Muhammad Abduh di Timur Tengah melalui ajaran Ahmad Khatib (1860-1916) yang merupakan pengikut M.Abduh di Makkah sana?

Apakah penulis tersebut ingin mengatakan bahwa Muhammad Natsir atau KH.Agus Salim adalah pemikir Islam numpang hidup di Indonesia karena kedekatannya dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir?

Atau apakah penulis tersebut juga ingin mengatakan bahwa M.Rasjidi, Menteri Agama RI pertama itu juga pemikir numpang hidup hanya karena sering menghadiri kajian yg diasuh oleh Sayyid Qutb?
Atau apakah Budi Pasopati juga ingin mengatakan bahwa Gerakan Persatuan Islam (PERSIS) adalah gerakan numpang hidup karena diinspirasi oleh gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Rasyid Ridha dari Timur Tengah nun jauh disana?

Mengapa pula harus alergi dengan istilah-istilah Arab yang kerap digunakan oleh kader PKS seperti kata “ikhwan dan akhwat”?. Perlukah Budi Pasopati diberitahu bahwa penggunaan istilah ikhwan yang ditujukan untuk menyebut saudara laki-laki itu sudah dipakai sejak lama oleh penganut tarekat di Indonesia, bahkan dalam trradisi melayu pada era 1930-an terma ini sudah dipakai secara umum sebagai panggilan untuk menyebut saudara sesama Muslim. Ditandai dengan penggunaan kata ini dalam penerbitan surat kabar berbahasa Melayu Jawi, Saudara (Yon, 2005).


Memang mengherankan jika beberapa kalangan merasa “dirugikan”dengan penggunaan kata “akhi-ukhti” yang merupakan bahasa pergaulan di kalangan segmen masyarakat tertentu, namun tetap enjoy dan tidak terganggu mendengar kelompok lain menggunakan istilah “sis and bro” untuk memanggil teman-temannya. Bukankah istilah sis and bro juga merupakan istilah asing? Jika orang lain boleh menguccap I love U, mengapa sebagian lain tidak boleh mengucap ana uhibbukum fillah?” apakah bahasa Inggris boleh sedang bahasa Arab tidak boleh? Hidung saya justru mencium aroma-aroma rasisme disini. Sepertimana Budi Pasopati menyebut orang-orang Mesir memiliki watak Firaun. Saya tiba-tiba teringat ucapan teman kuliah dulu yang aktif di HMI-MPO, dia mengatakan bahwa hanya orang primitive yang masih bicara atas dasar rasisme hari ini. :-)


Penulis artikel tsb yg merasa paling Indonesia itu, tampaknya harus membaca sejarah pemikiran Islam Indonesia lebih banyak. Agar tak arogan menilai orang lain menumpang hidup. Agar tak tendensius melihat gerakan Islam semata karena tak disukainya. bahkan kalau mau konsisten, harusnya Budi Pasopati bilang bahwa kita semua adalah orang-orang yang numpang hidup di Nusantara, karena nenek moyang kita (ras Austronesia atau Detro Melayu) yg diperkirakan berasal dari Taiwan dan Cina Selatan, menurut satu teori baru datang melalui laut dan sampai di Nusantara melalui Jawa dan Sumatera sekitar 3.000 tahun lalu. sementara penduduk asli di Nusantara terdesak ke hutan-hutan. jadi kita semua adalah orang-orang yang numpang hidup di sini.


Masaa-ul Khair (kalau tidak boleh dan dianggap menumpang, saya ganti dengan Good Afternoon)

http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/12/pks-bukan-benalu-tanggapan-untuk-budi-pasopati-568070.html

Memandang Jokowi Tanpa Kedustaan

1379476489984819813


Karena harus berangkat ke Mamuju dengan pesawat pertama. Selasa dini hari itu, sekitar pukul tiga pagi, saya menumpang taksi menuju Bandara Soekarno-Hatta. Menghilangkan rasa iseng, saya mengajak sopir taksi mengobrol dalam perjalanan membelah gelap itu. Entah bagaimana awalnya, selayaknya orang ngobrol ngalor ngidul, obrolan itu akhirnya menyerempet ke masalah politik. Sopir taksi tersebut bilang bahwa dia tidak pernah ikut Pemilu karena apatis dengan semua kandidat. Hanya saja, katanya, jika Jokowi yang mencalonkan diri maka dia dengan senang hati akan mendukungnya.

Sebagai alumni Jurusan Filsafat Politik obrolan semacam ini tentu menarik bagi saya. Saya ingin membaca bagaimana Jokowi di mata sopir taksi yang—meski bukan sebuah jaminan, barangkali mewakili kebanyakan suara orang sepertinya. Dari cerita pagi hari itu, rupanya ia punya pengalaman bagaimana saudaranya yang sakit keras dan harus menjalani operasi sangat terbantu dengan Program Kartu Jakarta Sehat yang ditelurkan Jokowi. “benar-benar tidak bayar, mas. Alhamdulillah sudah sehat. Andaikata waktu itu harus bayar biaya operasi, dari mana kami mendapat uang sebanyak itu? katanya.

Fakta ini menginsafkan saya tentang Jokowi, bagaimana jasa mantan walikota Solo itu dirasakan betul oleh masyarakat yang membutuhkan. Anda boleh membenci Jokowi dengan segudang teori konspirasi yang diarahkan kepada Jokowi entah dengan alasan apa, tapi apa yang diceritakan oleh sopir tadi adalah fakta yang harus Anda akui.

Saya katakan menginsafkan diri, karena sebaran informasi tentang Jokowi, khususnya di jagad maya sangat liar. Akun anonim paling populer di jagad twitter, @triomacan2000 baru-baru ini “membongkar” kebusukan Jokowi, konspirasi di belakangnya, para pemilik modal pendukungnya, dst. Sertamerta twit akun “wikileaks Indonesia” itu di-broadcast kemana-mana untuk mendemarketisasi si “Anak Ajaib” tersebut oleh para Jokowi haters. Sebaran informasi ini sedikit banyak tentu memengaruhi persepsi publik, termasuk saya.
Banyak yang kehilangan kritisisme terhadap akun anonim yang acap dilaporkan ke Kepolisian itu. Padahal kicauan-kicauan akun tersebut tak ubahnya seperti berita Israiliyat dalam literatur Islam, yakni kabar-kabar yang tidak perlu ditolak seluruhnya, tetapi juga  tidak perlu dibenarkan seluruhnya.

Selain perbincangan dengan sopir taksi yang sudah seperti pengamat politik itu, saya punya pengalaman lain tentang Jokowi, yaitu pada acara Buka Puasa Hari Anak Nasional Bersama Presiden yang digelar di Gedung SME Tower Ramadhan lalu. Saya lihat sendiri bagaimana ketika Presiden bersama sejumlah menteri dan para pejabat, termasuk Jokowi, keluar ruangan utama selepas acara, terdengar orang-orang mengelu-elukan Jokowi. Jokowi dielu-elukan oleh hadirin, dan Anda tahu, Gubernur DKI itu lebih populer –tentu saja—dari pada para Menteri KIB II.

Ekspresi masyarakat semacam ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Program Jokowi dirasa oleh mereka dan media massa ‘menggoreng’ itu. Pertanyaan apakah “media yang memberitakan sosok yang sedang dicintai masyarakat”, atau justru sebaliknya “media membesarkan Jokowi sehingga ia ia disukai di masyarakat” adalah persoalan lain. Kita hanya melihat bahwa masyarakat suka terhadap Jokowi, dan fenomena tersebut eksis. Bahkan sebuah artikel berjudul a Wanted Badly: a Malaysian Jokowi di The Malay Mail, Malaysia, Februari silam menggambarkan betapa rakyat Malaysia pun rindu pemimpin selayak Jokowi dengan mengutip kisah lelaki kotak-kotak itu dalam The Economist dan The Wall Street Journal. Anda membenci Jokowi karena apa?

Program Jokowi Original

Program Jokowi memang original. Mulai dari program kecil seperti perayaan tahun baru sepanjang jalan Sudirman-Thamrin yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya itu–padahal sangat antusias disambut masyarakat–, atau pameran produk lokal di Monas untuk mengakomodir pedagang kecil sebagai sindiran kepada Jakarta Fair yang dinilainya terlalu mementingkan pengusaha besar, atau penertiban PKL di jalur semrawut carut marut Tanah Abang (bayangkan lima tahun Foke pimpin Jakarta Tanah  Abang makin macet saja, Jokowi bereskan hanya dalam hitungan bulan), atau penyediaan kursi taman sepanjang jalur utama Sudirman Thamrin yang membuat jalur “Orchad-nya Indonesia” itu kian menarik dan bermanfaat untuk sekadar melepas lelah, hingga program blusukan yang membuatnya lebih paham lapangan dan kian dicintai rakyat Jakarta. Adakah pejabat DKI sebelumnya yang turun ke gorong-gorong untuk melihat saluran air berfungsi baik atau tidak, menyusur kampong-kampung di pinggiran sungai yang aromanya  tidak sedap itu untuk berfikir bagaimana mendirikan hunian yang lebih layak bagi mereka? kita menilai apa yang tampak, bukan?

Jangan salahkan media jika terus menguntit Jokowi. Memang banyak kepala daerah lain yang hebat luar biasa di luar Jakarta, kita bersyukur dan apresiasi beliau-beliau yg terhormat dan mengabdikan diri untuk membangun daerahnya. Kita bisa sebut Gubernur NTB, Tuan Guru Haji Bajang yang begitu dicintai oleh Rakyat NTB, atau Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang bekerja dalam senyap karena sepi liputan media padahal sudah raih lebih dari 130 penghargaan nasional dan internasional atas prestasi-prestasinya, atau Dr. Samsul Ashar Sp.PD, walikota Kediri yang yang juga dokter itu, atau Nur Mahmudi Ismail, mantan Menteri Kehutanan yang menjadi Walikota Depok yang kerap digoyang oleh kubu oposisinya. Mereka tetap orang-orang hebat sekalipun sebagian membencinya.

Tapi tidak seperti pada Jokowi, media tidak mem-blow up mereka. Tentu saja sebagian pihak boleh curiga  bahwa media dibayar oleh tim milik Jokowi sebagai ancar-ancar menuju kursi RI I. Itulah mengapa media selalu memberitakan yang positif-positif tentang Jokowi dan menenggelamkan berita tentang tangisan  korban penggusuran. Tudingan “media dibayar” ini sekalipun tidak pernah dibuktikan, (selain karena su’uzhan alias buruk sangka) tentu bukan berarti tudingan ini keliru. Maksud saya, bisajadi Jokowi benar membayar media untuk kepentingan politiknya, dan itu lazim di dunia politik meski tidak harus dibenarkan.

Saya sendiri entah kenapa menaruh “buruk sangka” serupa sekalipun saya  tidak bisa membuktikannya. Tetapi kita tentu harus paham pula bahwa rakyat rupanya pintar memilah berita di media. Bukankah raja-raja media semacam Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Harry Tanoe tingkat elektabilitasnya tetap saja rendah sekalipun sudah “gila-gilaan” beriklan di media-media milik mereka? Mengapa Jokowi yang tidak punya TV justru berada di tingkat teratas sebagai kandidat presiden 2014? Hal ini menunjukan bahwa penguasaan terhadap media bukan satu-satunya faktor, ada X Factor yang menjadikan Gubernur yang acap naik pesawat kelas ekonomi ini erat dalam dekapan publik. Tentu saja, adalah naïf menilai seorang politisi besar tidak punya tim media terlebih di era Teknologi Informasi sekarang ini.

Di era kemajuan teknologi informasi, dimana berita-berita menyebar secara liar, tentu prestasi dari pemerintah harus sebanyak mungkin dipublish sebagai pengimbang, agar publik tidak salah persepsi yang pada akhirnya mendelegitimasi kekuasaannya. Jika media mainstream seringkali menyerang pemerintah, bukankah lazim pemerintah memberi semacam counter opinion?
Justru menurut saya, jika pun benar Jokowi membayar media untuk pencitraan dirinya, justru itu adalah kelebihan Jokowi sebagai politisi. Ia paham betul bagaimana menjaga citra dirinya di mata publik. Di alam demokrasi, politisi memang tidak hanya dituntut sekadar bekerja namun sepi liputan media. Bagaimanapun media tetap dibutuhkan sebagai alat propaganda terutama di negeri yang menerapkan demokrasi, dimana pemimpin diseleksi langsung oleh rakyat melalui pemilu. Oleh karena itulah para pemimpin dari partai manapun membutuhkan media. Mereka yang tidak pegang media konvensional semacam TV dan koran biasanya ramai-ramai membuat  media propaganda di media online, memberitakan apa yang sepi di media konvensional. Hal ini karena media, mengutip Adian Husaini (2002), mampu memengaruhi persepsi publik lewat apa yang ia sebut sebagai “Fakta Semu”, sebuah fakta yang merupakan hasil konstruksi media massa, atau dalam bahasa Ibnu Hamad (2004), Pakar Komunikasi UI dalam buku kerennya itu sebagai “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Atau yang lebih berat, sebagaimana diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1967) sebagai Social Construction of Reality, yaitu realitas menjadi memiliki makna ketika realitas tersebut dikonstuksi dan dimaknakan secara subjektif sehingga memantapkan realitas secara objektif. Dan, jika kita berpandangan bahwa Jokowi  menguasai media, artinya kita memahami bahwa Jokowi lagi-lagi unggul dalam hal ini.

Jokowi Capres (?)

Masyarakat kita itu memang latah. Jika ada tokoh besar buru-buru masyarakat kita angkat tokoh tersebut jadi calon presiden. Tentu kita ingat bagaimana ketika Aa Gym masih dalam masa kejayaannya, beliau dielu-elukan media dan berkali-kali nama da’i sufi tersebut masuk sebagai nominasi capres sekalipun beliau berkali-kali pula menolaknya. Dalam sebuah seminar yang saya hadiri waktu itu, Denny JA, pemilik Lembaga Survei paling moncer saat itu, sampai geleng kepala melihat fenomena latah tersebut.

Fenomena Jokowi hari ini juga sama. Posisi Jokowi umpama SBY pada 2004, dipandang sebagai Satrio Piningit yang layak menjadi presiden. Jokowi merajai seluruh survei sebagai capres paling populer. Bayangkan “si Anak Emas” itu bahkan lebih populer dari “bunda”nya sendiri. Bahkan, seperti Fahri Hamzah katakan terhadap SBY di 2009, saking populernya, “berpasangan dengan Sandal Jepit pun, dia akan menang”. Artinya tidak penting siapa yang akan menjadi pendamping Jokowi  jika ia benar-benar maju sebagai capres. Berpasangan dengan tukang cimol pun, rasanya Jokowi tidak terbendung.

Dalam rakenas PDIP kemarin, spanduk dukungan utk pencapresan Jokowi membentang di luar agenda panitia. Tentu hal ini mereduksi trah Bung Karno yang selama ini digadang-gadang sebagai penerus politik dinasti PDIP. Jokowi memang membuat kalkulasi politik jadi berubah. Semua orang yang berhasrat menjadi presiden mau tidak mau harus memperhitungkan Jokowi. Membaca peta survei, Yunarto Wijaya, Analis politik Charta Politika bilang, kemungkinannya tiga skenario : pertama, berharap PDI-P tidak ajukan Jokowi agar kekuatan semua pihak kembali lagi pada titik nol,” kedua, kompetitor Jokowi bisa berkoalisi dengan Jokowi, entah bagaimana negosiasinya, dan ketiga, pada titik ekstrem, kubu non-Jokowi bersatu padu untuk menjegal Jokowi secara bersama-sama agar kekuatan Jokowi bisa diimbangi. ”Mereka pasti akan berhitung dengan variabel Jokowi ini, entah melawan, menjatuhkan, atau bergabung,” kata Yunarto.
PDIP sadar betul potensi Jokowi sebagai vote getter merupakan juru selamat di tengah begitu banyak kader partai ini yang terlibat kasus demi kasus mulai korupsi hingga asusila. Namun PDIP masih ragu untuk majukan Jokowi sebagai Capres, entah karena egoisme politik dinasti atau pertimbangan lain, Rakernas PDIP beberapa waktu lalu juga tidak bicarakan soal capres. Tampaknya PDIP sengaja membiarkan isu “Jokowi Capres” itu tetap menggelinding untuk raup suara sebanyak mungkin pada Pemilu legislatif esok. Logikanya, pendukung pencapresan Jokowi tentu akan memilih PDIP sebagai satu-satunya kendaraan yang shahih bagi kader taat semacam Jokowi utk melaju sebagai Capres. Perkara apakah nanti PDIP majukan Jokowi sebagai Presiden atau tidak selepas pemilu legislatif itu, itu urusan belakangan.
Baiknya Tetap di Jakarta
Jokowi memang tidak punya kemampuan orasi luar biasa seperti Obama yang disebut oleh Philip Collins, penulis andal dari koran Times Inggris itu dengan sebutan“Dia menunjukkan kekuatan brilian dalam berpidato” sehingga memengaruhi persepsi khalayak, tetapi Gubernur ndeso itu punya ketulusan sejak masih menjadi walikota Solo.

Namun demikian, sebagai orang yang setiap hari merasakan macetnya Jakarta, dimana 6 jam per hari saya habiskan di jalan pulang-pergi dari dan ke kantor, dan setiap tahun macetnya bertambah 15 menit, saya berharap Jokowi masih disini. Menuntaskan amanahnya dulu sebagai Gubernur yang diletakkan di pundaknya oleh rakyat Jakarta. Bertanggung jawab atas amanah itu dan tidak dia tingalkan. Benahi Ibu Kota, jika sukses bolehlah melaju Capres. Saya kira 2019 tidak terlalu lama bagi Jokowi maju sebagai presiden. Kita berikan kesempatan kepada Jokowi untuk mengkhatamkan diri memimpin Jakarta sebagaimana amanah tersebut dibebankan kepadanya, sebelum memimpin Indonesia.

Saya paham betul bahwa Jokowi besar dalam nuansa Jawa, adat istiadatnya  yang kejawen dan besar dalam partai yang kejawen pula. Itulah mengapa kita tidak bisa memaksanya untuk bicara tentang agama apalagi bicara fiqh berwudhu yang benar dan semacamnya. Pengagum musik cadas tersebut memang besar dalam lingkungan kultural jawa. Tentu keompok-kelompok Islam tidak bisa memaksanya untuk bekerja melebihi kapasitas dirinya itu, apalagi mengolok-olok cara Jokowi beribadah. Namun demikian tentu lebih baik dan arif jika Jokowi lebih berhati-hati ketika melontarkan pendapat berkaitan dengan symbol-simbol keagamaan. Misalnya pelarangan takbir keliling menjelang Idul Fitri, namun merayakan tahun baru besar-besaran di Sepanjang Sudirman-Thamrin, hal tersebut akan menjadi bola liar yang bergerak kesana kemari menghantam balai kota. Juga bagaimana ketika Jokowi bicara tentang  kondisi Mesir yang oleh sebagian kalangan terdengar menyakitkan. Baiknya Jokowi memulai pendekatan, belajar dan memahami akar budaya dan kearifan lokal masyakarat Jakarta yang sedari awal memang identik dengan kultur Islami.

Kepada para Jokowi lovers, tentu tidak ada manusia yang suci, menjadikan Jokowi selayak Hercules, si manusia setengah dewa, seperti kerap kita jumpai puja pujinya di sosial media, tentu bukan langkah yang benar. Tidak ada “The Holy Man” selepas para Nabi, tidak ada manusia ma’shum yang suci dari dosa. Jokowi punya kekurangan, kepemimpinannya di Solo juga belum mampu menjadikan Solo sebagai kota yang maju, tingkat kemiskinan di Solo masih tinggi, kemudian ditinggalkan Jokowike Jakarta karena perintah partai, apakah akan terulang kembali di DKI dengan meninggalkan  PR yang belum selesai?


Dan kepada Jokowi haters, dengan alasan apa pun rekan-rekan membencinya, kita tahu bahwa kebenaran itu dapat kita temui dimana saja. Bukan ekslusif milik satu kelompok tertentu, seolah tokoh-tokoh di luar kelompoknya, sehebat apapun, sebesar apapun, dan sebaik apapun diberitakan media, adalah salah. Pasti media tersebut dibayar. Pasti ada konspirasi di belakang ini, dst.

Saya khawatir cara pandang semacam itu sejatinya lahir dari kesempitan kita berfikir, atau mungkin–semoga tidak—dari kedengkian terhadap kebesaran orang lain. Dia tampak sedemikian besar, alih-alih kemudian kita meningkatkan prestasi agar kita pun terbangun menjadi besar pula, kita malah sibuk mengecil-kecilkannya.

Sejatinya kalimat ini adalah kalimat indah: “al-Hikmatu Dhollatul Mu’min, Fa AinaWajadaha Fahuwa Ahaqqu Biha” kebenaran adalah serakan yang hilang dari kaum beriman, dimana saja ia jumpai kebenaran itu, ia berhak untuk menerimanya..